“Jangan lupa napas!” Sebuah kalimat dari Aris yang membuat Dinara kembali mengutuki dirinya sendiri. Rasanya ia harus berkali-kali menahan malu ketika merasa Aris dengan sengaja mengejeknya.Gadis itu memunggungi pria yang sepertinya sedang dalam mode isengnya. Di belakangnya, Dinara bisa mendengar Aris bersiul seperti sedang bahagia. Mungkin saja pria itu bahagia karena telah mempermainkannya. Bukan kah itu kesan yang didapatkannya setelah beberapa bulan hidup bersama sebagai suami istri? Dibalik kedewasaan Aris yang selalu melindunginya, Dinara bisa membaca sifat iseng pria itu yang selalu senang melihatnya salah tingkah.“Om mesum!” gumamnya ketika masih mendengar suara siulan Aris yang sepertinya sengaja dibuatnya lucu di balik punggungnya.“Heh! Om dengar itu!”Dan Dinara kembali harus menepuk keningnya sendiri. Berada di sekitar Aris selalu saja membuatnya tak terkendali.“Kamu yang mesum. Pake alesan mau ngehapus jejak Alea segala, kalo pengen meluk Om itu bilang aja terus tera
“Yang ini bukan untuk pura-pura.” Aris mengulangi ucapannya, tangannya bahkan bergerak menyibak rambut Dinara yang sudah terurai. “Yang ini dari hati,” ucapnya lagi.Dinara mengangguk, mengiyakan apa yang baru saja didengarnya dari Aris. Gadis itu pun tak terima jika jejak di lehernya ini dianggap Oma adalah bagian dari sandiwaranya. Karena seharusnya tadi dia bisa saja pergi dan menghindari permainan Aris, tetapi ia lebih memilih tetap berada di sana dan menikmati permainan pria itu padanya. Dinara mengangguk lalu mencari tatapan teduh di mata Aris yang belakangan ini sangat disukainya.Sayangnya, tatapan mata Dinara justru membuat Aris seolah kehilangan kendali, karena pria itu justru menarik kursi Dinara dan ....Cup! Sebuah kecupan lembut dilabuhkannya di mata gadis itu.Suara dokter Oki yang terbatuk-batuk membuat Aris melepaskan tatapannya dari Dinara, lalu mendorong dan merapikan kembali posisi kursi Dinara.“Maaf,” katanya ketika menyadari bahwa mereka sedang di meja makan.“I
“Bagaimana kalo aku jatuh cinta padamu, Nara?”Selain pemilihan kata ‘aku’ yang selalu terdengar asing di telinga Dinara, kalimat itu menjadi kalimat berulang yang didengarnya malam ini dari Aris. Dinara tahu, malam ini Aris sama sekali tak bisa tidur, pertanyaan berulang dan gerakan gelisah Aris di balik punggungnya menandakan itu.Sementara Dinara pun sama, berada dalam satu kamar bahkan ranjang yang sama setelah tak terhitung lagi sentuhan, pelukan hingga ciuman yang terjadi di antara keduanya kini perlahan-lahan membawa atmosfir berbeda bagi Dinara. Dia tak bisa lagi memandang pria di balik punggungnya ini sebagai Om atau hanya sekadar lelaki yang terjebak pernikahan palsu dengannya, seperti yang digaungkan keduanya di awal hubungan ini.Entah di titik mana di dalam kebersamaan mereka, semua tiba-tiba saja berubah. Diawali dengan ciuman pertama yang dicuri Aris darinya, lalu beberapa kali Aris memanfaatkan momen kebersamaan mereka lalu membuat jiwa polos Dinara mulai beradaptasi d
“Nara lapar, Om.” Gadis itu tak ingin berlarut-larut memikirkan Aris. Ia tak mau kembali didera perasaan tak nyaman yang kini bisa diartikannya sebagai rasa cemburu.“Nara ada ujian kompetensi pagi ini, Om.” Dinara baru saja membaca jadwal yang dikirim Novy padanya saat mereka semua sedang berada di meja makan untuk sarapan.“Kok mendadak?” Aris menoleh.Dinara menaikkan bahunya tak acuh.“Mama gimana, Dok?” tanya Aris kali ini pada dokter Oki yang masih berada di antara mereka.“Harus masuk pagi ini, Mas Aris. Saya udah konfirmasi ruang VVIP untuk Ibu.”Dari posisinya, Dinara bisa melihat Aris dengan serius menatap dan mendengarkan ucapan dokter Oki. Lagi-lagi rasa asing yang kini tak lagi asing itu muncul mengganggu pikiran gadis itu. Setahunya, Dokter Oki memang belum berkeluarga, dan dokter pribadi keluarga Omanya itu masih terlihat segar di usianya yang ditaksir Dinara sudah berusia tiga puluhan lebih.Di hadapan Aris, dokter Oki masih terus berbicara, menjelaskan satu persatu ko
Aris memutar-mutar ponselnya di tangan. Ini hari pertama ia berada di Bali, setumpuk pekerjaan pun sudah menanti di depan matanya. Tak mengajak Pras atau Alea dalam tugas pekerjaannya kali ini membuat pria itu merasa sedikit kesulitan. Di kantor cabang Tulip di Bali, Aris belum memiliki satu pun orang kepercayaan, bahkan di setiap cabang Tulip pun seperti itu. Hal yang menjadi kebiasaannya selama ini ketika berkunjung ke cabang cabang hanya menanyakan bagaimana dulu Aldo saat masih memimpin Tulip, juga siapa saja orang-orang kepercayaan kakak angkatnya itu.Niat Aris benar-benar hanya ingin meneruskan apa yang selama ini dilakukan Aldo, tak ingin mengubah apa pun yang ditinggalkan sang kakak angkat.Resort milik Tulip Corp di Bali ternyata bukan tempat yang cocok untuk didatangi seorang diri. Setidaknya itu yang dirasakan Aris ketika seharian ini justru merasa tempat ini terlalu indah untuk dinikmati seorang diri. Ia sudah menelpon Pras dan Alea tadi membahas mengenai pekerjaan, dan s
Lalu justru rindunya semakin menjadi-jadi setelah makan malam berakhir. Ivan yang ternyata begitu romantis membuat jiwanya semakin kesepian. Aris masih ingat bagaimana tamunya itu datang memenuhi undangannya dengan tangan yang tak pernah lepas menggenggam tangan sang istri.“Kenalkan ini istriku, Cahaya.” Bahkan saat memperkenalkan istrinya, Ivan tak lepas menatap wajah wanita cantik itu.Lalu di sepanjang dinner, berkali-kali Aris justru dibuat salah tingkah ketika tanpa sengaja memergoki kedipan mata Ivan pada sang istri, belum lagi cara pria itu berbicara yang selalu mendekatkan bibirnya di sisi telinga Cahaya.Ah, sebuah interaksi yang tiba-tiba saja membuat Aris semakin merindukan Dinara.“Ehm, kalian masih pengantin baru?” Akhirnya ia memilih bertanya, meski merasa canggung karena bertanya masalah pribadi. “Maaf, kalo keberatan nggak usah dijawab,” lanjutnya kemudian.Akan tetapi, reaksi Ivan justru di luar dugaan Aris. Sebab pria itu justru tertawa lalu kembali menggenggam tang
Tak ada Dinara di ruang VVIP rumah sakit di mana Oma Lili dirawat ketika Aris kembali dari Bali. Gadis itu juga tak ada di istana Oma Lili saat Aris mencari tahu, bahkan saat mengecek keberadaan Dinara di rumah mereka yang sudah beberapa hari ini ditinggalkan, ia juga menerima kabar jika Dinara tak ada di sana.“Jangan terlalu keras pada Nara, Ris.” Oma Lili yang melihat kegelisahan Aris angkat bicara. “Mama liat belakangan ini dia udah banyak berubah.”“Iya, Ma. Aris cuma penasaran Nara di mana, padahal harusnya kan ada di sini nemanin Mama.”“Mungkin dia lagi di kampus, beberapa hari ini sejak kamu di Bali, sepertinya Nara lagi aktif aktifnya di kampus.”Aris melupakan itu. Melupakan bahwa istri belianya itu masih mahasiswi semester awal yang mungkin sedang ada jadwal kuliah. Yang ada di pikirannya sekarang hanyalah Dinara, gadis manis yang mengaku juga merindukannya itu seharusnya berada di sini, menyambutnya datang lalu meghadiahi pelukan sebagai jawaban rasa rindu.“Iya, Ma. Aris
“Kamu kenapa, Nara?” Novi yang melihat kegelisahan Dinara bertanya.“Om Aris mau ke sini, Nov.”“Bukannya lagi di Bali?”“Udah balik kayaknya. Buktinya mau ke sini. Katanya tadi nungguin dua jam di parkiran kampus.”“Lah, kamu nggak ngabarin emang?”Dinara menggeleng. “Kupikir Om Aris masih di Bali. Soalnya kemarin katanya masih banyak kerjaan. Mana aku juga baru ingat nyalain ponsel barusan.”Novi menatap iba. “Bakalan kena marah suami dong, Ra.”“Jangan sampai deh, Nov. Aku nggak mau marah-marahan lagi. Udah capek sejak nikah berantem melulu nggak pernah akur.”“Oh, jadi sekarang udah akur, Ra?”“Hmm.” Wajah Dinara memerah mengingat ungkapan rindu yang saling diakui oleh keduanya saat berjauhan.“Jadi sama yang itu udah nggak lagi?” Novi menunjuk Kenzo yang berada di meja sebelah.Dinara menggeleng.“Terus tadi ngobrol berdua ngomongin apa?”“Aku minta putus. Sama seperti Om Aris mutusin Alea.”“Om Aris mutusin pacarnya yang waktu itu, Nara?”Dinara mengangguk.“Wah, sepertinya kali
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw