Sepeninggal Dinara, Aris kembali bekonsentrasi pada laptop di pangkuannya. Dia punya tanggung jawab besar membawa Tulip lebih tinggi, atau setidaknya mengamankan posisi Tulip hingga tanggung jawab itu lepas dari pundaknya. Hanya itu keinginannya kini, bertahan seperti ini hingga posisinya tergantikan oleh orang yang seharusnya, yaitu Dinara. Juga bertahan dengan pernikahan palsu ini hingga Dinara menemukan orang yang pas untuk menjadi jodoh yang sebenarnya, lalu ia kembali ke dunianya sendiri, dunia tanpa peraturan ketat perusahaan besar seperti Tulip Corp.Aris pun sudah mengakhiri pembicaraannya dengan Alea mengenai notulen rapat yang tengah dibahasnya. Permintaan Alea untuk berpisah tadi siang seolah menjadi alarm bagi Aris bahwa ia tak bisa sepenuhnya mengharapkan gadis itu memecahkan semua masalah Tulip. Sejak menerima tanggung jawab ini dan sejak menerima pernikahan dengan Dinara, Aris sudah berjanji bahwa hubungannya dengan Alea tak akan mengganggu jalannya perusahaan, juga tak
Tidur seranjang dengan lelaki yang sama sekali tak diinginkannya, Dinara hanya bisa gelisah membolak balikkan tubuhnya. Ranjangnya memang cukup luas untuk sendiri, tetapi tak cukup luas untuk berbagi dengan orang lain, apalagi ia dengan tumpukan guling di antara dirinya dan Aris. Beberapa kali Dinara menutup kepalanya dengan bantal ketika terganggu dengan dengkuran halus di sebelahnya, lalu kembali membukanya ketika merasa sesak tak bisa bernapas. Sementara Aris terlihat sudah lelap dalam tidurnya.Sesekali pula Dinara bangun lalu duduk di tepi tempat tidur, menatap sofa yang tadi ditunjuknya untuk tempat tidur Aris namun lelaki itu menolak. Mungkin ia memang lebih baik tidur di sana, tentu ia tak akan terganggu dengan suara dengkuran Aris jika tidur di sofa. Akan tetapi, rasa gengsinya mengalahkan logika. Dinara tak ingin Aris bangun lalu mendapatinya tidur di sofa. Bukankah itu artinya Aris menang dan dia mengalah?“Tidak akan terjadi,” gumam Dinara ketika berperang dengan isi pikir
Dengkuran Aris kembali terdengar meski kali ini tak lagi mengganggu Dinara yang mengalah pindah ke sofa. Rasa lelah dan mengantuk juga membuat Dinara tak lagi terganggu dengan sofa yang tentu saja terasa sempit dibandingkan tempat tidur empuknya. Hari ini begitu melelahkan bagi gadis itu, menghadapi Oma Lili lalu menghadapi Aris tentu saja menguras banyak energinya. Belum lagi rasa khawatir Dinara akan kelanjutan hubungannya dengan Kenzo yang belum jelas setelah kejadian malam di mana Aris menjemputnya paksa ke sana.Dinara pun mengistirahatkan tubuh, merasa masih perlu banyak energi untuk menyelesaikan satu persatu masalahnya. Gadis itu terlelap di sofa, dengan sebuah boneka dalam pelukannya, karena ia malas kembali ke tempat tidur di mana Aris berada untuk mengambil gulingnya.Sepasang suami istri itu terlelap di tempat masing-masing, memiliki impiannya masing-masing, memikirkan masalahnya masing-masing.Tempat tidur empuk dengan wangi khas Dinara membuat Aris kembali terbuai dalam
“Kalo Dinara ngerasa nyaman dengan pelukan Om, Nara boleh meluk kapan saja Nara mau.”Di mata Dinara, Aris malam ini sangat berbeda dengan Aris yang biasanya. Ia memang tak terlalu mengenal pria ini hingga sebuah perjodohan yang dicetuskan Oma Lili membuatnya berurusan dengan Aris. Lalu pria itu menjelma menjadi sangat menjengkelkan bagi Dinara ketika berkali-kali Aris membentaknya saat tengah bersitegang dengan Oma Lili mengenai perjodohan.Berkali-kali pula Aris ikut campur dengan kegiatannya, mendatangi lokasi balap liar yang didatanginya bersama Kenzo dan kawan-kawannya, menjemputnya ke puncak saat ia tengah bersenang-senang mencari pelipur lara, lalu melarangnya membawa kendaraan sendiri dengan menyita kunci mobilnya.Bagi Dinara, Aris adalah jelmaan bencana lain yang datang setelah kepergian kedua orang tuanya. Terlebih ketika Aris menyetujui perjodohan dengannya dan membuatny terjebak dalam situasi seperti sekarang ini.Akan tetapi, malam ini lelaki itu terlihat berbeda. Ada ka
Cahaya matahari yang masuk dari sela-sela jendela membangunkan Aris dari tidurnya. Dilirknya jam digital besar di dinding kamar Dinara yang bernuansa pink putih.“Huh! Kesiangan!” keluhnya sambil melempar kedua kaki menjejak lantai.“Gila! Udah jam segini!” Pria itu menepuk jidatnya ketika kembali melirik jam dinding digital.“Nara!” Aris memanggil. Ia tentu saja tahu bahwa gadis itu pun sudah kesiangan hari ini. Aris mendesis kesal ketika mendapati Dinara hanya menggeliat sebentar sebelum kemudian kembali diam tak bergerak.Mungkin ia akan membiarkannya saja, dari pada harus mengantar Dinara ke kampus lagi, rasanya lebih baik jika gadis itu tetap tidur saja dan tak merepotkannya hari ini. Apalagi Aris masih ingat informasi yang diterimanya dari Alea kemarin bahwa pagi ini ada meeting dengan tim promosi yang harus dipimpinnya.Tak memedulikan Dinara yang masih meringkuk di tempat tidur, Aris memilih diam-diam keluar dan mengambil pakaiannya yang tentu saja memang tak ada di kamar Dina
“Hiihhh! Kirain Om Aris macho, ternyata berhati hello kitty.”Kekesalan Aris makin menjadi melihat Dinara menatap padanya dengan bergidik.“Heh! Ini handuk di dalam kamar mandimu tadi.”“Loh, bukannya tadi katanya punya Om Aris.”Aris menggaruk tengkuknya. “Om bohong tadi.”“Makanya, Om. Jangan suka bohong.”“Udah mandi sana!” Aris memasang wajah kaku.Dinara berpaling, “Itu handuknya buat Om aja. Nara nggak mau make handuk bekas Om Om penyuka hello kitty.”“Sialan kamu, Nara!” Aris melotot, tetapi gadis itu sudah hilang di balik pintu kamar mandi.“OM ARIS!!! KENAPA BERANTAKIN BARANG-BARANG NARA!!”Dan ia masih mendengar teriakan kesal Dinara dari dalam kamar mandi. Aris baru menyadari bahwa ia belum sempat mengembalikan botol-botol peralatan mandi Dinara tadi ke tempatnya semula sebelum keluar dari sana. Ia memilih buru-buru mengganti pakaian, lalu keluar dari kamar Dinara sebelum gadis itu selesai dengan kegiatan mandinya.Seperti saat mendapati Dinara di depan kamar mandi ketika m
Aris memarkirkan kendaraannya di parkiran khusus untuk presiden direktur Tulip. Beberapa orang karyawan menyapanya dengan hormat. Di Tulip, Aris mendapatkan kehormatan dan penghargaan. Tak ada yang menyangka bahwa seorang anak yatim piatu yang puluhan tahun lalu tinggal berdesakan di sebuah panti asuhan itu kini telah menjelma menjadi seorang yang disegani dan dihormati. Oma Lili sudah memberikan gemerlap dunia ini dalam genggamannya.Pria itu terus melangkah, sementara Pras yang sudah menunggunya di depan tadi mengikuti langkah Aris dari belakang. Begitulah perlakuan yang diterima Aris sehari-hari, ditunggui dengan setia oleh seorang asisten muda yang dulunya adalah orang kepercayaan kakak angkatnya, lalu dihormati oleh setiap orang di perkantoran ini yang berpapasan dengannya. Pengabdian, mungkin sebuah kata itulah yang kini tengah dijalani Aris, karena setelah derajad hidupnya diangkat tinggi-tinggi oleh keluarga angkatnya, kini saatnya ia mengabdi dan menuruti semua keinginan Oma
“Ngapain ke sini? Mas Aris ada meeting sebentar lagi.”Aris mengabaikan kalimat Alea dan memilih meraih tangan gadis itu lalu mengajaknya ke bagian paling atas.“Aku nggak mau putus, Lea. Aku nggak bisa.”“Kita hanya belum terbiasa, Mas. Tadi malam, sesuai dengan isi pesanku ke Mas Aris, aku emang nggak bisa tidur. Beberapa bulan terakhir aku udah terbiasa dengan obrolan malam dari Mas Aris. Dan mungkin tadi malam hatiku sedang mencari itu, tapi tenang aja, Mas. Aku pasti akan membiasakan diri.”Aris menghela napas. Tadi malam sebelum tenggelam dalam obrolan yang dalam bersama Dinara, ia sudah berusaha mengobrol seperti yang biasa dilakukannya pada Alea, tetapi justru gadis itu yang menolak dan hanya membahas pekerjaan. Lalu ia tak lagi memegang ponselnya ketika Dinara dan semua tingkahnya mengalihkan dunia Aris semalam tadi.“Kenapa Mas Aris terlambat hari ini? Apa Mas juga nggak bisa tidur tadi malam?”Aris menggaruk tengkuknya. Bagimana ia menjawab pertanyaan Alea ini? Semalam ia m
“Mana ada dokter yang begitu, Om.”“Huhh! Tapi empat puluh hari itu lama, Naraaa! Gimana nasib Om coba?”Dinara mencibir. “Dih! Biasanya juga banyak ide banyak cara banyak ....” Kalimat Dinara tak selesai, karena pria yang sedang digodanya itu kini menarik tangannya dengan sedikit paksaan.“Ikut Om!”“Ke mana?”“Kamar mandi.”“Hah?!”“Tanggung jawab, Nara! Kamu bikin Om jadi kepikiran banyak ide banyak cara.”“Ck!”“Nara ....” Aris kembali memanggil.“Hmm.”“Kalo kata Mama mata cokelat ini dari ibu kandung Om, sekarang Nara tau kan dari mana nakal dan liarnya Om?”Dinara menautkan alis.“Kayaknya itu warisan dari laki-laki nakal dan liar yang sudah membuat Om terlahir ke dunia.”Ada nada getir dari suara Aris, dan Dinara yang memilih untuk segera menetralkan suasana.“Tapi ... kayaknya Nara harus berterima kasih ke orang itu, Om.” Dinara menghampiri lebih dekat. “Karena Nara suka Om Aris yang nakal dan liar seperti ini,” bisiknya lagi.Aris menggigit bibirnya, kegetiran itu sudah berl
Sambil mengenggam selembar foto di tangan kirinya, Aris menggenggam surat itu dengan tangan kanannya lalu mulai membaca.-Aris anakku, wanita cantik di foto ini adalah ibu kandungmu, Nak. Namanya Cecilia, jangan tanyakan mengapa Mama bisa menemukan identitasnya, Papamu melakukan semua itu ketika menyadari betapa Mama menyayangi Aris seperti Mama menyayangi Aldo. Sekarang Aris tahu kan dari mata bola mata cokelat Aris? Ya, itu dari garis keturunan ibumu, Nak.Jika Aris membaca surat ini, itu artinya Mama sudah tak ada lagi di dunia. Mama sengaja hanya memberikan selembar foto ini untuk Aris, tanpa menyertakan keterangan apa pun tentang Cecilia, karena Mama dan ibumu sudah saling berjanji saat kami bertemu.Cecilia meminta agar kamu tak mencarinya, Nak. Bukan karena dia tak menyayangi Aris, tetapi karena ia tahu bahwa Aris sudah menemukan keluarga yang jauh lebih berarti dari pada hanya sekadar ikatan darah. Ibumu sudah memiliki keluarga dan bahagia dengan keluarga barunya, sedan
“Ulangi sekali lagi, Dok.”“Ini alatnya mungkin rusak.”“Coba di bagian yang ini, Dok.”Hanya suara perintah Aris yang terus menerus terdengar di ruang USG sebuah rumah sakit internasional dengan tenaga dokter kelas atas. Dokter wanita yang memeriksa Dinara bahkan harus sesekali menyeka peluhnya ketika mendapati tatapan mematikan Aris.“Ini sudah dicoba berkali-kali, dan kondisi bayinya memang sedang memeluk lutut.” Dokter dengan name tag Rindy itu kembali menjelaskan sambil mengusap kening.Permintaan kliennya kali ini cukup membuatnya repot. Hasil USG harus memperlihatkan jenis kelamin sang bayi, sementara posisi bayi yang terlihat di layar tak menampakkan jenis kelaminnya.“Nggak baik buat Ibunya kalo terlalu lama bersentuhan dengan alat-alat ini.” Sang dokter masih berusaha mengingatkan klien VVIP yang sangat sulit untuk dikendalikan itu.“Tapi aku mau tau jenis kelamin anakku, Dokter Rindyyy!” Aris mendelik menatap papan nama wanita berjubah putih itu.Sayangnya, tatapan tajam Ar
Rambut Aris yang masih basah namun sudah tersusun rapi sedikit mengganggu Dinara. Jika saja tak sedang mengibarkan bendera perang, ia tentu sudah akan mengacak-acak kembali rambut pria itu.“Masih marah?” Tanpa sungkan Aris duduk di sofa di samping Dinara. “Padahal omelet buatanku sudah dihabisin.” Aris masih menggumam menatap piring kosong di atas meja.“Omeletnya nggak enak.”“Oiya? Nggak enak aja ludes gitu.” Aris terkekeh.“Ck! Nanti Nara bayar omeletnya!”Aris terkekeh, menempelkan punggungnya di sofa tanpa melepaskan pandangan matanya dari Dinara.“Seksi ...,” gumamnya. “Om rasanya pengen gigit kamu, Nara. Udah belum merajuknya?”Merasa kemarahannya sama sekali tak berarti bagi Aris, Dinara menoleh dengan tatapan tajam.“Keluar dari kamar Nara, Om. Nara mual cium parfum Om Aris.”Akan tetapi, Aris justru semakin tertawa lebar. “Jangan memutarbalikkan fakta Nara sayang. Bukannya tiap malam Nara tidur meluk kaos Om?”Blush! Pipi Dinara merona merah. Beberapa malam ini ia memang ti
“Maaf ...,” ucap Pras sesaat setelah melepaskan bibirnya dari Alea. Gadis itu hanya menatap pasrah. Dari sekian banyak interaksinya dengan Pras, ini adalah untuk pertama kalinya Pras melakukan hal seekstrem ini padanya.Dada Aris bergerak naik turun sepeninggal Pras dan Alea. Ciuman sepasang kekasih itu ternyata mempengaruhinya dengan begitu kuat. Ia masih bisa melihat Alea meliriknya sekilas tadi. Dulu ciuman seperti itu sudah menjadi kebiasaannya dengan Alea setiap hari, maka Aris dengan jelas-jelas merindukan itu. Pria itu menyugar kasar rambutnya. Hanya Dinara yang bisa membuat gejolak di dadanya ini berhenti, tapi bagaimana ia bisa membujuk wanita hamil yang masih marah padanya itu?***Oma Lili kini sudah berada di rumah. Kondisi Dinara yang tengah hamil tak memungkinkan wanita itu setiap hari bolak balik ke rumah sakit, maka Aris memutuskan Oma Lili-lah yang kembali ke rumah dengan semua peralatan medis yang masih melekat di tubuh wanita renta itu. Sejak Oma Lili kembali ke rum
“Ini perbuatan salah satu penggilamu.”Aris menyipitkan mata memperhatikan beberapa berkas yang disodorkan Alea di atas meja kerjanya.“Dokter Oki?” gumam Aris.“Ya. Dia yang mengirim foto-foto itu ke Nara. Belakangan ini dokter Oki mengirim orang untuk mengikutimu, lalu membidik momen-momen seperti yang ada di foto yang dilhat Nara.”Aris menghela napas berat. Ia bukan tak mencurigai dokter kepercayaan ibu angkatnya itu, tetapi kedekatan dan jasa dokter Oki pada keluarga Oma Lili selama ini juga tak bisa diabaikannya begitu saja.“Oke, makasih atas kerja kerasmu, Alea.” Aris mengangguk pada gadis cantik di depannya. “Ehhh! Tapi tunggu! Bukannya aku nyuruh Pras untuk menyelidiki ini? Kenapa kamu yang melaporkan?” Mata Aris beralih menatap sosok pria yang lebih memilih berdiri mengambil jarak beberapa meter dari meja kerjanya.“Kamu udah ngasih beban pekerjaan terlalu banyak ke Pras, Mas. Dia nggak bisa memiliki kehidupannya sendiri dengan tanggung jawab yang Mas Aris bebankan, padahal
Terbangun dengan Aris di sampingnya, Dinara tersenyum mendapati pria yang semalaman mengingkari janjinya untuk tak membuatnya kelelahan itu masih tertidur lelap. Jemari Dinara bergerak, mengelus pelan rahang Aris yang terasa kasar oleh rambut rambut halus yang tumbuh di sana.“Morning, Wife.” Aris menggeliat, mengubah posisi tidurnya lalu kembali melingkarkan lengannya memeluk Dinara.“Nara lapar, Om. Pengen makan omelet.”Mata Aris membuka malas. “Om masih ngantuk, Nara. Kamu sih semalaman udah bikin Om kelelahan.”Dinara meraih bantal, lalu memukul kepala Aris dengan kesal. “Om tuh yang keterlaluan!”Aris tertawa. “Ntar malam lagi, ya.” Tangannya mengelus perut Dinara. “Senang ditengokin Daddy kan, Nak?” Bujukin Mommy ya biar diizinin sering sering nengokin kamu.”“Nggak! Nara mau konsultasi ke dokter kandungan dulu, Om.”“Ya udah, nanti
“Ris.” Dinara sudah keluar dari ruang VVIP di mana Oma Lili dirawat ketika Aris masih di dalam. Beberapa menit yang lalu, Dinara mengeluh mual dan kesemutan di sana sehingga Aris memutuskan untuk membawa wanita hamil itu untuk pulang.Aris menaikkan alisnya, menunggu dokter Oki kembali bicara.“Kamu yakin mau bawa Oma pulang?”“Ya. Aku dan Nara nggak bisa selalu berada di sini. Kondisi Nara juga lagi hamil dan kamu liat sendiri dia masih sering mual seperti tadi. Akan lebih baik jika Oma di rumah saja, Nara bisa punya waktu lebih banyak bersama Oma.”Dokter Oki mengangguk angguk. “Aku akan mengurusnya.”“Oke, makasih.” Aris menepuk pundak dokter Oki, tetapi baru saja hendak melepas tangannya dari pundak dokter Oki, Aris menghentikan langkah ketika wanita itu menahan punggung tangannya di sana.“Oma Lili mungkin tak akan bertahan lama lagi, Ris. Organ organ vitalnya sudah sanga
Menghadapi sosok renta yang ternyata masih terbaring seperti sebelumnya di atas ranjang rumah sakit, Aris terlihat kesal menatap dokter Oki.“Aku nggak bohong, tadi Oma merespon.” Dokter Oki yang seolah tahu kekesalan Aris, menjelaskan tanpa ditanya.“Dokter gadungan.” Meski hanya menggumam, tetapi suara Aris bisa terdengar jelas oleh dokter Oki dan Dinara.Bugh!Aris hanya meringis ketika dokter Oki meninju lengannya. “Jangan bicara sembarangan! Kurasa kamu tahu mengapa Oma Lili bertahun-tahun menggajiku sebagai dokter pribadinya. Karena beliau tak pernah salah menilai orang, kecuali ....”Aris menggerakkan alisnya naik, menoleh pada dokter Oki yang bicara padanya dengan suara yang sangat pelan.“Kecuali salah menilai anak angkatnya.” Dokter Oki lanjut bicara.Dokter Oki memang sudah bertahun-tahun menjadi dokter keluarga Oma Lili. Wanita yang usianya hanya terpaut beberapa tahun di baw