Lien Hua mendelik, Jiao Yu menahan serangannya. Di memutar tubuh dan berbalik menendang Jiao Yu. "Jendral!" pekik Ming Hao melihat Jiao Yu terpukul mundur. "Kenapa kau memukul jendral? Salah apa dia padamu!" tanyanya geram. Entah makan apa gadis itu hingga sebrutal ini. Jendral Jiao Yu yang tak berdosa pun kena hantamannya. "Dia menghalangiku.""Astaga. kau gila, ya. Jendral menyelamatkanmu sebelum kau jadi pembunuh." ujarnya kesal. "Bagaimana keadaanmu, Jendral Yu?" Tergopoh-gopoh dia menghampiri Jiao Yu. Yuwen menatap waspada, sungguh di luar perkiraan Lien Hua menjatuhkan pukulan pada Jendral Jiao Yu. Namun tidak masalah karena dia sudah siap dengan apapun yang akan terjadi selanjutnya. Gong Fei sudah memasang kuda-kuda untuk menyerang namun Jiao Yu memberi isyarat untuk berhenti. Bibir jendral gagah itu mengulas senyum membuat Ming Hao terkesima. Entah terbuat dari apa hatimu Jendral, kebaikanmu seluas samudera. Aku berjanji akan mengabdikan seumur hidupku untukmu. "Sebai
Jia li menenteng hasil buruan Arumi sumringah, senyumnya mengembang tanpa henti sambil melirik 3 ekor ayam hutan di tangannya. Usahanya tidak sia-sia. Anak itu semakin berkembang. Mungkin dia sedikit bersikap keras, namun itu sengaja dia lakukan untuk melatih kepekaan dan keterampilan. Jia Li tidak pernah salah. Dia tahu sejak pertama kali melihatnya tergeletak di depan pintu rumah. Anak itu seorang pemburu. Sedangkan pemuda itu tampak sangat jelas menunjukkan rasa tidak sukanya pada Jia Li. "Apa Bibi memberi kami makanan yang sama?" ujarnya mempertanyakan seekor burung panggang yang tersaji. "Hemm." Jia Li mengangguk singkat. "Gadis itu bersikeras memberi seekor hanya untuk karena kau sedang terluka, berterimakasihlah padanya."Sepasang mata itu berbinar-binar lalu bersuara lantang, " Maaf, Arumi. Terimakasih. Ini burung panggang terenak yang pernah aku makan,"ujarnya sebelum menyantapnya dengan lahap. Keesokan harinya dia menatap tajam saat Jia Li memberinya sup ayam dalam porsi
Yeye terlihat gelisah, matanya melirik cermin penghubung yang tergeletak di ranjang. Tidak ada kabar sama sekali sejak kepergian Lien Hua beberapa minggu yang lalu. Kenapa anak itu lupa memberi kabar. "Ketua An, ini minumanmu." Paman Li masuk sembari membawa mampan berisi teh hijau. Melihat mata Yeye yang kerap melirik cermin, dia sudah tahu apa yang terjadi. "Apa Lien Hua belum memberikan kabar?" Tangannya cekatan menuang air ke dalam kelas dan menyodorkannya pada pria berambut putih itu. Yeye menggeleng lemah, dia menatap malas gelas di tangan paman Li, "Aku belum haus, letakkan saja di meja," ujarnya mengenyakkan pinggul ke kursi. Paman Li melakukan hal yang diperintahkan, "Bagaimana kalau Ketua yang menghubungi mereka duluan. Ketua kan sudah faham kelakuan anak nakal itu, mungkin dia keasyikan bermain hingga lupa memberi kabar," ujarnya memberi saran. "Benarkah?" tanya pria tua itu ragu-ragu. "Kita coba saja." Paman Li mengambil cermin dan menyerahkan pada Yeye.Cermin berta
"Wanita itu?" Yeye menahan nafas. Satu-satunya ksatria wanita dengan anugerah mata dewa yang mendampingi nenek. Wanita gila yang membunuh musuh dengan sekali kedipan mata. Kenapa dia tiba-tiba muncul, terlebih bersama Zhan An dan Arumi. Apa gadis itu berkaitan dengan perempuan gila itu? "Menurutmu, apa perempuan itu mencederai mereka?" tanyanya khawatir? "Bukankah sudah kubilang, sebaiknya kau membuka energimu. Hanya kau yang punya kemampuan merekam sedangkan aku dan Chyou hanya bisa melihat." bentak Qui gusar. Dia penasaran tentang apa yang mereka bicarakan, jika Yuze bersama mereka tentu mereka akan mengetahui pembicaraan tadi, Namun yang sangat mengejutkan perempuan gila itu melihat keberadaannya dan mencengkeram lehernya kuat. Hampir saja dia tidak bisa kembali jika Arumi yidak memanggilnya secara tiba-tiba. Yeye memutar tangannya gelisah, perempuan gila itu sudah tak terdengar namanya sejak lama, kenapa sekarang dia muncul bersama Zhan An. Apa ada yang dia rencanakan. Dia mene
"Haa!" Gadis itu terpekik, tubuhnya terlempar sempurna. Jia Li yang mengintip di pepohonan berlari cepat hendak menangkapnya. Namun langkahnya terhenti melihat sesosok berbaju hitam yang menangkap Arumi. Arumi terpegun, tubuhnya seakan melayang. Dia membuka mata dan melihat seseorang dengan penutup wajah yang berkibar tengah mengendongnya. Dia memberanikan diri untuk mengintip, namun dia kecewa karena orang itu menutup wajahnya dengan topeng, walau hanya sebatas mata. "Terimakasih," ujarnya saat orang asing itu menurunkannya. Kepala tertutup weimao itu mengangguk. "Kau hendak kemana?" tanya Arumi penasaran, selama tinggal di sini dia belum pernah melihat orang lain selain Jia Li. "Aku mencari sesuatu." Suara bass itu begitu ramah di gendang telinga Arumi. Aah. Rupanya dia seorang pria. "Apa kau pernah bertemu makhluk-""Makhluk apa?" potong Arumi cepat. "Melayang." jawabnya pelan. Ingatan Arumi kembali pada malam mencekam saat malam purnama. "Aah. Hantu itu?" tanyanya sambil m
Yongsen dikejutkan kumpulan pasukan lembah yang menyemut di satu titik. Pagi ini dia berencana ke barak untuk menemui monster banteng. Dia memanggil seseorang dan menanyainya, "Apa yang menyebabkan kalian berkerumun seperti itu.""Tao menemukan mayat di pintu masuk, seorang perempuan. Tubuhnya seakan terbakar." Mayat perempuannya? lembah ini sangat jauh, jalan yang terjal membuatnya sulit untuk untuk didatangi. Bagaimana mungkin. Dia mendekat dan memeriksa keanehan ini. Matanya seketika terbelalak melihat mayat yang diceritakan. "Bubar. Kembali ke barak," perintahnya tegas. Mereka lalu bergegas meninggalkanku tempat itu dan kembali ke barak. Mana berani mereka membantah Yongshen. Laki-laki dengan penutup wajah itu terhenyak, dia bersimpuh dan menunduk memandangi wajah itu, "She Xian," gumamnya tersendat mengucapkan sebuah nama. Penuh kehati-hatian dia mengangkat tubuh She Xian dan membawanya ke kamar dingin. Dia menelentangkan tubuh dingin She Xian di atas meja khusus dari lem
Arumi kembali dengan wajah muram, ayam yang berhasil dia tangkap disimpan begitu saja tanpa menegur Jia Li. Wanita paruh baya itu mengernyit, tidak biasanya gadis bermata besar itu terlihat begitu tak bersemangat. Apa terjadi masalah dengan pendekar Awan? Tadi dia sempat mengintip, mereka sedang berlatih memanah dan terlihat sangat akur. "Kai, besok kita pergi," katanya pada Zhan An lalu berbaring dan meringkuk. Tubuh langsing itu membelakangi Zhan An. "Kau kenapa?" tanya Zhan An heran. "Apa ada masalah? apa wanita itu menyakitimu?" tanyanya khawatir. "Aku lelah." Arumi menarik selimut dan menutup seluruh tubuhnya. Zhan An mendekat dan memeriksa dahi Arumi, Jangan-jangan gadis itu demam kerena terlalu lelah. "Aku tidak sakit." Arumi menangkap tangan Zhan An."Apa kau menyembunyikan sesuatu?" tanyanya menatap dalam ke netra Arumi. Arumi memejamkan mata."Ya.""Katakan.""Aku ingin pulang ke rumahku. Bisakah?"Sebuah pukulan seakan mengarah ke dada pemuda itu sekarang. Dia terdiam
"Zhan An!" Lien Hua langsung mengarahkan sikunya pada rahang Zhan An. Namun Zhan An menggerakkan sebelah tangan dan membuat tubuh gadis itu tertahan. "Diam saja di situ. Urusanku dengan pencuri ini," ujarnya dingin. Diam-diam tangan Yuwen menarik kipas di pinggangnya. kipas berputar melesat menghantam kepala belakang Zhan An. kunciannya lepas seketika. Yuwen menarik Lien Hua dan membawanya menyingkir. "Hentikan Kai." Arumi merentangkan tangannya melindungi Lien Hua dan Yuwen. "Arumi kau melindungi pencuri itu? kau kan tahu aku membutuhkan Amethyst.""Tapi aku tidak melihat Amethyst di tubuh Yuwen," katanya pelan. "Bisa jadi dia menyembunyikankannya di tempat lain.""Kau bisa menggeledah kamarnya," sahut Lien Hua sambil menatap Yuwen. mengerti isyarat itu Yuwen pun setuju dengan pendapat gadis itu. Sebenarnya apa yang kau cari?" tanyanya pada Zhan An yang sibuk menggeledah kamar Yuwen."Kristal Amethyst.""Amethyst?""Iya. Dalam kotak kayu berukiran kecil."Mendengar itu Yuwen men
Arumi bersiap-siap menunggu jemputan dari Jendral Jiao. Setelah ditinggalkan Kai begitu saja, dia merasa sebatang kara, dan bingung harus kemana. Beruntung Jendral Jiao menawarkan solusi untuk menetap di kediamannya sementara sampai Arumi lebih sehat sambil memikirkan arah tujuannya. Awalnya dia berniat tinggal di penginapan Niu, namun kepingan uangnya menipis. Tawaran yang diajukan Jendral Jiao sangat menarik. Dia akan merasa aman bersama petugas pemerintah itu, selain itu tentu dia tidak perlu repot mengeluarkan uang untuk membayar penginapan dan makanan. Ini sangat luar biasa, hanya orang bodoh yang akan menolaknya."Nona, jemputan anda sudah datang." Suara laki-laki terdengar setelah ketukan pintu. Rupanya orang yang akan membawanya ke kediaman Jendral Jiao sudah tiba. Memang tadi dia meminta izin kepada Jendral Jiao untuk mengambil pakaian dan Barang-barangnya dari wisma Niu sebelum mereka berangkat ke kediaman Jendral Jiao. Jendral Jiao mengiyakan dan berkata akan mengatur or
Tubuh itu terbungkuk, dahi dan pipinya mengernyit, darah tersembur dari mulut, namun kedua tangannnya masih mengontrol gelembung udara yang menyelimuti Qui dan Chyou. melihat musuhnya tak bergeming, She Xian kembali mencungkil perut Yeye, menusukkan kelima jari runcing ke dalam perut Yeye dan mengeruk darah dari lubang itu.Air mata menetes dari pelupuk mata Qui, hatinya terasa tertusuk ribuan jarum melihat Yuze yang berjuang sekuat tenaga, mengobarkan nyawa demi melindungi mereka. Mata itu terpejam, tak sanggup melihat ketiadaan Yuze yang sangat menyakitkan.Balon udara terangkat dan terbang menjauh, melindungi mereka dari serangan Hei An. Setelah menerbangkan gelembung udara, lutut pria tua itu terjatuh, nafasnya tersengal, tangannya lunglai se lunglai tubuhnya yang kehabisan tenaga, darah membanjiri tubuh bagian bawah. Dia tidak mati sia-sia karena berhasil menyelamatkan Amethyst, kedua saudaranya dan Lien Hua. Dia sudah menang. Senyum terukir dari bibirnya yang dipenuhi darah,
"Di mana Amethystku." Hawa tiba-tiba terasa panas, mereka sontak menoleh, pria besar berambut merah menatap garang. Bola mata berwarna merah darah itu menguliti satu persatu wajah kelelahan di hadapannya. "Siapa kau?" tanya Qui menatap tak kalah tajam, tubuhnya bersiaga, hawa panas yang menyertai kedatangan pria bermata merah itu membawa kesuraman.Ujung matanya melihat dedaunan yang menguning lalu layu seketika, bahkan kuncup bunga menghitam dan kering. "Aku pemilik Amethyst, cepat serahkan padaku, dan jadilah hambaku. Maka kalian akan kuampuni" Dia mengangkat telapak tangan, percikan api muncul yang kelamaan membentuk gumpalan bola api. Sambil menyeringai memperlihatkan giginya yang runcing, Hei An mempermainkan bola api di telapak tangannya memantul dan berputar-putar mengelilingi mereka satu persatu. Bola api pecah dan menyebar ke segala penjuru saat Hei An menjentikkan jemari. Percikan menghantam dan membakar segala sesuatu yang mengenainya. "Lien Hua, cepat pergi." Yeye men
"Ayah,ini calon istriku." Tiba-tiba Chen Yu datang memperkenalkan seorang wanita cantik, menurutnya, meskipun perkenalan mereka singkat namun sudah membuatnya mantap menjadikan Li Wei sebagai wanita yang akan mendampinginya sampai akhir usia. 'Apa kau yakin dengan keputusanmu Chen-chen?" tanya Yuze setelah Li Wei pulang. Meski sudah dewasa dia tetap memanggil anak semata wayangnya itu dengan nama Chen-Chen, Nama panggilan yang diberikan mending istrinya."Kenapa Ayah berkata seperti itu? Apa karena dia terlalu cantik?"Yuze tertawa spontan, "Apa yang kau katakan," tanyanya merasa geli. "Ayah tidak menyukainya karena dia terlalu cantik dari Ibu," rajuk anak itu kesal. "Kau ini." Yuze menepak bahu anaknya ringan. "Tidak ada yang lebih cantik dari Ibumu.""Kalau begitu apa karena dia bangsa siluman? bukankan aku juga setengah siluman?" Pria bermata sipit dengan alis tegas itu menatap Yuze penasaran. "Bukan seperti itu, Ayah tidak pernah mempermasalahkan soal status dan lain sebagainy
"Ada apa?"tanya Arumi saat gadis itu tampak kebingungan. Dia terlihat tidak fokus dan selalu menoleh ke samping."Sepertinya, ada sesuatu. Sebentar."Lien Hua berdiri dan membawa serta cermin hingga Arumi ikut melihat. " Paman, siapa mereka?""Wanita tidak tahu diri," jawab paman Li dengan suara dingin. Arumi sempat terkejut mendengar jawaban itu karena paman Li menurutnya adalah orang yang paling sabar di Wangliang. "Arumi apa kau penasaran siapa wanita itu?" bisik Lien Hua dengan muka jahil seperti biasa. "Aku penasaran," sahut Arumi cekikikan. Suara tawa itu memaksa Zhan An, Jiao Yu dan Ming Hao memberinya tatapan heran. "Apa yang membuatmu gembira?" Zhan An mendekat dan melihat apa yang mereka bicarakan. "Wanita tidak tahu diri." "Wanita tidak tahu diri?" Zhan An mengamati wajah sesorang wanita yang tampak lewat cermin ajaib, seketika wajahnya mengeras. Secara kasar dia merampas cermin dan melemparkannya hingga berkeping. Sontak Arumi melongo dan merasa aneh dengan tindakan
Arumi terdesak, tubuhnya jatuh terduduk dan terpojok di dinding. Pria bercadar itu menarik tombak lantas menekannya pada leher Arumi. Gadis itu meringis, ujung tombak yang tajam menggores kulit dan menimbulkan sensasi nyeri. "Kau tidak bisa membunuhku," ujarnya menantang, balas menatap tajam, "Aku tidak mau mati di sini."Tubuh tegap itu berhenti, seakan kalimat yang keluar dari mulut Arumi mengusiknya. Melihat hal itu Arumi mengedarkan pandangan, dia harus mencari sesuatu untuk melepaskan diri. Tiba-tiba seekor srigala berjalan dari arah sel, matanya memantau Arumi yang tampak sangat terkejut. Srigala itu mendekat lalu terbang melompat ke arah mereka. "Dibelakangmu!" seru Arumi dengan mata melotot, sontak Yongshen melepaskannya dan menahan serangan srigala dengan tombaknya. Tubuh Yongshen terjepit, dia mengumpulkan kekuatan di kaki dan menghantam perut binatang buas itu, lalu berputar dan melepaskan diri. Matanya mencari keberadaan Arumi namun gadis itu telah menghilang. Gadis ya
Ming Hao tengah menyiapkan tempat tidur Jendral Jiao Yu. Malam ini rencananya Jendral akan tidur di kantor. Setelah melakukan penyelidikan di desa Nahuy, Jendral tampak sangat lelah, jadi dia ingin menyuruh pria itu cepat beristirahat. Seharusnya diusianya sekarang Jendral Jiao Yu sudah memiliki istri yang pengertian dan lembut, namun dia terlalu gila bekerja sehingga selalu mengabaikan perintah orangtuanya untuk menikah. Oleh karena itu Raja menurunkan titah untuknya mengawasi dan membantu Jendral Jiao Yu, meski awalnya tidak setuju namun Jendral menerima dan membiarkan Ming Hao mendampinginya sampai saat ini. Setelah merapikan tempat tidur dan menghidangkan minuman hangat. Pria berkulit putih itu tersenyum membayangkan pujian Jiao Yu padanya. Suara gaduh dari arah tengah membuat Ming Hao penasaran, apa Gong Min menginterogasi pengacau festival lampion? suara teriakan terdengar keras. Meski sangat tegas Gong Min tidak pernah melewati batas. Penciumannya menangkap bau benda terbak
Ming Hao menekuk wajah melihat senyum kemenangan di wajah Arumi. Gadis itu terlalu cantik, sangat berbahaya. "Nona-""Panggil aku Arumi. Itu namaku," jawab Arumi masih menahan senyum. "Baik Nona Arumi, dimana tepatnya anda bertemu hantu yang Nona maksud," tanya Jiao Yu sambil menyodorkan segelas air, Dia ingin mendengarkan keseluruhan kisah gadis dihadapannya. Hal itu rupanya dipandang sengit oleh Zhan An dan Ming Hao. "Di mana, Kai? Aku tidak tahu namanya." Gadis itu menyikut lengan Zhan An. "Di hutan barat, pesisir desa Nahuy. Tapi sepertinya dia sudah menghilang dari tempat itu.""Kau pergi ke gua itu lagi? Kapan kau melakukannya? Bukankah kau terluka parah dan tertidur seharian?" cecar Arumi heboh, dia merasa tidak pernah melihat Zhan An beranjak dari pembaringan."Kau tidak perlu tahu. Kau terlalu sibuk mencari ayam," sahutnya dingin. "Apa kau bilang? Aku mencari ayam untuk memberimu makan. Bagaimana kalau dia menyerangmu lagi, kau mau mati?" Semprot gadis itu kesal. "Jadi
Mata gadis itu terbelalak melihat kodok yang berterbangan dari buku yg dilemparnya. Siapa sangka buku yang didapatnya dari Jia Li adalah buku ajaib. Dia mengambil buku itu karena butuh waktu lama untuk menyiapkan busur dan anak panah. Sementara pria itu sudah hampir menggeledah Lien Hua. Katak itu menyerang tanpa ampun. Meski terlihat normal namun ketika dia membuka mulut terlihat gigi besar dan tajam layaknya seekor monster dengan mulut yang sangat lebar. Satu persatu pria berbaju hitam itu terjatuh saat tergigit kodok, tubuh mereka seakan luruh begitu saja, nyaris tanpa tulang. "Ap-apa maksudnya Lien Hua," jawab gadis itu terbata saat Lien Hua bertanya. Apa karena pasukan kodok itu menatapnya sebelum masuk ke dalam buku. Setengah ketakutan dan penasaran dia berjalan mendekati buku yang tertutup begitu pasukan kodok itu masuk ke dalamnya.Sementara Lien Hua mengikat para pria berbaju hitam dengan sprei dan tirai jendela yang dia tarik begitu saja. "Begitu banyak keanehan yang t