“Non, biar saya saja yang memasak, nanti pak Gunawan marah sama saya, Non,” ucap asisten rumah tangga Gunawan. Nesya tersenyum melihat asisten rumah tangganya sambil membuat bumbu sop kesukaan Gunawan, Nesya mengetahui makanan kesukaan Gunawan dari sekretarisnya. “Nanti kalau dia marah sama Bibi, biar saya yang marahin balik, Bibi tenang saja. Bos kejam itu tidak akan pernah bisa marah dengan istri cantiknya ini. Lihat saja,” ucap Nesya lalu melanjutkan memasaknya. “Tapi, Non.”“Sssttt! Bibi bantu cuci wortelnya saja.” “Baik, Non.” “Bibi, kopiku mana?” teriak Gunawan tiba-tiba yang baru saja bangun tidur. “Iya, Pak. Sebentar!” jawab bibi melihat Nesya. Nesya tersenyum memberi isyarat agar ia saja yang membuatkannya kopi.“Bibi lanjutkan ini ya, tinggal masukin wortel dan daun bawangnya. Biar saya yang buat kopi.” Bibi hanya mengangguk lalu Nesy membuat kopi untuk Gunawan, tak lupa ia bawakan kue risoles buatannya. “Halo, selamat pagi, Sayang. Ini kopinya dan ini kue buatanku,
“Iya kak Bintang. Aku baik-baik saja. Jaga diri kakak juga ya. Bye,” salam Nesya pada Bintang diakhir sambungan ponselnya."Siapa?” tanya Gunawan tiba-tiba di belakang Nesya, membuat dirinya terkejut.“Astagfirullah! Kau kenapa tiba-tiba datang! Kaget tahu!” kesal Nesya. “Kamu saja keasyikan telpon sampai suami pulang tidak tahu, telepon dengan siapa” saut Gunawan menatap Nesya.“Hubungan kita hanya status, jadi aku telepon dengan siapapun itu hak ku.” “Aku hanya bertanya, bukan melarang. Iya aku tahu, status kita hanya diatas kertas.” Gunawan kemudian mengangkat sambungan ponselnya karena sedari tadi berdering.“Ya, Rin. Jadi dong. Besok kau siapkan saja berkas untuk meeting di Solo.” Gunawan sekilas melirik Nesya yang menirukan ia bicara.“Menginap di hotel seperti biasa, satu kamar saja berdua sama kamu,” balas Gunawan dan masih melirik Nesya yang saat ini seperti kesal mendengar kalimat Gunawan pada sekretarisnya. “Ok, sampai ketemu besok.” Gunawan mematikan sambungan ponselnya
“Nes, aku tahu kamu sangat membenciku saat ini. Aku tahu kesalahanku padamu tidak bisa dimaafkan. Tapi, mengapa harus mertuaku yang menjadi pilihan terakhirmu?” Nesya seperti sudah lelah dengan semua pertanyaan Adipati tentang pilihannya menikahi mertua sang mantan. Ia juga lelah memberikan jawaban yang sama. “Mas, ini mungkin terakhir kali aku katakan padamu, setelah ini, tolong jangan pernah lagi bicara atau menanyakan hal serupa lagi padaku. Aku hamil anak mertuamu dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini semua juga salahmu, jika kamu jujur, mungkin aku tidak terjebak dengan pernikahan yang tidak aku inginkan.” “Maaf, Nes. Tapi aku harap kamu tidak jatuh cinta dengannya. Aku harap rasa itu masih untukku.” Adipati memandang Nesya penuh harap. Berharap masih ada cinta di hati Nesya untuknya. “Untuk itu, itu urusanku. Tidak ada yang tahu hati ini untuk siapa. Begitu juga dirimu, hanya kau yang tahu isi hatimu. Pulanglah, jangan sampai Sarah melabrak diriku lagi. Aku
Nesya saat ini sedang melihat ponsel Gunawan, ia berusaha membukanya tetapi sayang ponselnya menggunakan password. “Sial,” cicitnya melempar ponsel suaminya di atas tempat tidur. Kemudian ia berbaring diatas tempat tidur dan meraih ponselnya kembali.“Passwordnya apa sih?” gumam Nesya.“Nes, lihat hapeku?” tanya Gunawan tiba-tiba masuk ke kamar.Nesya mengangkat ponselnya.“Ini,” balas Nesya malas.“Kamu buka hapeku?” “Awalnya, tapi tidak bisa dibuka, semua di kunci. Aku seperti istri tidak dianggap. Tidak tahu isi hape suamiku,” balas Nesya lalu duduk melihat Gunawan yang juga duduk di sampingnya.Gunawan menatap Nesya dengan tajam. “Kamu curiga aku berbalas pesan dengan wanita lain?”Nesya menggeleng lemah. “Tidak, untuk apa? Kalau mau selingkuh terserah kamu, aku cuma mau lihat isi hape kamu, apa aku salah?” Nesya memasang wajah datar. Tetapi Gunawan menganggapnya cemburu. Gunawan menarik nafas dalam-dalam lalu mendekati Nesya.“Bagus, karena kamu tidak boleh membuka ponsel ini,
"Apa? di rumah sakit mana?” tanya Nesya terkejut karena sang mama masuk rumah sakit."Baik, aku kesana sekarang.” Nesya menutup sambungan ponselnya. “Mas! Mas …!” teriak Nesya memanggil Gunawan. "Ada apa sih, Nes. Masih pagi sudah teriak-teriak.” balas Gunawan membuka separuh pintu kamar mandi.“Mama, Mama masuk rumah sakit!” “Ha, kapan?” Nesya sambil menyiapkan baju untuk Gunawan.“Tidak tahu, bibi cuma memberitahu mana masuk rumah sakit.” “Ya sudah, tunggu sebentar.” Gunawan bergegas menyelesaikan mandinya.Nesya mengganti bajunya dan buru-buru menyiapkan bapa yang harus ia bawa.“Mas buruan!” teriak Nesya. Nesya berjalan kesana kemari seperti tidak memikirkan kandungannya membuat Gunawan yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampirinya."Kamu bisa pelan tidak? Kamu itu sedang hamil.” Gunawan menarik pelan tangan Nesya. "Aku, panik. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan mama,” balas Nesya yang suaranya bergetar menahan tangis. "Mama baik-baik saja dan sudah ditangani d
“Ma, secepat ini mama pergi menyusul papa. Nesya sama siapa ma. Apa mama tidak mau melihat Nesya mencari keadilan untuk diri Nesya. Sedikit lagi Nesya mendapatkan keadilan itu ma. Gunawan sudah jatuh hati dengan Nesya. Sedikit lagi bukti itu akan Nesya dapatkan,” batin Nesya diatas pusara sang mama. Nesya hanya bisa diam dan air matanya terus mengalir tanpa permisi. Untuk saat ini ia bingung harus melakukan apa. Dunianya serasa runtuh kehilangan orang yang sangat ia cintai setelah sang papa.Gunawan begitu setia menemani Nesya, merangkul dan mencoba memberikan semangat.“Sabar, Sayang,” ucap pelan Gunawan mencium pucuk rambut Nesya.“Nesya, pulang ya. Semua orang sudah pulang. Biarkan mamamu istirahat dengan tenang,” ucap Arya mengusap pundak sang adik.Nesya mengusap air matanya lalu bangkit dibantu Gunawan. Namun, tiba-tiba ia tidak sadarkan diri. Semua kerabat yang masih ada di pemakaman panik terlebih Gunawan dan Arya. “Nesya,” ucap Gunawan menepuk lembut pipinya, kemudian membop
Nesya duduk termenung di depan jendela besar rumah orang tuanya. Ingatannya kembali saat kedua orang tuanya masih hidup. Ingin sekali ia kembali ke masa lalu, kehidupan yang begitu harmonis bersama keluarganya. Namun, ia juga sadar, itu semua tidak mungkin terjadi. “Papa, mama. Mungkin ini jalan Tuhan yang terbaik. Aku akan melanjutkan hidupku. Kalian berdua sudah bersama, Nesya akan berusaha untuk menghadapi hidup ini tanpa kalian, Nesya pasti bisa,” batin Nesya lalu mengusap air matanya. Sudah satu minggu lebih, Gunawan juga masih begitu sedih melihat istrinya yang seolah belum menerima kepergian sang mama. Ia tahu rasanya ditinggal orang yang sangat dicintai. “Nes, makan dulu ya sebelum pulang,” ucap Gunawan sambil mengusap pundak Nesya.Nesya melihat Gunawan, pria dihadapannya itu sudah beberapa hari terakhir begitu perhatian padanya dan lebih protektif. Sebenarnya ia risih diperlukan seperti itu. “Mas, bisa tidak satu hari lagi kita menginap di rumah ini. Aku masih ingin dir
Nesya diam-diam ke ruangan kerja Gunawan, ia mencari beberapa berkas perusahaan penting. Ia tahu perusahaan suaminya itu sedang tidak baik-baik saja dan ia ingin mengambil alih perusahaan tersebut dengan bantuan sang kakak, Arya. “Dimana berkas perusahaan itu, hari ini aku harus menemukannya,” gumam Nesya mencari di lemari rak buku dan berkas penting lainnya. “Nes, kamu ngapain!” seru seseorang membuat Nesya terkejut.Nesya menoleh rupanya sang suami sudah pulang dari kantor.“Ah, ini aku cari buku yang kemarin kamu baca,” Nesya kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan.“Oh, Buku itu ada di laci meja nakas.” Gunawan menghampiri Nesya lalu memeluknya.“Kamu sudah makan,” tanya Gunawan masih memeluk Nesya.Nesya mengatur nafasnya. Ia takut ketahuan mencari dokumen penting perusahaan suaminya.“Belum, aku pengen makan ramen.”Gunawan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum melihat Nesya lalu mengusap perutnya.“Baiklah, kita ke restoran langganan kita.” Nesya tersenyum ti
Nesya membuka mata, lalu melihat suaminya yang masih tidur disampingnya sambil memegang perutnya. Nesya menghela nafas panjang, pelan-pelan ia menyingkirkan tangan suaminya dari perutnya. Tangan satunya meraih ponsel di meja nakas. “Ck, kenapa aku lupa mencharge hp ku,” keluhnya setelah melihat ponselnya mati.Ia melihat ponsel Gunawan dan mengambilnya, beberapa kali ia memasukkan password nya, namun tetap gagal. Nesya tersenyum miring, ia berniat membangunkan Gunawan yang masih tertidur. Ia baru ingat jika orang bangun tidur pasti sedikit linglung dan sudah pasti akan memberikan password tersebut.“Bangun, Mas. Mas.” Nesya menggoyang pelan bahu Gunawan.“Hem,” balas Gunawan masih memejamkan mata.“Aku pinjam hp kamu ya? Mau telpon kak Arya,” ucap Nesya pelan lalu mencium pipinya. “Hem.” masih dengan posisi yang sama. “Passwordnya apa?”“Tanggal lahir Sarah,” jawab Gunawan parau dan masih posisi yang sama. Nesya menghembuskan nafas kesal, bisa-bisanya ia tidak terpikir selama ini
Nesya berjalan santai di samping Gunawan saat memasuki kantor cabang yang dulunya tempatnya bekerja. Tidak peduli tatapan semua karyawan lain padanya, ditambah perutnya yang sudah mulai terlihat membesar dan Gunawan menggenggam tangannya dengan erat seolah tidak ingin melepasnya. Gunawan tersenyum bangga karena bisa mendapatkan Nesya yang begitu cantik, cerdas dan bisa dibilang primadona kantornya. Namun tidak dengan Shinta yang sudah tahu misi Nesya. Shinta hanya diam dan diam-diam mendukung apa yang dilakukan Nesya.Sesampainya di ruangan, Gunawan meminta Nesya duduk di sofa dan bersantai. Sedangkan dirinya meeting bersama karyawannya. “Nes,” panggil seseorang.“Shinta,” balas Nesya. Keduanya saling berpelukan melepas rindu karena sudah beberapa bulan tidak bertemu.“Apa kabar? Bagaimana jadi istri bos. Pasti pak bos manjain kamu ya?” goda Shinta membuat seulas senyum kecut dibibir Nesya."Iya sih, tapi aku masih benci sama dia. Misiku tetap masih sama, aku mau di masuk penjara.
Nesya diam-diam ke ruangan kerja Gunawan, ia mencari beberapa berkas perusahaan penting. Ia tahu perusahaan suaminya itu sedang tidak baik-baik saja dan ia ingin mengambil alih perusahaan tersebut dengan bantuan sang kakak, Arya. “Dimana berkas perusahaan itu, hari ini aku harus menemukannya,” gumam Nesya mencari di lemari rak buku dan berkas penting lainnya. “Nes, kamu ngapain!” seru seseorang membuat Nesya terkejut.Nesya menoleh rupanya sang suami sudah pulang dari kantor.“Ah, ini aku cari buku yang kemarin kamu baca,” Nesya kemudian menarik nafas dalam-dalam lalu membuangnya perlahan.“Oh, Buku itu ada di laci meja nakas.” Gunawan menghampiri Nesya lalu memeluknya.“Kamu sudah makan,” tanya Gunawan masih memeluk Nesya.Nesya mengatur nafasnya. Ia takut ketahuan mencari dokumen penting perusahaan suaminya.“Belum, aku pengen makan ramen.”Gunawan melepaskan pelukannya. Ia tersenyum melihat Nesya lalu mengusap perutnya.“Baiklah, kita ke restoran langganan kita.” Nesya tersenyum ti
Nesya duduk termenung di depan jendela besar rumah orang tuanya. Ingatannya kembali saat kedua orang tuanya masih hidup. Ingin sekali ia kembali ke masa lalu, kehidupan yang begitu harmonis bersama keluarganya. Namun, ia juga sadar, itu semua tidak mungkin terjadi. “Papa, mama. Mungkin ini jalan Tuhan yang terbaik. Aku akan melanjutkan hidupku. Kalian berdua sudah bersama, Nesya akan berusaha untuk menghadapi hidup ini tanpa kalian, Nesya pasti bisa,” batin Nesya lalu mengusap air matanya. Sudah satu minggu lebih, Gunawan juga masih begitu sedih melihat istrinya yang seolah belum menerima kepergian sang mama. Ia tahu rasanya ditinggal orang yang sangat dicintai. “Nes, makan dulu ya sebelum pulang,” ucap Gunawan sambil mengusap pundak Nesya.Nesya melihat Gunawan, pria dihadapannya itu sudah beberapa hari terakhir begitu perhatian padanya dan lebih protektif. Sebenarnya ia risih diperlukan seperti itu. “Mas, bisa tidak satu hari lagi kita menginap di rumah ini. Aku masih ingin dir
“Ma, secepat ini mama pergi menyusul papa. Nesya sama siapa ma. Apa mama tidak mau melihat Nesya mencari keadilan untuk diri Nesya. Sedikit lagi Nesya mendapatkan keadilan itu ma. Gunawan sudah jatuh hati dengan Nesya. Sedikit lagi bukti itu akan Nesya dapatkan,” batin Nesya diatas pusara sang mama. Nesya hanya bisa diam dan air matanya terus mengalir tanpa permisi. Untuk saat ini ia bingung harus melakukan apa. Dunianya serasa runtuh kehilangan orang yang sangat ia cintai setelah sang papa.Gunawan begitu setia menemani Nesya, merangkul dan mencoba memberikan semangat.“Sabar, Sayang,” ucap pelan Gunawan mencium pucuk rambut Nesya.“Nesya, pulang ya. Semua orang sudah pulang. Biarkan mamamu istirahat dengan tenang,” ucap Arya mengusap pundak sang adik.Nesya mengusap air matanya lalu bangkit dibantu Gunawan. Namun, tiba-tiba ia tidak sadarkan diri. Semua kerabat yang masih ada di pemakaman panik terlebih Gunawan dan Arya. “Nesya,” ucap Gunawan menepuk lembut pipinya, kemudian membop
"Apa? di rumah sakit mana?” tanya Nesya terkejut karena sang mama masuk rumah sakit."Baik, aku kesana sekarang.” Nesya menutup sambungan ponselnya. “Mas! Mas …!” teriak Nesya memanggil Gunawan. "Ada apa sih, Nes. Masih pagi sudah teriak-teriak.” balas Gunawan membuka separuh pintu kamar mandi.“Mama, Mama masuk rumah sakit!” “Ha, kapan?” Nesya sambil menyiapkan baju untuk Gunawan.“Tidak tahu, bibi cuma memberitahu mana masuk rumah sakit.” “Ya sudah, tunggu sebentar.” Gunawan bergegas menyelesaikan mandinya.Nesya mengganti bajunya dan buru-buru menyiapkan bapa yang harus ia bawa.“Mas buruan!” teriak Nesya. Nesya berjalan kesana kemari seperti tidak memikirkan kandungannya membuat Gunawan yang baru keluar dari kamar mandi langsung menghampirinya."Kamu bisa pelan tidak? Kamu itu sedang hamil.” Gunawan menarik pelan tangan Nesya. "Aku, panik. Aku tidak mau terjadi sesuatu dengan mama,” balas Nesya yang suaranya bergetar menahan tangis. "Mama baik-baik saja dan sudah ditangani d
Nesya saat ini sedang melihat ponsel Gunawan, ia berusaha membukanya tetapi sayang ponselnya menggunakan password. “Sial,” cicitnya melempar ponsel suaminya di atas tempat tidur. Kemudian ia berbaring diatas tempat tidur dan meraih ponselnya kembali.“Passwordnya apa sih?” gumam Nesya.“Nes, lihat hapeku?” tanya Gunawan tiba-tiba masuk ke kamar.Nesya mengangkat ponselnya.“Ini,” balas Nesya malas.“Kamu buka hapeku?” “Awalnya, tapi tidak bisa dibuka, semua di kunci. Aku seperti istri tidak dianggap. Tidak tahu isi hape suamiku,” balas Nesya lalu duduk melihat Gunawan yang juga duduk di sampingnya.Gunawan menatap Nesya dengan tajam. “Kamu curiga aku berbalas pesan dengan wanita lain?”Nesya menggeleng lemah. “Tidak, untuk apa? Kalau mau selingkuh terserah kamu, aku cuma mau lihat isi hape kamu, apa aku salah?” Nesya memasang wajah datar. Tetapi Gunawan menganggapnya cemburu. Gunawan menarik nafas dalam-dalam lalu mendekati Nesya.“Bagus, karena kamu tidak boleh membuka ponsel ini,
“Nes, aku tahu kamu sangat membenciku saat ini. Aku tahu kesalahanku padamu tidak bisa dimaafkan. Tapi, mengapa harus mertuaku yang menjadi pilihan terakhirmu?” Nesya seperti sudah lelah dengan semua pertanyaan Adipati tentang pilihannya menikahi mertua sang mantan. Ia juga lelah memberikan jawaban yang sama. “Mas, ini mungkin terakhir kali aku katakan padamu, setelah ini, tolong jangan pernah lagi bicara atau menanyakan hal serupa lagi padaku. Aku hamil anak mertuamu dan dia harus bertanggung jawab atas perbuatannya. Ini semua juga salahmu, jika kamu jujur, mungkin aku tidak terjebak dengan pernikahan yang tidak aku inginkan.” “Maaf, Nes. Tapi aku harap kamu tidak jatuh cinta dengannya. Aku harap rasa itu masih untukku.” Adipati memandang Nesya penuh harap. Berharap masih ada cinta di hati Nesya untuknya. “Untuk itu, itu urusanku. Tidak ada yang tahu hati ini untuk siapa. Begitu juga dirimu, hanya kau yang tahu isi hatimu. Pulanglah, jangan sampai Sarah melabrak diriku lagi. Aku
“Iya kak Bintang. Aku baik-baik saja. Jaga diri kakak juga ya. Bye,” salam Nesya pada Bintang diakhir sambungan ponselnya."Siapa?” tanya Gunawan tiba-tiba di belakang Nesya, membuat dirinya terkejut.“Astagfirullah! Kau kenapa tiba-tiba datang! Kaget tahu!” kesal Nesya. “Kamu saja keasyikan telpon sampai suami pulang tidak tahu, telepon dengan siapa” saut Gunawan menatap Nesya.“Hubungan kita hanya status, jadi aku telepon dengan siapapun itu hak ku.” “Aku hanya bertanya, bukan melarang. Iya aku tahu, status kita hanya diatas kertas.” Gunawan kemudian mengangkat sambungan ponselnya karena sedari tadi berdering.“Ya, Rin. Jadi dong. Besok kau siapkan saja berkas untuk meeting di Solo.” Gunawan sekilas melirik Nesya yang menirukan ia bicara.“Menginap di hotel seperti biasa, satu kamar saja berdua sama kamu,” balas Gunawan dan masih melirik Nesya yang saat ini seperti kesal mendengar kalimat Gunawan pada sekretarisnya. “Ok, sampai ketemu besok.” Gunawan mematikan sambungan ponselnya