Silvia berjalan masuk rumahnya dengan segenap rasa khawatirnya terhadap sang putri yang entah di mana keberadaannya. Apalagi putrinya pergi bersama dengan asistennya."Bim, keberadaanmu di mana sekarang? Aku tidak yakin kalau kau menculik Selina, aku yakin pasti ada sesuatu yang telah terjadi sama kalian?"Langkahnya terus berpacu hingga ke pintu berikutnya.Ceklek!!!Fred dengan Naima mengikuti Silvia hingga ke kamarnya."Kau yang bertanggung jawab atas menghilangnya Selina, kalau sampai Selina tidak diketemukan maka kita harus bersama kembali untuk--,""Sampai kapanpun aku tidak akan pernah kembali bersama Pria sepertimu!" sentaknya dengan suara lantang."Kau harus mau walaupun kau tidak ingin kembali Silvia!" imbuh Naima yang menginginkan Fred, dan Silvia rujuk."Tidak Ibu Mertua aku tidak akan kembali bersama Putramu, lebih baik kau Carikan saja dia Istri baru." tegas Silvia tetap tidak ingin kembali bersama Fred.Mendengar pernyataan Silvia seperti itu, Naima kesal dan merasa jen
Fred sangat kesal dan marah sekali pada Roman, kali ini dirinya kalah telak dari pria yang jauh lebih muda darinya. Tidak menyangka jika Roman akan berani melawannya, ia pun menyesalkan telah berani menegur pria yang ia anggap remeh itu.Drtttt.Dia beralih saat telepon genggamnya bergetar, menandakan seseorang di seberang sana menghubunginya.'Ya, halo ...''Anda ada meeting hari ini Tuan, bisakah Anda datang lebih pagi?''Ya, aku akan segera sampai,' jawabnya datar terhadap asistennya di kantor.Roman menghela nafasnya setelah melihat Fred pergi, dan sepertinya tidak berniat mengganggunya lagi."Huh, syukurlah," Roman mendesah seraya memijat keningnya, perlahan berjalan kembali mengayun langkah demi langkahnya.Sampai di tempat kerja, ia langsung mengganti pakaiannya dan bersiap-siap menunggu tamu yang akan dia pegang hari ini. Tapi, tidak di sangka ternyata tamu itu adalah perempuan yang sangat dia kenal baik."Rom, ada Tamu minta kamu," seorang cashier menyampaikan itu terhadap Ro
Roman diam dikala Silvia mulai menyerah dengan cintanya, cinta yang dulu menggebu tapi entah mengapa Roman seperti semakin jauh darinya."Tunggu Silvia!" Roman menahan Silvia yang hendak pergi."Kenapa Roman? Bukankah ini yang kau ingin bukan?""Tidak Silvia, aku menginginkanmu!" ucap Roman dengan suara sumbang. "Maafkan aku, selama ini aku pikir akan mudah menggapai semuanya tanpamu, sekarang kau sadar aku bukan apa-apa jika tanpamu, aku sangat membutuhkanmu.""Jadi, apa maksudmu?" tanya Silvia yang masih bingung dengan sikap Roman terhadapnya."Ya, mulai sekarang kita akan memperjuangkan segalanya. Asal kau mau menerima Adikku sebagai bagian dari hidup kita," Silvia yang bersedih kembali tersenyum ketika Roman mengucapkan sesuatu yang membuatnya bergairah kembali."Ya, tentu saja Syifa itu Adikmu ... maka dia juga Adikku, asalkan kau tidak malu memiliki pasangan jauh lebih tua darimu, apa kau siap jika nantinya mendapatkan berbagai cacian karena kita jauh berbeda?"Dengan penuh meya
Silvia tersenyum sinis menatap pada ibu, dan anak yang sama menjijikkan. Ingin sekali dia mencabik-cabik wajah dua orang jahat itu, tapi dia sadar bukan dengan cara seperti itu menghadapi mereka."Sudah ya, apapun kebenarannya kalian akan selalu menyangkalnya. Dengarkan saya, dengan bukti ini kalian akan saya tuntut balik!" Silvia menebar ancamannya, terhadap Fred dan ibunya."Lakukan saya jika itu bisa menjadi bukti, yang jelas kami tak pernah takut dengan ancamanmu."Silvia semakin marah pada mereka. "Pergi dari sini sebelum saya usir paksa kalian!" usir Silvia pada ibu mertua, dan mantan suaminya itu."Kami tidak akan pergi, kami juga berhak tinggal di Rumah ini!" "Hah, apa? Kalian ingin tinggal di Rumahku, jangan pernah bermimpi!" tukas Silvia setelah mengetahui maksud kedatangan Fred, dan ibunya.Syifa yang menyaksikan pertengkaran mereka merasa takut, dia bersembunyi dibalik badan kakaknya, Roman."Kak, aku takut. Mereka itu siapa?" Syifa benar-benar takut pada mereka."Kamu m
Dua sosok pria memasuki sekolah, berusaha mendekati Syifa adiknya Roman. Tetapi, entah kenapa Syifa terlalu sulit didekati oleh mereka."Hai Gadis manis," puji salah seorang dari dua pria tidak dikenal itu.Gadis imut nan polos itu hanya bengong, tanpa ekspresi."Gadis kecil mari ikut dengan kami," Syifa menolak karena salah satu dari mereka tidak ada yang dikenalnya. "Kata Kak Roman Syifa enggak boleh ikut sama Orang gak dikenal, maaf ya Om," dengan lembut Syifa menolak."Sial ternyata Gadis kecil ini tidak sepolos yang kupikirkan," gumamnya mendengus sebal."Oh, begitu ya... kalau begitu mari berkenalan, Leo. Panggil Om Leo, kamu siapa tadi?""Syifa Om," ucapnya dengan mengeja namanya."Nama yang bagus Sayang, mari ikut dengan Om. Kakak kamu sudah menunggu,""Hah?" Syifa heran, lantaran kakaknya tidak memberitahunya jika akan dijemput oleh dua orang itu."Ke mana Om, apa kalian kenal sama Kak Roman?""Tentu saja kenal sayang, makannya ayo ikut Om."Kendati demikian Syifa tetap meno
"Roman! Siapa Orang yang kau maksud?" tanya Silvia mengikuti langkahnya Roman dengan penuh kekhawatiran. Roman lantas mengambil ponsel di meja kerjanya untuk menghubungi Syifa, sang adik. Saat itu Syifa tidak bisa di hubungi membuat Roman semakin mencemaskannya. 'Tidak, mudah-mudahan bukan Syifa yang dimaksud Fred,' batinnya. Roman lantas keluar dari ruangan itu, bergegas pergi meninggalkan kantor untuk menyusul adiknya di sekolah. Silvia menghentikan pacarnya, "Kau tidak bisa main pergi saja Roman, mau ke man kau?" "Silvia, aku meminta maaf padamu aku harus pergi. Aku yakin saat ini Syifa dalam bahaya, kamu tahu Orang yang dalam bahaya saat ini menurut aku Fred pasti menculik Adikku!" ujar Roman khawatir. "Tapi Roman--," Namun, dia tetap pergi tanpa peduli pada larangan Silvia. "Kalau begitu aku ikut denganmu!" Silvia memaksa ikut bersama Roman untuk memastikan kalau Syifa baik-baik saja. Roman lantas pergi bersama Silvia dengan menggunakan mobil perusahaan, dia me
Fred masih diam mempertimbangkan ucapan Silvia yang setuju kembali padanya, dan ditukar dengan gadis kecil itu. Diamnya Fred justru membuat perempuan itu semakin marah padanya. "Cepat katakan, kau setuju kenapa kau hanya diam? Aku sudah setuju dengan menukar diriku, asalkan kau bebaskan Anak tidak berdosa ini!" Silvia menatap dengan kesal. Fred menggunakan gesture tangannya memberi aba-aba pada kedua anak buahnya agar melepaskan gadis itu, dan meminta Silvia kembali dipelukannya sebagai pertukaran. "Lepaskan bocah nakal itu," perintahnya. Kemudian, Fred meminta Silvia ke pelukannya, "Cepat kemarilah jika kau ingin pertukaran dengan Gadis ini," Dua pria berwajah menyeramkan membebaskan Syifa, dan saat itu pula Silvia terpaksa kembali pada Fred--yang merupakan mantan suaminya. Roman memeluk Syifa penuh kasih sayang, "Maafkan Kakak... kakak telah membuat hidupmu dalam ancaman," ucap Roman dengan lirih. "Tidak apa-apa Kak, kau tak perlu meminta maaf, ini bukan salahmu," Syifa
Di sebuah sungai di pinggir kota metropolitan yang sangat megah, jauh dari mana pun perempuan cantik tengah terbaring tidak sadarkan diri di atas sebuah pohon yang terbawa hanyut, beruntung ada seseorang yang menemukan dan menolongnya. "Hey! Astaga ini ada Orang hanyut, cepat bantu." seorang pria paruh baya yang tengah mencuci cangkulnya di ladang turun setelah melahirkan ada seseorang yang terapung di derasnya sungai. Beberapa orang kemudian membantu pria paruh baya itu, untuk menolong seorang yang memang membutuhkan bantuan, "Sepertinya di Orang Kota ya Bah?" "Iya, Ibu... ayo bantu Abah," pintanya pada perempuan paruh baya--yang sepertinya istri dari pria paruh baya itu. Sementara yang lainnya menunggu di atas sungai, untuk membantu menerima perempuan yang tengah pingsan tak sadarkan diri. Hingga akhirnya mereka membawa perempuan yang tidak sadarkan diri itu ke gubug di tengah ladang. Perempuan paruh baya segera mengganti pakaian perempuan muda yang ditemukan suaminya di
Sorot mata Silvia semakin tajam ketika melihat Fred dan Selena bertengkar di hadapannya, pasalnya ia meminta bertemu dengan Fred bukan ingin melihat pertengkaran mereka tapi ingin menuntut Fred mengakui di hadapan publik kalau sebenarnya mereka telah bercerai jauh sebelum ia mengenal cucu pengusaha terkenal kaya raya itu. "Hentikan!!!" Silvia berteriak demi menghentikan pertengkaran di antara mereka. "Kedatanganku kemari bukan untuk melihat perkelahian kalian, aku hanya minta kau klarifikasi di depan publik!" tukasnya geram. Namun, permohonan Silvia mendapatkan penolakan. Karena Fred bersikukuh masih ingin Silvia kembali seperti dulu. "Klarifikasi? Tidak akan ada Silvia! Aku hanya ingin kita kembali seperti dulu!" Silvia mengepalkan tangannya ia merasa frustasi. "Kita tidak akan pernah bisa Fred, kau mengerti? Seandainya dulu kau tidak melakukan hal bodoh, mungkin aku masih mau bertahan denganmu tapi kau berkhianat dengan jalang ini!" "Aku bukan jalang, Kau yang tidak
"Tuan, saya mohon berikan saya kesempatan," Dian memohon tatkala ia dipecat oleh Rezenzo "Tuan..." Tok! Tok! Tok! Perempuan itu terus mengetuk pintu supaya si pemilik rumah itu mau membukakan pintu untuknya, namun usahanya itu nihil. Malah yang keluar menemuinya bukanlah Rezenzo tetapi dua orang ajudan yang bersiap mengusirnya secara paksa. "Tolong pergi Dian! Kau sudah diperingatkan sejak awal bukan? Tapi, kenapa kau malah melanggarnya?" salah seorang dari dua orang itu menatap Dian, ia merasa kasihan namun tidak mungkin menolong perempuan itu. "Saya tahu saya salah, tapi..." "Pergilah, kami mohon jangan persulit pekerjaan kami!" usir pria itu dengan suara baritonnya. Dian menunduk pasrah, ia pun segera pergi meninggalkan rumah itu, bahkan dia di larang untuk memberi tahu Roman soal pemecatan ini. Sementara ketika dia pergi, Roman masih dalam perjalanan pulang, Pemuda itu sangat bahagia sekali setelah sekian lama ia bertemu kembali kekasihnya. "Aku bersumpah... kali
"Aaaa... ayolah beritahu aku," Silvia bersikap manja pada Roman, meski usianya jauh lebih tua dari kekasihnya tapi jika saat bersama pria yang dicintainya ia akan jauh lebih manja. "Sudahku bilang kalau sekarang aku beritahu, namanya bukan kejutan. Makanlah terlebih dahulu setelah ini kita akan pergi..." Dengan sedikit memoncongkan bibirnya perempuan mengangguk, "Hm... baiklah," Roman meraih kedua tangan Silvia ia berbicara dengan bersungguh-sungguh sambil menatap wajah perempuan itu. "Aku ingin, kau dan aku secepatnya menjadi kita," "Hah? Gimana-gimana maksudnya?" Silvia masih heran dengan kalimat yang ambigu itu. "Aku ingin secepatnya kita Menikah." ucap Roman memperjelas. "Kau serius, dalam waktu dekat ini?" Silvia meneliti wajah kekasihnya yang justru terang-terangan mengajak nikah. "Apa kau tidak percaya padaku?" tanya Roman malas saat tanggapan Silvia tidak sesuai harapannya. "Iya percaya, maaf... aku hanya kaget saja." balas Silvia lembut. "Iya aku ingin menik
"Bagaimana apa kau masih akan mengundurkan diri dari kerja sama ini?" ejek Roman kembali dengan senyuman. Dengan terpaksa Fred tetap bertahan dengan kerja sama yang telah berlangsung itu,"Tentu saja aku akan bertahan, aku bukan Orang bodoh!" ujar Fred menyombongkan diri. Kemudian ia menoleh pada sekretaris dan tangan kanannya, "Ayo kita pergi dari sini!" ajaknya dengan penuh kekecewaan. Mereka pun mengangguk lalu bangkit menyalim tangan Roman sebagai bentuk penghormatan terhadap tuan rumah yang mengadakan rapat itu, sedangkan Fred hanya diam dengan sikap angkuhnya dia sangat tidak menyukai suasana ini. Pada saat Fred dan karyawannya akan keluar dari ruang rapat itu, pria muda itu kembali mengejeknya, "Apa begini caramu? Sopan kah meninggalkan rapat penting yang belum usai?!" Fred tiba-tiba menghentikan langkahnya, "Sit!" sambil menepuk tangannya di udara menandakan kalau ia sangat marah. Sementara Roman bersedekap tangan sambil tersenyum licik menikmati rasa kesal musuhny
Silvia teramat sangat senang setelah mendapatkan kabar baik ini ia bahkan ingin secepatnya bertemu dengan kekasihnya. Namun, Silvia masih terhalang restu dari kakek Rezenzo, ia kembali dengan raut wajah sedih setelah mengingat soal Rezenzo menentang hubungan itu. "Sampai kapan Tuan Rezenzo akan seperti ini? Memandang aku dengan sebelah mata... aku harus melakukan sesuatu agar pria itu mau merestui hubungan ini," gumam Silvia merasa sesak. Mengingat pria kaya yang ternyata kakek dari kekasihnya itu sangat tidak menyukai Silvia, tapi bukan karena ia miskin namun karena perbedaan umur yang cukup sangat jauh. Akan tetapi... semua ini tidak akan menyurutkan semangat Silvia begitu saja. *** Hari ini perintah yang diterima Dian berjalan dengan baik, bahkan ia pun kembali ke kantor dengan berita yang menggembirakan, Roman memberikan Dian apresiasi berupa hadiah uang tunai dengan dalih untuk diberikan kepada orang tua Dian. "Kau hebat Dian, saya senang dengan keberhasilan mu. Tapi ti
Ceklek!!! Suara pintu dibuka oleh seseorang mengalihkan perhatian Rezenzo yang telah menunggu ke datangan perempuan itu. "Tuan, memanggil saya?" tanya Dian masih berdiri di ambang pintu. "Kemarilah saya ingin bicara denganmu, empat mata!" dengan tangan melambai ke arah Dian. Perempuan itu mendekat dan membungkuk di hadapan Rezenzo, "Apa yang ingin Anda bicarakan Tuan?" "Saya punya tugas untukmu, laporkan semua kegiatan Roman jika sedang berada diluar kantor, paham?!" bisik Rezenzo pelan dan sedikit mengancam, "Aku sengaja menunjuk kau Dian, lakukan pekerjaanmu dengan baik, aku percaya kau akan setia padaku." Dian terdiam dia merasa bingung atas permintaan Rezenzo, sedangkan di sisi lain ia telah berjanji pada Roman agar membantunya. "Huh! Bagaimana ini?" gumam Dian pelan. "Bagaimana kau bisa Dian?" tanya Rezenzo meyakinkan. Dian menatap kembali pada Rezenzo memasang gesture wajah lelah tapi tidak ingin menyerah, "Baiklah Tuan... saya akan berusaha sebisa saya," ucap
"Bagaimana ini Tuan? Cucu Anda tidak mau menjadi Direktur di perusahaan ini, sedangkan Anda telah mengumumkan pada seluruh karyawan di kantor dan para kolega kita," ucap pak Rusli tampak khawatir terhadap penolakan Roman. "Nanti biar aku pikirkan lagi, aku pastikan Roman akan menjadi Direktur di perusahaan ini. Kau jangan khawatirkan tentangnya," Rezenzo bangkit dari duduknya dan meninggalkan ruangan rapat itu. Roman yang sedang kesal kini berada di ruangan kerja sang kakek tampak menatap jauh ke luar tirai jendela kantor megah itu. "Apa kau masih marah pada Kakekmu yang sudah Tua renta ini Roman? Kalau bukan kau yang menjadi Direktur di perusahaan ini siapa lagi?" Rezenzo berkata dengan lembut dan pura-pura terlihat lemah agar sang cucu merasa kasihan padanya. Namun, Roman tidak peduli padanya. Karena tujuan Roman bukanlah untuk jabatan, tujuan utama dia adalah untuk Silvia, karena dengan Dian yang menjadi asisten pribadinya maka semua yang direncanakan akan berjalan mulus.
Roman terdiam ketika pelayan itu berbicara seperti itu padanya, tapi ia juga berusaha memahaminya dengan serius. "Harus menjadi apa? Kau pikir aku harus apa?" Roman semakin bingung dengan maksud pelayan itu. "Astaga Tuan... pintarlah sedikit, kau punya segalanya! Oke, saya akan katakan pada Anda tidak akan pakai klue-klue lagi, Anda harus memiliki kekuasaan!" tandas pelayan bernama Dian itu. Menurut Dian dengan kekuasaan yang Roman miliki, ia akan semakin leluasa bertindak dalam hal apapun jika ia mau, tentu saja dalam hal ini Roman akan bisa berhubungan dengan mulus bersama Silvia tanpa takut akan halangan apapun. "Ternyata kau pintar Dian," ucap Roman menoyor kepala pelayan itu, "Saya suka dengan cara berpikirmu." "Pintarkan saya?" ujar Dian berbangga diri. "Oke, kali ini kau setuju kalau kau pintar." Roman terkekeh senang, akhirnya ia memiliki jalan untuk segera menyatukan hubungannnya dengan sang kekasih. *** Esok pagi pun telah menyapa kembali, dan hari ini Rom
"Tuan, lebih baik Anda menuruti perintah Tuan besar. Tolong jangan persulit pekerjaan saya," seorang pelayan tampak memohon pada pria muda itu agar menemui kakeknya. Roman masih berdiam diri dan acuh di dalam kamarnya. "Tuan, sebenarnya apa masalah kalian? Ceritakan pada saya, saya janji akan membantu Anda," Pelayan yang sebaya dengan Roman masih mencoba membujuk agar tuannya menurutinya, dan memperlancar pekerjaannya. Ceklek!!! Roman kembali membuka pintu kamarnya, "Kau pikir, kau bisa membantu masalahku? Jangan seolah kau serba tahu tentang masalahku, sana pergi! Saya tidak akan menuruti keinginan tua Bangka itu!" "Tuan, ayolah saya mohon... jangan persulit pekerjaan saya," perempuan itu memohon padanya dengan memelas. "Ada keluarga yang harus saya biayai agar dapat bertahan hidup, apa Anda akan Setega ini. Saya tidak mau dipecat hanya gara-gara saya tidak bisa membujuk Anda Tuan." Roman terdiam dan mengamati perempuan yang memelas di hadapannya, ia berpikir kakeknya s