Tiga puluh menit sebelumnya."Risya..."Seketika Risya menghentikan langkahnya mendengar suara itu. Menoleh ke belakang, di mana sosok pria paruh baya kini menatapnya."Kakek," Risya segera mendekat. Membantu Sang Kakek mendekati sofa.Pria paruh baya itu mendudukkan diri perlahan di atas sofa tunggal. Masih menatap penuh tanya pada cucunya yang terlihat begitu rapi pagi ini."Kamu mau ke mana?" Kakek Lingga dengan tatapan curiga. Tidak biasanya cucunya itu berpenampilan begitu rapi di pagi hari. Apalagi saat ini jam masih menunjukkan pukul 8 pagi.Masih terlalu dini untuk keluar jalan-jalan.Sesaat Risya diam. Bukan tak ingin mengatakan tujuannya pada Sang Kakek, hanya saja lidahnya terasa berat untuk mengutarakan kata-kata itu."Pagi ini aku akan ke rumah sakit. Dokter Atif menelepon semalam dan mengatakan jika ada hal penting mengenai kesehatan Kakek yang lupa ia sampaikan semalam." ujar Risya berbohong.Kakek Lingga terlihat mengangguk mengerti, "baiklah. Segera kembali saat seles
Kaisar mengetukkan pelan jari telunjuknya di atas meja. Menghela napas kasar mengingat panggilan singkat antara dirinya dan istri sahabat Ayahnya beberapa menit yang lalu.Kaisar menyetujui hal itu. Mau bagaimana lagi, jika menolak dia akan membuat Zeline curiga."Ha'ah." Kaisar menghela napas panjang. Beranjak dari duduknya, melangkah keluar dari ruangan kebesarannya."Bram!" panggil Kaisar sesaat setelah menutup pintu."Ya, Tuan." sahut Bram, segera mendekati Bosnya itu."Tunda semua jadwalku hari ini."Bram mengerjap, menatap penuh tanya pada Kaisar."Aku ada urusan di luar seharian ini. Jadi tunda semuanya, alihkan esok hari." titah Kaisar melenggang pergi meninggalkan Bram yang masih terdiam mencerna ucapannya."Apa keadaan Nona Raila memburuk?" tanya Bram pada dirinya sendiri. Karena tidak biasanya Kaisar memindahkan jadwalnya, kecuali jika urusan penting itu berhubungan dengan Adiknya."Ya, sudahlah." ucap Bram pasrah.Sedang di lobi perusahaan.Kaisar melangkahkan kakinya kelu
Kedua kaki Adelia mundur beberapa langkah. Jantungnya berdetak kencang karena terkejut mendengar suara itu.Adelia menatap sosok pria yang hanya diam menatapnya dengan ekspresi datar. Wajah yang asing, dan belum pernah ia lihat sebelumnya."Anda baik-baik saja?" tanya Demian singkat saat sosok di hadapannya hanya diam tanpa mengatakan sepatah kata.Adelia mengangguk cepat, membuat kening Demian mengerut bingung.Pria itu menaikkan sebelah alisnya saat Adelia tiba-tiba berjongkok, memunguti satu persatu pecahan dari pot marmer itu.Apakah Kaisar akan menghukumnya?Pertanyaan itulah yang terlintas di benak Adelia. Tubuhnya gemetar saat mengingat wajah menyeramkan Kaisar yang menatapnya tajam.Adelia memekik tertahan saat tanpa sengaja jari tangannya terluka akibat tak berhati-hati.Darah segar terus mengalir dari luka kecil di jari Adelia. Dengan tergesa-gesa wanita itu membersihkan darah pada jari tangannya ke pakaian pelayan yang ia kenakan.Demian menghela napas pelan. Tiba-tiba berj
"Kakak."Kaisar menaikkan sebelah alisnya mendengar panggilan itu. Ia mendongak, menatap wajah Raila yang tengah duduk di atas brankar."Kenapa?" Kaisar beranjak dari duduknya menghampiri Raila, "apa ada sesuatu yang kau inginkan?"Gadis itu hanya diam menatap Sang Kakak yang kini duduk di kursi samping brankarnya."Kakak kenapa tidak pulang?" tanya Raila mengulurkan tangan mengusap kening Kaisar yang terlihat mengerut, menandakan jika Kakaknya itu tengah memikirkan sesuatu dengan keras.Kaisar hanya diam menikmati usapan tangan adiknya. Sesaat menghela napas pelan mendengar pertanyaan itu."Jika aku pulang, tidak ada yang menjagamu di sini. Aku tidak mungkin membiarkan adikku seorang diri di rumah sakit." ucap Kaisar.Raila mengerucutkan bibirnya. "Di rumah sakit ini bukan hanya ada aku seorang, kak. Ada banyak perawat dan orang lain, jangan lupa ada Uncle Lion juga."Kaisar terkekeh pelan. Rasa rindu ingin mendengar kembali suara adiknya, sekarang sudah terwujud. Beban dan perasaan
Adelia diam membisu di dalam kamar. Wanita itu mengerjapkan matanya beberapa kali. Jantungnya masih terus berpacu dengan begitu cepat karena hal yang terjadi beberapa menit sebelumnya.'Pria itu gila,' batin Adelia dengan keringat dingin mulai membanjiri keningnya.Bagaimana mungkin orang tak punya hati seperti pria itu, melakukan hal aneh seperti tadi?!'Di-dia benar-benar sudah tidak waras.' tubuh Adelia bergetar hebat. Ia menelan kasar ludahnya.'A-apa setelah ini, dia akan menyiksaku dengan cara lain?' batin Adelia. Tiba-tiba tubuhnya meremang, ia menggigit kukunya dengan perasaan takut.Adelia bangkit dari duduknya. Berjalan mondar-mandir bagai setrika sambil menggigit kuku tangannya.'Ba-bagaimana ini? Pria itu pasti sudah menyiapkan ruangan penyiksaan.' batin Adelia terus bertanya tanpa henti.Ia merinding kala membayangkan senyum menyeramkan di wajah Kaisar."Nona?"Sontak Adelia berbalik menatap Lora yang kini berada di ambang pintu. Gadis itu melangkahkan kakinya memasuki ka
"Demian, bagaimana pendapatmu saat tinggal di sini?"Seketika Demian terdiam di tempat duduknya mendengar pertanyaan itu.Pagi ini, tiada angin tiada hujan tiba-tiba Ayahnya menanyakan hal seperti itu kepadanya.Ada apa ini?"Ya, lumayan." jawab Demian singkat. Ia merasa sedikit canggung mendengar pertanyaan itu.Logan menatap lama wajah putranya yang tetap datar, walau kini Logan tahu jika putra pertamanya itu mencoba menghindari kontak mata dengannya.Logan tersenyum kecil. Sesaat ia terdiam, kemudian menghela napas pelan mengingat percakapan antara dirinya dan Lion semalam."Apa ada sesuatu, Dad?" tanya Demian yang kini menatap Ayahnya.Meski orang-orang di luar sana menilai Demian adalah sosok yang tidak peduli pada sekitar karena eskpresi datarnya, tetapi nyatanya dia adalah orang yang paling sensitif dan tidak akan tinggal diam saat sesuatu terjadi pada keluarganya.Logan membalas tatapan mata putranya yang kini terlihat begitu serius."Bukan hal besar." jawab Logan singkat.Dem
Keadaan mulai kembali hening. Para pengunjung restoran kembali fokus pada santapan mereka, mengabaikan keributan yang sempat terjadi.Sedang Zeline menatap penuh kekhawatiran pada wanita yang duduk di hadapannya.Adelia berusaha menghentikan tangisnya. Ia terus mengusap kasar wajahnya saat air mata mulai turun membasahi kedua pipinya yang sedikit tirus.'Apa dia tidak makan dengan baik? Dia jadi terlihat lebih kurus dari terakhir kali.' batin Zeline menggigit bibirnya khawatir."Sudah mendingan, Sayang?" tanya Zeline meraih tisu di atas meja, lalu mengusap pelan pipi wanita yang hanya menganggukkan kepala kepadanya."Ada apa, Adelia? Apa mansion Kaisar terasa tidak nyaman? Dia memperlakukanmu dengan baik, 'kan?" tanya Zeline tanpa henti.Adelia menggigit bibir bawahnya. Ia takut mengatakan semuanya pada Zeline. Ancaman Kaisar terus terngiang di benaknya.Kening Zeline mengerut kala melihat Adelia meletakkan buku di atas meja, lalu mulai menulis sesuatu pada kertas putih itu."Aku baik
"Syukurlah kamu sudah siuman. Aunty sungguh takut kamu tidak akan pernah membuka mata," ucap Zara memeluk erat tubuh Raila.Gadis itu tersenyum membalas pelukan saudari Ayahnya itu."Tidak apa-apa, Aunty. Raila sudah siuman. Lihat, bahkan Raila sudah bisa berjalan-jalan dan keluar dari rumah sakit." ucap Raila terkekeh pelan.Beberapa orang di ruangan itu terlihat menggelengkan kepalanya. Terutama Revan yang tengah duduk di sofa bersama dengan dua iparnya."Kamu tidak berniat ke sana untuk memeluk Raila?" tanya Revan menatap sosok yang sejak tadi hanya diam dengan tatapan tertuju ke arah brankar.Louis mengalihkan pandangan menatap Revan. Menghela napas pelan sambil mengedikkan bahu acuh."Kau tidak lihat di sana sudah berkumpul tiga wanita? Kalau aku ikut bergabung, hanya akan terlihat aneh." jawab Louis mengedarkan pandangan hingga tanpa sengaja bertatapan dengan Logan."Apa lihat-lihat?!" sentak Louis tak suka.Revan menghela napas kasar. Dari dulu hingga kini, dua iparnya itu tak
Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
“Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona. Sampai ketemu di esok hari.”Perlahan pintu tertutup rapat, meninggalkan Adelia sendiri di dalam kamarnya dengan bulir keringat dingin yang terlihat jelas membasahi keningnya. Adelia menghela napas lega dengan tubuh mendadak lemas. Kegugupan itu mampu membuat Adelia sulit untuk berkonsentrasi.‘Rasanya lelah sekali,’ Adelia membatin sambil menggigit bibir bawahnya, ‘tapi aku tidak boleh mengeluh. Pasti Tuan Demian sudah mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membayar guru privat untukku. Aku harus bekerja keras agar bisa membayar semua kebaikan yang Tuan Demian berikan.’Adelia menyentuh dadanya. Di dalam sana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia sungguh berterima kasih, tapi juga merasa terbebani. Dan lagi, sisi hatinya terus saja merindukan sosok yang telah menyiksanya dahulu.Apakah dia mengalami kelainan hingga merindukan sosok kejam itu? Segera Adelia menggelengkan kepala mengusir segala pemikiran aneh dalam benaknya. Semakin k
Sosok pemillik dari perusahaan KR Group itu kini terlihat duduk melamun dalam ruang tamu apartemen adiknya. Kaisar menghela napas pelan sambil mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi dia melamun membayangkan kehadiran Adelia di sisinya. Nyatanya semua hanya angan sahaja.Penampilan Kaisar sudah sedikit berubah hari ini. Begitu berbeda dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di Milan. Raila sungguh mengurus kakaknya dengan baik.Wanita cantik itu terus saja mengingatkan kakaknya untuk makan tepat waktu, bahkan saat Raila tak berada di apartemen tersebut, dia selalu menyempatkan diri menelepon Kaisar meski hanya beberapa menit.“Kakak, tadi malam aku mimpi indah. Aku melihat kakak tersenyum begitu manis pada seorang wanita di sebuah taman yang penuh dengan bunga bermekaran.” Raila bercerita begitu antusias mengenai mimpinya, membuat Kaisar tersenyum kecil menanggapi hal itu sebelum akhirnya Raila berpamitan untuk pergi ke Universitas.“Adelia…” Kaisar bergumam lirih dengan punggung bersan
Pembicaraan penting masih berlanjut di ruang keluarga kediaman Salvatore. Namun, ada hal yang terasa berbeda di ruangan itu, hingga membuat Kaisar sesekali melirik penuh tanya pada sepupunya yang mendadak menjadi pendiam setelah ia kembali dari dalam kamar mengambil beberepa dokumen penting.“Masih ada beberapa hal penting yang kurang bagiku dalam kontrak kerja sama ini.” Devian meletakkan dokumen yang ia baca ke atas meja, menatap fokus pada Kaisar yang tak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi, “kamu tidak keberatan jika aku menambahkan beberapa hal penting ‘kan?”Kaisar segera menggeleng, “bukankah itu hal wajar? Lagi pula aku masih akan melihatnya sebelum menyetujuinya.”“Baiklah. Tapi, sepertinya itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu akan tinggal berapa hari lagi di Negara ini?” ucap Devian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin membalas tatapan mata sepupunya yang terlihat menyipitkan mata curiga.Sejenak keheningan mencekam menguasai. Kaisar tak kunjung
‘Akhirnya tiba juga.’Kaisar menatap sekeliling bandara dengan tatapan datar. Ia menghela napas pelan, menaikkan sebelah alisnya menatap sosok pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.Perlahan Kaisar melangkah mendekati sosok itu. Menarik pelan koper kecilnya dengan wajah datar yang senang tiasa terlihat.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kaisar menaikkan sebelah alisnya bertanya.Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Devian, sosok kembaran dari Demian.“Menjemputmu,” balas Devian santai. Tak terlalu peduli dengan ekpresi yang terlihat di wajah sepupunya itu. Karena Devian cukup mengenal seperti apa sifat seorang Kaisar Argantara.“Seharusnya tidak perlu.” Keduanya mulai melangkah keluar, “seharusnya kamu tidur saja. Aku bisa ke hotel terdekat menggunakan taksi,” lanjut Kaisar yang terlihat tak dipedulikan oleh Devian.Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devian memasuki mobilnya. Kaisar hanya bisa menggeleng pelan melihat hal tersebut. Segera masuk setelah mel
Keheningan masih menguasai di dalam ruang tamu sebuah mansion. Sosok wanita yang duduk di sofa panjang itu hanya menunduk dengan meremas kuat tangannya. Ia takut untuk mendongak, menatap pria yang terlihat seperti orang lain saat ini.“Sepertinya sudah saatnya aku untuk pergi.” Ucap Devian tiba-tiba, melihat arloji yang melingkar di tangannya.Adelia menoleh ke sumber suara. Mengerjap menatap sosok yang kini beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan mansion itu. Padahal sosok itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu.Devian tersenyum simpul pada wanita yang kini menatapnya bingung, “kalau begitu, aku pamit undur diri. Masih ada hal yang harus aku lakukan, jika ada kesempatan aku aka mengunjungimu lain kali. Dan lain kali aku membawa buah tangan, sampai jumpa.”Devian melambaikan tangannya pada Adelia, berjalan begitu santai sambil bersiul riah hingga menghilang di balik pintu.Kedua mata Adelia mengerjap beberapa kali. Namun, ia segera mencoba untuk menstabilkan pe
“Mansion siapa ini?” Devian bergumam menatap seksama tembok mansion di hadapannya. Setelah tadi mengikuti mobil Demian, kini ia telah tiba di depan gerbang mansion yang entah milik siapa. Seingatnya, kakaknya itu tak pernah membeli mansion itu. Dengan segera Devian merogoh saku celana kainnya. Meraih benda pipih di sana, lalu segera menghubungi nomor Kakaknya. Tidak lama berdering, sosok di seberang telepon mengangkat panggilannya. “Hm.” Hanya suara dehaman yang terdengar, menandakan jika kakaknya tak ingin diganggu saat ini. “Kau ada di mana?” tanya Devian, kembali mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Terlihat cukup asri dan nyaman di pandang. “Di luar,” jawab singkat Demian. Sesaat hening menguasai, hingga Devian kembali membuka suara. “Kau berada di Milan ‘kan?” Keheningan kembali menguasai setelah Devian mengutarakan pertanyaan itu. Pria berusia dua puluh dua tahun itu tahu, jika kakaknya tengah terkejut saat ini dan pasti berpikir keras akan maksud pertanyaannya. “A
Kedua mata Kaisar mengerjap beberapa kali. Memandang lama ke arah Ayahnya yang baru saja melemparkan bantal sofa, hingga tepat mengenai wajah tampannya. “Aneh-aneh saja kamu,” ucap Revan menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya ke sofa. Rania menghela napas pelan, berniat untuk bangkit dari duduknya dan memasuki dapur. “Aku serius, Dad.” Ucap Kaisar tanpa ragu. Seketika kedua orang tuanya menatapnya terkejut, “aku sudah menikah diam-diam dengan seorang wanita.” Lanjutnya lirih. Revan mematung di sofa dengan mulut sedikit terbuka mendengar ucapan lirih Putranya. Sedikit melirik ke arah istrinya yang tak jauh berbeda, benar-benar terkejut mendengar kejujuran Putra sulung mereka. “Kaisar…” panggil Revan dengan suara bergetar. Pria setengah baya itu mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan, mencoba untuk tenang agar tak mencerca Putranya dengan pertanyaan. “Kapan?” tanya Revan pelan, memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Rania kembali duduk di tempatnya. Me
Kaisar menggenggam erat ponsel di tangannya mendengar ucapan di seberang sana. Ia tahu jika hal itu sangat menganggu, tetapi amarah dan rasa penasaran tak bisa menghentikan niatnya untuk segera menghubungi sepupunya itu."Aku tanya, kamu waras?" Tanya Demian lagi, terdengar jelas nada datar di seberang telepon.Sesaat Kaisar tetap diam. Tatapannya menajam menatap tembok ruang kerjanya, tak memedulikan sosok adiknya yang kini memasuki ruangan itu."Aku tanya, di mana dia?!" Sentak Kaisar mengabaikan pertanyaan Demian.Helaan napas pelan terdengar di seberang telepon."Dia siapa?"Terdengar jelas nada tak tahu dari ucapan sepupunya itu."Adelia!" Sentak Kaisar mengebrak meja kerjanya.Tubuh Raila terkesiap mendengar suara teriakan dan gebrakan meja itu. Ia menatap kakaknya dengan mengerjapkan mata beberapa kali.'Adelia... Apa itu nama Istri Kak Kaisar?' batin Raila mulai menyimpulkan.Keheningan menguasai di seberang sana, membuat kening Kaisar mengerut lalu menjauhkan benda pipih itu d