Suara dentingan jarum jam memenuhi ruang tamu mansion mewah itu.Adelia duduk bersimpuh di lantai dengan tubuh gemetar. Kepalanya menunduk, tak berani mendongak menatap sosok pria yang tengah duduk di sofa tunggal. Menatapnya dengan tatapan elang, seolah mengawasi gerak-geriknya hingga membuat Adelia terus menelan kasar ludahnya tanpa henti.Sesaat suara sesuatu dilempar kasar ke atas meja terdengar memasuki indra pendengaran Adelia. Ia ragu untuk melihat hal apa itu."Tanda tangan." ucap Kaisar tak mengubah ekspresi datar pada wajahnya.Perlahan Adelia mendongak menatap Map berwarna hitam di atas meja. Kedua matanya mengerjap beberapa kali, tersentak kala tanpa sengaja bertatapan dengan Kaisar."Kenapa tidak bergerak untuk menandatanganinya? Kau ingin aku menyeretmu masuk ke dalam kamar, hah?"Seketika Adelia mendekati meja. Meraih pulpen di atas meja dengan tangan gemetar. Tanda tangan Adelia terbubuhi pada kertas tersebut, membuat seutas senyum kecil terbit di bibir Kaisar.Dengan
"Tuan, tunggu saya." ujar Bram dengan kaki berusaha mengikuti langkah Bosnya yang berjalan cepat memasuki kafe.Bram menghela napas pelan saat tiba-tiba Kaisar menghentikan langkahnya. Ia mencoba merapikan sedikit penampilannya yang berantakan.Mereka baru saja menyelesaikan pertemuan dengan salah satu rekan bisnis di restoran terdekat. Karena waktu makan siang telah tiba sesaat setelah mereka keluar dari Restoran, Kaisar melangkahkan kakinya ke kafe yang tidak jauh dari sana."Sepertinya akan bagus jika membeli makanan manis untuknya. Akhir-akhir ini makanan manis di sini cukup digemari oleh orang-orang. Mungkin sebaiknya aku membeli juga untuk Raila dan dia," gumam Kaisar menatap makanan manis yang tersusun baik di balik meja kaca.Sedang Bram mengerutkan keningnya mendengar gumaman Bosnya itu'Tuan Kaisar kerasukan jin dari mana ini?' batin Bram dengan wajah ngeri.Kaisar menghela napas pelan, mengalihkan pandangannya menatap sekretarisnya itu."Jangan memasang wajah menyebalkan se
Seketika suara gebrakan meja menggema di dalam ruangan itu.Kakek Lingga menatap tajam pada Liorand. "Beraninya kamu!"Seketika Kakek Lingga menyentuh dadanya yang terasa sesak. Mendudukkan diri di kursi kebesarannya, lalu melirik tajam pada Liorand yang tetap diam di tempat dengan wajah datar."Tuan!" tiba-tiba pintu ruangan terbuka, memperlihatkan Rex -sekretaris Kakek Lingga- yang kini berlari mendekati meja kerja pria paruh baya itu."Tuan," ucap Rex khawatir melihat Kakek Lingga yang menyentuh dadanya dengan napas memburu.Kakek Lingga tetap menatap tajam ke arah Liorand, mengabaikan rasa sakitnya sejenak untuk berbicara dengan cicitnya itu."Kau berbicara dengan begitu berani. Sepertinya kau sudah bertemu dengannya, ya." desis Kakek Lingga yang terdengar tak suka.Rex yang tak tahu apa-apa, hanya bisa diam mendengar hal tersebut."Tuan..." panggil Rex saat Kakek Lingga tiba-tiba bangkit dari duduknya dan melangkah mendekati Liorand dengan sedikit tertatih.PLAK!Seketika wajah L
"IYAAAAK!" Suara teriakan menggema di dalam mansion mewah kediaman Kaisar.Dua orang yang berdiri tidak jauh dari tangga, menoleh dengan tatapan takut pada sosok yang berdiri di lantai dua. Yang kini menatap mereka dengan tatapan bak belati.'Hik!' Bram berteriak ngeri dalam hati. Ia mundur beberapa langkah menjauh dari sosok wanita di hadapannya.'Wa-wajah Tuan Kaisar terlihat begitu marah. Kenapa ini?' batin Bram bertanya-tanya, sedikit melirik sosok Polin yang kini menatapnya penuh tanya di ambang pintu masuk."Bram!" kini Kaisar melangkah menuruni anak tangga."Ya, Tuan." sahut Bram dengan suara sedikit bergetar."Ikuti aku." titah Kaisar, melirik sosok wanita yang kini menunduk takut menatap lantai."Baik." ucap Bram seraya mengikuti langkah Kaisar. Karena memang itulah tujuannya datang ke mansion mewah bosnya itu di jam 9 malam ini.Kalau bukan karena itu, Bram tidak akan datang dan menganggu waktu istirahat bosnya.Tapi apa ini? Belum apa-apa dia sudah mendapat tatapan tajam da
Seorang pria dengan setelan jas yang sedikit berantakan keluar dari lift. Tiba-tiba, pria itu menghentikan langkahnya saat tanpa sengaja bertatapan dengan sosok yang baru saja berniat memasuki lift."Eh, kau sudah pulang?"Demian mengerutkan kening menatap saudara kembarnya yang baru saja keluar dari lift. Tatapan menelisik Demian berikan. Menatap dari ujung kepala hingga ujung kaki tubuh Adiknya."Kau mau ke mana?" tanya Demian dengan wajah datar."Ke Indonesia." jawabnya santai."Mommy memintamu ke sana?" tanya Demian lagi. Ia merasa aneh, karena tidak biasanya saudaranya itu tertarik untuk ke Indonesia, Negara tempat kelahiran sang Ibunda tercinta."Tidak. Aku menerima telepon dari Uncle Lion, dia bilang untuk segera ke sana."Demian menghela napas pelan, "uncle yang meminta, atau kau sendiri yang ingin pergi?" tanya Demian telak, membuat saudaranya itu terkekeh pelan."Ya, seperti itu. Lagi pula Mommy dan Daddy ada di sana. Jadi aku rasa tidak masalah untuk sesekali berkunjung." i
"Kenapa menatapku?"Seketika Adelia tersentak. Ia menunduk dengan tubuh gemetar takut, menelan ludahnya dengan susah payah."Aku tahu, aku tampan. Kamu bisa menatapnya sepuasnya nanti." ucap Kaisar sambil meletakkan ponselnya di tempat semula.Adelia tak mengindahkan ucapan itu. Ia tetap menunduk dengan ketakutannya.'Ya Tuhan, apa aku melakukan salah? Ke-kenapa pria ini bersikap begini kepadaku? Apa setelah ini dia akan memberikan siksaan lebih menyakitkan?' batin Adelia. Bibirnya bergetar hebat dengan wajah pias.Sedang Kaisar tak memperhatikan hal itu. Ia sibuk dengan pemikirannya, mencoba menebak hal seperti apa yang membuat tangan kanannya itu terdengar begitu terkejut di seberang telepon tadi."Hampir saja aku lupa. Kamu harus makan dengan baik."Kaisar mengulurkan tangannya meraih mangkuk bubur di atas nampan tanpa memindahkan Adelia dari pangkuannya. Pria itu seolah tak rela melepaskan Adelia, meski hanya di atas tempat tidur."Buka mulutmu, aku akan menyuapimu hingga buburnya
"Minum dulu, Nona Liona." Rex menyodorkan sebotol air mineral pada gadis muda yang kini duduk di kursi tunggu.Mata Rex tak lepas menatap wajah lelah gadis itu."Apa Anda bermimpi buruk lagi?" Tanya Rex mencoba membuka obrolan.Tak ada jawaban, hanya tatapan sendu yang terlihat jelas dari kedua iris mata kecoklatan itu. Hal tersebut sukses membuat Rex menghela napas pelan.Ia cukup paham, bahkan sangat tahu. Kecelakaan yang terjadi tiga bulan lalu benar-benar mengguncang psikis gadis muda itu, cicit dari Tuannya.Masih terekam jelas di benak Rex malam itu. Malam di mana ia memberi laporan pada Kakek Lingga mengenai pergerakan kelompok mafia di Italia. Dan tanpa diduga mendengar kabar yang cukup mengejutkan, di mana cicit perempuan Tuannya menabrak seseorang dan melarikan diri.Tiga bulan yang lalu.Suara dering ponsel mengusik ketenangan dalam ruang kerja kakek Lingga.Pria paruh baya itu menatap lekat ponsel di atas meja, mengulurkan tangan dan meraihnya.Keningnya yang keriput terli
Hening tak ada yang mengeluarkan suara. Semua mata sesekali melirik ke arah pintu ruang operasi yang belum juga terbuka."Raila, ayo kembali ke ruang rawatmu. Kamu harus istirahat agar segera keluar dari rumah sakit," ucap Kaisar lembut mengusap puncak kepala Raila yang hanya menunduk sejak tadi.Tak ada jawaban. Raila tetap setia menundukkan kepalanya. Sesekali terlihat menggigit bibir bawahnya menahan rasa sesak di dada.Jika ingin jujur, hati gadis itu tak bisa dikatakan baik-baik saja saat ini. Apalagi mendengar hal yang terucap dari bibir Lion saat tiba di rumah sakit pagi tadi."Zara, bantu aku melakukan operasi besar pagi ini. Aku tidak yakin bisa menyelesaikannya sendiri, aku butuh bantuanmu.""Baiklah. Aku harus meminta izin pada pihak rumah sakit lebih dulu, karena aku tidak bekerja di rumah sakit ini." jelas Zara."Aku sudah meminta izin pihak rumah sakit.""Kamu terlihat panik. Jika boleh tahu, siapa orang itu?""Dia kakek istriku."Seketika Raila terisak mengingat ucapan
Suara decitan ban terdengar memenuhi bandara pribadi keluarga Salvatore saat sosok putra kedua di keluarga itu mengerem dadakan mobilnya.Devian segera membuka pintu. Berlari dengan tergesa-gesa mendekati jet pribadi miliknya yang siap lepas landas menuju La Spezia. Tepat saat tiba di samping pintu jet, Devian menoleh ke belakang. Menatap sepupunya yang masih berada dan diam dalam mobil."CEPATLAH, KAISAR! KAMU INGIN BERDIAM DI SINI LEBIH LAMA, HAH!" teriak Devian frustasi.Kaisar mengerjap mendengar teriakan itu. Teriakan yang seolah menyatakan jika sepupunya tengah melampiaskan amarah padanya.Apa salahnya? Sejak tadi Kaisar hanya diam, bahkan saat Devian menambah kecepatan mobil itu Kaisar tetap tak membuka suara dan hanya menggenggam erat sabuk pengaman.Sedang Devian mengusap kasar wajahnya. Hatinya sedang tidak tenang setelah menerima telepon bawahannya tadi. Telepon yang mengatakan jika terjadi sesuatu tak terduga di depan mansion Kakaknya. Kehadiran beberapa orang yang terliha
“Terima kasih atas kerja kerasnya, Nona. Sampai ketemu di esok hari.”Perlahan pintu tertutup rapat, meninggalkan Adelia sendiri di dalam kamarnya dengan bulir keringat dingin yang terlihat jelas membasahi keningnya. Adelia menghela napas lega dengan tubuh mendadak lemas. Kegugupan itu mampu membuat Adelia sulit untuk berkonsentrasi.‘Rasanya lelah sekali,’ Adelia membatin sambil menggigit bibir bawahnya, ‘tapi aku tidak boleh mengeluh. Pasti Tuan Demian sudah mengeluarkan uang yang banyak hanya untuk membayar guru privat untukku. Aku harus bekerja keras agar bisa membayar semua kebaikan yang Tuan Demian berikan.’Adelia menyentuh dadanya. Di dalam sana jantungnya berdetak dua kali lebih cepat. Dia sungguh berterima kasih, tapi juga merasa terbebani. Dan lagi, sisi hatinya terus saja merindukan sosok yang telah menyiksanya dahulu.Apakah dia mengalami kelainan hingga merindukan sosok kejam itu? Segera Adelia menggelengkan kepala mengusir segala pemikiran aneh dalam benaknya. Semakin k
Sosok pemillik dari perusahaan KR Group itu kini terlihat duduk melamun dalam ruang tamu apartemen adiknya. Kaisar menghela napas pelan sambil mengusap kasar wajahnya. Lagi-lagi dia melamun membayangkan kehadiran Adelia di sisinya. Nyatanya semua hanya angan sahaja.Penampilan Kaisar sudah sedikit berubah hari ini. Begitu berbeda dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di Milan. Raila sungguh mengurus kakaknya dengan baik.Wanita cantik itu terus saja mengingatkan kakaknya untuk makan tepat waktu, bahkan saat Raila tak berada di apartemen tersebut, dia selalu menyempatkan diri menelepon Kaisar meski hanya beberapa menit.“Kakak, tadi malam aku mimpi indah. Aku melihat kakak tersenyum begitu manis pada seorang wanita di sebuah taman yang penuh dengan bunga bermekaran.” Raila bercerita begitu antusias mengenai mimpinya, membuat Kaisar tersenyum kecil menanggapi hal itu sebelum akhirnya Raila berpamitan untuk pergi ke Universitas.“Adelia…” Kaisar bergumam lirih dengan punggung bersan
Pembicaraan penting masih berlanjut di ruang keluarga kediaman Salvatore. Namun, ada hal yang terasa berbeda di ruangan itu, hingga membuat Kaisar sesekali melirik penuh tanya pada sepupunya yang mendadak menjadi pendiam setelah ia kembali dari dalam kamar mengambil beberepa dokumen penting.“Masih ada beberapa hal penting yang kurang bagiku dalam kontrak kerja sama ini.” Devian meletakkan dokumen yang ia baca ke atas meja, menatap fokus pada Kaisar yang tak mengalihkan pandangan darinya sejak tadi, “kamu tidak keberatan jika aku menambahkan beberapa hal penting ‘kan?”Kaisar segera menggeleng, “bukankah itu hal wajar? Lagi pula aku masih akan melihatnya sebelum menyetujuinya.”“Baiklah. Tapi, sepertinya itu akan membutuhkan waktu sedikit lebih lama. Kamu akan tinggal berapa hari lagi di Negara ini?” ucap Devian mengalihkan pandangan ke arah lain. Tak ingin membalas tatapan mata sepupunya yang terlihat menyipitkan mata curiga.Sejenak keheningan mencekam menguasai. Kaisar tak kunjung
‘Akhirnya tiba juga.’Kaisar menatap sekeliling bandara dengan tatapan datar. Ia menghela napas pelan, menaikkan sebelah alisnya menatap sosok pria yang tengah melambaikan tangan ke arahnya sambil tersenyum.Perlahan Kaisar melangkah mendekati sosok itu. Menarik pelan koper kecilnya dengan wajah datar yang senang tiasa terlihat.“Apa yang kamu lakukan di sini?” Kaisar menaikkan sebelah alisnya bertanya.Kekehan pelan terdengar keluar dari bibir Devian, sosok kembaran dari Demian.“Menjemputmu,” balas Devian santai. Tak terlalu peduli dengan ekpresi yang terlihat di wajah sepupunya itu. Karena Devian cukup mengenal seperti apa sifat seorang Kaisar Argantara.“Seharusnya tidak perlu.” Keduanya mulai melangkah keluar, “seharusnya kamu tidur saja. Aku bisa ke hotel terdekat menggunakan taksi,” lanjut Kaisar yang terlihat tak dipedulikan oleh Devian.Tanpa mengeluarkan sepatah kata, Devian memasuki mobilnya. Kaisar hanya bisa menggeleng pelan melihat hal tersebut. Segera masuk setelah mel
Keheningan masih menguasai di dalam ruang tamu sebuah mansion. Sosok wanita yang duduk di sofa panjang itu hanya menunduk dengan meremas kuat tangannya. Ia takut untuk mendongak, menatap pria yang terlihat seperti orang lain saat ini.“Sepertinya sudah saatnya aku untuk pergi.” Ucap Devian tiba-tiba, melihat arloji yang melingkar di tangannya.Adelia menoleh ke sumber suara. Mengerjap menatap sosok yang kini beranjak dari duduknya, bersiap untuk pergi meninggalkan mansion itu. Padahal sosok itu baru saja tiba tiga puluh menit yang lalu.Devian tersenyum simpul pada wanita yang kini menatapnya bingung, “kalau begitu, aku pamit undur diri. Masih ada hal yang harus aku lakukan, jika ada kesempatan aku aka mengunjungimu lain kali. Dan lain kali aku membawa buah tangan, sampai jumpa.”Devian melambaikan tangannya pada Adelia, berjalan begitu santai sambil bersiul riah hingga menghilang di balik pintu.Kedua mata Adelia mengerjap beberapa kali. Namun, ia segera mencoba untuk menstabilkan pe
“Mansion siapa ini?” Devian bergumam menatap seksama tembok mansion di hadapannya. Setelah tadi mengikuti mobil Demian, kini ia telah tiba di depan gerbang mansion yang entah milik siapa. Seingatnya, kakaknya itu tak pernah membeli mansion itu. Dengan segera Devian merogoh saku celana kainnya. Meraih benda pipih di sana, lalu segera menghubungi nomor Kakaknya. Tidak lama berdering, sosok di seberang telepon mengangkat panggilannya. “Hm.” Hanya suara dehaman yang terdengar, menandakan jika kakaknya tak ingin diganggu saat ini. “Kau ada di mana?” tanya Devian, kembali mengedarkan pandangan menatap sekeliling. Terlihat cukup asri dan nyaman di pandang. “Di luar,” jawab singkat Demian. Sesaat hening menguasai, hingga Devian kembali membuka suara. “Kau berada di Milan ‘kan?” Keheningan kembali menguasai setelah Devian mengutarakan pertanyaan itu. Pria berusia dua puluh dua tahun itu tahu, jika kakaknya tengah terkejut saat ini dan pasti berpikir keras akan maksud pertanyaannya. “A
Kedua mata Kaisar mengerjap beberapa kali. Memandang lama ke arah Ayahnya yang baru saja melemparkan bantal sofa, hingga tepat mengenai wajah tampannya. “Aneh-aneh saja kamu,” ucap Revan menggeleng pelan, menyandarkan punggungnya ke sofa. Rania menghela napas pelan, berniat untuk bangkit dari duduknya dan memasuki dapur. “Aku serius, Dad.” Ucap Kaisar tanpa ragu. Seketika kedua orang tuanya menatapnya terkejut, “aku sudah menikah diam-diam dengan seorang wanita.” Lanjutnya lirih. Revan mematung di sofa dengan mulut sedikit terbuka mendengar ucapan lirih Putranya. Sedikit melirik ke arah istrinya yang tak jauh berbeda, benar-benar terkejut mendengar kejujuran Putra sulung mereka. “Kaisar…” panggil Revan dengan suara bergetar. Pria setengah baya itu mencoba mengatur deru napasnya yang tidak beraturan, mencoba untuk tenang agar tak mencerca Putranya dengan pertanyaan. “Kapan?” tanya Revan pelan, memijit pangkal hidungnya yang terasa berdenyut. Rania kembali duduk di tempatnya. Me
Kaisar menggenggam erat ponsel di tangannya mendengar ucapan di seberang sana. Ia tahu jika hal itu sangat menganggu, tetapi amarah dan rasa penasaran tak bisa menghentikan niatnya untuk segera menghubungi sepupunya itu."Aku tanya, kamu waras?" Tanya Demian lagi, terdengar jelas nada datar di seberang telepon.Sesaat Kaisar tetap diam. Tatapannya menajam menatap tembok ruang kerjanya, tak memedulikan sosok adiknya yang kini memasuki ruangan itu."Aku tanya, di mana dia?!" Sentak Kaisar mengabaikan pertanyaan Demian.Helaan napas pelan terdengar di seberang telepon."Dia siapa?"Terdengar jelas nada tak tahu dari ucapan sepupunya itu."Adelia!" Sentak Kaisar mengebrak meja kerjanya.Tubuh Raila terkesiap mendengar suara teriakan dan gebrakan meja itu. Ia menatap kakaknya dengan mengerjapkan mata beberapa kali.'Adelia... Apa itu nama Istri Kak Kaisar?' batin Raila mulai menyimpulkan.Keheningan menguasai di seberang sana, membuat kening Kaisar mengerut lalu menjauhkan benda pipih itu d