Perkataan pria tersebut mengejutkan Richard, bahkan Oscar sampai menolehkan kepala. Mereka menatap orang itu. Apakah benar pelaku penembakan sudah ditangkap? Richard pun bertanya, “Pelaku penembakan yang mana?”“Yang mana lagi kalau bukan yang sudah membunuh Maxton? Aku tidak terima apa yang dilakukan pelaku kepada rekan kerjaku, makanya diam-diam aku mencari tahu tentangnya. Kebetulan sekali dia sedang berada di Battipaglia. Mudah untukku menemukan si pelaku,” jawabnya.“Benarkah? Sejak kapan kau tahu bahwa pelaku berada di Battipaglia?” tanya Oscar.“Minggu lalu. Aku mendapatkan informasi dari seseorang yang aku kenal. Memang tidak mudah untuk menangkapnya dan aku harus melalui kesulitan karena bekerja seorang diri, tapi aku berhasil membuatnya mengakui perbuatan dia.” Jawaban pria itu membuat Richard berdiri dari duduknya. Pria ini menghampiri sebuah koper yang dibawa oleh si pria. Merasa sang bos sudah menyadari sesuatu yang ada di dalam koper, pria tersebut pun menghampiri.“Kau
Tim Chasseurs tampak sibuk mempersiapkan diri mereka untuk menjalankan misi selanjutnya. Misi ini cukup sulit hingga Fritz dan Letizia diikutsertakan untuk kesekian kali. Dua insan itu tidak bisa menolak karena sang bos yang meminta keduanya bergabung. Ditambah tidak ada misi yang harus dijalankan Fritz atau Letizia.Sebenarnya Fritz enggan menjalankan misi bersama Callista, karena terakhir kali mereka hendak melakukannya, mereka dihadang oleh ValHolitz. Fritz tidak mau berhadapan lagi dengan para mafia itu. Dirinya sempat menolak misi dari sang bos, tapi Alberto keras kepala membuat dia tidak bisa berbuat apapun.Alberto bilang kalau seseorang yang akan dihadapi tim Chasseurs cukup merepotkan, apalagi ada anak buah yang menjaga target mereka. Beruntungnya anak buah musuh tersebut tidaklah banyak, hanya ada beberapa. Namun tetap saja, mereka harus tetap berhati-hati karena musuh bersenjata.Fritz melihat Callista yang sedang melamun di dalam mobil. Pria ini pun menghampiri sang teman
Callista membuka matanya perlahan, seketika dia meringis kesakitan di area kepalanya. Callista mencoba untuk melihat di mana dirinya berada. Sebuah ruangan rumah sakit tampak jelas di mata dia, beberapa orang tampak sedang berbicara. Callista pun menolehkan kepala ke arah kanan ranjang, dia terkejut melihat ada Vittoria di ranjang sampingnya. Sementara di ranjang sebelah kanan ada Justin yang sedang terduduk di tepi ranjang. Kepala Justin di perban, dan terdapat luka-luka di lengannya.Callista tidak bisa melihat orang yang ada di ranjang depan, begitupun ranjang yang ada di sebelah ranjang depan itu. Di mana yang lainnya? Kenapa mereka tidak ada? Apa yang terjadi sebelum mereka ada di sini? Pertanyaan itulah yang diajukan Callista di dalam benak. Dirinya pun melihat lagi ke arah Justin.“Justin?!” serunya. Pria itu menoleh. Tampak terkejut seraya berdiri dari duduknya.“Syukurlah kau sudah sadar. Aku begitu panik ketika kau dan yang lainnya ti
“Kau jangan bercanda, Rico!” omel Vittoria. Federico menggelengkan kepalanya.Dengan wajah serius, dia berkata, “Tidak, Vitt! Beberapa menit lalu Letizia tersadar dari pingsannya, dia tidak ingat siapa aku, malah menanyakan seseorang yang dia panggil kakak. Ketika ku panggil dokter, katanya ada kemungkinan kalau Letizia mengalami gegar otak.”“Gegar otak?” tanya Callista. Federico menoleh dan mengangguk.“Letizia akan menjalankan pemeriksaan lebih lanjut, tapi kita harus memanggil keluarganya untuk menandatangani surat dari dokter,” jawabnya. Callista mendengkus pelan. Dia tidak menyangka kalau Letizia sampai hilang ingatan.“Setahuku kakak wanita itu sudah tiada,” ungkapnya membuat tiga orang itu menoleh.“Apakah kau tahu keluarganya?” tanya Federico.“Tidak,” jawab Callista. Mereka pun saling terdiam satu sama lain. Mereka kebingungan karena tidak tahu apap
Callista dan Vittoria sudah diperbolehkan untuk pulang. Sebebasnya mereka dari perawatan, keduanya langsung pergi dari ruang rawat. Vittoria menemui Lionello, sementara itu Callista menemui Letizia. Wanita tersebut masih hilang ingatan, menurut dokter Letizia mengalami gegar otak ringan dan amnesianya hanya sementara. Perlu waktu lama untuk membuatnya mengingat kembali. Dokter meminta agar Letizia tidak dipaksa untuk mengingat karena akan membuatnya memaksa mengingat dan hal tersebut cukup berbahaya untuk otaknya. Akan jauh lebih baik kalau Callista serta yang lain mengingatkan masa lalu Letizia secara perlahan.“Kapan aku akan pulang?” tanya Letizia.“Mungkin beberapa hari lagi, dokter bilang kalau kau akan menjalani beberapa pemeriksaan setelah itu kau boleh pulang,” jawab Callista. Letizia hanya manggut-manggut saja.Sejujurnya Callista enggan untuk menjenguknya karena dia tidak begitu mengenal Letizia, ditambah dia sibuk mengurusi hal
Callista begitu terkejut setelah melihat siapa orang yang ada di depannya. Seorang pria yang dia kenal terduduk di atas kursi, diikat dan wajah babak belur. Callista yakin Justin tidak mungkin diam saja ketika melakukan interogasi terhadap pria ini. Pasti pukulan demi pukulan dilakukan agar pria itu berbicara.“Hahaha … ternyata … ternyata kau anggota Forezsther. Untuk apa kau menanyakan tentang bosku? Apakah untuk mencuri informasi? Aku yakin bos sudah tahu SIAPA DIRIMU!” oceh orang itu. Callista hanya bisa mematung, dia tidak menyangka kalau orang inilah yang sudah menabrak mobil tim Chasseurs.“Kau mengenalnya, Zouch?” tanya Justin. Callista mengangguk pelan.“Dia adalah Gabriel, salah satu anggota ValHolitz. Beberapa waktu lalu aku bertemu dengannya untuk meminta informasi tentang bos dia,” jawab Callista. Terdengar Justin membuang napas dengan kasar. Sepertinya kecelakaan itu masih berhubungan dengan apa yan
“Kebetulan sekali kita bertemu, Richard. Baru saja aku ingin menghubungimu,” kata Callista membuat pria itu mengangkat kedua alisnya.“Menghubungiku? Memangnya ada apa?” tanya Richard.“Kau masih ingat kalau aku sedang mencari pelaku yang sudah membunuh suamiku, kan?” tanya balik Callista. Richard menganggukkan kepalanya. Callista melanjutkan, “Aku sudah memiliki petunjuk besar yang mengarahkannya kepada si pelaku.”Tampak Richard membelalakkan matanya. Tentu saja Callista menyadari kalau pria itu terkejut. Entah kenapa Callista merasa kalau Richard mengetahui sesuatu, buktinya saja dia sampai berekspresi seperti itu ketika Callista berkata begitu. Apakah Richard benar-benar terlibat dengan kejadian penembakan itu? Tanya Callista dalam hati.“Ke-kemajuan yang bagus kalau begitu,” kata Richard. Callista mengangguk.“Ya, mungkin petunjuk itu bisa membuatku tahu siapa pelaku penembakan.
“Ehm … aku … aku ha-““Jangan memasang wajah seperti itu! Tunjukkanlah seringaianmu, tatapan tajammu dan niat membunuhmu kepadaku! Tidak usah berpura-pura lagi!” tukasnya untuk kesekian kali. Dia sudah muak melihat wajah Richard yang terus berpura-pura seperti itu. Bahkan tidak menunjukkan diri sebagai sosok seorang bos mafia.Tentu saja hal tersebut membuat Callista semakin kesal. Apalagi dia bisa merasakan kalau Richard tidak memiliki niat untuk membunuhnya. Banyak pertanyaan yang ada di benak dia tentang pria di depannya ini. Namun dia harus menahan diri untuk tidak mempertanyakannya sekaligus. Dia yakin tempat ini aman dan tidak mungkin anak buah ValHolitz bisa datang ke sini. Apalagi dia tahu kalau Richard sama sekali tidak mengeluarkan alat komunikasi untuk menghubungi anak-anak buahnya.Sayang sekali, Richard masih memasang ekspresi datarnya. Pria ini berkata, “Aku rasa kau tidak perlu tahu apa alasanku berusaha