Viona mengajak Bintara pergi berkencan. Awalnya Bintara heran mengapa Viona mengajaknya ke berbagai tempat, tapi setelah melihat keadaan Viona yang tampak lebih kurus dan pucat, membuat Bintara menyetujuinya. Bintara merasa Viona sedang banyak pikiran sehingga perlu merelaksasikan pikirannya.Mereka baru saja keluar dari restoran setelah melakukan makan malam romantic. Selanjutnya Viona mengajak Bintara ke bioskop untuk menonton film. Bintara pun menuruti apa yang kekasihnya mau. Ia menjalankan mobil menuju tempat itu.“Kau sedikit berbeda hari ini, Sayang. Apa yang terjadi? Maaf aku terlalu sibuk sehingga tak menanyai kabarmu seperti biasa,” tanya Bintara yang fokus pada kemudinya.“Tak ada yang berbeda, Bin. Aku hanya perlu menyegarkan pikiranku saja. Tugas kuliah menumpuk, mengurus kafe, dan mengunjungi ayahku yang tak kunjung bangun. Itu berat bagiku, Bin.”“Bersabarlah, Vi. Sebentar lagi aku akan menang dan mengangkat apa yang membebanimu,” ucap Bintara meoleh sambil tersenyum.V
Penyesalan mendalam yang Viona tuai membuat dirinya seakan hancur. Ia meraung sendirian di kamar mandi, menatap wajahnya yang telah mengecewakan kekasihnya sedemikian rupa. Masih segar diingatannya bagaimana wajah Bintara melihat rekaman dirinya berciuman dengan Ferry. Untuk pertama kalinya ia melihat Bintara menangis sesakit itu. Rasanya Viona ingin berlutut dan meminta maaf sejadi-jadinya. Atau memohon pada siapapun yang bisa menghentikan waktu dan menghapus memori buruk itu. Namun, kenyataan tak bisa sesuai dengan apa yang ia inginkan.“Maafkan kau, Bin. Maafkan aku, Sayang. Aku sudah khianati kamu dengan cara yang menyakitian. Aku bodoh, Bin. Aku bodoh,” racau Viona dengan tubuh merosot ke lantai. Walau tangisan tak akan mengubah apapun, tetapi tangisan itu keluar tanpa bisa dijeda sedikit pun. Viona beribu-ribu kali menyesali perbuatannya.Viona mencoba menghubungi Bintara. Sudah panggilan ke sebelas Bintara tak menyahuti panggilannya juga. Viona mengirim rentetan pesan yang ia h
Laras membuka kain putih yang menutupi tubuh seseorang di ruang mayat. Begitu kain itu terbuka, Laras sontak mundur ke belakang saking terkejutnya. Ternyata benar pria itu adalah salah satu anak buahnya yang ia kirim ke mansion Bintara untuk menyelidiki tentang ilmu yang Bintara miliki.“Anak itu sungguh adalah monster. Di-dia membunuh anak buahku yang terhebat dengan semudah ini. H-hah ….” Laras memegangi lututnya yang tiba-tiba saja lemas.“Ah, benar. Kak Helda pasti bisa membantuku. Aku bisa meminta bantuan padanya lagi.”To : HeldaHalo, Kak Helda. Maaf aku menghubungimu untuk meminta bantuan lagi. Aku sungguh membutuhkan bantuanmu, Kak. Kau tau, Bintara semakin mengganas. Jika terus dibiarkan maka aku bisa mati, Kak. Lebih buruknya lagi aku akan membusuk dalam penjara. Aku mohon bantu aku kali ini.Ini bukan lelucon, ini fakta yang aku saksikan. Bahkan David dan anak buahku yang lainnya juga menyaksikannya, Kak. Bintara mempunyai sebuah Ilmu yang sangat hebat. Dia bisa melesat de
Dua orang anak buah Bintara sedang memantau Geo yang sedang mengambil bahan baku obat di pelabuhan. Transaksi diam-diam Geo terus dipantau hingga ia menjauh dari pelabuhan menuju motor tossa yang ia parkir tak jauh dari sana. Geo memakai penyamaran seperti kumis, janggut, dan topi hitam yang telah usang.Motor tossa itu terus melaju membelah jalanan. Geo menempuh jalan tembus yang sepi, hingga memasuki jalanan menuju hutan yang terlihat tak mulus. Untuk antisipasi ketahuan, anak buah Bintara meninggalkan mobil di depan gang itu saja. Mereka mengikuti Geo dengan berjalan kaki sembari bersembunyi sesekali. Jalanan yang berlubang membuat motor toss aitu tak bisa jalan dengan laju dan mulus.Akhirnya sampailah Geo di depan sebuah rumah petak yang di depannya banyak sekali tumpukan padi. Rumah kayu dengan dilapsi seng itu layaknya tempat penggilingan padi. Bahkan di luarnya ada sebuah alat untuk menggiling padi tersebut. Salah satu anak buah Bintara memotret tempat itu dan mengirimkan loka
Dua jam setelah disuntikkan Penawar, keadaan Marvin meninggkat dengan sangat baik. Bintara dan Viona sangat senang mendengar hal itu dari dokter. Kata dokter, tinggal menunggu pasien bangun dari masa komanya. Viona yang bahagia nyaris meneteskan air mata. Ia sempat berpikir tak akan pernah bisa berbicara dengan ayahnya lagi.Usai kepergian dokter dari ruangan, keadaan tempat itu jadi terasa canggung. Viona menatap Bintara yang ada di sisi lain ranjang ayahnya. Bintara tampak menatap wajah Marvin dengan senyum tipis.“B-Bin,” panggil Viona ragu.Bintara menoleh dengan ekspresi santainya. “Aku harus segera kembali. Masih banyak yang harus aku urus mengenai pabrik obat itu. Jaga dirimu baik-baik,” ucapnya seraya berbalik badan.“Bin, ayo bicara sebentar!” pinta Viona, membuat langkah Bintara terhenti.“Vi, bisakah lain kali saja?” Bintara menyahuti tanpa menoleh pada lawan bicaranya.“Aku nyaris mati karena rasa bersalah. Setiap kali aku mengingat kebodohanku, ia terasa sangat mencekikku
Viona sangat senang melihat ayahnya sudah sadar dari koma. Meski tak bisa banyak bicara, Marvin masih ingat putrinya dan merespon sebisa mungkin. Bintara baru saja datang setelah menyelesaikan pekerjaannya di kantor. Ia memberi salam hormat pada Marvin begitu bertemu tatap dengan beliau.“Apa kau Bintara?”Bintara melirik Viona tersenyum malu, lalu ia mengangguk. “Benar, Pak Marvin. Aku Bintara,” sahutnya tersenyum tipis.“Viona banyak bercerita tentang kekasihnya yang tampan. Ternyata dia tak berbohong. Apa kau yang menyelamatkanku?” Marvin berbicara dengan nada pelan dan sedikit lambat.“Aku melakukannya demi kebaikanku dan Viona. Bagaimana pun, senang melihat Anda kembali sehat.”“Terima kasih. Aku akan membalas jasamu lain waktu,” ucap Marvin tersenyum.“Jangan pikirkan itu, Pak. Mendapat restu darimu saja sudah lebih dari cukup,” sahut Bintara.“Jelas saja aku merestui kalian,” sahut Marvin membuat Bintara dan Viona tertawa kecil. Viona sangat lega melihat ayahnya sehat dan mau m
Bintara dan Viona sudah sampai di depan rumah Geo. Viona menatap sendu rumah sederhana milik Geo. Apalagi ia tahu jikalau tulang punggung di rumah itu sedang menjadi buronan polisi. Viona prihatin rasanya pada keluarga itu. Bintara keluar dari mobil, Viona juga melakukan hal yang sama. Bintara merangkul pundak Viona mendekati rumah tersebut.Bintara mengetuk pintu, terdengar suara langkah kaki pelan dari dalam. Tak lama pintu terbuka menampakkan raut pias wajah ibunya Geo. Bintara tersenyum ramah padanya.“Salam malam, Bu. Maaf bertamu malam-malam seperti ini,” ucap Bintara.“Tak apa, Nak. Ibu senang kau berkunjung kembali. Silakan masuk!”Bintara dan Viona pun masuk ke dalam rumah tersebut. Di ruang tengah itu kedua adik Geo sedang bermain bersama. Ada banyak mainan di lantai yang berhamburan. Ibunya Geo pun menyuruh keduanya untuk duduk di sofa.“Duduklah. Aku akan membuatkan kalian teh hangat.”“Tak perlu repot-repot, Bu. Kami hanya mampir sebentar saja. Ada yang ingin aku bicaraka
Bintara mendapatkan laporan dari Erdo bahwa videonya membanting mobil Barnad viral di sosial media. Rekaman itu berasal dari kamera dashboard mobil Barnad yang merekam kejadian malam itu merekamnya dan baru mengunggahnya kemarin. Bintara merasa dirinya sungguh lalai akan hal itu, ia tak terpikir sama sekali tentang kamera di dalam mobil itu. Bintara lekas membuka sosial media, ada banyak sekali artikel bermunculan dengan berbagai sudut pandang. Ada yang mengatakan dirinya seperti superhero di kehidupan nyata dan ada yang menduga korban adalah WNA dari Hongkong yang ditemukan tewas di jalan tersebut.“Sial! Siapa yang sudah mengambil kamera itu? Tak mungkin polisi melakukannya. Unggahan pertama kali video ini dari akun kosong yang baru saja dibuat. Itu berarti orang lain yang memosting ini,” gumam Bintara merasa cemas. “Laras? Shhh … wanita itu sungguh ingin aku musnahkan juga ternyata. Aku selalu menahan diri untuk tak melukainya. Tapi kali ini dia mencoba menguak identitas asliku.”B
Bintara dan Viona melanjutkan makan malam mereka yang tertunda, membiarkan Rusmini dan David entah langsung pulang atau mengunjungi tempat lain. Setelah sekian lama Viona sudah tak melihat wajah bahagia yang polos kekasihnya. Terakhir ia lihat ketika zaman sekolah SMA dulu.“Kau ingat hari pertama kali kita menjadi sepasang kekasih? Aku yang menyatakan cinta lebih dulu,” sindir Viona tersenyum geli.Tentu saja Bintara merasa terlukai harga dirinya. Ia menatap malas Viona yang sedang menertawakannya. “Itu karena aku sadar diri. Dulu aku tak setampan ini dan memiliki banyak kekurangan. Aku tuli dan penyakitan. Aku juga bukan anak yang diharapkan oleh ayahku. Jadi kepercayaan diriku lenyap karena itu. Aku sungguh tak menduga bagaimana bisa kau menyukaiku yang dulu? Jika aku yang dulu adalah aku yang sekarang, sangat wajar kau menyukai pria tampan, hebat, dan mapan ini,” tutur Bintara yang awalnya merendahkan diri berakhir membanggakan diri. Viona berdecih mendengarnya.“Itu karena kau or
Bintara berdesis saking gemasnya dengan kelakuan Viona yang ternyata hadir ke kampus. Siang ini Bintara menjemput kekasihnya itu sekalian meminta penjelasan mengapa kekasihnya itu tak mendengarkan saran darinya.“Halo, Sayang aku!” Viona langsung memeluk Bintara yang tak membalas pelukannya.“Mengapa kau tak menurutiku?” Pertanyaan dingin dari Bintara membuat Viona melepaskan pelukan itu dengan tampang cemberut.“Hari ini ada test penting. Aku harus hadir ke kampus, Bin. Lagipula aku sudah tak apa. Kau jangan terlalu khawatir seperti ini. Yang harus kau khawatirkan adalah keadaan perutku, aku sangat lapar,” ucap Viona sedikit merengek.“Merengek memang andalanmu,” sahut Bintara berjalan lebih dulu ke arah mobilnya. Ia tetap membukakan pintu untuk Viona walau tak menunggu gadis itu masuk langsung berjalan ke arah pintu mobil bagian kemudi.Bintara menjelankan mobil meninggalkan kampus Viona. Tujuan mereka adalah sebuah restaurant ala Korea yang tak jauh dari kampus Viona. Bintara memes
Rusmini telah pulang ke rumahnya, begitu pun dengan David. Sore ini Viona sudah diperbolehkan pulang, hanya saja ia menunggu infus habis. Bintara dengan setiap menungguinya.“Vi, apa menurutmu baiknya Ibu kembali pada ayah? Mendengar ayah akan pergi ke Paris dan memutuskan untuk menyendiri, rasanya aku juga merasakan kesepian yang ayahku rasakan. Ketulusan ayah juga tampak ketika ia memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah bercerai dengan ibumu,” lontar Bintara sembari mengupas buah apel.“Kalau menurutku … lebih baik persatukan mereka lagi, Bin. Walau aku tak begitu dekat dengan ibumu, tapi entah mengapa aku bisa melihat bahwa ibumu masih menyimpan perasaaan pada ayahmu. Hanya saja ibumu mempertimbangkan banyak hal hingga tak ingin menuruti kemauan hatinya. Salah satunya juga trauma yang ibumu miliki, Bin. Ibumu pasti takut jikalau ayahmu kembali seperti yang dulu dan menyakiti kalian lagi. Maka jalan satu-satunya yang bisa kau ambil adalah menyakinkan ibumu bahwa pemikiran buruk
Laras tertangkap saat mencoba melarikan diri ke luar kota bersama dengan anak buahnya. Berita tentang penangkapan itupun masuk berita pada pagi hari ini. Viona dan Bintara menatap layar televisi di rumah sakit. Tampak Laras dengan tampilan berantakan diborgol polisi. Tatapan wanita itu sangat kosong dan tubuhnya sangat lesu. Viona sudah mengetahui hal itu sejak ia bersama dengan ibunya di mobil.“Ibu pasti sangat tertekan hingga mentalnya terguncang. Ibu sangat mengerikan ketika membentakku di mobil waktu itu. Sorot matanya tak wajar, antara takut dan juga marah yang membumbung tinggi.” ungkap Viona.Bintara mengusap pundak kekasihnya dengan lembut dan memeluknya dari samping. “Mungkin kau sedih melihat ibuku seperti itu, Sayang. Tapi itulah yang terbaik untuk ibumu. Tak ada yang bisa mengendalikan ibumu selama ini. Dia terus saja membuat rencana-rencana jahat yang merugikan keluargaku, aku, dan juga dirimu. Aku tak ingin menyaksikan dan merasakan kesakitan keluargaku lagi karena dia,
Viona tak tahu kemana ia akan dibawa, tetapi ibunya terlihat sangat tenang. Walau bersama sang Ibu, tetapi Viona merasakan kekhawatiran yang luar biasa. Apakah ini normal? Mengapa ia justru merasa tak akan ketika bersama dengan ibunya sendiri? Viona menoleh ke belakang, tampak sebuah mobil mengikuti mereka. Bukan mobil Bintara, tetapi mobil anak buahnya.“Bu, sepertinya kita diikuti,” ucap Viona.“Tenang, Viona. Anak buah ibu adalah mantan pembalap dulunya. Dia lihai untuk menghindari kejaran itu. Kau tenang saja, mereka tak akan menemukan kita setelah ini,” sahut Laras tersenyum penuh arti.“Memangnya kita akan ke mana, Bu?”“Tentu saja ke tempat yang tenang dan tak ada siapapun yang dapat menemukan kita,” sahut Laras.“Mengapa tak ke kantor polisi saja? Mereka tak akan macam-macam kalau kita ke kantor polisi, Bu,” ucap Viona memberi saran.“Diam kau, Viona! Jangan sekali-sekali kau sebut nama tempat itu! Ibu tak ingin mendengar tempat terkutuk itu!” Hardik Laras dengan tatapan tajam
Usai membayar ganti rugi, Laras pun dibebaskan oleh polisi. Ia keluar dari kantor polisi dengan keadaan yang berantakan. Tatapannya kosong, eyeliner-nya luntur, dan rambutnya berantakan. Laras tak peduli dengan tatapan orang-orang padanya. Sesaat dirinya seperti tak memikirkan apa-apa, lalu tiba-tiba ia teringat kembali dengan kejadian yang baru saja menimpanya. Bagaimana bahagianya ia berselfi dengan David, kedatangan Hendrik yang tiba-tiba merusak suasana, dan hadirnya Bintara yang menjadi akhir dari hubungan dengan suaminya.“Semua ini gara-gara Bintara! Dia pasti telah menyusun rencana ini untuk menghancurkan hidupku! Cih, baiklah. Lihat bagaimana aku bisa menghancurkan hidupmu Bintara! Lihat! Aku bahkan tak peduli meski harus mengorbankan putri Marvin itu!”Laras memesan taksi. Ia menunggu di pinggir jalan dengan berbagai rencana yang saling berlalu lalang di kepalanya. Berbagai kemungkinan buruk pun terbayang-bayang. Apa yang akan dilakukan David setelah ini? Menceraikannya atau
“Apa benar semua itu, Laras?” David bertanya dengan nada dingin.Laras langsung bersujud di hadapan David sambil menangis tersedu untuk meminta ampun.“Mas, maafin aku. Aku nggak bermaksud membohongimu. Aku awalnya tak tahu jikalau Sonny adalah anak dari Hendrik. Aku pikir memang anak kita karena kita juga melakukan hubungan suami istri, bukan?”“Tapi kau tak bicara apapun setelah mengetahui Sonny bukan anakku! Kau menipuku hingga hari ini, Laras! Bahkan kau menikahiku karena orang tuamu memiliki dendam terhadap keluargaku? Pantas saja kau selalu memaksaku untuk mengalihkan kepemilikan perusahaan atas namamu dan juga Sonny. Begitu aku bangkrut, kau akan pergi dan bahagia dengan pria itu!” bentak David dengan tatapan berapi-api.Laras semakin menangis sambil menangkup kedua tangannya di hadapan wajah. Ia memohon pada David dengan sejadi-jadinya bahwa ia sangat menyesali perbuatannya. “Aku mohon maafkan aku, Mas. Kali ini saja maafkan aku. Aku memang awalnya menuruti permintaan orang tu
Laras berdandan dengan sangat cantik malam ini. Ia menggenakan gaun hitam selutut yang ketat dan lipstick yang tebal merah merona. Belum lagi highheel yang ia pakai membuatnya merasa bak modal di depan cermin ketika mematut dirinya sendiri. Laras sangat bangga dengan penampilannya malam ini. Hari ini adalah hari ulang tahunnya, Laras merasa jikalau David pasti sudah menyiapkan kejuatan ulangtahun untuknya, membayangkan saja sudah membuat Laras kegirangan bukan main.David sudah menunggu di dalam mobil. Ia menoleh ke arah pintu, Laras dan Sonny belum kunjung keluar juga. David memutuskan untuk menelepon Bintara untuk memastikan rencana mereka hari ini seperti apa.“Halo, Yah?’’“Halo, Bintara. Jadi gimana, Ayah dan Laras beserta Sonny akan segera berangkat ke restaurant itu. Kapan kalian akan datang? Takutnya setelah selesai makan, kalian baru datang. Timingnya nanti tidak tepat, Nak. Apa perlu Ayah kasih kode nanti lewat pesan?”“Tidak perlu, Yah. Kami sudah stand by di parkiran resta
Rusmini datang bersamaan dengan Laras yang datang ke kantor. Laras mencoba tak peduli dengan wanita yang ia anggap musuh berat tersebut. Begitu pula dengan Rusmini yang memilih acuh tak acuh dengan raut wajah yang sangat tenang. Begitu mereka memasuki kantor, setiap karyawan yang mereka lewati lebih memilih menyapa Rusmini. Jika dibandingkan 7:3 yang menyapa mereka. Tentunya banyak yang menyapa Rusmini. Hal itu membuat hati Laras terasa terbakar. Mereka memasuki lift yang sama. Laras sengaja melakukanya karena ada sesuatu yang ingin ia ucapkan pada Rusmini.“Kemarin suamiku mengajak aku dan putraku makan bersama di hari ulang tahunku. Lega rasanya mendengar dia masih memperhatikanku. Aku pikir dia kepincut dengan janda rendahan di sekitarnya,” ucap Laras dengan nada menyindir.Rusmini tersenyum tenang mendengarnya. “Syukurlah dia tak kepincut janda di luar sana. Jadi ketika dia ingin kembali padaku, aku tak ragu untuk menerimanya.”Laras menatap nyalang Rusmini di sampingnya. “Kau tak