"Ma.... Mama..!!" Aku mengetuk pintu kamar yang tadi ditutup dengan kasar.Tak ada suara apapun dari dalam, aku semakin panik. Ingin rasanya kutelepon Mas Galih, tapi aku takut. Apa sebenarnya yang terjadi pada Mama?"Ma.. ini Murti... Mama gak apa-apa?"Masih tak ada suara, aku menggaruk kepala, bingung. Bi Resti terlihat di bawah sambil meremas celemeknya. Wajahnya terlihat cemas. Aku kembali mengetuk pintu. Setelah beberapa kali, akhirnya kunci pintu dibuka. Tak ada suara apa pun lagi, keadaan benda persegi panjang berwarna putih itu masih tertutup.Aku menarik knop pintu, perlahan kubuka."Ma.." aku menyembulkan kepala mengamati keadaan kamar yang luas.Kondisi kamar begitu kacau, selimut dan bantal berserakan, porselen hiasan dan cermin di kamar pecah berantakan. Membuatku begidik ngeri ingin masuk. Tapi aku khawatir, takut terjadi apa-apa pada Mama."Mama... Murti masuk, ya!" ucapku sambil melangkahkan kaki perlahan.Terdengar suara isakan pilu di balik tirai yang menutupi pint
"Halo, Mas..." sapaku dari ujung telepon. "Mur.. maaf ya aku gak bisa pulang antar makanannya, nanti makan siang kamu diantar sama kurir. Ada buah-buahan juga aku bawain, makan sendiri yang banyak ya. Maaf aku gak bisa temenin," ucap suamiku."Iya, gak apa-apa. Emang kamu mau kemana, Mas?" tanyaku."Aku ada urusan mendadak, Mur. Nanti aku ceritain ya," jelasnya."Oke, ya udah.. kamu hati-hati ya, jangan telat makan dan sholat!" "Ya sayang, tepat jam dua belas nanti aku panggil kurir untuk kirim makanannya ya," ucapnya lagi."Iya, Mas. Gak apa-apa.. gak usah buru-buru, aku belum lapar."Setelah itu panggilan berakhir. Aku menatap Mama, ternyata benar apa yang diucapkannya bahwa Mas Galih tidak akan pulang ke rumah."Ma.. Murti pulang dulu ya, setelah ambil makanan Murti kesini lagi," aku pamit pada Mama yang masih dalam keadaan sedih."Gak usah, Mur. Kamu di rumah aja... besok Mama yang akan ke rumahmu, Mama janji akan ceritakan semuanya sama kamu. Mama tau, kamu pasti bingung dengan
"Tolooong..!!!" teriakku tanpa henti.Tukang ojek itu malah tertawa remeh. Dia melempar ponselku ke sembarang arah dan terus mendekat. Tubuhku mulai gemetar dan aku pun menangis ketakutan.'Ya Allah, aku pasrahkan padamu. Hanya Engkau yang dapat menolongku saat ini,' aku memejamkan mata dan terus berdoa memohon pertolongan pada Allah."Woiy.. ngapain lu!" Teriakan seseorang membuatku membuka mata. Sekitar sepuluh orang memakai pakaian khas petani, beberapa diantaranya memegang cangkul dan parang.Seketika wajah Abang tukang ojek itu menjadi pias. "Bapak-bapak.. tolong saya!" teriakku.Serombongan petani itu bergerak mendekat."Jangan lari lu!" Teriak seorang Bapak berwajah sangar memegang cangkul di bahunya.Si tukang ojek segera menaiki motornya dengan tergesa-gesa sampai motornya hampir terjatuh. Sangking paniknya, dia pun tak bisa menyalakan motornya itu."Sial!" Gumam pria berjaket hitam itu yang terdengar olehku."Mau kemana lu!" Seorang pemuda dengan parang yang bersarang di
"Kalian siapa?" bentak Kak Rian sarkas."Kak, tenang dulu. Ini mereka petani yang tadi nolongin aku, kalau gak ada mereka gak tau gimana nasib aku sekarang," ucapku lirih."Astaghfirullah... maafkan saya, Pak."Kak Rian mengulurkan tangannya pada Bapak berwajah sangar. Beliau menyambutnya dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sementara itu, Ardi dan Angga juga bersalaman pada Kak Rian."Terima kasih sudah menolong adik saya, semoga Allah membalas kebaikan Bapak dan Mas sekalian.." ucap Kak Rian terharu.Aku pun ikut kembali sedih, baru kali ini aku melihat ekspresi kakakku itu bersedih, panik dan khawatir. Biasanya dia selalu bersikap datar dan lebih dikatakan cuek. Tak peduli keadaan, tak peduli situasi. Tapi kali ini, tampak sikap tersembunyi kak Rian, dia begitu peduli dan penyanyang."Sama-sama, Mas. Sudah seharusnya kami membantu.." ucap Ardi ramah."Kalau gitu kita pamit dulu ya.. kalau suatu saat kita bertemu lagi, jangan sungkan untuk bertegur sapa," ucap Kak Rian.Setelah menguc
"Kak, mau kemana?" tanyaku heran."Kamu diem aja disini! Biar aku ikutin si Galih!" "Kak, gak usah lah! Dia kan cuma mau balik ke restoran aja," cegahku.Aku tidak ingin Kak Rian terus mencurigai suamiku dan selalu berburuk sangka kepadanya."Ya udah, kalau dia ke restorannya kenapa kamu ragu? Kakak juga sekalian pengen tau lokasi kerjanya dia. Udah kamu tenang aja! Gak usah khawatir suamimu itu aku apa-apain!" ucap Kak Rian sewot."Ya udah lah!" sahutku, pasrah.Aku percaya pada suamiku, dia sudah benar-benar berubah. Untuk apa kak Rian masih meragukannya. Dia tidak merasakan bagaimana perubahan Mas Galih, yang ada dipikirannya hanya kecurigaan.Kak Rian melajukan motornya dengan kecepatan tinggi untuk mengejar mobil Mas Galih. Aku menarik napas kasar. Sebenarnya aku masih terpikir oleh ucapan Mas Galih tadi. Sementara kak Rian terus mengomporiku sehingga membuatku ikut meragukan suamiku.'Ya Allah.. kuserahkan suamiku padamu. Engkau maha melihat dan mendengar. Lindungilah dia.' B
"Ada apa sayang?" "Kamu ngapain, Mas?" tanyaku masih bersikap biasa."Di restoran, kenapa?" Mas Galih pun bersikap biasa dan lebih tenang seperti tidak sedang menyembunyikan apa pun."Kamu sama siapa disitu?" tanyaku mulai menyelidik."Sendiri. Ya sama karyawan lah, emang ada apa, Mur?" Mas Galih tampak heran."Yakin kamu sendirian? Gak lagi sama cewek?" "Nih liat...." Mas Galih memutar kameranya dan memperlihatkan sekeliling.Tak ada siapa pun kecuali karyawan dan pelanggan restoran. Apa mungkin Dilla sudah pergi?"Udah? Gak ada siapa-siapa kan? Kamu curiga sama aku? Kamu mikirin apa sih?" Mas Galih terlihat bingung."Gak, gak ada apa-apa. Aku cuma... khawatir aja sama kamu!" ucapku asal."Hmmm ya udah, aku pulang sekarang ya! Kamu mau dibawain apa?" tanya Mas Galih."Gak usah, Mas." Setelah itu aku mengakhiri panggilan. Hatiku kembali gundah meskipun tadi tak melihat ada siapa-siapa disana. Tapi tak mungkin juga kak Rian berbohong, bahkan dia menyuruhku untuk segera kesana dan me
"Seharusnya aku yang bertanya sama kamu, Mas. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan dariku?" Aku bertanya dengan suara lirih sedikit serak."Maksud kamu?" Mas Galih terlihat bingung. Tapi yang kutangkap dia sepertinya masih mempertahankan sandiwaranya."Apakah aku harus memergokimu lagi baru kamu mau mengakuinya, Mas?" lirihku, kembali menunduk."Tentang apa? Kamu ungkapkan saja, aku akan jujur sebisaku," ucap Mas Galih memegang tanganku dari balik mukena."Dilla. Apakah tadi kamu sedang bersama dia?" aku menatap mata sayu Mas Galih, menggambarkan gurat lelah dari wajahnya."Iya." Mas Galih menjawab dengan tegas."Apakah kamu dan dia...." rasanya aku tak sanggup melanjutkan pertanyaanku. Dadaku begitu sesak."Mur... sebenarnya ada satu hal yang belum bisa aku ceritakan ke kamu. Aku bingung..." lirihnya lalu menunduk. Tangannya belum melepas genggamanku."Tentang Dilla?" Aku menebak. Namun dalam pikiranku hanya ada satu masalah. Sejak Dilla hadir setelah aku mulai meraih kebahagiaan, h
"Katakan saja, Mas. Aku akan menerima apa pun jawabanmu." Meskipun mataku mulai berembun. Jika memang Mas Galih sudah tidur dengan Dilla, itu artinya, wanita itu sudah sah menjadi maduku. Dilla, dia memang licik. Tidak mungkin semudah itu mau melepaskan Mas Galih. Apalagi dari dulu, dia memang mengejar Mas Galih"Belum, Mur. Tapi hampir.." Mas Galih berdiri menatapku lekat dengan sorot mata tegas."Maksudnya?" tanyaku."Saat aku mengantarnya pulang ke rumah kemarin, Dilla tiba-tiba memelukku dan mulai mencumbuiku. Lalu dia..." "Cukup Mas! Jangan diteruskan!"Aku segera memotong ucapan Mas Galih. Suamiku itu terlampau jujur. Aku tak sanggup mendengar kelanjutannya. Yang terpenting adalah mereka berdua belum tidur bersama. Itu sudah cukup menjadi jawaban bagiku."Baiklah, aku pergi dulu ya Mur! Ingat pesanku, jangan buka pintu untuk siapa pun kecuali Mama atau keluarga kamu!" Mas Galih menasehatiku sekali lagi. Aku jadi merasa was was."Emangnya kenapa, Mas? Apa nanti bakalan ada yan
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do