Tak lama kemudian, Intan masuk kembali masih dalam keadaan sesenggukan. Dia membawakan sepiring nasi beserta lauk pauk diatasnya."Makan dulu! Aku gak mau kamu mati dan akhirnya aku jadi pembunuh kayak kamu, Mbak!" ucapnya ketus.Namun aku melihat matanya melirik seperti memberi kode. Aku mengikuti arah matanya, ternyata dibawah piring ada sesuatu. Aku meraih piring berisi nasi yang dia sodorkan, lalu segera menggenggam kertas kecil yang Intan selipkan dibawahnya."Aku pergi dulu! Selesaikan makannya, setelah itu aku akan melepaskan kamu, Mbak," ucapnya lirih.Matanya menoleh pada sebuah lemari buku. Intan mengambil posisi membelakangi lemari itu lalu mengatakan padaku dengan mimik bibirnya tanpa suara, yang kutangkap dia sedang mengatakan, "disana ada kamera, kamar ini sudah disadap!"Mataku sontak membulat, tak bisa menutupi keterkejutanku. Dari raut wajahnya, Intan berharap aku paham dan pandai menggunakan situasi.Setelah Intan berlalu pergi, aku meletakkan kembali piring itu ke a
"Taksi..!" Aku melambai saat melihat taksi di seberang jalan. Beruntung dia sedang kosong dan menghampiriku.*** Ternyata lumayan jauh perjalananku menuju rumah, sekitar satu jam kemudian aku baru tiba di rumah. Sungguh tenagaku seperti terkuras habis. Perutku melilit luar biasa, lemas sekali."Assalamu'alaikum.." aku melangkah masuk ke dalam rumah yang pintunya tidak tertutup"Murti..!" "Sayang..." Mas Galih dan Mama berlari menghampiriku dengan wajah khawatir. Mama menangis memelukku. Kemudian bergantian dengan Mas Galih, dia terisak. Matanya sudah memerah menahan air mata."Kamu dari mana aja, Nak?" tanya Mama seraya menuntun tubuhku yang lemah untuk duduk di sofa."Sayang, kamu pucet banget. Bentar ya, aku ambilin kamu minum.." Mas Galih beranjak hendak ke dapur."Mas.." aku menarik tangannya, dia pun menoleh sambil menaikkan alisnya."Ada apa sayang?" "Aku lapar.." lirihku."Ya Allah.. Galih.. cepat ambilkan makanan untuk Murti!" Mama memerintah anaknya.Aku seperti akan ping
Aku masih tak percaya bahwa aku akan hamil secepat ini. Alhamdulillah ya Allah, akhirnya yang dinantikan datang juga.Mama mertua tak hentinya memelukku, air matanya deras membasahi pipinya yang mulai keriput itu.Mas Galih segera menyelesaikan pembayaran administrasi, lalu menebus resep yang diberikan dokter.Tidak ada penyakit yang serius lainnya, rasa mualku ini memang murni karena hamil saja. Jadi aku diperbolehkan pulang dengan catatan harus mengatur pola makan dan juga memperbanyak mengkonsumi vitamin.“Sayang, pelan-pelan..” ucap Mas Galih saat aku akan naik ke mobil. Dia memastikan terlebih dahulu bahwa aku duduk dengan nyaman, baru kemudian dia pergi ke kursi kemudi.Sementara Mama terus menjagaku. Tanganku digenggam layaknya seorang anak kecil yang akan jatuh. Sudah pasti setelah ini mereka berdua akan sangat over protective.Mama menelepon keluargaku untuk mengabarkan tentang berita bahagia ini. mama sibuk dengan gawainya sambil terus tersenyum gembira. Begitu pun dengan su
Setelah mobil mertuaku menjauh. Mas Galih mengajakku masuk sambil merangkul tubuhku.“Mas.. Mama dan Papa..” aku ragu mengucaPkannya, namun suamiku sebagai anaknya saja sangat bersikap tenang. Kenapa aku yang terlalu cemas?Aku mengerti, Papa bukanlah orang biasa. Namun apa masalahnya? Kenapa dia memperlakukan Mama dan aku seperti itu?“Mereka berdua baik-baik aja, Mur. percayalah, aku juga gak mau terjadi apa-apa diantara mereka berdua. Kita tidak perlu ikut campur jika tidak diminta,” Mas Galih menasehati.Aku menganguk mengerti. Meskipun ingin sekali aku mengungkapkan bahwa yang kutahu adalah, Papa itu orang yang sangat mengerikan dimataku sekarang. Tapi Mas Galih terlihat seperti membela sang Papa. Apa sebaiknya aku tidak usah menceritakan semuanya pada suamiku ini?***Mas Galih memperlakukanku layaknya seorang ratu. Sampai naik ke atas tempat tidur saja, dia meletakan kakiku dengan hati-hati, hingga membuatku terkekeh.“Kamu kenapa senyum-senyum gitu?” tanya Mas Galih setelah me
“Murti juga sedang mengandung anakku! ANAK KANDUNGKU!, mengerti?” Mas Galih menekan ucapannya.Untuk beberapa saat Dilla tecengang. Namun akhirnya dia tertawa seperti orang gila.“Hahahaha.. apa kamu bilang? Murti hamil? Bukannya dia m*ndul?” Dilla mencibir sambil menunjukku.“Jaga ucapanmu, Dilla! Jangan sampai kamu buat kesabaranku habis!” Mas Galih berdesis, penuh amarah.Aku malas menanggapi, pinggangku terasa sakit sekali karena terjatuh tadi.“Mas…” aku memekik kesakitan.“Ada apa, sayang? Perut kamu sakit?” tanya Mas Galih khawatir.“Bukan, tapi pinggangku, Mas..” ucapku.Suamiku melirik tajam pada Dilla seolah dia akan menerkam wanita itu.“Sebaiknya kamu pulang sekarang juga, atau aku akan mengusirmu dengan paksa!” Mas Galih mengeraskan rahang sambil menunjuk pintu keluar.“Baik, aku akan pergi! Tapi ingat, Galih! Aku memegang kelemahanmu! Dan kau Murti, lihat saja nanti!” ancam Dilla, lalu beranjak pergi.Aku dan Mas Galih sama sekali tidak mempedulikannya. Dan juga tidak ta
“Loh, kalian disini juga?”Suara seseorang membuatku dan Mas Galih kompak menoleh.“Eh, kak Yuni..” aku berdiri dan langsung memeluknya.Wanita yang selalu berdiri nomor satu saat aku tengah terpuruk itu membalas pelukanku. Dia wanita yang tangguh, mandiri, mapan, dan tentunya cantik. Sayangnya, belum menemukan jodoh yang menurutnya pas. Entah dia merasa pernikahan itu sangat mengerikan setelah mengetahui masalah rumah tanggaku dengan Mas Galih sejak awal.“Kakak disini? Gak kerja?” tanyaku setelah melepas pelukan.“Hari ini lagi cuti,” jawabnya.“kenapa?” aku bertanya kepo.“Mur… privasi!” bisik Mas Galih.Kami pun tertawa sejenak.“Kalian lagi pacaran?” tanya Kak Yuni seraya duduk di sebelahku.“Iya, aku nemenin Mas Galih yang lagi ngidam,” jawabku sambil tertawa kecil.“Ada tuh emang, bini yang lagi hamil lakinya yang ngidam..” kak Yuni terkekeh.“Oh, ya kakak tau dari siapa aku hamil?” tanyaku.“Kamu emang keterlaluan, Mur! Bisa-bisanya gak kasih tau aku kabar bahagia begini. Suda
“Maaf, Bu.. Pak.. disini tidak boleh mengemis..” ucapnya sopan sambil menangkupkan kedua tangan.Aku menahan tawa sambil menutup mulutku dengan tangan. Mas Galih membuka kacamatanya, lalu menatap resepsionis itu dengan tajam.“Kamu gak sopan, tamu dibilang pengemis!” desis Mas Galih sambil membuka kacamatanya.“Ma-maaf, saya gak bermaksud..” wanita berpakaian formal serba maroon itu menunduk bekali-kali dengan wajah piasnya.Sementara Mas Galih berbicara dengan resepsionis itu untuk memesan kamar disebelah kamar yang dipesan mantan pacarnya Dilla dengan Kak Yuni, aku menelepon kakak sepupuku itu.“Gak diangkat,” gumamku mulai khawatir.Lalu aku mengirim pesan padanya.[Kak, kalian dimana? Aku ngikutin kalian ke hotel ini.][Kak, aku kenal cowok itu, sebaiknya kakak hati-hati sama dia, aku khawatir. Tolong balas pesanku!]Beberapa menit kemudian, masih tidak ada jawaban.“Gimana, Mas?” tanyaku pada Mas Galih setelah berbincang dengan resepsionis itu, dan menghampiriku yang sedang duduk
“Halo..” sapa kak Yuni dengan suara lembut.Mas Galih menepikan mobil. Aku pun dengan seksama mendengarkan Kak Yuni menelepon sambil melihat ekspresinya.“Oh, itu.. aku malam ini gak bisa, Jo. Soalnya sudah ada janji,” jawab Kak Yuni.“Oke, terima kasih ya! Baik sampai jumpa,” ucap Kak Yuni, setelahnya mengakhiri panggilan.“Apa katanya, kak?” tanyaku segera.“Dia ngajak ketemuan malam ini, tapi aku tolak,” jawab kak Yuni sambil menghela napas.“Kenapa?” tanya Mas Galih yang ikut menoleh ke belakang.“Aku takut, woiy! Gimana kalau dia punya rencana jahat?” ucap Kak Yuni dengan wajah panik.Aku dan Mas Galih mengangguk, menyetujui keputusan Kak Yuni.Tring!Masuk pesan di ponsel kak Yuni, yang membuat Mas galih urung melanjutkan perjalanan.Kak Yuni membolakan matanya sambil memegang dada seperti orang terkejut.“Ada apa, kak?” aku pun ikut cemas.Kak Yuni tidak menjawab, lantas mengobrak abrik isi tasnya. Lalu mengambil suatu benda dengan tangan gemetar menunjukkannya padaku dan Mas G
Saat langkahku sampai di ruang tamu, ternyata Mas Galih membawa Intan ke rumah. Wanita itu semakin kurus, namun senyuman tersungging ramah ke arahku.Aku membalasnya dengan senyum pula seraya menghampirinya.“Intan.. apa kabar?” aku mengulurkan tangan dari jauh untuk memeluknya.Wanita berpakaian sederhana itu berdiri menyambut pelukanku. Mas Galih pasti sengaja lama datang karena menunggu Ibuku pulang terlebih dahulu agar bisa membawa Intan ke rumah.“Maaf ya, Mur.. aku gak sempat ngabarin kamu karena tadi ke rumah sakit dulu buat kontrol kondisi Intan,” ujar Mas Galih.Aku mengangguk, “lalu, bagaimana keadaanmu, Ntan? Sudah lebih baik, kan?” tanyaku.Intan tersenyum getir, pandangannya beralih pada suamiku. Sementara yang ditatap hanya salah tingkah. Apa yang mereka sembunyikan?“Oya, Mur, mana Faruq? Intan juga ingin melihatnya,” ucap Mas Galih berusaha mengalihkan pembicaraan tentang Intan.“Ada di kamar sama Fatin dan Dessy. Mereka sebentar lagi pulang, Mas. Jadi sekalian siap-si
Empat puluh hari pasca melahirkan.Hari ini, masa nifasku telah habis. Ibuku pun berberes untuk segera pulang ke kampung. Sebentar lagi Kak Rian akan menjemput Ibu.Semenjak kenyataan itu terungkap, Kak Rian menjadi bersikap canggung padaku, tapi aku membawanya ke suasana seperti biasa saja. Sepertinya Kak Rian masih belum bisa menerima hal itu."Kak, meskipun kita tak sedarah, tapi kita lahir dari rahim yang sama, itu artinya kita tetap kakak adik. Jangan terbebani hanya karena kita tak sebapak.." nasehatku waktu itu padanya.Dan hari ini Mas Galih berjanji akan pulang ke rumah, tapi sampai sekarang belum ada kabarnya. Sudah dua minggu Mas Galih tidak pulang ke rumah, bahkan saat itu suamiku pernah mengirimiku poto Intan dan dirinya berdua di depan rumah baru mereka.Memang tidak berpose mesra, tapi senyuman Intan menandakan dia benar-benar bahagia. Mas Galih juga selalu bersikap terubuka padaku, dia terus melaporkan semua kegiatannya padaku mulai dari berangkat kerja pagi-pagi sampa
“Murti itu bukan mahramnya kamu!” lirih Ibu, air matanya lolos begitu derasnya.Aku terngangah lebar, sedangkan Kak Rian membeku sambil menatap Ibu dengan tatapan tak percaya.“Ibu…” lirihku.“Bu… apaan sih, bercandanya gak lucu…” Kak Rian masih cengengesan, dia tak percaya dan menganggap ucapan Ibu hanya sebuah lelucon.Ibu semakin terisak, dadanya naik turun menahan emosi.“Ibu gak becanda, Kak..” ucapku dengan suara yang tiba-tiba serak.“Apa?” Kak Rian beralih menatapku.“Fatin… Desi..” panggilku.Kedua gadis berseragam putih itu menghampiriku. Aku segera memberikan Faruq pada mereka untuk dibawa keluar.“Ibu.. duduk sini, mari kita bicara!” aku menepuk sisi ranjang, tempatku saat ini duduk bersandar.Sementara Kak Rian masih dalam keadaan bingung. Sesuatu yang sangat kucemaskan terjadi. Aku takut sakit Ibu kambuh. Kuatkan kami ya Allah menerima kenyataan ini bersama. Doaku dalam hati.“Mur… ada apa ini sebenarnya?” kak Rian menggaruk kepala, heran.“Ibu… bagaimana Ibu bisa tau?”
“Galih gak pergi-pergi lagi abis ini, kan Mur?” tanya Ibu sedikit berbisik.“Engga bisa dipastikan, Bu. Karena Mas Galih emang lagi sibuk-sibuknya, lagi ada proyek baru soalnya.” Aku menjelaskan dengan hal yang tentu saja kubuat-buat sendiri.Ibuku mendesah berat, ada raut kecewa di wajahnya, kemudian menatapku dengan perasaan kasihan.“Murti baik-baik aja kok, Bu. Kan disini sudah ada Ibu, Bi Karti, Kak Yuni juga bakalan sering datang, banyak banget orang-orang yang peduli dan sayang sama Murti… pekerjaan juga bagian dari tanggung jawab Mas Galih, Bu. Murti gak boleh egois..” aku mencoba memberi Ibu pengertian.“Iya, Nak. Ibu paham..” ucapnya sambil tersenyum.‘Ya Allah,, sampai kapan aku terus menyembunyikan rahasia ini? bagaimana jika Ibu mengetahui dari orang lain, pasti hatinya akan sangat sakit.’“Mas.. sudah selesai makannya?” aku menyapa suamiku ketika dia membuka pintu kamar.“Kalian ngobrol dulu ya, Ibu mau bantuin Bi Karti beres-beres.” Wanita yang telah melahirkanku itu pe
“Aku tadi liat suami kamu lagi di rumah sakit, dia ngapain? Jenguk temen?” tanya Kak Yuni penuh selidik.“Oh, itu.. anu..” aku ragu, akankah kucertiakan tentang kejadian sebenarnya pada Kak Yuni? Toh, dia juga sudah banyak tahu masalahku sejak awal.“Mulai.. mulai… udah main rahasia rahasiaan sama aku,” cibirnya.“Enggak, Kak. Bukan gitu, aku takut Ibu tau…” cicitku sedikit berbisik.“Emang ada apa? Bicara pelan, mumpung bayi lu anteng dan semua orang sedang di luar..” kata Kak Yuni dengan suara berbisik pula.“Tapi janji, di depan Ibu pura-pura gak tau aja, ya! Aku mau perlahan-lahan aja keluargaku tau soal ini,” ucapku.Kak Yuni mengangguk sambil mencebikkan bibirnya. Lalu, aku mencertiakan semuanya, termasuk penderitaan yang dialami oleh Intan sampai sekarang alasan dia berada di rumah sakit.Kak Yuni terngangah, kemudian membekap mulutnya. Raut wajahnya jelas tergambar keterkejutan, air mata terbendung di sudut netranya.“Ya Allah, Mur.. kasihan banget tuh anak..” lirihnya.“Kalau
Setelah mendengar cerita pahit tentang masalah hidup Intan yang begitu menyayat untuk kurasakan, aku pun merelakan Mas Galih untuk senantiasa bersamanya sampai dia benar-benar sembuh. Dokter bilang Intan harus dioperasi. Aku tidak tahu apa yang terjadi padanya setelah seminggu ini.Bahkan Mas Galih juga tidak pernah pulang. Dia sibuk bolak balik rumah sakit ke kantor. Jika rindu dengan Faruq, kami hanya melakukan panggilan video saja.Aku memaklumi keadaan ini, aku tidak boleh egois. Lagi pula aku dikelilingi orang-orang yang peduli dan menyayangiku.“Sebenarnya Galih kemana, Mur? kok udah seminggu gak pulang?” tanya Ibu yang belakang memang kuperhatikan tengah penasaran dengan keberadaan suamiku.“Beliau sibuk banget, Bu. Kan sudah sering cuti seperti yang Ibu bilang waktu itu, jadi kerjaannya menumpuk. Terkadang juga harus ke luar kota ketemu klien, meeting segala macem lah, Bu. Hehe..” jawabku sambil cengengesa, berusaha menutupi kegundahan yang sedang kurasakan. Ya, aku merindukan
Sepuluh hari berlalu, Faruq akhirnya dibolehkan pulang karena semua kondisinya sudah stabil dan berat badannya sudah bertambah, kini mencapai tiga kilogram.Mas Galih membayar seorang bidan dan perawat untuk mengurusku dan Faruq selama sebulan ke depan sampai aku habis masa nifas.Ibu dan Bi Karti juga siaga di rumah kapan saja aku membutuhkan sesuatu, mereka selalu siap. Bahkan Bi Karti dan Ibu sering bekerja sama membuat jamu, membantuku memakai pilis, param dan pasukan-pasukan lainnya yang tak kumengerti.Setiap hari Ibu membantuku memakaikan bengkung yaitu kain sepanjang tiga meter yang dililitkan diperut. Terkadang aku tidak tahan memakai itu karena terlalu sesak, jadi bisa juga diganti dengan kain gurita.Ibu dan Bi Karti begitu telaten mengurusku sehabis melahirkan. Sampai hari ini, tibalah saatnya Faruq dibawa pulang. Mama dan Mas Galih yang menjemput.“Siap-siap begadang kamu, Mur..” goda Ibu.“Iya, Bu. Murti udah gak sabar nih..” ucapku senang.“Kalau capek bisa bangunin Bib
“Selamat sore…”Dokter Cyndi masuk ke ruangan bersama dua orang suster. Lagi-lagi aku selamat dari rasa penasaran Ibu dan Mama.“Selamat sore, Dok.” Kami menjawab kompak.Setelah memasukkan obat ke dalam infusku lalu memberikan beberapa saran dan nasehat, dokter Cyndi pergi. Satu jam kedepan kami diperbolehkan untuk melihat bayiku. Nanti suster yang akan mengantar ke ruanganku untuk melatihnya juga menghisap ASI karena ternyata kesiapan bayiku sudah stabil, hanya saja menunggu berat badannya untuk menentukan kapan boleh pulang.Namun, sudah setengah jam berlalu, Mas Galih masih belum kembali juga. Aku mengirim pesan padanya tapi belum pernah dibaca. Lalu, aku mengirim pesan pada Bi Karti menanyakan keberadaan Mas Galih dan keadaan Intan, tapi Bi Karti tak langsung membacanya. Padahak biasanya beliau dengan cepat membalas jika aku mengirim pesan teks.“Kenapa, Mur?” tanya Mama mendekatiku.Sementara Ibu dan Bapak sibuk mengobrol sambil menonton TV dan menikmati cemilan. Mereka sumringa
“Anak kita telah lahir…” ucapku dan Mas Galih bersamaan, air mata haru bahagia menetes seraya bibir ini tersenyum lebar.Bayi berjenis kelamin laki-laki itu diletakkan diatas dadaku. Dengan lucu bibirnya bergerak mencari puting susu. Air mataku menetes, tangis haru bahagia tak bisa kutahan. Beberapa menit kemudian, bayiku dibawa oleh suster untuk dibersihkan dan dibedong.Sementara perutku dijahit, Mas Galih mengazani bayi kami. Membuatku semakin sesenggukan. Suara azan yang bergetar dan lirih itu membuat bayi laki-laki kami ikut menangis. Suaranya begitu menyayat hati.Selesai mengazani, bayi yang belum sempat kupilihkan nama itu dibawa ke ruang inkubator karena bayi prematur harus mendapat perawatan disana.“Bayinya sehat, Ibunya hebat. Semuanya dalam keadaan normal meskipun lahir di waktu yang belum cukup bulan, tapi berat badannya sudah termasuk normal di dua koma lima kilo. Namun, untuk minimal dua minggu ke depan, bayi kalian harus menginap disini, belum boleh dibawa pulang.” Do