Waktu bergulir tanpa terasa, detik berlalu menjadi menit, menit berlalu menjadi jam, jam berlalu menjadi hari, dan semuanya berjalan terus menerus. Hari itu Rania dan 789 santriwati dari seluruh pondok cabang PM berkumpul di lapangan hijau PM pusat yang berada di daerah Ngawi, Jawa Timur. Mereka menunggu nama mereka dipanggil untuk mengetahui keputusan tempat mereka akan mengabdi selanjutnya. Meskipun suasananya tidak semenakutkan saat mereka menjalani yudisium kenaikan ke kelas enam. Namun, tetap saja rasa khawatir menguasai diri mereka, selain harap-harap cepam karena takut tidak lulus, mereka juga khawatir mendapatkan tempat pengabdian yang tidak sesuai dengan hati dan keinginan mereka.
“Ran, kamu harus jujur kemarin waktu mengisi angket, dimana kamu memilih tempat pengabdian?” Aira membuka pembicaraan.
“Memangnya penting?” Rania malas menanggapi.
“Kamu kenapa sih merahasiakannya?” kini Aulia buka suara.
“Kalian penasaran banget ya?” goda Rania.
“Atau jangan-jangan kamu mengisi angket itu dengan pengabdian pada suami?” balas Aira jahil.
“Ah benar, jangan-jangan,” Aulia ikut menggoda.
“Hust...kalian ini berisik banget, diam dong tidak enak dengan yang lain,” Rania berusaha menenangkan keadaan.
“Wah kamu tidak mau menjawabnya, berarti benar ya? Kamu mau menikah?” Aira tidak menyerah.
“Ya iyalah mau,” Rania menanggapi.
“Jadi, benar kamu mau menikah? Dengan siapa?” Aulia dan Aira berseru girang.
“Ya mau, siapa coba yang tidak mau menikah, semua orang juga mau, kalian juga pasti mau kan? Nah masalah dengan siapanya itu yang aku juga belum tahu, masih di tanggan Allah jodohku.”
“RANIA!!!” Aira dan Aulia berteriak geram pada sahabatnya itu, beberapa orang memperhatikan mereka karena berisik.
“Hust, diam, lihatlah semua orang memandang ke arah kita,” Rania memelototkan matanya kepada dua sahabatnya itu.
“Kamu sih jahil banget,” Aira merasa kesal karena merasa tertipu dengan ucapan sahabatnya itu.
“Kalian sih penasaran banget,” sahut Rania kesal.
Aira dan Aulia tidak lagi menghiraukan ucapan Rania, mereka berpura-pura kesal padanya dengan harapan Rania akan berkata jujur pada mereka, tentang tempat pengabdian yang ditulis Rania di angket.
“Baiklah kalian menang aku kalah, kalian menyebalkan. Oke aku akan bicara, aku menulis pengabdian luar. Apa kalian puas?” Rania memutuskan mengalah pada dua sahabat baiknya itu.
Kedua sahabatnya itu merasa heran dengan keputusan Rania, selama ini mereka beranggapan bahwa Rania akan memilih pengabdian di PM 5, tapi ternyata anggapan mereka salah.
“Kenapa?” tanya Aira beberapa saat kemudian setelah sempat terkejut dengan keputusan Rania.
“Aku ingin membantu anak-anak di daerah terpencil yang kurang mendapatkan perhatian, tapi itukan hanya harapan dan keinginanku. Lagi pula menurutku pengisian angket itu hanya formalitas saja, mungkin ada yang terkabul tapi ada juga yang tidak terkabul, semua bergantung keputusan pimpinan dan tentunya kehendak dari Allah,” jelas Rania.
“Iya, kamu benar juga semua keputusan di tangan Allah, semoga saja kita mendapat tempat terbaik,” harap Aira yang kini menyandarkan kepalanya di bahu Aulia.
“Lalu kamu kenapa memilih pengadian di pondok cabang yang ada di luar Jawa?” tanya Rania pada Aira.
“Iseng,” jawab Aira santai.
“Aira!” teriak Rania dan Aulia bersama-sama, beberapa pasang mata kembali tertuju pada mereka, menyadari hal itu mereka pun menahan tawa.
“Kamu menyebalkan,” Rania menggelitiki pinggang Aira.
“Hust, Ran jangan berisik nanti kita jadi pusat perhatian,” Aira berusaha mengalihkan Rania.
“Baiklah kamu selamat karena kita di tempat umum tapi jangan harap ya nanti sampai di kamar,” ucap Rania dengan mata penuh ancaman.
“Tapi aku memang serius iseng memilih pondok luar Jawa, soalnya aku penasaran mau merasakan suasana pondok di sana,” Aira melanjutkan ucapannya.
“Baiklah, aku tahu kamu itu kan memang orangnya suka penasaran dengan sesuatu yang beda, baiklah semoga saja rasa penasaran kamu tidak akan membawamu pada penyesalan,” Rania menasihati.
“Ih Rania kok kamu bicaranya seperti itu si,” rajuk Aira.
“Hahaha iya-iya maaf, bercanda kok,” Rania tertawa riang.
“Lalu kalian tidak bertanya padaku kenapa aku menulis pengabdian di luar?” Aulia merasa diacuhkan.
“Tidak,” sunggut Aira.
“Kok gitu?” Aulia tidak terima.
“Karena kita sudah tahu jawabannya,” Rania menimpali.
“Apa memangnya?” Aulia tidak percaya.
“Belajar disain,” ucap Rania dan Aira secara bersamaan.
Aulia terkikik pelan mendengar jawaban super kompak dari dua sahabat baiknya itu, mereka pun tertawa bersama kembali.
Mereka berusaha menahan kesedihan dengan tawa. Tali persahabatan mereka telah terjalin sejak lama. Hal itu menyebabkan terbentuknya rasa saling memahami. Mereka berusaha menahan tangis, bukan tidak senang karena akan lulus, tetapi kelulusan berarti pula perpisahan. Tidak hanya mereka bertiga yang akan berpisah tapi semua santri kelas enam, itu artinya mereka harus berpisah dengan angkatan mereka. Tidak hanya teman, tapi mereka juga keluarga, mereka tidak hanya berpisah dengan teman-teman seangkatan, tapi juga dengan kamar mereka, dengan kebiasaan mereka, dan segala yang ada di dalam PM, yang tentu saja tidak akan mereka temukan di tempat lain.
Nama Aira, Aulia dan Rania dipanggil satu persatu dengan kloter yang berbeda. Pemanggilan Aira dan Aulia berada di satu kloter yang sama meskipun mereka mendapatkan tempat pengabdian yang berbeda. Aira mendapatkan pengabdian sesuai keinginannya di pondok cabang yang berada di luar Jawa, tepatnya di daerah Aceh. Sedangkan Aulia harus menahan keiginannya untuk belajar disai lebih cepat karena keinginanya untuk mendapatkan pengabdian bebas tidak terwujud. Aulia ditempatkan di pondok cabang yang letaknya di Balikpapan, Kalimantan Timur.
Rania mendapatkan pemanggilan di kloter tiga, kloter sebelum akhir, keinginan Rania untuk mendapatkan pengabdian bebas memang tidak terwujud tapi dia menerima dengan lapang dada segala yang ditakdirkan Allah padanya. Rania mendapatkan tempat pengabdian di salah satu pondok alumni[1] yang terletak di Bogor, Jawa Barat.
“Aku akan merindukan kalian,” Aulia tiba-tiba berbicara ketika sedang membereskan kamar yang ia tinggali dengan 31 teman lainnya.
“Aku juga akan merindukanmu,” Rania memeluk Aulia.
“Kita semua akan saling merindukan,” ucap Tasya yang juga ada di kamar itu.
Saat itu kondisi kamar sudah sepi beberapa teman mereka sudah ada yang pulang lebih dulu, di kamar itu tinggalah Rania, Aira, Aulia, Tasya, Mira, dan juga Nadia. Mereka berenam saling berpelukan untuk mengucapkan salam perpisahan. Bertahun-tahun di PM membuat mereka berat untuk berpisah. Meskipun tidak begitu dekat dengan Mira, Tasya, dan Nadia, Rania tetap merasakan kehilangan.
Setelah mereka saling berpelukan dan mengucapkan salam perpisahan, satu persatu dari mereka berpamitan untuk pulang. Aulia terpaksa pulang lebih dulu karena telah ditunggu orangtuanya dan jadwal pesawat. Tinggalah Aira dan Rania di dalam ruangan itu, mereka menunggu jemputan dari Abah Rahman, Ayahanda Rania, Aira akan pulang bersama Rania karena ayahnya tidak bisa menjemput. Ibu Aira telah lama meninggal itulah sebabnya tidak ada yang bisa menjemputnya, rumah saudara-saudaranya pun jauh, mayoritas berada di luar Jawa.
“Abah kamu sudah sampai mana?” Aira memulai pembicaraan.
“Katanya lima belas menit lagi tiba.”
“Kalau begitu sekarang saja kita ke parkirannya, kita tunggu di sana,” Aira mengusulkan.
Rania tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk, sependapat dengan sahabatnya itu.
∞
[1] pondok yang didirikan lulusan dari Pondok Maarif
Saat keluar kamar, Rania, Aulia, dan Aira melihat masih banyak santriwati yang berkeliaran di sekitar masjid, ada yang berbincang dengan teman, ada yang mengucapkan salam perpisahan, ada pula yang hanya sekadar berfoto selfi dengan teman dan keluarga.“Kamu tadi jahat banget sih tidak mengajak aku ke pengasuhan, aku kan juga mau bertemu dengan Ustazah Uswah,” gumam Aira tiba-tiba di tengah perjalanan.“Ya kamu ke kamar mandi, aku sudah ditungguin ustazahnya, jadi tidak enak juga kalau aku menunggumu.”“Ah kamu menyebalkan. Aku jadi tidak bisa bertemu lagi dengan ustazahnya.”“Ya Allah tinggal ke pondok lagi kalau mau bertemu beliau, lagi pula aku tadi juga sebentar, hanya mengambil handphone yang aku titipkan, kemudian aku pergi, soalnya di pengasuhan lagi ramai banget.”“Em gitu, tapi buat apa juga ke pondok, kan tahun ini ustazahnya selesai pengabdian,” Aira menundukkan wajahnya
“Bismillahirrohmanirrohim, saya tahu ini memang terlalu cepat, kita juga baru beberapa kali bertemu, tapi sejak pertama bertemu denganmu saya merasa bahwa kamu adalah jawaban doa yang dikirimkan Allah untuk saya,” Ahda menghentikan kata-katanya sejenak.“Saya harap kamu bersedia menunggu saya hingga saya lulus nanti,” lanjut Ahda dengan perasaan hati yang berkecamuk.Rania terdiam, ia tidak mampu berkata-kata. Jantungnya terasa berhenti berdetak, darahnya seperti membeku. Terkejut. Tentu saja ia merasakan hal itu, wania mana yang tidak terkejut mendengar pria yang bari dikenalnya berkata seperti itu.“Saya tahu kamu pasti kaget mendengar ucapan saya. Tapi percayalah saya tidak mempunyai niat buruk, saya hanya ingin bersama-sama dengan kamu menuju surga Allah,” ucap Ahda tulus.“Saya tahu kesempatan tidak akan datang dua kali. Dulu saya pernah kehilangan seseorang yang berarti dalam hidup saya karena tidak
“Senang dik akhirnya kamu lulus juga,” ucap Andi, Kakak Rania saat bersantai di ruang keluarga.Sudah dua hari Rania berada di rumahnya, namun baru dapat bertemu kakaknya malam itu, kesibukan dan urusan bisnis sang kakak di luar kota lah yang membuat Rania tidak bisa langsung menemui Andi saat tiba di rumahnya.“Belum sepenuhnya aak, kan masih ada pengabdian juga.”“Tapi kan setidaknya sudah alumni.”“Baiklah terserah aak sajalah.”“Itu yang terbaik Ran, kalau sama aakmu itu mengalah saja, percuma kamu tanggapi ujung-ujungnya kalah,” Teh Rita, istri Andi yang baru bergabung di ruang keluarga ikut menanggapi.“Teteh sepertinya berpengalaman sekali,” Rania tersenyum melihat kakak iparnya yang cemberut mendengar ucapan Rania.“Ya begitulah aakmu ini tidak pernah mau mengalah meskipun yang diajak berdebat itu perempuan,” Rita melirik kesal pada suaminya.
Sepanjang malam Rania memikirkan apakah hatinya telah siap menerima kenyataan terpahit yang mungkin saja terjadi. Ia percaya Allah tidak akan mungkin memberikan cobaan di luar kemampuan hambanya. Rania merasa malu pada dirinya sendiri, saat menyadari pikiran-pikiran buruk bersemayam di otaknya.Sekitar pukul dua dini hari setelah beberapa saat tertidur Rania terbangun dan memutuskan mengambil air wudhu untuk salat malam. Usai salat, ia memohon pengampunan atas segala pikiran buruk yang terlintas dipikirannya. Gadis bermata sendu itu memohon pada Allah, Tuhan semesta alam, pemilik siang dan malam untuk memberikan jalan terbaik bagi dirinya dan masa depannya.Usai salat dan berdoa ia membaca wirit hingga pukul tiga pagi, tasbih pemberian Ahda menjadi saksi doa-doa dan bacaan wirit Rania malam itu. Kini semua kegelisahan itu tiba-tiba menghilang, lenyap, dan tergantikan oleh kedamaian. Itulah Rania selalu menenangkan hatinya dengan bermunajat pada Allah.Pagi itu u
Hari berlalu begitu cepat, tak terasa bulan ramadan telah berganti menjadi bulan syawal. Pagi itu setelah menjalankan ibadah Shalat Idul Fitri Rania dan keluarganya kembali ke rumah dan saling bermaaf-maafan. Sanak keluarga Rani yang lain akan berkumpul di rumah Rania saat malam. Sudah menjadi kebiasaan keluarga besar Rania berkumpul di rumah orangtua Rania, karena mereka merupakan saudara tertua dalam keluarga. Kakek Rania telah lama meninggal sedangkan neneknya tinggal di London, bersama dengan anak terkecilnya, adik umi Khadijah.“Tante Wina kapan tiba di sini Bah?” Andi memulai pembicaraan saat sarapan.“Entahlah mereka belum memberi kabar, besok baru mereka berangkat, masih mau silaturrahmi dengan keluarga suaminya dulu.”“Rania rindu sekali dengan nenek,” ucap Rania tiba-tiba.“Ya iyalah kamu rindu dikasih uang jajan nenek kan, dasar cucu kesayangan,” goda Andi sambil mengambil ayam yang ada di piring
“Assalammualaikum,” Ahda membuka pembicaraan.“Waalaikum salam,” Rania menjawabnya dengan gugup, Rita menahan tawa melihat tingkah adik iparnya.“Minal aidin wal fa idin Rania, mohon maaf bila ada salah selama ini,” Ahda kembali bersuara.“Minal aidin juga Ustaz, saya juga mohon maaf bila ada salah,” Rania berusaha untuk bersikap biasa saja.Suasana hening beberapa saat, tidak ada yang memulai pembicaraan kembali, suasana yang begitu canggung. Rita benar-benar menahan tawanya.“Apa kamu sendirian?” Ahda kembali bersuara.“Ah itu, tidak-tidak, kakak ipar saya ada bersama dengan saya, dan keluarga saya ada di ruang keluarga, saya akan memberikan panggilan ini kepada mereka, sebentar,” Rania benar-benar merasa gugup.Rania menggeser layar hp nya ke hadapan Rita, “Ini teteh Rita, kakak ipar saya,” ucap Rania.&ldq
Mentari pagi berjalan semakin meninggi, sinar hangatnya berubah menjadi panas, Rania menghabiskan waktunya sepanjang pagi di hari raya ketiga dengan novel. Buku bacaan kesukaannya. Ia duduk di taman belakang rumahnya. Ia merasa bosan di rumah dengan kegiatan yang sama, namun ia juga malas untuk pergi keluar, selain karena tidak ada teman yang akan menemaninya, ia juga tidak ada tujuan untuk pergi. Hampir semua tempat yang ada di Bandung sudah pernah dijajaki oleh Rania. Maklum saja dia sejak kecil senang bepergian dan jalan-jalan.“Rania...Rania...Rania..,” sayup-sayup Rania mendengar suara seorang wanita memanggil-manggil namanya. Rania meletakkan novelnya di atas meja taman depannya. Terdengar suara ribut-ribut di ruang depan. Ia pun berjalan menuju ruang depan rumahnya untuk memastikan keadaan di sana.“Ibu datang-datang sudah teriak-teriak, Khadijah akan panggil Rania, lebih baik ibu duduk dulu,” Umi Khadijah berusaha menenangkan wanita tua
Hari berganti demi hari, kicauan burung tandai pergantian hari. Lambaian dedaunan di subuh hari ucapkan salam perpisahan pada sang rembulan yang telah sinari sepanjang malam. Suara-suara ayam jago bersahut-sahutan sambut keindahan cahaya mentari pertama di awal hari. Para perempuan sibuk berkutat dengan wajan dan panci di dapur. Suara dentingan wajan dan spatula sebagai tanda kesibukan mereka.Namun kesibukan itu tidak dirasakan oleh Rania, gadis bermata sendu yang meneduhkan. Rania dan keluarganya sejak semalam telah berada di penginapan pondok tempat pengabdiannya. Dua hari lagi dia harus mulai mengajar karena itu dia harus datang lebih awal sebelum para santri mulai berdatangan kembali ke pondok usai liburan panjang. Harusnya tadi malam Rania sudah harus memasuki asrama guru di dalam pondok, namun karena Nenek Ainun yang memohon-mohon pada pengasuh pondok agar Rania diizinkan menginap di pengenipan pondok, akhirnya pengasuh pondok tersebut mengizinkannya karena tidak tega
“Rania tunggu,” Robert tiba-tiba memanggil Rania yang telah berada beberapa langkah di depannya. “Ada apa Em?” Rania menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap Robert. Rober pun berjalan mendekat ke tempat Rania berdiri. “Akar dan batang adalah dua hal yang tidak bisa terpisahkan, tanpa akar tumbuhan akan mati, begitu pula tumbuhan bila tanpa batang bagaimana mungkin ia akan ditumbuhi daun, yang akan terjadi adalah akar yang mengering. Adibah Rania Zahara, aku ingin kita menjadi seperti akar dan batang yang saling menguatkan, yang hidup saling melengkapi, saling menyempurnakan satu dengan lainnya. Rania maukah dirimu menjadi matahari di siang ku dan bulan di malam ku. Aku memang bisa hidup tanpamu, namun aku tidak sempurna tanpamu, seperti langit yang tak akan sempurna di siang hari tanpa matahari dan bulan bintang di malam hari, begitulah diriku tanpamu.” Rania tidak pernah menyangka akan mendengar kata-kata indah tersebut dari Robert. Ia masih m
Rania dan keluarganya segera kembali ke rumah mereka. Faza dan Ahda yang datang ke acara wisuda Rania juga ikut ke rumah Rania. Mereka ingin menikmati kesejukan udara kebun teh. Rania sangat bahagia karena bisa berkumpul dengan orang-orang yang disayanginya. Meski sempat kesal karena Robert menjahili dirinya, tetapi sesungguhnya gadis itu merasa sangat senang karena pria bermata hazel itu telah memberinya kejutan yang benar-benar mengejutkan.“Jadi, setelah ini kamu mau lanjut S2 atau menikah Ran?” Faza membuka percakapan di dalam mobil. Saat itu Rania, Robert, Ahda, dan Faza berada dalam satu mobil milik Ahda. Rania duduk bersama Faza di kursi belakang sedangkan Robert duduk di kursi penumpang sebelah kursi kemudi mobil yang dikemudikan oleh Ahda.“Kak Faza ini bisa saja. Mau menikah dengan siapa kak? Lagi pula tidak ada calon,” Rania merasa malu dengan pertanyaan itu.“Memang benar tidak ada calonnya? Jangan bilang kamu masih belu
Hari berlalu begitu cepat, tanpa terasa Rania akhirnya dapat menyelesaikan studinya dalam waktu tiga setengah tahun. Keluarganya merasa bangga atas apa yang telah dicapai oleh gadis itu. Kerja keras dan usaha yang dilakukannya selama ini akhirnya berbuah manis, ia dapat menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari kebanyanyakan teman-temannya.Banyak hal yang telah terjadi dalam kehidupan Rania dalam tiga setengah tahun terakhir ini. Ia menemukan teman-teman baru yang tentu saja sangat berbeda dengan kepribadia anak-anak pesantren. Mereka berasal dari sekolah yang berbeda-beda, suku berbeda, agama berbeda, dan sifat yang berbeda-beda pula. Namun, gadis bermata teduh itu sangat menikmati segala perbedaan yang ia rasakan.Bukan hanya tentang kehidupan pertemanan saja yang ia temui, tentang percintaan pun ia mengalami. Meskipun bukan Rania yang merasakan cinta. Banyak teman laki-lakinya baik dari jurusan yang sama maupun dari jurusan yang berbeda berusaha mendekati Rania bahk
Matahari musim panas terasa begitu menyengat membakar kulit, gadis Sunda itu sebenarnya sudah terbiasa dengan udara panas karena ia hidup di negeri tropis, tapi baginya udara dan matahari musim panas di London tetaplah berbeda dan membuatnya merasa terbakar.“Kamu bilang tidak suka berada di luar rumah saat musim panas lalu kenapa sekarang kamu berada di sini,” Rania menatap pria di sampingnya yang sedang membersihkan tumbuhan-tumbuhan mati.“Rania, ini masih di dalam rumah, ya meskipun memang tidak beratap, tapi bagiku ini masih kawasan dalam rumah,” ucap pria itu tanpa mengalihkan pandangannya dari batang-batang kering yang ia kumpulkan.“Ah, sudahlah bicara denganmu membuatku selalu terlihat salah,” Rania merasa kesal.Robert menghentikan gerakan tangannya mengumpulkan tumbuhan kering dan memandang ke arah Rania.“Rania, maksudku tidak senang pergi keluar rumah itu, sepetti ke pantai, climbing,
Rania tersenyum pada Robert, “Maaf aku jadi bercerita panjang lebar, padahal harusnya aku hanya menjawab masih atau tidak.”“Tidak Rania, aku senang mendengarkan jawabanmu itu. Aku senang mendengarkan ceritamu,” Robert tersenyum menyakinkan Rania.“Baiklah sudah cukup cerita tentangku. Aku yakin nenek juga pasti sudah banyak bercerita tentang aku, sekarang giliran kamu, aku sama sekali tidak tahu tentang dirimu.”“Eits, tunggu dulu, kamu belum mengatakan jawaban yang diberikan oleh Allah apa atas Shalat Istigharah yang kamu lakukan.”“Allah memberiku petunjuk melalui mimpi dan dari mimpi itu aku memantapkan hatiku untuk tidak melanjutkan hubunganku dengan Ustaz Ahda.”“Memangnya apa mimpimu?” Robert bertanya dengan penuh antusias.“Rahasialah.”“Ah Rania, kamu ini membuatku penasaran. Mimpi tentang apa memangnya?” Robert mendesak Rania untu
Malam hari, usai menjalankan Salat Isya berjamaan dengan Nenek Ainun dan Robert, Rania pun mengutarakan niatnya untuk pulang ke Indonesia pada sang nenek. Sontak saja hal tersebut membuat Nenek Ainun terkejut, pasalnya cucu tercintanya itu baru dua hari menginjakkan kaki di London, tapi sudah ingin kembali pulang ke Indonesia.Nenek Ainun menentang keputusan Rania, ia meminta cucunya untuk setidaknya menetap selama satu minggu lagi. Namun, Rania tetap menolak, ia menjelaskan kepada sang nenek alasan dia harus secepatnya kembali ke Indonesia. Nenek Ainun tetap tidak menerima alasan tersebut. Robert juga membantu Rania menjelaskan pada sang nenek, tetapi perempuan 67 tahun itu tetap tidak menerima. Ia menyuruh agar Rania melepaskan universitas yang menerimanya dan sebagai gantinya Nenek Ainun akan mendaftarkan Rania di London. Namun, dengan lembut gadis bermata teduh itu menolak keinginan sang nenek.“Rania janji Nek, suatu hari nanti Rania akan datang ke sini dan
“Wau, kamu benar-benar susah ditebak ya,” Rania memberikan tepuk tangan ketika Robert mengeluarkan kue bolu yang dibuatnya dari dalam oven.“Maksud kamu?”“Ya aku kira kamu seorang pebisnis yang tidak suka pergi ke dapur atau melakukan pekerjaan wanita seperti ini, tapi ternyata aku salah sangka, bahkan kue buatan mu lebih bagus dari kue milik ku,” Rania memandang dua kue yang ada di atas meja dapur.“Bagus di luarnya belum tentu enak kan, siapa tahu kue milikmu lebih enak,” Robert berusaha membesarkan hati Rania.“Em iya juga sih, tapi menurut ku kue milikmu juga lebih enak” Rania memandang kue miliknya dengan pandangan aneh.“Kalau begitu kita buktikan saja dulu.”Robert memotong kue miliknya dan mencicipinya, begitu pula dengan Rania. Namun, baru mengunyah kue miliknya, Rania langsung berlari ke washtafel dan memuntahkannya
Usai mandi dan sarapan Rania memilih untuk menonton televisi di ruang keluarga tanpa disangka Robert pun sedang berada di ruang keluarga, namun pria itu tidak sedang menonton siaran televisi, ia sedang memandangi layar laptop miliknya.“Kamu sedang apa?” Rania menyapa Robert.“Eh kamu Ran, sejak kapan di situ.”Rania memutar bola matanya kesal, “Robert,,,Robert aku tanya apa kamu jawab apa,” keluh Rania.“Iya,,,iya aku dengar kok pertanyaan kamu. Aku sedang mengecek laporan kantor dari sekertarisku.”“Oh begitu, pantas saja serius banget. Kalau aku nonton tv terganggu atau tidak?”“Tidak kok, tonton saja ini sebentar lagi juga selesai.”Rania pun mengambil remot tv yang tergeletak di atas meja. Gadis itu terus memencet-mencet tombol remot untuk mencari saluran yang menarik, namun tidak juga mendapatkan siran yang menarik. Robert menyadari bahwa R
Rania terbangun ketika mendengar Adzan Subuh dari hp miliknya. Dengan mata yang masih setengah tertutup ia melihat jam dinding yang terpajang di dalam kamar yang ditempatinya. Rania berjalan dengan gontai menuju kamar mandi untuk menyegarkan diri dan mengambil air wudu.Usai menyelesaikan urusannya di dalam kamar mandi, Rania pun mengambil mukenahnya yang diletakkan di atas sofa kamar, ketika Rania sedang menggelar sajadahnya, tiba-tiba seseorang mengetuk pitu kamar tidurnya.“Rania, kamu sudah bangun sayang?” suara Nenek Ainun menyertai ketukan tersebut.Rania menggeletakkan sajadahnya yang belum tergelar dengan sempurna begitu saja, kemudian berjalan kearah pintu kamar. Ia membuka pintu itu dengan perlahan, sosok Nenek Ainun yang sedang menggunakan mukenah berdiri tegak di balik pintu.“Nenek,,,” Rania tersenyum melihat sang nenek.“Kamu sudah salat Rania?” Nenek Ainun memperhatikan cucunya dari kepala hingga k