Bab 50: Lamunan di Kamar Mandi
Joyce Angelique berjalan mondar-mandir di dalam kamarnya. Entah mengapa ia merasa gelisah sejak pulang dari pesta ulang tahun Benua Trada Group. Dalam perjalanan pulang tadi, ia sempat mampir di suatu kafe untuk menemui seorang sahabat lama. Namun, tidak ada satu pun topik perbincangan dengan sahabatnya itu yang menarik minatnya. Ia lebih banyak berdiam diri, dan pikirannya terbang ke sana kemari.
Sampai di rumah, begitu ia keluar dari mobilnya segera disambut oleh Si Manis, kucing kesayangan yang namanya pernah ia palsukan dengan nama ‘Joko’.
“Joko! Jangan ganggu saya dulu ya!”
Dia palsukan lagi! &
Bab 51:Wanita dalam Telepon “To the point saja, Lex,” kataku. “Jangan mencla-mencle begini.”“Kasih tahu tidak, yaaaa?”“Lex, kamu ini niat nelepon tidak sih?”“Kenapa?”“Kamu mau ngasih tahu apa?”“Resti, Ko, Resti!”“Resti?” Aku langsung antusias. “Maksud kamu, Si Resti anaknya Tante Resmi? Pemilik kontrakan yang kamu tempati?”“Yo’i, itu dia.”“Ada apa dengan dia?”“Dia sudah putus dari pacarnya, Ko.”Sebenarnya, aku ingin menyahut dengan, “So, apa hubungannya dengan aku?” Akan tetapi, tentu saja tidak etis, bukan? Ini Alex lho, sahabat baikku, sahabat karib yang telah banyak menolong aku selama ini, seorang kawan yang seumur-umur belum pernah merasakan pacaran!
Bab 52:Bibit Cinta yang Bertunas Dan, surprised-nya aku, karena yang menelepon aku sekarang ini adalah…, Jus Mengkudu! Alias Joyce Angelique si manajer kalajengking itu!Huh, mengganggu saja, gerutuku dalam hati. Biarkan saja, aku tidak ingin mengangkatnya, dan aku tidak perlu me-reject-nya. Aku biarkan saja Si Jus Mengkudu itu bolak-balik meneleponku dan aku tetap kembali kepada Alex untuk melanjutkan obrolan. Pada satu detik momen yang kusadari, aku menyesal karena tidak menyetel teleponku supaya hanya bisa menerima satu panggilan saja.Namun, anehnya, aku merasa senang pula dengan setelan ponselku yang begini. Dengan demikian supaya Ibu Joyce bisa terus-terusan meneleponku dan aku tetap tidak mengacuhkannya. 
Bab 53:Laki-laki di Lampu Merah “Mas Joko, aku mendengar desas-desus bahwa ternyata kamu tidak tinggal di Selat Panjang lagi. Ada yang bilang kamu sudah lama meninggalkan kota kelahiran kita. Dan masih menurut desas-desus yang aku dengar, kamu pergi merantau jauh, ke manaaa..gitu ya. Entah Kalimantan entah Papua.”“Syukurlah. Itu artinya, kans aku bertemu dengan kamu lagi akan semakin kecil pula. Bahkan, nihil. Aku tahu, Mas. Kamu pasti malu, kan? Kamu pasti tidak tahu di mana mau menaruh muka kamu itu? Iya, kan?”“Itulah akibatnya kalau kamu menomorsatukan nafsu di atas segalanya! Sudah jelas ada aku yang suka kamu, eeeh.., kamunya malah memilih ibuku. Main paksa pula tuh! Gilak enggak, tuh? Ya gilaklah!” 
Bab 54:Bayangan Cinta Minggu pagi, di teras kamar kosku. Aku mengelus-elus dan mengelap-elap sepedaku dengan khusyuk. Aku menikmati betul proses ini seiring rasa syukurku memiliki sepeda, alat “pemanjang langkah kaki” yang bahkan tak pernah terpikirkan aku bisa memiliki dengan merek ternama dan berharga mahal ini. Beruntunglah aku yang pernah membantu seorang staf Benua Trada waktu boyongan pindah rumah, dan menghadiahi aku sepeda yang sudah tidak pernah ia pakai lagi, komplit dengan segala asesoris dan perlengkapannya.Aku mengambil kain lap dan cairan pengilap cat, lalu menggosok-gosokkannya ke sepedaku untuk membuatnya kinclong. Beres dengan sepeda, aku juga membersihkan helm dan mengilapkannya lagi dengan cairan pembersih. Sembari melakukan aktifitas ini, aku membawa pikiranku berkelana.Dugaanku dulu te
Bab 55:Yana Cemburu Betapa terkejutnya aku saat menyadari ada sesosok wanita di belakangku, dan bayangannya terpantul pada kaca di depanku!Sontak saja aku segera berbalik, dan mendapati Yana yang sedang berdiri sembari bersedekap. Aku lihat, tangan kanannya yang terlipat di dada itu sedang memegangi ponselnya sendiri.“Hemmh, ternyata kamu, Yan,” kataku serentak lega. “Aku kira siapa tadi.”Yana tidak bereaksi dengan kata-kataku barusan. Beberapa saat ia terus memandangi aku dengan sorot yang sekarang begitu sulit untuk aku artikan. Wajahnya tampak sedikit masam, seperti sedang kesal, atau seperti baru menjalani hari pertama dari tujuh hari masa haidnya.&n
Bab 56:Menuk Juga Cemburu Tiba-tiba saja Yana menolehkan lagi wajahnya ke arahku, lalu dengan sedikit histeris ia pun membentak.“Iya!”Sontak saja aku langsung terbungkam. Aku seperti mendapat kejutan listrik yang membuatku tidak tahu harus berkata dan berbuat apa. Beberapa detik aku tetap terpaku dengan mulut setengah terbuka, menatap Yana dengan pandangan ragu antara mimpi dan nyata.Untungnya, Yana menolongku dengan segera membalikkan badan, lantas meninggalkan aku begitu saja. Langkah kakinya yang tergesa-gesa menciptakan sebuah suara yang semakin jauh. Tetapi, ritmenya menggema di dalam hatiku yang selama ini sepi dan sunyi.Aku mendesah, sekali menelan ludah, lalu me
Bab 57:Ibu Joyce Juga Cemburu? “Kamu dipanggil Ibu Joyce,” kata Ibu Kemas.Aku yang terkejut mendengar itu segera bertanya. “I..ibu Joyce ke sini?”“Iya.”“Sudah di sini?”“Iya, sekarang sedang menunggu kamu.”“Di mana, Bu?”“Di ruangan CS.”“Kira-kira ada urusan apa ya, Bu?”“Nah, kamu, kira-kira kamu bikin masalah apa lagi?”“Seingat saya, tidak ada sih, Bu.”“Tapi kelihatannya dia sedang jutek begitu.”Kata-kata Ibu Kemas itu mulai membuatku cemas. Beberapa saat aku mengedarkan pandanganku ke sekitar, menatap bagian-bagian gedung yang belum aku bersihkan.“Sudah, tinggalkan saja. Nanti biar saya yang meneruskan.”“I, i..iya, Bu. Terima kasih.”Aku segera
Bab 58:Mimpi yang Nyata “Alhamdulillah, Mas Joko, aku sudah selesai menjalani ujian akhir semester. Semuanya bisa aku lalui dengan mudah, khususnya di mata kuliah Biologi Reproduksi. Apalagi Biologi Reproduksi, aku yakin kami semua teman sekelas mendapat nilai A Plus. Hihihi.., bukan, bukan, aku bukan mau membahas soal ‘kepala bulus’ yang itu. Ah, sudah, ah. Aku jadi malu.”"Eh, Mas Joko, aku baru sadar, lho. Sepeda yang dinaiki seorang lelaki yang sering kulihat di lampu merah itu ternyata merek terkenal. Pastinya, harganya juga mahal. Aku sampai bilang ‘buset’ waktu diberi tahu seorang teman tentang harga sepeda dengan merek itu.”“Sepeda, tapi harganya sama dengan motor, tentu tidak semua orang bisa memilikinya. Hanya orang-orang tertentu saja yang mau menggelontorkan uang demikian ba
Bab 231: Sang Penari Keesokan harinya.., Tepat pukul tujuh pagi, Pak Sutarman dan Pak Sadeli sudah sampai di rumahku. Mereka berdua memakai baju batik dan memakai peci seakan mau pergi kondangan. Untuk urusan menjenguk Ningsih ini, aku ditemani oleh Ayu Dyah dan Bang Uteh. Orang terakhir yang kusebut ini adalah abang sepupuku yang telah menikah dan bekerja sebagai nakhoda. Kebetulan ia sedang cuti, dan ia diminta Ibu untuk menemani aku. Perjalanan yang kami tempuh ini tergolong jauh juga. Lebih kurang dua jam, dan itu melintasi aneka macam kelas jalan. Dimulai dengan jalan beraspal mulus di sekitaran kota Selat Panjang, lalu diteruskan dengan jalan kecil berlubang-lubang sebagai penghubung antar desa dan kecamatan. Di sepanjang perjalanan ini aku hanya berdiam diri saja. Malah Ayu Dyah dan Bang Uteh yang banyak berbincang, dan itu sama sekali tidak membahas tentang Ningsih. Mungkin karena jenuh dengan perjalanan bermobil ini, aku kemudian mulai mengingat-ingat bagaimana dulu a
Bab 230:Tamu Tak Diundang Dua orang yang mengendarai mobil itu turun, lalu berjalan menyusuri halaman menuju ke rumah ibuku ini.“Assalamu alaikum,” ucap salah seorang dari keduanya.Mendengar suara salam itu, aku pun bangkit dari posisi berbaringku di kursi.“Waalaikum salam.”Siapakah mereka? Tanyaku dalam hati, sambil membuka pintu depan. Lepas itu aku teruskan lagi berjalan turun ke teras.Sementara di luar situ, persis di bibir teras, dua orang lelaki itu menatapku dengan wajah yang harap-harap cemas. Aku mencermati orang pertama yang kuduga mengucapkan salam tadi. Aku tidak mengenalnya. Aku lantas memperhatikan orang kedua yang lantas menunduk.“Astaghrifullahal Adzim!” Sebutku dalam hati.Ternyata dia adalah.., Pak Sadeli!Bagaimana dia bisa di sini?? Bukankah kata Alex dia sedang mendekam di dalam penjara?? Karena terkait k
Bab 229:Anak Menantu di Dalam Foto Sewaktu berbicara dan menceritakan sesuatu, tentu saja aku barengi dengan sesekali mengangkat tangan, untuk memberi penekanan pada suatu kata ataupun maksud. Hal ini memang wajar dan sangat natural di suatu perbincangan.Rupanya, tanganku yang sesekali bergerak ini, menarik perhatian Ayu Dyah. Hingga selanjutnya ketika aku berhenti..,“Jam tangan kamu keren, Mas,” kata Ayu Dyah sambil memperhatikan arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiriku.Sebentar aku melirik pada arlojiku, tersenyum simpul dan lalu kembali menatap Ayu Dyah. Belum sempat aku menyahut, ia sudah lebih dulu bertanya.“Kalau aku perhatikan, sepertinya jam mahal ya?”Aku tersenyum lagi saja. Kuraih gelas tehku dan meminum isinya sedikit.“Tapi jujur ya, Mas. Menurut aku kamu tidak cocok pakai jam tangan itu.”“Tidak coc
Bab 228:Nama Asli SahabatMaka, bertangis-tangisanlah aku dan ibuku di ruang depan ini. Ayu Dyah menyusul bersimpuh di antara kami, lalu memelukku lagi dan Ibu dalam satu tangkupan tangan..“Kenapa kamu tidak pernah pulang, Jokooo..?” Ibu menangis tersenggak-sengguk.“Kamu tahu, Joko?” Tanya Ibu lagi dengan suara yang serak dan bercampur rasa geram. Ia bahkan, dengan segenap kasih sayangnya sampai menjewer telingaku yang kanan.“Setiap hari Ibu mikirin kamuuu..!”“Maafkan aku, Bu..,” kataku sambil menyurukkan kepala semakin dalam ke pangkuan Ibu. Seakan-akan aku sedang kesakitan akibat jeweran Ibu di telingaku yang kanan ini.“Kamu tinggal di manaa..!” Ibu menjewer telingaku yang kiri.“Maafkan aku, Bu..,” mohonku dengan tangisan tersedu-sedan.
Bab 227: Ampuni Aku, Ibu Beberapa hari kemudian..,Setelah mantap hatiku ini bahwa tidak ada lagi hal-hal yang perlu kurisaukan, akhirnya aku memutuskan untuk pulang ke Selat Panjang, menjenguk Ibu dan Ayu Dyah adikku.Papa menyuruhku untuk memakai salah satu mobil yang ada di rumah. Semuanya ada empat dan aku bebas menggunakan salah satunya. Tetapi, aku menolak. Alasanku mungkin sangat masuk akal, dan itu segera diterima oleh Papa. Aku belum terlalu lama mahir mengemudikan mobil. Aku khawatir mengendarai mobil seorang diri, jarak jauh pula, bisa membuatku terlena atau terkantuk. Toh, jika hanya ingin memasang gengsi saja, aku bisa membeli mobil untuk diriku sendiri.Asset hibah dari wasiat Angel masih ada tersisa beberapa rupiah, yang jika aku mau, bisa kubelanjakan itu untuk membeli sebuah mobil yang gress. Ditambah lagi, hasil penjualan usahaku kepada ayah Charles tempo hari yang bahkan tak tersentuh sama sekali.Oh ya, ada tambahan lagi. Tanpa kuminta ternyata Papa memberiku ua
Bab 226:Burung Bangau “Mas Joko.., tidak terasa hari telah berganti, waktu pun berlalu. Angin laut bulan Desember sudah menghabiskan rinai hujannya sejak beberapa hari yang lalu. Sekarang angin dari tenggara pula yang mengembusi pucuk-pucuk ketapang dan cemara tempatku berteduh ini.”“Aku tidak pernah pergi ke mana-mana lagi, Mas Joko, sejak tinggal bersama nenekku yang telah renta ini. Aku selalu menemani nenekku menghitung hari, dan nenekku pun menemani aku untuk menghitung hari. Hihihi..!”“Nenekku mungkin menghitung, kapan kira-kira saatnya akan tiba, ketika nanti dia akan kehilangan penglihatannya, pendengarannya, dan ingatannya, lalu menjadi pikun, lantas mengompol di celana. Sementara aku menghitung..,”“Apa? Apa yang aku hitung? Bersama hari-hari kosong yang aku lalui ini, se
Bab 225:Kabar dari Tetangga “Ya sudah, tidak apa-apa,” sahutku sedikit kecewa. “Cuma, ketika di kampung kemarin aku mendengar berita yang.., wow, mengejutkan!”“Berita yang mengejutkan?”“Wow! Jangan lupa pakai ‘wow’! Karena memang ini sangat-sangat mengejutkan.”“Mengejutkan bagaimana, Lex?” Tanyaku yang sontak penasaran.“Wow-nya mana?” “Wow, mengejutkan! Mengejutkan bagaimana, Lex?” Ulangku sambil menahan jengkel plus geli plus penasaran.“Nah, begitu, ada wow-nya. Ini berita tentang orang yang memfitnah kamu dulu, Bu Suratih.” “Wow, Bu Suratih?”“Sudah cukup wow-nya, Ko. Jangan keterusan.”“Oke, oke, memang sem
Bab 224:Perbincangan di Jalan Tol Persisnya sejak peletakkan batu pertama masjid Al-Mahabbah itu, aku sudah tinggal bersama Papa dan Mama. Sejak itu pula Kak Madeline sudah kembali ke Amerika, dan Bastian kembali ke Jakarta.Aku melepaskan semua hal yang terkait dengan usahaku di toko, dan menjualnya kepada ayah Charles. Sampai sekarang toko itu masih tetap berjalan seperti biasa. Charles, sahabatku sang juru umpan itu yang memegang kendali. Ia tetap mempekerjakan Deden dan Pepen, dan tetap menggunakan nama Yudha Ponsel.“Nama Yudha ini sudah dikenal orang, Mas,” kata Charles padaku lewat telepon ketika kami ngobrol.“Aku tidak mau menggantinya dengan nama yang lain.”“Lagipula, ini sebagai bentuk penghargaan untuk kamu, Mas.”Ah, aku jadi tersentuh.
Bab 223: Tiket ke Surga “Dia mencari saya?” “Bukan dia, tapi mereka,” sahut Deden. Mereka? Pikirku. Berarti lebih dari satu orang? Aku lalu melepaskan pandanganku dari foto Angel, juga melepaskan punggungku yang tadi bersandar di rak. “Siapa, Den?” Tanyaku pada Deden, sambil melangkah menuju gerai depan. Deden tak perlu menjawab, karena dengan segera aku pun melihat orang yang datang mengunjungi aku. Jujur, aku merasa surprised, sekaligus gembira luar biasa karena yang datang adalah Papa. Ia tidak sendiri. Bersama Papa juga ada Mama, Bastian, dan Kak Madeline. Ada angin apa mereka sekeluarga mengunjungi aku? Aku lantas menyalami mereka satu persatu. Nah, selanjutnya, bingunglah aku, akan mempersilahkan mereka duduk di mana mengingat aku tak punya ruang tamu. “Kita ke atas saja yuk, Pa,” kataku akhirnya mengajak mereka semua ke lantai atas. “Dari pada di sini atau di ruang tengah, mau selonjor saja susah,” kataku lagi sambil menunjuk barang-barang berserakan di ruang tengah.