SummerAgustus 2015“Hola, amigos!” teriakan dua orang di depan pintu kamarku yang sudah terbuka sukses mengagetkanku yang sedang memakai sepatu.Aku bangkit. Lalu berkacak pinggang dan menatap tajam pada mereka.Jon memandangku tak bersalah, “Apa? Apa ada yang salah?”“Berhentilah membuat gaduh rumahku!”Kevin melangkah maju. Ia mengorganisir ruanganku, “Kau tahu, kamarmu keren!”Jon pun ikut-ikutan memandangi dinding dan langit-langit kamarku. Ia membeliak padaku tak percaya, “Apa ini perbuatan tanganmu?”“Sebagian. Ya."“Dan sebagian lagi?” tanya Kevin.“Tukang lukis.”Ia mengangkat alisnya sambil masih memperhatikan langit-langitku, “Hem... tidak heran.”“Jadi, kalian mau apa kemari?”“Mengganggumu?” kata Jon.Aku pun mengenakan tas ranselku. Lalu bersiap-siap.“Kau mau kemana?” tanya Kevin.“Maaf, guys. Sepertinya rencana kalian untuk mengangguku hari ini akan batal. Aku mau pergi dulu.” Aku pun segera melangkahkan kaki keluar dari kamar.Mereka mengikutiku.“Hei! Itu tidak menja
Summer Agustus 2015 “Kau bilang kau mau mengajakku ke suatu tempat?” “Memang,” kata Cloud singkat sembari memasang secarik kain hingga menutupi mataku. “Kenapa mataku harus ditutup segala seperti ini sih? Dan kenapa kita harus berjalan jauh meninggalkan mobilmu?” Sedari tadi kami berkendara sekitar setengah jam. Cloud mengarahkan mobilnya ke suatu tempat yang aku sendiri tidak tahu ini dimana. Antah berantah mungkin. Ia mematikan mesin di parkiran sebuah pos campground. Dan mengajakku masuk ke areal hutan. “Sudahlah diam saja! Ini kejutan.” katanya kukuh menanggapi protesku. “Cloud! Kau mengajakku ke dalam hutan! Aku tidak pernah tracking tahu! Bagaimana bisa aku berjalan jauh apalagi banyak semak dan pohon besar kalau mataku tertutup seperti ini?” cerocosku mulai panik. Tiba-tiba Cloud menarik kedua lenganku mendekatinya, “Ssst... jangan cerewet seperti itu. Tenanglah Summy! Dengar, Apa kau percaya padaku?” Ia mendekapku begitu erat. Rasa tentram itu menyeruak mengeliling
SummerAgustus, 2015 Pagi setelah mengantar koran seperti biasanya, aku memutuskan mengayuh satu putaran lagi ke jalur sekolah. Sengaja, barangkali aku bertemu dengan Cloud yang rutin jogging setiap pagi. Meski aku tahu, nanti ia akan bertandang ke rumah seperti janjinya sore kemarin saat perjalanan pulang. Tapi, tetap saja aku tidak akan bosan dan masih menggebu-gebu untuk sering bertemu dengannya. Bukankah begitu yang dirasakan seorang gadis ketika pertama kali jatuh cinta. Jalanan masih sepi. Hanya beberapa orang yang melakukan lari pagi. Aku adalah satu-satunya gadis yang bersepeda di sini. Udara masih dingin, tapi menjadi sejuk bagiku karena menyapu keringat dan suhu panas tubuhku. Aku terengah-engah, sejenak ku berhentikan kayuhanku dan berdiam di bawah pohon beberapa langkah dari gerbang sekolah. Kuraih botol minumku. Sembari minum mataku tak berhenti mengawasi sekitar. Aku tak lagi merasa begitu cemas berada di luar seperti ini. Aku sudah mulai terbiasa. Bersepeda begitu mem
Jon Agustus 2015 "Hei..." ia tersenyum manis padaku. Roxie duduk di jok sebelah dan segera menutup pintu.Hari ini gadis yang kukenal sejak kelas 7 itu terlihat agak berbeda. Roxie biasanya cerewet dan agak centil, mendadak pembawaannya lebih tenang dan anggun. Ia memakai kaus putih polos berpotongan pas, skinny hitam menutupi kaki jenjangnya, tak lupa sneakers hitam putih. Rambut yang biasa ia utak-atik model apapun itu terlihat wow. Tergerai indah di punggungnya dan berkilau sehat. Aku sejenak tidak berkedip menatapnya tak percaya. Hanya satu yang masih tetap, anting berlian agak panjang yang menggantung berkilau cantik di telinganya."Apa?!" ia menatapku protes."Wow... Ini Roxie?!"Ia mendelik. "Terus kau pikir ini siapa?""Jennifer Connelly tahun 1991?"Ia mencubitku."Aaauuuw... Itu sakit tahu!""Ini 2015! Haloooo... Kau dari mana saja selama ini?" pekiknya skeptis."Tapi, kau beneran kayak Jenniffer Connelly di Carrier Opportunities. Serius!"Ia memutar bola matanya. "Itu hin
Jon Agustus 2015 "Pertama kali aku melihatmu di lapangan. Aku tahu, kau berbakat." Kalimat pertama yang terlontar dari mulut Roxie sukses menarik perhatianku. Aku belum meresponnya ketika ia menyeretku bergabung dengan anak-anak lain di pinggir tribun. Kami sejenak menikmati permainan beberapa anggota dari tim inti senior. Mereka merayuku bergabung, tapi aku menolak. Selepas beristirahat dan bergurau dengan kami, mereka memilih pergi berkelompok. Kami beranjak ke tengah lapangan basket, setelah yang lain benar-benar pergi semua. Penjaga sekolah tidak begitu khawatir, ia mengerti ini tahun terakhir para siswa senior bisa menikmati bermain di sini. "Jon, kutinggalkan kunci hall padamu. Jam 10 serahkan padaku di depan. Oke?!" katanya sebelum pergi menyisiri tiap ruang gedung. "Siap." Aku beralih ke Roxie. Ia menghabiskan sisa air botol mineral. Lalu menggelindingkan bola padaku yang berdiri memandangi sekitar. "Cepat sekali, ini sudah tahun terakhir. Aku pasti akan merindukan te
Summer September, 2015 Mom memberitahuku kalau sarapan di meja makan sudah siap. Aku pun menyadari perutku sudah bunyi. Segera kulangkahkan kaki ke wastafel dan menggosok gigi serta mencuci muka, lalu bersiap-siap dan turun ke bawah. Mom sudah menyiapkan roti lapis isi telur mayo dan sayur-sayuran serta segelas susu untukku. Ia sedang membaca koran, dan di hadapannya tersaji mug yang kuberi kemarin, berisi kopi, dan ada pula sandwich ikan tuna kesukaan dad yang sudah dimakan setengah. Semua itu dulu sarapan kesukaan dad sebelum ia bersiap-siap pergi bekerja. Sepertinya mom mengawali hari ini dengan cerah, aku memeluknya singkat. Ia mengecup keningku. “Cepat makan dan berangkat." Aku segera duduk dan meminum susuku beberapa teguk. Lalu kulihat mom yang melanjutkan makannya. “Ada apa dengan hari ini? Itu..." kutunjuk keseluruhan dirinya, "Mom bertingkah seperti dad. Makanannya, kopinya, korannya, cara makannya.” Ia pun menelan gigitan terakhirnya dan meneguk kopinya hingga habis.
SummerJuli, 2008Segalanya terasa gelap. Lebih dari yang kau kira. Saat ini adalah tiga tahun kepergiannya. Kuharap ia damai di sana. Tapi, aku merasa masih terpuruk di sini. Aku memandang nisannya. Sendirian. Aku kemari tanpa mom. Seseorang menemaniku diam-diam saat mom meninggalkanku di rumah saat ia sedang ada urusan ke kota. Kami masih di Springfield, meskipun jarak makam dengan rumah yang sekarang sangat jauh.“Hai, dad. Bagaimana kabarmu?” aku seolah berbicara dengannya dengan memandang tanah berhias batu itu.“Aku kangen dad. Aku ke sini tidak dengan mom. Aku tahu aku ceroboh, tapi mom pasti menolak kalau kuajak ke sini.”Aku menarik lengan seseorang yang berdiri di belakangku itu agar mendekat ke sampingku. Ia menuruti mauku. Tangannya merangkul bahuku. Mengesankan kalau ia menjagaku dan menguatkanku.“Kenalkan dad, ini Cloud. Apa kau tahu ia ada bersamaku ketika aku diculik? Tiga tahun ini ia tetap bersama denganku. Tiga tahun dad tidak ada, dan ia masih mau menemaniku. Di r
SummerSeptember, 2015“Di mana Summer?” Jon berjalan bersisian dengan Roxie ke arah mobilnya.Kulihat Kevin sibuk memainkan ponselnya sembari bersandar di ford merah itu. Ia mengedikkan bahu,“Kukira ia bersamamu.”Jon menepuk dahinya, “Ya ampun Kev, kukira dia bersamamu.”Kevin memperhatikan Roxie, “Oh yeah, kau sedang sibuk dengan cewek ini jadi kau melupakannya begitu saja.”“Hei, kenapa jadi menyalahkanku?! Kenapa Summer jadi penting sekali sih?!” kata Roxie sinis.Kevin terkekeh. "Cuma bercanda, Rox."Roxie mendengus sebal."Ya ampun, kenapa cewek itu sulit sih dimengerti?!" Kevin memasukkan ponselnya ke saku. "Aku berharap dua cewek terpenting di hidup sepupu sintingku ini, bisa berdampingan dengan damai. Tapi, mana bisa sih? Sepertinya kalian butuh duduk bersama, berbicara dari hati ke hati, dan tidak serumit itu bersama Jon. Sudah kubilanh dari awal, cowok dan cewek itu tidak bisa selamanya bersahabat. Kau paham tidak sih Jon?!"Jon pun menyikut perut Kevin. "Cerewet!"Aku be
SummerMei 2016Tadinya aku mengira kesempatanku mendatangi pameran Cloud begitu kecil. Mengingat pada awalnya ia berkata tengah menyiapkan pameran untuk musim dingin. Benar, sekali lagi kata Jon, siapa yang bakal datang di cuaca yang gigil. Seorang seniman, demikianlah, selalu punya sisi idealisme yang tinggi, tapi kali ini sepertinya Cloud menyadari tidak selamanya bersikap idealis itu diperlukan. Ada kalanya kita butuh mempertimbangkan kondisi dan saran dari berbagai sudut. Entah apa alasannya pada awalnya ia akan menyenggelarakan agenda pentingnya itu di musim dingin, tapi pada akhirnya acara itu jatuh bertepatan ketika kami, anak-anak Pittsfield, selesai melalui akhir semester.Semester yang penuh cerita dan perjuangan. Dari kepindahan tempat tinggal dan sekolah, pergumulanku dengan mom, kepingan-kepingan masa lalu yang kembali hadir dengan jelas, perjuanganku menjadi lebih tegar, mandiri dan berani, percintaan masa SMA yang mendadak menjajah hati dan pikiranku, teman-teman baik
SummerDesember 2015Mendung masih bergelayut di angkasa. Aku ditemani secangkir kopi hangat di sebuah cafe penuh kenangan. Sendirian. Dulu tempat ini adalah pertama kalinya di mana aku menyadari kehadiran Cloud. Siapa Cloud sebenarnya. Siapa Cloud bagiku. Kini aku tahu artinya untukku.Semenjak cincin itu melekat di jariku, Jon jadi jarang mengajakku ke Lucky or Not, katanya dengan setengah bercanda ia ingin mengenyahkan pikirannya dari para cewek. Aku tahu ia mungkin iri, aku berakhir epik, sementara ia masih berjuang menghadapi kehilangan Roxie di dekatnya. Dan aku senang ia jadi begitu fokus bermain basket sekaligus menyiapkan kelulusan. Aku merindukannya. Tapi, aku lebih merindukan Cloud.Tak masalah bagiku menjalani ini. Ia tengah berjuang di sana. Aku pun demikian di sini. Hanya saja, aku masih berat mengatakan apa yang baru saja terjadi kepada ibuku. Tentang Cloud yang mengikatku dengan cincin ini. Belum, mungkin nanti ketika lambat laun ibuku menyadarinya sendiri, atau saat na
SummerNovember 2015Sore menjelang senja. Dingin mulai menusuk tulang lagi melalui tiupan angin yang menyerempet tubuhku. Ibuku berpesan akan terlambat pulang dan ia sudah menyimpan makan malam untukku untuk dihangatkan lagi. Aku sudah lapar dan bergegas masuk ke dalam rumah.Baru saja aku menyampirkan jaketku ke lengan sofa, terdengar ketukan pintu. Aku pun kembali melangkah ke ruang depan. Kubuka pintu. Membuatku terkejut. Seseorang sedang berdiri di sana membawa sebuah mangkuk."Jon?""Ya ini aku, siapa lagi?" ia masuk saja ke dalam, menerobosku lalu menuju dapur. Meletakkan mangkuk yang dibawanya di meja konter. "Bibi Diana hari ini membuat sup ayam banyak, ia ingin membagikannya ke beberapa tetangga."Tanpa pikir panjang kuambil mangkok kecil dan mulai mengambil sup hangat itu. "Dia baik sekali. Terima kasih.""Tahu sendiri kan, udara mulai membuat menggigil, makan sup hangat sangat bikin nyaman. Bisa melawan flu. Well, bagaimama kabarmu?""Baik. Kau?""Jauh lebih baik dari sebel
SummerNovember 2015"Kau melamarnya?!" Rub tak percaya. Tentu saja, siapa yang akan percaya seorang pria muda mengagumkan sepertinya melamar seorang gadis yang baru akan melepaskan masa SMA-nya dalam hitungan beberapa bulan lagi.“Ya. Karna aku akan pergi sore ini,” kata Cloud tiba-tiba.Aku menatapnya, kaget. Dia tak mengatakan tentang hal itu kemarin.Rub tersambar lagi. Antara tak mengerti dan terkejut. Ia menatap Cloud tak percaya. “Pergi? Maksudmu pergi bagaimana? Ada apa?”“Ini hari terakhirku mengajar di sini. Aku akan kembali lagi ke Springfield.”“Kau mau menyusul ibumu?”“Tidak dan ya. Mr. Shirley merekomendasikanku langsung mengajar di sekolah seni. Itu akan sangat membantu karirku. Dan, ibuku memang sangat ingin aku menangani galerinya.”Ibunya. Aku begitu penasaran dengan sosok ibunya. Wanita yang sepertinya luar biasa. Seorang dosen dan seniman di Berkshire. Cloud belum pernah sekalipun menunjukkan padaku seperti apa nyonya Garret itu, walaupun ia sudah pernah mengajakk
CLOUDNovember 2015Sedari tadi kuperhatikan ia dari balik jendela. Ia memarkirkan sepeda, dan terlihat kerepotan membawa tugas mix media dariku. Rub dengan cepat berlari mendatanginya. Mengatakan sesuatu tanpa henti sambil membantu membawa kanvasnya. Mungkin mengomel pada Summer, tapi Summer nampak lebih diam dan acuh.Ia datang. Masih belum ada satu pun murid masuk, kecuali dia dan Rub. Aku tentu saja segera berlagak menyelesaikan sesuatu di tumpukan kertas. Pura-pura merekap nilai, yang sebenarnya sudah selesai sedari tadi. Konyol bukan.“Di mana bisa kuletakkan ini?” tanyanya langsung.Aku menunjuk meja panjang di sepanjang bingkai jendela. “Di sana.”Ia meletakkan tugas itu di sana. Kulirik sekilas pekerjaan tangannya. Kusunggingkan senyum puas, sebab ia nampak lebih mahir. Ya ampun, demi apa... melihatnya mengenakan dress boho dan jaket denim sambil menenteng kanvasnya, sungguh membuatku berdesir.Sementara Rub menatapku tajam. Berdeham keras. Mencoba menarik perhatianku.Aku men
CLOUDNovember 2015Sudah sebulan dan ia tak lagi memandangku seperti sebelumnya. Aku pun berusaha keras untuk mengabaikan. Sekeras apapun itu, setiap kali ia melewati mejaku di kelas dan keluar menuju kelas lain tanpa menatapku sama sekali, aku ingin lunglai."Sum..." panggilku saat tiap kali ia melewatiku.Ia meninggalkan senyum tipis dan berlalu.Terkadang aku masih menyimpan harap. Saat mengetahui ia berlama-lama bertahan duduk di bangkunya, memilih waktu terakhir sampai semua murid di kelas keluar, baru ia bangkit meninggalkan tempatnya. Aku sadar ia memperhatikanku, berlama-lama. Mungkin menyedot segala kesempatan untuk menatapku, sebelum akhirnya harus berjauhan. Saat aku merekahkan senyumku untuknya, ia malah menunduk dan pergi. Pupus harapku. Selalu seperti itu, kembang kempis.Atau saat ia mengumpulkan tugas-tugasnya dan berlama-lama menunggu responku. Bertanya-tanya sudahkah itu benar, apakah ada yang kurang, bagian mana yang perlu dikoreksi, saat aku mendongak fokus memper
JonSeptember 2015Gadis itu mendadak terhenti. Langkahnya membeku. Sorot mataku mengikuti arah pandangannya di depan, di seberang sudut parkir mobilku. Cloud-nya memeluk seorang perempuan.Saat ini, hanya satu hal yang ingin kulakukan. Menyelamatkannya dari sini. Kuraih pundaknya, dan menuntunnya dengan cepat memasuki jok penumpangAku memutar ke arah pintu kemudi. Sebelum masuk, sekali lagi mengamati Harrison Garret. Dadaku bergemuruh. Tempo hari ia mengirimkan pesan gencatan senjata dan menyuruhku menjaga Summer, tapi kali ini ia membuatku ingin mencekiknya. Apa-apaan kelakuannya itu. Harry menyadari keberadaan kami. Ia melepaskan pelukannya dari cewek di hadapannya itu. Bahasa tubuhnya ingin segera menghambur ke arahku. Tapi, kuacungkan jari tengah padanya. Aku masuk dan membanting pintu menutup. Kuinjak pedal kuat-kuat, mencap gas pergi dari sana."Brengsek!" umpatku.Sorot Summer masih nampak syok. Tertuju ke depan. Memandang kejauhan di depan kaca jendela mobil. Kuyakin pikiran
SummerSeptember 2015Mengambil jeda dan melihat semuanya dengan kepala lebih jernih memang perlu. Membawaku ke titik ini. Setelah gemuruhku lebih terkontrol, tidak ada yang ingin aku lakukan selain mengamankan suasana hati Jon saat ini. Bila yang lalu aku takut menjadi dekat dengannya adalah sebuah kesalahan, kali ini aku merasa itu pengecualian. Aku hanya ingin berperan sebagaimana seorang sobat menghibur hatinya yang pelan-pelan tergores. Dan Jon sendiri, kurasa, tidak menyadari hatinya yang sedang tidak baik-baik saja. Dan itu malah membuatku sedikit bernafas lega. Setidaknya perkataan Ruby waktu itu ada benarnya. Aku bukan inti dari hatinya.Empat puluh lima menit berlalu dari awal kami duduk di Crossfire. Sepuluh menit setelah menyantap menu, aku rasa sudah cukup untuk angkat kaki dari sini. Aku menatap Jon yang sedari tadi berusaha menyembunyikan gelisahnya. Tepat saat ia meneguk kolanya untuk terakhir kali dan pandangan kami bertemu, aku pun mengangguk padanya. Ia menyambut kod
JonSeptember 2015Aku menunggunya setengah jam dari bel waktu pulang berdering. Masih bersandar di pintu mobilku dan mengamati setiap siswa yang keluar dari pintu hall depan sekolah.Roxie melambaikan tangan dari kejauhan. Ia tersenyum simpul, kukira ia akan mendekatiku. Tapi setelahnya, ia melangkah ke arah lain, melambaikan tangan dengan langkah riang ke seorang lain di jalan luar sekolah. Ia masuk ke sebuah suv hitam dengan seorang cowok mengemudi di sampingnya. Entah mengapa aku penasaran dan merasa tak suka melihatnya."Hai..." sapa suara itu di hadapanku. Summer entah sejak kapan sudah ada di sana. Mengikuti pandanganku yang barusan."Kita akan membahas itu atau tidak?""Tidak." jawabku singkat. "Apakah hari ini lancar?"Summer mengangguk. Ia melambaikan dua kertas di hadapanku. A untuk sebuah tes Biologi dan B+ untuk tes agriculture. Aku otomatis membeliak. "Sejak kapan kau ambil mata pelajaran pilihan itu?!""Kau kan tahu aku suka ilmu alam. Ada biologi dan fisika. Dan seper