Riri kaget terlonjak, sontak ia menjatuhkan uangnya saat mendengar pertanyaan yang mengandung makian tersebut.
Perempuan itu masuk untuk melihat lebih jelas apa yang sedang suaminya lakukan tanpa izin darinya. “Kamu memberikan dia uang tanpa sepengetahuanku?” tanyanya berang.“Karena akan begini akibatnya kalau aku memberitahumu lebih dulu,” jawab Hamdan.” Tenanglah, hanya uang segitu tidak akan mengurangi jatah belanjamu saat ini. Kamu selalu dalam keadaan kecukupan.”“Ma ...,” rengek Fadlan dan juga Fadly.‘Aku harus membawa anak-anakku ke dalam. Tidak baik kalau sampai anak-anakku melihat keributan ini,’ batin Riri.Padahal Fadlan baru saja ia tenangkan karena mengira Tantenya ini marah padanya sebab bersalaman dengan tangan yang kotor—namun lihatlah barusan, Tian malah membuat anaknya menjadi semakin takut.“Nak, kita ke dalam, ya. Mama temani kalian tidur di kamar, oke?” Riri beranjak berdiri menggendong Fadlan dan menuntun Fadly ke dalam.Sesampainya di kamar, Riri langsung menutup pintu rapat-rapat agar keributan mereka tak sampai mengontaminasi telinga anaknya.Kasihan, jika anak sekecil ini harus mendengar pertengkaran orang dewasa, karena akibatnya bisa berdampak buruk pada psikologi anak, pikir Riri sedemikian panjang.“Sudah aku duga, ya. Kamu ke sini mau ngapain. Berapa kali kamu sembunyi-sembunyi begini, Mas?”“Tian ... bantulah saudaramu yang kesusahan ini. Kasihan Riri. Sudah sepantasnya aku membantunya karena dia adalah adik kandungku. Dan kalau kita ikhlas, kita pasti akan mendapatkan pahala dari Allah.” masih terdengar sayup-sayup suara pertengkaran mereka dari luar.“Ma ... Tante Tian marah sama Mama, ya?” tanya Fadly.“Enggak, Sayang. Masa Tante Tian marah sama Mama.”Sebisa mungkin Riri berusaha untuk tidak meledak di depan mereka. Perkara soal uang memberi uang saja sampai seperti ini hebohnya.Toh, uang yang dikasihkan juga tidak seberapa. Mereka juga sangat jarang datang ke sini. Benar apa kata Hamdan tadi, dia adiknya. Wajar kalau seorang kakak memberi uang untuk adiknya sendiri.“Tapi masalahnya kamu nggak izin sama aku dulu, Mas. Aku ini istrimu, jadi kamu harus berunding sama aku dulu sebelum kamu memberikannya. Kamu anggap apa aku ini?”“Kamu istrikulah, Tian,” kata Hamdan geram. “Siapa pula yang menganggapmu orang lain. Hanya masalah memberikan uang saja kamu sampai segitunya. Padahal yang aku kasihan hanyalah seberapa, tapi sampai geger begini. Memalukan. Berlebihan!”Tian memunguti uang yang terserak di sofa, “Ini jatah Rizki, mau bayar iuran sekolah. Janganlah kamu asal kasih sebelum kamu bicarakan dulu sama aku. Soalnya aku lebih membutuhkannya.”Hamdan merebut uang tersebut dan kembali meletakkannya dimeja, “Ini uang milik Riri. Sudah aku berikan tadi. Jangan kamu ambil lagi tanpa seizin nya!”“Alah, kamu memberikannya juga tanpa izin dariku. Jadi ini masih milikku!”“Assalamualaikum ...,” sapa orang dari luar, yakni Ilham, suami Riri. “Eh, ada tamu,” ucapnya tersenyum. “Apa kabar, Mas, Mbak?”“Kami baik,” jawab Tian ketus dan membuat Ilham bingung. Karena datang-datang, langsung disambut dengan wajah masamnya.“Loh, Ririnya ke mana? Kok ada tamu nggak di layani? Atau sedang ambil minum?” tanya Ilham lagi.“Istrimu di kamar,” jawab Hamdan tanpa menoleh.Dia masih menatap tajam istrinya karena kembali memungut uang yang ada di meja.“Letakkan uangitu lagi, itu milik Riri,” ucap Hamdan setengah menyentak. “ Ayolah, aku hanya sekali ini memberikannya. Jangan biarkan aku menjadi kakak yang durhaka karena tak mau membantu adiknya yang kesusahan.”Ilham mengerutkan kening dan langsung menangkap garis besarnya; kenapa mereka jadi ribut dan saling marahan di sini. Rupanya, Tian tidak rela jika Hamdan memberikan uang kepada adik kandungnya sendiri.Ilham menyahut, “Maaf, Mas, bawalah uang itu. Tidak akan berkah jika pun Mas meninggalkannya di sini. Sebab ada seorang istri yang tidak ikhlas jika suaminya memberikannya pada orang lain.”“Bukan masalah ikhlas atau tidak ikhlas,” sahut Tian ketus. “Masalahnya dia memberikannya tanpa sepengetahuanku. Itu yang membuatku kesal. Terlebih dia memberikannya di saat aku sedang butuh. Aku punya banyak cicilan, anakku juga butuh iuran sekolah. Aku juga sebentar lagi mau lahiran. Apakah kamu tak melihatnya?”“Bawalah uang itu, Mbak. Insyaallah aku masih bisa mencukupi istri dan anak-anakku. Kami nggak sedang dalam kekurangan, kok.”Tanpa menjawab apa pun, Tian langsung meninggalkan ruangan itu dan suaminya. Hamdan yang tidak enak lantas meminta maaf kepada adik iparnya tersebut. “Tolong maafkan
Setelah kedua anak-anaknya terlelap, Riri pun beranjak keluar dari kamar dengan gerakan sangat pelan agar tak sampai membangunkan mereka. Dia terlebih dahulu menyiapkan pakaian untuk suaminya yang sedang membersihkan diri, kemudian menyiapkan makanan.“Tumben hari ini pulang lebih cepat, Mas?” tanya Riri begitusuaminya keluar dari dalam sana.“Iya, aku nggak ngambil lembur.” Hanya itu jawaban Ilham, sebelum kemudian pria itu menuju ke kamar. Dia kembali setelah berganti pakaian, lantas duduk di depan istrinya yang sudah menyiapkan piring untuknya.“Tumben masak rendang?” dia bertanya.“Ini dari Ibu, Mas. Tadi aku dikasih, soalnya aku disuruh masak di sana,” jawab Riri.“Oh, karena ada keluargamu yang datang itu?”Riri hanya mengangguk.“Kamu sendiri sudah makan apa belum?”“Sudah, Mas ... tinggal anak-anak yang belum, tapi mereka sudah keburu tidur. Sepertinya mereka kecapean habis main di halaman rumah Eshan.”“Matamu sembab ... kamu habis menangis?” Ilham menggenggam tangan istrinya
Riri memegangi kepalanya yang terasa berdenyut. Merasa gondok dengan kelakuan-kelakuan kakaknya yang keterlaluan terhadapnya.Tidak tahan berdiri tegak membuatnya mencari kekuatan dengan berpegangan pada pinggiran meja agar tak sampai terjatuh. Namun dilihatnya, ruangan menjadi gelap disusul dengan tubuhnya yang terasa ringan, lama-kelamaan tak sadarkan diri.GUBRAK!Terdengar suara perabot yang terjatuh bersamaan dengan tubuh Riri, membuat semua orang yang ada di ruang tamu bertanya-tanya.“Ada apa, tuh, Bu?” tanya Hamdan.“Nggak tahu,” jawab Ibu Saida. “Ri, Ri?” lantaran lama tak mendengar jawaban membuat Ibu Saida kembali memanggilnya, “Ri?”Hamdan beranjak dari tempat duduknya, “Coba aku lihat.” tapi sayangnya, batal karena tangan istrinya menahannya.“Apaan sih, kamu, Mas!” Tian tak setuju suaminya menemui Riri lagi setelah kejadian tadi. Dia masih takut kalau-kalau Hamdan kembali memberinya uang tanpa sepengetahuan dirinya.“Itu di belakang ada suara barang jatuh, aku mau lihat
Ilham terus berusaha membangunkan Riri setelah sang istri dibaringkan ke ranjang mertuanya. “Ri, bangun, Ri. Kamu kenapa?”Bingung dan panik, membuat Ilham menoleh kepada kedua kakak iparnya yang berdiri di belakangnya tanpa membantu melakukan apa-apa, “Ada minyak kayu putih nggak, Mbak? Punya nggak?”Keduanya mengedikkan bahu secara bersamaan.“Aku nggak bawa,” kata Nur Lela.“Apalagi aku, buat apa bawa-bawa kayu putih,” sahut Tian.“Ya Allah ... apa kalian nggak mau berusaha untuk mencarikan nya dulu?” geram Ilham sampai gigi-giginya gemeletuk. “Kalian ‘kan perempuan. Ini adik kalian pingsan, tolonglah sebentar, jangan Cuma berdiri menonton saja.”“Aku capek, Ham ... aku lagi hamil. Mana pula kamu suruh aku ke warung,” kata Tian beralasan. “Di sini kan warungnya jauh, aku nggak bisa jalan sejauh itu. Gimana kalau aku nanti malah ikutan pingsan juga. Repot.”Nur Lela langsung menyambung, “Aku juga, kakiku sedang pegal. Maklum, terlalu banyak memakai heels, jadi ya gini.” sambil menun
“Ini loh, adik kita,” Nur Lela menoleh kepada adik iparnya. “Masa dia hamil lagi, kan anaknya masih kecil-kecil. Setidaknya kasihlah jarak berapa tahun sama Fadlan. Minimal sampai Fadlan bisa ganti baju sendirilah.”“Oh ... jadi kamu pingsan karena kamu hamil lagi, Ri?” tanya Tian untuk memastikan. Namun Riri tak menjawab.“Ya sudahlah, Mbak. Yang penting nanti mereka nggak sampai merepotkan keluarga.”“Merepotkan keluarga yang bagaimana?” tanya Riri menyela pembicaraan mereka. “Biar pun aku nggak seberada kalian, tapi selama ini aku nggak pernah minta-minta, kok. Nggak pernah pinjam-pinjam uang sama kalian, alhamdulillah. Kami bahagia dalam kesederhanaan kami.”“Eh, biasa aja dong, jangan nyolot.”“Ah, sudah-sudah!” potong Ibu Saida. “Ibu pusing dengar perdebatan kalian. Apa-apa di masalahkan. Justru harusnya kalian itu senang karena sebentar lagi bakal menambah keponakan. Bukan malah menyalahkan Riri. Hadirnya seorang anak adalah kehendak dari Allah, rezeki yang patut disyukuri. Buk
Petang setelah menunaikan salat magrib di musala terdekat, kedua anak Ibu Saida serta menantu dan cucu-cucunya itu kemudian berpamitan pulang.“Kami takut sampai di sana kemalaman, Bu,” kata Hamdan menjadi perwakilan di antara mereka. “Besok anak-anak juga sudah mau sekolah lagi. Jadi nggak bisa terlalu lama apalagi menginap.”Ibu Saida mengangguk mengerti, “Pulanglah kalian, hati-hatidi jalan, jangan ngebut untuk menghindari hal-hal yang tidak di inginkan. Di sini jalannya sudah agak rusak.”“Baik, Bu,” jawab Hamdan lagi. “Kami pulang dulu. Sampai ketemu lagi bulan depan, insyaallah. Dan maaf kalau kedatangan kami merepotkan ibu dan juga Riri.”“Ah, tidak apa-apa, Nak. Beginilah memang seorang Ibu yang akan tetap menjadi naungan untuk anak-anaknya. Sejauh apa pun kalian pergi, pasti kalian akan kembali ke tempat ini lagi, berkumpul dengan orang tuanya selagi mereka masih ada.”Semua mengangguk dan saling berpamitan. Mulai dari anak, menantu, sampai cucu-cucunya.“Jangan lupa nastar k
“Bu ... bukannya Riri melarang, sama sekali enggak, tapi seperti apa yang Ibu bilang tadi. Ibu harus bilang dulu sama kakak-kakak, itu saja,” Riri mengulang perkataannya sebelumnya.Namun Ibu Saida sepertinya tak mau mendengarkan apa pun ucapan Riri, “Ibu hanya ingin Umrah, mumpung masih mampu.”‘Baiklah, sepertinya ibu salah ngomong. Beliau hanya memberitahuku, bukan meminta pendapat. Sebab bagaimana pun aku memberi saran, tetap tidak akan di dengarkan olehnya.’“Semoga keinginan Ibu segera tercapai,” kata Riri akhirnya. Tak ingin mengucapkan apa-apa lagi karena bisa mematahkan hatinya yang kini sedang membayangkan hal-hal yang menyenangkan.“Iya, doakan ya, Ri.”Riri mengangguk dan membatin, ‘Aku tidak bisa memberikannya apa pun, jadi minimal aku jangan membuatnya kecewa.’Tak berapa lama, Ibu mengeluarkan uang dari kantong sakunya, “Ini dari Hamdan, nitip buat Ibu sama Riri katanya.”Namun sayang, Riri menggeleng. Dia trauma dengan kejadian kemarin. “Maaf, Bu. Riri memutuskan untuk
Mata Riri mengembun mendapatkan respons yang begitu buruk dari seberang. Padahal—dia hanya meminta haknya sendiri, tapi ada saja cobaannya. Lama-kelamaan kesabaran orang bisa habis juga kalau seperti ini caranya.Dia manusia, bukan malaikat. Jelas dia memakai perasaan. Memangnya manusia mana yang tidak kesal saat terus di remehkan dan di anggap sedemikian sepele oleh orang lain di tengah-tengah lelahnya dia bekerja keras?Terlebih, Riri juga sedang mengandung sekarang. Susah payah dia menahan rasa mualnya dari bau menjenuhkan kue nastar yang dia bikin seharian penuh—bahkan sampai sekarang pun belum usai karena dia harus membereskan bekas pekerjaannya.Dapur tampak obrak-abrik seperti baru saja di landa perang. Pun dengan anak-anaknya yang belum ia mandikan sesore ini. “Aku harus menutup modal pakai apa?” gumamnya kebingungan. Tetapi dia merasa masih memiliki harapan, yakni menghubungi Nur Lela. Ya, wanita itu pasti mau membayarnya sekarang juga, pikirnya begitu yakin.“Mbak ...” uca
Tanpa Riri ketahui sebelumnya, ternyata kedatangan Ustaz Syarif datang ke sini selain menjenguk muridnya yang baru saja di khitan, beliau juga mempunyai maksud lain. Yakni mengantar keponakannya untuk melamar sang pujaan hati. Apabila ada yang bertanya, di mana orang tua Panji, mereka sudah tiada semenjak lama. Oleh karenanya, Panji menggandeng Pamannya sebagai wakil orang tua satu-satunya. Hmm. jangan ditanya lagi bagaimana perasaan Riri dan keluarga. Terkejut? Ya, tentu saja. Itu sudah pasti.Riri tidak menyangka bahwa dia dilamar secara dadakan seperti ini tanpa ada pembicaraan terlebih dahulu sebelumnya. Beberapa hari yang lalu, mereka memang sempat berkomunikasi lewat pesan singkat. Namun Panji hanya menanyakan kesediaannya jika ia datang ke rumah. Tetapi sungguh, Riri tidak paham karena ternyata inilah yang dimaksud oleh pria itu. Jangankan bertanya bagaimana perasaannya atau kesiapannya untuk menikah lagi setelah bercerai dengan Ilham—dekat saja—rasanya tidak pernah. Dia ma
Tidak ada gairah hari ini, yang dilakukan Riri hanyalah menangis, menangis dan menangis setelah suaminya itu benar-benar pergi dari rumah. Berkali-kali dia menyadarkan dirinya agar tidak terlalu berlebihan menyikapi sejumlah permasalahan yang sedang ia hadapi. Namun berkali-kali juga kenangan indah terbayang di pikirannya. Tidak mudah baginya menghapus semua kenangan yang biasa ia lakukan bersama selama enam tahun belakangan ini bersama Ilham. Di sini, di tempat ini.Bagaimana mungkin seorang Ilham yang ia kenal begitu lembutnya mencintai dirinya tega berbuat demikian? Riri sama sekali tidak menyangka.Betapa awal pertemuan mereka sangat indah. Bekerja sambil menjalin cinta. Pulang pergi berboncengan bersama. Tak lama kemudian menikah, bulan madu, pindah rumah sendiri, lewat satu bulan setelanya ia langsung hamil Fadly. Mereka merasakan kebahagiaan luar biasa saat pertama kali menjadi orang tua. Selang beberapa tahun kemudian, mereka kembali di anugerahi seorang anak laki-laki lag
(Dobel upini lho...🥰🌺🤭)‘Lihatlah, Mas. Anak-anak kita yang jadi korban keegoisanmu sekarang, apa kamu nggak kasihan sama mereka?’Riri cepat-cepat menyelesaikan pekerjaannya, sebelum Ilham bertambah marah dan membuat anaknya menjadi semakin takut. “Kita langsung makan saja, ya, Nak. Nanti habis itu, bobo siang sama Adek di rumah Nini, Okay?”Fadly mengangguk, anak itu tak membantah sama sekali perintah ibunya. Tapi dalam hati ia telah menyimpan benci kepada ayahnya karena pria itu telah memperlakukan wanita yang dicintainya dengan cara tidak baik. “Bu, Fadly sama Fadlan di sini dulu, ya. Aku masih ada urusan,” kata Riri setelah ia berada di rumah Ibu Saida.“Iya, nggak papa, Nak. Toh, di sini juga ada Mbakmu yang jagain mereka,” jawab Ibu Saida tersenyum. Sebagai seorang ibu sekaligus orang yang rumahnya paling dekat, beliau paham apa yang sedang terjadi dengan rumah tangga putrinya. Namun, beliau enggan mengikut campuri hubungan mereka. Sebab, mereka sudah sama-sama dewasa dan t
Mati-matian Riri menahan sebak di dadanya. Dalam keadaan demikian, wajah anak-anaknya membayang di pikiran, bagaimana nasib mereka nanti dan dengan cara apa Riri menjelaskannya?Ah, Ya Tuhan... seperti inikah Mas Ilham sebenarnya yang dia cintai selama ini?“Bukankah kamu tahu, Mas Ilham sudah beristri?” tanya Riri setelah dapat menguasai dirinya lagi.Perempuan yang bernama Lira itu mengangguk. “Maaf, Mbak... tapi hanya laki-laki seperti Mas Ilham yang dapat menerima sepenuhnya keadaanku. Kasihanilah aku, aku bukan wanita sempurna sepertimu yang bisa memiliki anak. Kelak, jika aku tidak menikah dengan Mas Ilham, aku akan hidup sendiri dan terlunta-lunta sampai tua.”“Apa pun alasannya, ini tidak bisa dibenarkan. Tidakkah kamu pikirkan perasaanku?” Riri bertanya dengan nada menyentak. “Apa kamu sadar, perbuatanmu ini tercela. Kamu merebut suami orang. Kamu bahagia di atas penderitaan orang lain. Coba kita ganti posisi. Aku yakin kamu nggak akan bisa berbicara seperti ini sekarang.”“A
“Ri, maaf, Ri... iya, aku salah aku tadi terlalu keras ke kamu. Buka pintunya, Sayang.” ‘Aku nggak peduli, Mas. Aku nggak peduli.’Riri kembali mematikan ponselnya dan menyembunyikannya di tempat yang paling susah dijangkau. Wanita itu duduk di ranjang, menghela napasnya dalam dan berusaha tenang meski tangis tetap tidak bisa ia cegah mencuat keluar dari tempat persembunyiannya. ‘Hancur sudah mimpi-mimpi yang pernah kita bangun, Mas. Aku sangat paham bahwa kamu ingin hidup lebih baik dari sebelumnya, agar tidak ada lagi yang menghina keluarga kita. Tapi cara yang kamu gunakan salah, karena kamu justru menghancurkan rumah tangga ini. Kamu telah menodainya.Aku percaya setiap pernikahan pasti akan di uji—seperti pernikahanku sekarang. Aku sempat mengira ujian ini sudah hampir selesai karena aku lihat saudaraku, Mbak Nur Lela sudah mulai berubah. Tapi masalah lain ternyata datang dari kamu.‘Tuhan... biarkan aku tidur dulu sejenak untuk menenangkan pikiran.’Riri merebahkan diri ke ran
“Mumpung aku lagi libur, aku mau main ke rumah Mama. Kamu mau ikut apa nggak?” ucap Ilham begitu Nur Lela pergi dari rumah. “Aku mau menginap di sana dua hari, kasihan mereka sudah lama nggak di tengok.”“Aku kan, sudah bilang tadi. Aku lagi banyak pesanan, Mas,” jawab Riri begitu sabar walau masih sangat dongkol dengan pria ini. Dia pun heran: ‘Kenapa sih, hampir semua orang di sekelilingku jadi toxic?’ Ilham kembali berujar, “Apa kamu nggak mau mengunjungi mertuamu? Sudah lama kita nggak ke sana.”“Yang pasti pengin, tapi bukan sekarang. Lagi pula besok anak-anak juga harus sekolah lagi, harus ngaji juga. Kasihan kalau sampai libur dua hari, nanti bisa ketinggalan pelajaran. Kalau memang Mas Ilham mau mengajak kami menginap boleh, tapi nanti kalau ada libur panjang,” jelas Riri dengan uraian panjang. “Ya sudah kalau begitu, aku juga nggak mungkin memaksamu. Tolong siapkan pakaianku, ya. Bawakan baju santai dua setel, baju formalnya satu setel saja,” titah Ilham yang diangguki oleh
Tok tok tok!Pintu yang terdengar diketuk membuat Riri cepat-cepat mengusap air matanya. Dia terlebih dahulu merapikan wajahnya lagi sebelum akhirnya membukakan pintu. Meski perasaan dongkol tidak bisa ia sembunyikan, namun jika Ilham menyadari hal itu.“Kamu kenapa langsung masuk ke dalam?” tanya Ilham begitu melihat istrinya muncul dari balik pintu, “anak-anak belum kamu gantikan bajunya. Masa main pakai baju koko putih begitu, nanti kotor.”“Iya, Mas,” jawab Riri singkat dan menghindari kontak mata dengan pria ini. Sungguh ia benci sekali wajah suaminya yang entah kenapa dan semenjak kapan terlihat menyebalkan di matanya.“Kenapa wajahmu kusut begitu?” tanya Ilham yang ternyata peka dengan keadaan istrinya sekarang ini. “Nggak suka aku beli motor baru?” tebaknya kemudian.“Nggak, aku Cuma agak kurang enak badan aja, kok.”“Bohong,” Ilham beranggapan, “Apa kamu hamil lagi? Kok jadi sensitif banget akhir-akhir ini. Kebanyakan mikir yang enggak-enggak.”Riri menggelengkan kepala, baga
Panji langsung mengajak murid barunya masuk ke dalam Masjid. “Baru iqra kan? Kalau iqra mah insyaallah Om juga bisa.”“Ngajinya sama Ustaz Om?” tanya Fadly polos membuat kedua orang dewasa itu sontak tertawa karena terdengar lucu.“Panggil Om aja, Nak. Nggak usaha ada Ustaznya di depan. Kepanjangan.”“Yeaay!” Kedua anak itu sangat riang. Lantas mengaji seperti seharusnya.Namun siapa sangka mereka malah kecanduan, karena keesokan harinya, mereka pun meminta berangkat ke sana lagi untuk mengaji dengan Om Panji selama Ustaz Syarif masih sakit. Meski pada akhirnya Riri harus banyak minta maaf karena ini lumayan mengganggu waktu pria itu selepas ashar.“Nggak papa, Cuma setengah jam mengajarkan mereka,” kata Panji pada suatu sore besoknya. “Nggak terlalu mengganggu waktuku. Toh, aku juga kalau sudah pulang nggak mungkin berangkat lagi ke kantor.”“Bukan begitu, nanti dikira aku sama kamu... ya, kamu tahu sendirilah orang kampung itu kayak gimana. Semua pasti akan dikomentari.”“Jangan ter
Jangan lupa tekan love nya ya!Hppy reading!“Anak-anak ... mandi dulu, Nak! Fadly, Fadlan!” Riri berseru memanggil anaknya yang sedang main di belakang rumah. “Udahan dulu ya, mainnya.”Fadly yang notabenenya adalah seorang kakak, dia bisa bersikap lebih dewasa dan lebih mengerti dari pada Fadlan. Oleh karenanya, dialah yang menggiring adiknya tersebut pulang walau dia tahu, betapa susahnya untuk membujuk bocah ini sedang seru-serunya bermain. “Ade ... ayo, De ... mandi dulu, nanti kita bisa main lagi setelah mandi. Kasihan mamanya teriak-teriak dari tadi, De ....”“Ade kan masih mau main ini.” Fadlan menunjukkan mobil beko baru yang dibelikan oleh papanya kemarin. Mainan baru membuat anak ini lupa segalanya. Seperti yang biasa dilakukan oleh anak-anak lain ketika ia sedang menyukai suatu mainan, maka dia akan memainkannya sampai benar-benar bosan. “Ini nanti bisa dimainin lagi kalau kita sudah mandi. Nanti kita main yang lebih seru, tapi di dalam, ya!” bujuk Fadly lagi. Dia mengin