Setelah menempuh jarak dalam waktu sekitar tiga puluh menit, Juna akhirnya sampai juga di rumah Demian dan Kiran. Sesaat dia ragu untuk mengetuk pintu, tapi titik kesadaran memaksa tangannya bergerak tanpa harus berpikir lagi. Ada rasa malu yang begitu besar. Namun, sebagai laki-laki, bukankah Juna harus berani menghadapi serta menyelesaikan masalahnya?Baru saja Kiran meletakkan dua cangkir kopi panas di atas meja—untuk Juna dan suaminya—membuat Juna tersenyum getir karena masih saja diperlakukan sebaik ini oleh wanita yang putri sambung satu-satunya telah dia sakiti.Padahal, sah-sah saja jika kedatangan Juna disambut dengan caci-maki, tatapan benci, atau bahkan diludahi tepat di garis wajahnya. Tapi Kiran dan Demian tidak melakukan itu. Mereka masih punya hati. Tidak seperti Juna yang hatinya entah digadaikan ke mana.Kiran duduk di sofa yang berhadapan dengan Juna, sedangkan di sebelah kanan sudah ada Demian yang sejak tadi menemani Juna di ruang tamu."Papa, Mama ...." Juna tak b
"Kamu yakin, bercerai dengan Juna adalah satu-satunya jalan yang harus kamu pilih?" Diana, dengan raut wajah yang tak tergambar, menatap ambigu Airish seraya mengajukan satu pertanyaan.Airish terdiam ditanya seperti itu oleh wanita yang masih menjadi ibu mertuanya—setidaknya sampai detik ini. Seraya menghela napas, ia memainkan jari-jemari di atas sofa empuk yang didudukinya.Apa pun yang terjadi, sekuat apa pun hati kecilnya meraung ingin dipersatukan dengan Juna seperti dulu. Namun, demi kecewa yang terlanjur merobek asa, serta demi luka yang terlanjur merengkuh jiwa, ia harus bergegas pergi untuk menyembuhkan patah hati terhebat yang dipersembahkan oleh Juna dan Lea.Semoga saja ... pedihnya cepat berlalu, pulihnya cepat bertemu."Maaf, Mommy. Keputusan ini ... sudah bulat," kata Airish. Parau suaranya membisikkan pilu dari relung hati yang paling dalam. "Aku memikirkan ini nggak cuma satu atau dua hari, tapi berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Orang bilang, nggak ada obat untu
"Minum dulu!"Airish mendongak, menatap sekaleng minuman soda yang baru saja disodorkan oleh Ray.Tadi, sekitar kurang dari satu menit yang lalu, Ray meminta izin kepada Airish untuk pergi sebentar—yang Airish tidak mau tahu ke mana perginya—dan sekarang laki-laki itu telah kembali membawa dua kaleng minuman soda untuk mereka berdua."Makasih." Dengan sekali gerakan, Airish menerima minuman pemberian Ray, lalu pria itu duduk di sebelah kanannya—di atas tembok berukuran rendah yang sengaja dibuat untuk membatasi jarak dengan toko sebelah.Diantar oleh Ray, kini Airish berada di toko fotokopi untuk mencetak dokumen-dokumen penting sebelum mengajukan gugatan cerai ke Pengadilan Agama. Saat memutuskan berpisah dengan Juna, Airish benar-benar sudah memikirkan hal tersebut dari jauh-jauh hari. Hingga dirinya yakin bahwa penyesalan tak akan menyusul di kemudian hari, maka detik itu juga ia mengutarakan keinginannya kepada orang-orang di sekitar.Sebelum berita ini meluncur ke awak media, Air
Juna yakin sekali bahwa wanita yang dilihatnya keluar dari dalam ruang dokter kandungan adalah Lea. Ia hafal betul raut wajah bahkan cara Lea berjalan sekalipun. Mata laki-laki ini juga masih normal, tidak mungkin salah orang."Lea?"Setelah berhasil mengikis jarak, Juna memberanikan diri untuk memanggil, membuat wanita itu berhenti melangkah lalu menoleh ke belakang. Tepat sekali dugaan Juna. Ternyata itu memang benar Lea, mantan kekasih gelapnya pada waktu itu.Sesaat Lea tertegun mendapati seseorang yang kini ada di hadapan matanya. Sama sekali tak menyangka akan bertemu Juna di sini. Namun, rasa terkejut itu segera ia hempaskan. Berganti ekspresi cuek seiring dengan hembusan napas kasar. Saat itu pula, ia melengos, memalingkan wajah dari Juna. Entah apa alasannya. Satu hal yang pasti, ia sudah malas berurusan tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan Juna."Kamu ... kamu ngapain di sini, Le?" tanya Juna setengah ragu. "Tadi aku lihat kamu keluar dari ruang dokter kandungan."Le
Juna baru saja masuk ke dalam kamar rawat Diana saat Airish masih duduk di atas kursi bundar dekat ranjang pasien. Ia berjalan mendekat, setelah bola matanya bertemu pandang dengan tatapan dingin Airish yang ... sudah lama sekali, tak pernah sehangat dulu."Mom, maaf ya nggak bisa lama-lama di sini. Aku harus pulang sekarang," kata Airish. Wanita itu tahu, situasi akan berubah canggung kalau ia berada pada satu ruangan yang sama dengan Juna. Terlebih lagi, mereka tak mungkin bertengkar di hadapan Diana yang kondisinya saat ini sedang tidak baik-baik saja.Airish bangkit dari duduknya, lalu mengecup punggung tangan Diana dengan sopan. "Semoga Mommy cepet sembuh, ya. Makan yang banyak."Diana sersenyum, sedangkan Juna masih berdiam diri memperhatikan kedua manusia di hadapannya."Makasih udah meluangkan waktu buat jengukin Mommy," ujar wanita itu diiringi perasaan senang."Sama-sama, Mom." Airish berbalik badan, nyaris meninggalkan ruangan jika saja posisi Juna berdiri tidak berada tepa
Telah berulang kali Lea menekan bel rumah seseorang yang didatanginya. Menunggu siapa saja membukakan pintu lalu menyuruhnya masuk ke dalam untuk kemudian menanyakan ada keperluan apa ia datang kemari. Namun, hingga dirinya mulai hilang kesabaran dan beralih menggedor pintu tanpa menghiraukan fungsi adanya tombol bel, pemilik rumah masih tak kunjung memperlihatkan wujudnya di balik daun pintu.Tok! Tok! Tok!Kembali, Lea mengetuk untuk kesekian kalinya. Benar-benar menguji kesabaran. Kalau bukan demi masa depan janin di dalam kandungannya, sampai gunung Krakatau meletus pun Lea takkan sudi berdiri lama-lama di sini tanpa kepastian yang jelas.Cklek!Lea mundur satu langkah. Seseorang dari dalam baru saja membuka pintu. Akhirnyaaa! Batin Lea menjerit girang. Seperti menerima segelas air di musim kemarau setelah menunggu sekian lama.Sepasang mata Lea bertemu dengan manik cokelat milik seseorang yang berdiri di hadapannya.Dengan satu tangan bertumpu pada handle pintu minimalis di sisi
Pada akhirnya, Lea harus pulang membawa kekalahan. Tanpa hasil yang ia harapkan. Alih-alih sukses mendapat pertanggungjawaban, dirinya malah mendengar kalimat caci maki serta dijambak keras oleh gadis remaja yang merupakan anak kandung dari laki-laki yang telah menghamilinya.Dan sekarang Lea tidak tahu lagi bagaimana caranya untuk membuat laki-laki brengsek itu bertanggung jawab atas apa yang ia perbuat. Kini Lea ditinggalkan tanpa secercah pun harapan yang tersisa.TINNN!!"WOY! Udah bosen idup, ya?!"Lea tersentak kaget. Sebuah mobil berkendara di sampingnya dan nyaris menyerempet tubuhnya. Sejak tadi ia terlalu asyik melamun, memikirkan masalah yang tak kunjung ditemukan jalan keluarnya, sampai-sampai tidak memperhatikan kondisi sekitar.Sejenak Lea berhenti melangkah, memandang rapuh laki-laki paruh baya yang terlihat marah-marah di dalam mobil sambil menatapnya. Setelah puas memaki, orang itu kembali melajukan mobil, pergi menjauh meninggalkan Lea begitu saja.Lea menarik napas
Ray tidak tahu tindakan apa yang harus dilakukan saat melihat wanita hamil sedang mengalami kram perut. Jadi, ia mengajak Lea masuk dulu ke dalam mobil, membiarkan wanita itu duduk di sebelah Airish yang sejak tadi hanya menunggu di sana.Melihat kondisi Lea yang tampak kesakitan sambil terus memegangi perut, Airish mengaku panik, takut terjadi sesuatu pada bayi di dalam kandungan Lea. Saat ini, sama sekali tak terlintas di pikiran Airish perihal masalah yang terjadi antara dirinya dengan Lea.Tentang luka yang menganga lebar di rongga dadanya ... meskipun masih basah dan belum terobati, ia akan mengesampingkannya sejenak. Sebab untuk saat ini, hatinya tak memiliki waktu untuk patah hati.Tak ada kesempatan baginya untuk balas dendam, walaupun sebenarnya ia bisa saja melakukan itu dengan cara membiarkan Lea kesakitan di jalan seorang diri. Namun, Airish tidak melakukannya, karena balas dendam hanya akan mengotori tangannya saja."Kamu tau tindakan apa yang harus kita lakukan saat meli
Hari ini Airish mendatangi rumah Alan untuk meminta tanda tangan pria itu di surat cerai. Ia tidak hanya sendirian, melainkan diantar oleh Juna. Meskipun Airish mengatakan dia bisa pergi sendiri dan menyelesaikan masalahnya dengan Alan secara empat mata, tetapi Juna bersikukuh ingin ikut.“Memangnya kamu tahu apa yang akan Alan lakukan kalau enggak ada aku? Gimana kalau nanti dia berani meluk-meluk atau nyium kamu kayak waktu itu? Kalau ada aku, nanti aku bisa ngehajar muka dia sampe bonyok. Biar kapok!” ucap Juna ketika Airish bicara bahwa dirinya tidak perlu diantar.Dan di sinilah mereka sekarang. Berdiri di depan pintu rumah Alan sambil menekan tombol bel beberapa kali. Menunggu sang empunya rumah membukakan pintu untuk mereka.CKLEK!Pintu terbuka. Menampilkan sosok Alan yang memandang sinis kedatangan Airish bersama Juna. Alan terlihat tidak suka dengan kehadiran Juna di samping Airish—yang selama ini selalu ia panggil dengan nama Reina.“Aku mau minta tanda tangan kamu. Kita re
“Sebenarnya ada apa, sih, Jun? Tumben banget kamu ngajakin kita kumpul kayak gini?” tanya Demian dengan ekspresi penasaran.Juna tersenyum simpul membalas pertanyaan ayah mertuanya tersebut. Ia menyapukan bola mata ke sekeliling, melihat bagaimana orang-orang itu tampak tidak sabar mendengar jawaban dari mulutnya.Selain Demian dan Juna di ruang makan, di sini juga sudah ada Elena, Diana, Kiran dan tentunya Shandy. Juna sengaja mengumpulkan mereka untuk memberi kejutan bahwa Airish sudah kembali, dan artis pendatang baru bernama Reina itu aslinya memang benar-benar Airish.“Aku punya satu kejutan buat kita semua,” ucap Juna dengan ekspresi misterius.“Kejutan apa, sih, Bang? Alay banget, deh. Langsung aja ke intinya napa,” cibir Aisyah, adik perempuan Juna yang telah beranjak dewasa.Juna menyuruh orang-orang itu menutup mata dan jangan mengintip. Meskipun penasraan, tapi mereka berusaha sabar. Mengikuti permintaan Juna untuk menutup mata menggunakan kedua telapak tangan.“Tunggu samp
Sebagai orang yang sudah sama-sama dewasa, Juna dan Airish memutuskan untuk membahas masalah mereka baik-baik dan dengan kepala dingin. Tidak lupa mengajak Kinan juga, karena perempuan itu juga terseret dalam masalah ini.Mereka telah berkumpul di ruang tengah. Juna, Airish dan Kinan. Sementara Shandy masuk ke kamarnya—tidak diperbolehkan oleh Juna untuk ikut campur permasalahan orang dewasa.“Karena Airish sudah terlanjur tahu, maka aku akan menyelesaikan semuanya sekarang.” Juna angkat bicara. Memandang dua wanita di sofa yang berseberangan dengannya.“Sebenarnya aku sama Kinan memang sudah lamaran, Rish,” ungkap pria itu apa adanya. “Itu jauh sebelum aku menemukan kamu kembali.”Airish mengerling, menahan sesak di dada karena kenyataan itu terlalu pahit baginya.“Tapi aku juga bilang sama Kinan, kalau aku enggak bisa meninggalkan kamu. Aku enggak bisa memilih satu di antara kalian.” Lagi, mulut Juna terbuka untuk mengatakan, “Memang aku sangat serakah dan egois, aku tahu. Tapi inil
Alan baru saja sampai di gerbang sekolah. Melihat beberapa orang yang berkerumun di depan sana, membuatnya bingung dan mengernyitkan alis. Kebanyakan dari mereka saling membawa kamera, tetapi ada juga yang membawa recorder. Ada yang memegang mic juga.Lalu seorang satpam yang sejak tadi menghalangi orang-orang itu agar tidak masuk ke gerbang sekolah, kini menatap ke arah mobil Alan dengan pandangan meminta bantuan. Alan membuka pintu mobil, keluar dari dalamnya lalu menghampiri karamaian.“Itu Pak Alan!” seru salah seorang wartawan.Lantas saja orang-orang itu berlari mendekati Alan. Mereka bercepat-cepat menyodorkan mic di depan wajah Alan. Sorotan kamera langsung mengarah padanya, bahkan ada beberapa yang mengabadikan fotonya. Mereka semua melontarkan kalimat tanya secara bersamaan, bertubi-tubi. Sangat ribut dan berisik. Alan bahkan sampai bingung harus menjawab yang mana dulu.“Pak Alan, apakah benar Anda akan segera bercerai dengan Reina?”“Kapan kalian resmi bercerai?”“Apa yang
Tapi laki-laki itu malah kembali memeluk Airish. “Aku tahu. Bukankah nggak ada salahnya kalau aku meluk kamu sebelum kita benar-benar resmi cerai?” tanyanya, yang membuat Airish memilih untuk menutup mulut. Apa yang Alan katakan memang benar. Mereka masih sah suami istri.“Shandy Basupati itu murid kamu, kan?” Airish membahas topik lain. Ia hanya malas saja jika teus-terusan membahas tentang hubungannya dengan Alan.Alan mengangguk, dan Airish bisa merasakan, karena sekarang Alan sudah meletakkan dagu di bahunya.”Dia anakmu?” tanya Alan. Meskipun sudah tahu bahwa jawabannya memang benar, namun Alan hanya ingin memastikannya saja.Lalu Airish tersenyum samar. “Iya,” sahutnya tanpa menyangkal. “Malam ini kamu tidur di kamar sebelah, ya? Aku enggak mau tidur berdua sama kamu,” tambahnya. Rasanya sangat risih jika harus tidur di samping pria yang bukan Juna.Alan menghela napas. “Baiklah.” Lebih baik ia mengalah daripada harus melihat Airish pergi.***Senyuman di bibirnya tertoreh setel
“Lalu siapa wanita yang akan kamu pilih di antara mereka?”Juna masih belum lepas memandang gitar di pangkuannya. Sesekali memetik senar dengan asal. “Dua-duanya,” sahutnya, membalas ucapan Kiki.Jawaban Juna membuat Kiki berdecih sinis. Tangannya terulur mengambil poci di atas meja, lalu menuang air putih ke dalam gelss. “Gimana bisa kamu milih dua-duanya? Lebih baik pilih salah satu dari mereka. Jangan sampai kamu nyakitin dua-duanya.” Itu hanya saran saja dari Kiki. Tapi semuanya kembali ke diri Juna sendiri.Juna mendengkus, menurunkan gitar dari pangkuan dan meletakkannya di samping meja. “Aku nggak tahu harus milih yang mana.” Kali ini ia menatap Kiki. Bingung.“Sebenarnya siapa yang kamu sayang?” tanya pria yang bekerja di kedainya tersebut, setelah meneguk setengah gelas air putih.Untuk membalas pertanyaan itu, Juna sama sekali tidak ragu untuk mengatakan, “Aku sayang sama Kinan.” Ia merasa sangat yakin atas jawabannya.“Kalau begitu, silakan ceraikan Airish. Kasihan dia kala
Alan mulai merenggangkan pelukan. Hingga akhirnya, ia benar-benar membebaskan Airish dari pelukan yang menjeratnya dengan cukup erat. Ia melangkah mundur, terlihat menjauhi kamar tersebut.Sambil mengusap air mata menggunakan punggung tangan, Alan berkata kepada Airish. “Kalau begitu, silahkan pergi! Aku nggak akan melarang kamu untuk meninggalkanku. Jika memang ini akhir dari semua yang telah kita lewati bersama, maka biarkan aku mengakhiri hidupku juga. Kamu boleh meninggalkan aku, dan aku akan meninggalkan duniaku. Karena bagiku … dunia ini sudah berakhir saat kamu memutuskan untuk nggak lagi berada di sisiku.”“Alan, apa yang mau kamu lakukan?” Airish mulai panik. Perasaannya tidak tenang ketika mendengar ucapan terakhir Alan.Alan menghentikan langkah di dekat balkon kamar. Kepalanya menunduk. Membiarkan air mata terus mengalir, lalu ia mulai menaiki balkon. Mungkin yang ada di pikirannya saat ini adalah; semuanya akan selesai setelah ia mati.“Jangan pedulikan aku lagi. Sekarang
Airish bermain-main dengan Shandy setelah mengganti pakaian yang basah kuyup akibat terguyur hujan tadi—saat ia berjalan menuju rumah ini tanpa payung ataupun mantel.Mereka menciptakan beberapa obrolan menarik untuk dibahas. Mulai dari kegiatan Shandy sehari-hari, hal apa yang disukai dan dibenci Shandy, makanan favorit Shandy, dan tak terkecuali cerita Shandy selama bersekolah.Dari cara penyampaian Shandy, Airish bisa menyimpulkan kalau buah hatinya itu memang merupakan anak yang sangat pintar.Bola mata Airish merangkak ke arah tembok tatkala Shandy memintanya untuk melihat sebuah kertas yang menempel di tembok. Anak itu berkata bahwa ia telah membuatkan puisi untuk ayahnya—yang tak lain adalah Juna. Dan ia juga mengatakan bahwa Juna menangis setelah membaca puisi buatannya.Airish merasa tidak asing lagi saat membaca puisi yang berjudul ‘Untukmu Ayah’ tersebut. Lalu sepenggal ingatan melintas di otaknya, membawanya pergi menghampiri percakapan singkat antara dirinya dengan Alan.
Airish membuka lebar kedua matanya. Sudah tidak lagi membungkam telinga. Napasnya tersengal. Ia merasa kalau pipinya dibasahi oleh cairan yang keluar dari pelupuk mata. Sambil menahan isakan, Airish memeluk lututnya dengan sekelumit perasaan yang bercampur aduk.“Juna .…” Lirihan itu terlontar dari bibir Airish. Memaksanya untuk merasakan kesesakan yang lebih dalam.Kenangan yang pernah hilang dan terlupakan kini sudah terkumpul kembali di dalam memori. Membuatnya mengingat sekumpulan masa lalu termanis selama mengenal Juna.Betapa bodohnya dia karena sudah melupakan keping-keping kenangan itu bertahun-tahun lamanya. Membuatnya terpenjara dalam sebuah kedustaan dari laki-laki yang mengaku sebagai orang terdekat di hidupnya.“Alan … kamu benar-benar jahat!” Airish memperlihatkan ekspresi benci saat membayangkan wajah Alan—sosok pria yang selama ini telah membohonginya dan menutupi kebenaran darinya.***Ketiga orang ini terlihat sedang bahagia dengan gelak tawa yang keluar dari mulutny