Istri Wira terlalu sibuk dengan pikirannya sampai-sampai tidak menyadari orang lain datang menghampiri.
“Permisi nona muda, saya Aris sekretaris tuan Wira,” laki-laki berpakaian formal hitam memperkenalkan diri. “Saya menerima telepon dari ibu Ningrum untuk mengantar segala keperluan dan di luar sudah ada mobil yang membawa seluruh barang-barang anda.”
Arina ingat ibu mertuanya akan meminta sekretaris Wira membawakan semua kebutuhannya sesaat yang lalu.
‘Cepat juga barang-barang itu datang’.
“Ah, iya. Bawakan semuanya ke kamarku.” Sekretaris pun menunduk hormat.
Aris memberi intruksi kepada para pekerja perempuan – yang mengantar. Arina menuju kamar Wira juga segera bergegas membantu membawakan beberapa jenis paperbag. Sesampainya di sana, tak didapati laki-laki yang mengusir dirinya beberapa saat lalu.
“Ada yang nona perlukan lagi?” Aris menyadarkan nona muda yang matanya sibuk mencari sosok lelaki aneh.
“Tidak, tidak ada. Ini lebih dari cukup.”
Sekretaris tersebut memunggungi nona muda sembari melihat para pekerja menyelesaikan tugasnya. Laki-laki yang dikenal professional dan sigap setiap mengerjakan perintah dari keluarga Arasatya. Arina ikut berdiri, bermaksud ingin memantau. Pikirnya ‘Kenapa dari tadi antar-mengantar belum selesai.’
Posisi Arina sudah berdampingan bersama si sekretaris. “Aris. Kau kenal aku?” Pertanyaan random si nona muda.
“Tentu saja, nona. Anda istri atasan saya, tuan Wira.” Perempuan di sebelah mengangguk-angguk pelan.
“Kau bisa menyentuhku?” Kalimat nona muda membuat sekretaris terkejut, tampak dari reaksi tubuh yang dia tunjukkan.
“Maaf, nona. Saya tidak bisa. Saya tidak ingin di gantung hidup-hidup oleh tuan Wira.”
‘Selain aneh, pria itu bisa mengancam juga rupanya’.
“Hahaha… di balik mukamu yang mengesalkan ternyata kau lucu. Bagaimana kalau aku meminta bantuan?” membuat pengalihan sempurna.
“Silahkan, nona. Bantuan apa yang perlu saya berikan?” Aris tetap teguh pendirian, begitu formal pada istri tuannya.
“Kalau aku memukulmu langsung kau tangkis, ya. Aku ingin melihat sampai mana ilmu beladiriku.” Sebenarnya ini akal-akalan Arina saja.
Si sekretaris terdiam sebentar.
“Apa itu tidak masalah? Saya takut menyakiti nona.”
Perempuan ini tersenyum penuh rencana.
“Tentu saja tidak masalah. Aku lebih kuat dari yang terlihat, loh. Kau meremehkanku karena tubuhku kecil, ya?”
Aris sontak merubah cara bicaranya diiringi gerakkan-gerakkan tangan memberitahu bahwa dia tidak bermaksud menyepelekan nona muda. Padahal tanpa sadar dia sudah termakan umpan Arina yang memiliki tujuan berbeda. Namun, sebagian ucapan istri Wira ada benarnya, bahwa sekretaris melihat tubuh perempuan di sebelah lebih kecil darinya yang hampir sama tinggi dengan putra sulung Arasatya.
Arina mulai melajukan kepalan tinjunya – sasaran yang dituju ialah tulang pipi Aris. Belum sempat tangan mungil itu mengenai wajah laki-laki tersebut, secara sigap Aris menggunakan lengannya yang lebih besar memberi balasan.
“Awww…!” Penantang mengadu.
“Ma-maafkan saya, nona. Saya akan panggil dokter.” Dengan cepat Aris mengeluarkan handphone dari saku jas.
“Aku… aku tidak apa-apa. Tak perlu dokter.” Nona muda berkata sembari menahan sakit.
“Saya benar-benar akan digantung tuan Wira.” Aris bergumam khawatir.
***
Seorang perempuan ber-midi dress hitam tengah sendirian menyusuri jalur pejalan kaki. Tatapan yang kosong seolah menunjukkan kekecewaannya. Gadis itu terus melangkah, tidak memedulikan simpang siur lampu kendaraan. Jangan lupakan alas kaki yang berpindah ke tangan, yaitu heels berdempetan dalam satu genggaman, dia menentengnya. Wajah cantik si gadis tampak lelah, sesekali menunjukkan sunggingan bibir penyesalan. Dia tampak hilang arah.
Tinnn…!
Suara memekakkan bersamaan dengan cahaya terang datang entah dari arah mana.
Kilasan alam bawah sadar menyebabkan perempuan yang tertidur di kamar Wira seketika terbangun.
“I-itu aku.” katanya, sesaat setelah melihat kejadian mimpi yang dialami. Tubuhnya berkeringat serta risih di balik selimut, dengan cepat Arina menyingkirkan benda berbahan kain tersebut.
“Mimpi itu adalah aku yang berjalan ingin pulang tapi… kenapa aku bisa di sana sendirian?” Ia berusaha mengingat.
“Ah, Sebelum itu aku dari restoran. Lagipula aku kan tidak pernah makan di restoran karena makanannya mahal. Terus apa yang membuatku datang ke tempat itu?”
Tok. Tok. Tok.
“Nona, anda diminta untuk makan malam bersama.” Raungan dari luar mengejutkan gadis di dalam kamar. Hari kedua menjadi menantu keluarga Arasatya.
Mendengar ucapan ‘makan malam’ membuat Arina melirik jam dinding segera, pergeseran jarum waktu rupanya sudah terlalu jauh – ia tertidur cukup lama. Tidak bisa dipungkiri, seorang istri penasaran apakah sang suami belum kembali sejak pertemuan menyebalkan mereka sore kemarin. Sebab ketika Arina membuka mata hanya hamparan ruangan tanpa penghuni.
Belum juga ada sambutan dari nona mudanya, pekerja di luar mengetuk pintu untuk kedua kali.
“Nona, anda baik-baik saja?”
Bergegas menantu Arasatya beranjak membuka pintu, “Nanti saya menyusul, mbak.” Panggilan yang terdengar aneh untuk seorang pekerja perempuan.
Meja makan kemarin yang pendatang baru gunakan terlihat sangat berbeda, berbagai jenis makanan memenuhi bidang datar berbahan kayu tersebut. Penarik perhatian di sana adalah laki-laki berpakaian rapi di tengah-tengah.
‘Kapan dia pulang?’ pikir Kiran sembari melangkah.
“Mbak Kiran.” Adik ipar menyapa penuh senyuman. Semua orang beralih menatap sang menantu keluarga yang mendekat.
Kentara sekali kecanggungan dari Kiran, dia merasa seperti menjadi sasaran empuk dari para mata tajam manusia. Nyalinya menjadi ciut seketika.
Terdapat kursi kosong tepat di depan Wira. Kiran yakin itu kursi untuknya.
Mereka memang sedang makan malam bersama, hanya saja suasana ini tidak ada bedanya dengan makan sendirian. Tidak ada obrolan dan candaan layaknya keluarga harmonis dalam bayangan seorang gadis. Pemuda jahil bernama Rakin pun tampak diam. Kejadian yang tak bisa dipahami pendatang baru rumah besar.
Bukan hanya itu, sesuatu yang mengganggu lainnya adalah jarak antara kursi Wira dan ibunya. Posisi mereka tak menunjukkan hubungan ibu dan anak. Sungguh tak bisa dimengerti seorang menantu. ‘Sebenarnya aku bisa menikah dengan dia karena apa? Lihatlah dia seperti pria batu, kemarin saja berteriak ketakutan’ Kiran sempat mencuri lirikan pada laki-laki di depannya. ‘Kukira kehidupan setelah menikah enak dan bahagia. Ternyata lebih menyulitkan dari hidupku sebelumnya.’ “Uhuk. Uhuk.” Wira terbatuk tiba-tiba. Sontak Kiran menyodorkan gelas terdekat yang berisi air kepada laki-laki aneh di depan. “Aku bisa sendiri.” Pria batu menolak cepat. Perlahan menantu keluarga menurunkan gelas di genggamannya, dia kembali mendapati tatapan dari seluruh anggota keluarga. Tatapan yang sama, tidak bisa dimengerti. *** Tangan lebih kecil menarik lengan Rakin yang mana pemuda itu hendak menuju pintu keluar, menyeretnya paksa
Kiran pun menggeleng menandakan dia tidak tahu apa-apa. Kali ini sikap perempuan di hadapan Wira seolah memiliki dua sisi. Pertemuan mereka di hari pernikahan, menunjukkan karakter Arina yang terkesan jahil serta tidak menghiraukan peringatan dari pria itu. Sebelumnya tidak ada orang yang berani menyela ucapan putra sulung Arasatya. Namun, berbanding terbalik dengan sekarang, menantu keluarga lebih banyak berperilaku lembut seperti kebanyakan orang yang membincangkannya.“Semua orang mengatakan kau gadis yang lembut, bahkan keluargaku berpikir demikian. Tapi, aku berpendapat lain.”Kiran tidak bisa membantah, memang benar adanya dari perkataan laki-laki tersebut.“Sebaiknya kau tanya pada keluargamu sendiri. Ah, lebih tepatnya ayahmu, sampai-sampai ingin bersimpuh padaku agar aku menikahimu. Karena mama juga mendesak – dia tidak mau mendengar gunjingan para kolega bisnis bahkan saudara sendiri, terpaksa aku menikahimu. Lagipula pertama ka
“Baiklah, aku terima tawaranmu. Menyerahkan yang kau katakan berarti menikahinya, bukan?” Tuan muda menebak.Ragu-ragu Lukman menganggukkan kepala, “Be-benar.” Pria itu kembali berpikir ‘Di luar dugaan, Wira menerima penawaran dengan mudah’.“Kebetulan yang pas, aku juga sedang mencari istri. Setelah mendengar penjelesanmu, mungkin putrimu perempuan yang tepat.”Wira akan mulai uji coba tubuhnya terhadap sentuhan perempuan, belasan tahun terapi yang dia jalani untuk menghilangkan Haphephobia. Bisa saja peraturannya dalam hal menjaga jarak antar manusia dianggap arrogant, sebab tidak mau berdekatan dengan karyawan rendahan. Dalam satu waktu, pria itu memiliki kelemahan. Kelemahan yang tidak ingin diketahui, dengan kata lain tidak mau dikasihani.Melalui pernikahan, tidak, lebih tepatnya cara untuk menyembuhkan titik lemah seorang Wira Arasatya. Meski kemungkinannya kecil.(Haphephobia
Esoknya, pukul sembilan pagi mobil putih yang diminta putra tertua Arasatya melewati pagar rumah besar. Sesuai ucapan Wira, istrinya diantar sopir atas perintah Aris. Kebohongan kecil pertama dari Kiran agar bisa keluar dari kediaman keluarga tersebut. Dia mendatangi perumahan lama, tempat kediamannya di saat menjadi Arina yang utuh. Tujuan utama adalah Riana, sahabat sejak mereka menginjak sekolah menengah atas.“Pak, antar saya sampai sini saja, tidak usah ditunggu. Nanti saya pulang sendiri.” Nona muda berbicara setelah sopir membukakan pintu. Mereka telah tiba pada lorong paling depan, butuh dua belokan lagi untuk menemukan rumah Riana.“Ta-tapi, nona-”“Nanti saya hubungi Wira, pasti dia mengizinkan.” Kebohongan kedua untuk hari ini.Sopir itu mengangguk tanpa menyahut.Ketika sampai di rumah Riana, perempuan itu langsung memencet tombol bel yang tak jauh dari pintu. Menunggu pemilik rumah membukakannya. Lim
Riana terduduk lemah – kecemasan itu menyebabkan air matanya turun, “Ah, aku benar-benar cengeng.”“Maaf, ini semua salahku, kau pasti terkejut setelah mendengar perkataanku tadi, kan? Aku menyesal, Kiran. Aku tidak tahu hubunganmu dengan Arina, tapi aku sungguh minta maaf.” Riana mulai terisak, dia merasakan ketakutan. Tidak ada yang bisa dilakukan selain menatap wajah cantik gadis terbaring. Sambil terus memohon melalui gumaman.Sesaat berikutnya, dia segera menyambar handphone dalam tas yang ia gunakan ketika bepergian. Menekan nomor darurat, meminta bantuan pihak medis atau semacamnya. Namun, di saat panggilan Riana mendapat sambutan dari pihak petugas, Kiran perlahan membuka mata.“Kiran,” Riana menanggapi cepat lalu menggeserkan tombol merah pada layar ponsel pintarnya. “Kau tidak apa-apa?” Memeluk sahabat baru penuh haru."A-aku mau pulang." Raut bingung Kiran serta kaki gemetarnya menginj
Secara sigap pekerja melakukan tugas sesuai ucapan tuan Wisnu, lelaki paruh baya ini pun mondar-mandir menunggu psikiater dan anggotanya tiba.“Wisnu, apa yang kau lakukan! Kenapa kau diam saja? Anakmu tidak bisa bangun dan kau tidak melakukan apa-apa?” suara putus asa dari mulut lembut Ningrum menjadi sesuatu yang asing, kali pertama Kiran melihat sang ibu mertua meninggikan ucapan. Di balik perkataan itu terselip kekecewaan teramat.Sesaat berikutnya, Rakin mengajak kakak ipar untuk pergi, pemuda itu lebih tenang dari yang terlihat. Dia paham betul akibatnya jika Kiran tahu kebenaran dari rahasia keluarga Arasatya.“Ayo, mbak, kita keluar.” Membantu Kiran berdiri sebab tidak kuatnya bertahan ketika melihat suami dan ibu mertua tak berdaya.Ketika adik dan kakak ipar sampai di titik tengah tangga, derap langkah terburu-buru memasuki rumah besar. Laki-laki seumuran Wisnu datang bersama anak buahnya, lengkap serta alat-alat khusus.
Ke sana kemari perempuan yang telah menjadi bagian keluarga besar Arasatya mengitari beberapa tempat. Rumah Arasatya terlalu luas ia jelajahi. Seharian di rumah memang membosankan, Kiran tidak tahu apa yang mengasyikkan di sini.Sangat berbeda kala menjalani hidup sebagai Arina. Saat itu, Riana si gadis penyuka rok mini setengah memaksa dirinya untuk pergi berbelanja cemilan ataupun kebutuhan lainnya. Pusat perbelanjaan yang dipilih adalah AR Town Square. Sebenarnya gadis sederhana itu malas, bisa berjam-jam Riana berada di sana. Terlebih kalau melihat satu baju yang menarik perhatian, kertas berharga di dompet bisa habis dalam hitungan detik.Setelah mendapat rayuan luar biasa dari Riana, Kiran mengalah. Ia menyetujui keinginan seorang teman untuk sehari saja.Wajah gembira seperti anak kecil tersemat untuk gadis berusia di atas dua puluh lima tahun, mereka tiba selepas Arina memarkirkan kendaraan. Dengan menggandeng lengan temannya, Riana mengoceh riang. Secar
“Lantai tempat makanan bertumpuk.” Di mana lantai dasar AR Town Square dikhususkan untuk semua jenis camilan, sayur hingga buah-buahan, serta kebutuhan rumah tangga lainnya.“I-itu tempat yang sangat ramai, tuan.” Asisten mengkhawatirkan atasan, dia waswas kalau Aris tahu.“Kalau begitu kalian paksa perempuan tadi menemuiku di sini.” Wira begitu gusar terhadap gadis penganggu itu.Langkah sedikit takut milik Bagas menuju arah keinginan tuannya, dari kejauhan Wira memantau. Ia bisa melihat kalau si asisten sedang bernegosiasi dengan dua gadis di sana. Temannya gadis tadi tampak menolak kasar, bahkan mendorong Bagas agar menjauh.Negosiasi pertama Bagas mendapat penolakan. Kemudian ia berusaha lagi, bukan karena uang saku asisten Wira mengikuti kemauannya, tetapi perintah tuan muda tidak bisa ditolak.“Dapat, kau.” Gumam sang atasan dari jauh.Sebab perempuan incaran sudah mengekori asisten, arti
Kecelakaan tak terkira dan seolah takdir buruk bagi Wira Arasatya, harus disembunyikan dari muka publik. Wisnu yang seorang pemilik nama terpandang tidak mungkin membiarkan kasus buruk mencoreng Ars Corporation.Kecurigaan dari masyarakat yang mengamati berita tersebut terus menjadi bahan ocehan. Dan tentu saja Wisnu tidak ingin putranya menjadi konsumsi publik – sebab kasus itu merupakan berita buruk, di mana putra sulung Arasatya menyetir dalam keadaan mabuk. Mudah sekali untuk media yang haus akan kasus para konglomerat.Namun, saat itu kasus Wira seolah lenyap. Para reporter dan penulis berita juga enggan mengambil risiko.***Pagi ini tuan muda menemui Jimmy, ia semakin penasaran dengan otaknya yang terkadang sengaja mengingat kejadian memilukan. Memori perempuan bergaun merah serta seringainya membuat pria yang memiliki tekanan jiwa – akan hal itu – semakin bermunculan.“Kebiasaan barumu ya datang tanpa menelepon dulu? Tidak sulit kalau menyuruh asistenmu berbicara padaku barang
[SEBELUM PERNIKAHAN] “Aris. Kau pulang saja, aku bisa menyetir sendiri.” Tuan muda memerintah sekretaris. Menikmati segelas alkohol pertama sedikit membuat tenggorokan tersengat, Wira beberapa kali mendesah. Malam akhir pekan. Kala itu… untuk pertama kalinya Wira dan Aris minum bersama, tuan muda mulai merasa jenuh dengan kehidupannya yang monoton. Liburan? Ia habiskan untuk bekerja dan dituntut oleh ambisi-ambisi yang harus ia capai. “Tidak. Bisa-bisa kau mabuk. Aku tidak mau ada apa-apa denganmu!” Sembari Aris menolak tawaran minum untuk gelas keduanya. “Kau sudah bekerja keras, luangkan waktumu untuk istirahat.” Wira terdengar memaksa. Tuan muda sengaja menyewa kamar hotel – tanpa seorang pun pengganggu. Beserta botol minuman beralkohol dengan harga tinggi. Kehidupannya yang berbeda atau bahkan di mata orang-orang tampak aneh, hanya dia dan Aris. Para kolega direktur Ars Corporation mulai mempertanyakan pernikahan putra tertua Arasatya, sungguh memuakkan kata-kata yang kelua
Wira merasakan lehernya tercekat, seakan udara sulit menetralkan dadanya, penyesalan dan rasa bersalah datang kian membesar.‘Apa hubungannya kejadian itu dengan Kiran?’ ia benar was-was.Putra tertua Arasatya berusaha mengontrol dirinya untuk memudahkan suara keluar dengan sempurna.“A-apa gadis di mimpimu meninggal?” cara bicaranya yang pelan sekaligus ragu.Sesuai apa yang ditakuti Wira, perempuan di depannya mengangguk. Dadanya seolah bergemuruh, namun ingatan tentang Kiran tetap di sampingnya ketika ia berbicara kisah gadis bermidi dress – memberi sedikit ruang lega.‘Ternyata kejadian memilukan itu adalah diriku sendiri, takdir hendak memberitahuku dengan cara mendatangkan mimpi tersebut. Bagaimana bisa ingatanku tentang kehidupan sebelumnya bisa terlupakan?’ Kiran semakin tidak mengerti.“Mi-mirip sekali dengan gadis yang aku tabrak.” Ucapan Wira setengah berbisik.“Apa?” Sialnya Kiran bisa mendengar. Hanya saja ia terkejut.“Lupakan.” Titah pria itu.Ada setitik curiga dalam b
“Berapa lama lagi aku berada ditubuhmu? Kemungkinan terburuknya jiwaku akan mati mengikuti jasadku?”Gadis di balik meja menundukkan pandangan, “Aku tidak tahu. Setelah perjanjian yang kita sepakati, begitu saja aku di tempatkan di perpustakaan ini.”“Jika jiwamu terkurung di sini, bukan tidak mungkin ia akan kembali bukan? Kalau benar asumsiku, cepat atau lambat aku akan mati, Kiran. Dan perjanjian itu untuk pertama kali aku menyesalinya. Aku merasa dimanfaatkan! Tidak. Ini tidak adil bagiku.” Arina memundurkan langkah perlahan.Gadis penunggu perpustakaan klasik masih termenung, gurat wajahnya tetap datar seperti biasa. Kulit putihnya bersinar, memancarkan cahaya dalam sekejap. Tiba-tiba gadis itu berada tepat di depan jiwa Arina.“Darahmu sudah menjadi saksi perjanjian, dan kau manusia yang terpilih untuk bertukar jiwa denganku.”***“Da-darah?” Kiran berjiwa Arina terjaga dari mimpi. Dada itu seakan sesak di iringi napas yang terengah.Bayangan gadis bermidi dress hitam kemarin ke
“Kalau begitu kau boleh pergi.” Wira berkata cepat. Ia bisa menjadi manusia setengah mati kalau benar-benar Kiran melakukan ucapannya tadi. Membayangkannya saja membuat Wira sesak napas.‘Ternyata kau sungguh takut dengan perempuan ya?’ Kiran tersenyum miring, asumsinya semakin menunjukkan kebenaran.Kemudian tubuh mungil menurut Wira pun melenggang pergi.Sementara itu, lelaki di sofa menyambar gelas berisi air putih di samping – lalu meminumnya. Tenggorokan yang basah berhasil menyisihkan sedikit kecemasan.Kemudian hening.Rumah besar terasa kembali seperti pertama kali Wira menapakkan kaki ketika Jimmy memperbolehkannya pulang. Semua orang terlihat enggan berbicara pada si sulung. Di saat malam tiba, mimpi buruk menghantui Wira kecil.Ketakutan serta tangisan terdengar pilu bagi seorang ibu. Ningrum tak bisa berbuat apa-apa selain terisak hingga tak bersuara lagi.Rakin lah orang yang mampu mengajak s
Misteri kapan kembalinya jiwa Kiran ke tubuh yang digunakan sosok Arina saat ini semakin membuat kepala menantu keluarga Arasatya berdenyut.Rasanya ia tidak rela pergi dari tubuh ini.‘Kalau Kiran meminta badannya kembali, lalu jiwaku akan berpindah ke mana? Apa aku bisa mati mengikuti jasad seorang Arina yang terkubur?’ pikirnya. ‘Aku harus bagaimana? Jika Kiran benar-benar memaksaku memberikan tubuh ini, sama saja dia egois bukan? Tidak ada untungnya bagiku. Lebih baik dari awal aku tidak menerima tawarannya’. Ia mulai goyah pada perjanjian di antara mereka.Seperti angin menyelinap ke dalam ingatan, Kiran teringat teman dekat – Riana. Sesuatu yang mengganjal akhir-akhir ini.‘Aku tidak bisa percaya sepenuhnya sebelum melihat langsung kuburan tubuhku.’ Tubuh Arina yang ia maksud. ‘Apa aku bisa membujuk Riana?’ Kiran berpikir sambil memainkan kuku ibu jari tangan, sedikit menggigitinya pelan.
“KAU TIDAK TIDUR?” Wira terkejut bukan main, layaknya pencuri yang ketahuan.“Aaaa…. Kau mengejutkanku Wira!” gadis di depannya berteriak juga.Dengan segera putra tertua Arasatya kembali ke tempat tidurnya – ia tampak menyembunyikan kegelisahan.Kamar yang awalnya sunyi semakin menambah kesunyiannya, pasangan suami istri muda tidak saling sapa lagi.“Ku-kukira kau sudah mendengkur, Kiran.” Wira membuka pembicaraan mereka lebih dulu.“Mendengkur? Bagaimana bisa aku mendengkur, tidur saja tidak.” istri Wira merapatkan selimutnya – di iringi kekesalan. “Kau juga kenapa mendekatiku? Kau mau mesum ya?” Kiran menambah tuduhan.“Enak saja! Aku kan tidak bisa disentuh sembarang orang.”“Itu kan kalau kau yang disentuh. Akan berbeda jika kau menyentuh lebih dulu.” Balas istrinya. Wira pun tak bisa menyanggah. Ia termangu untuk sesaat sambil
“Iya, baiklah. Bisakah kau duduk terlebih dahulu. Kepalaku sakit melihat ke atas terus.” Wira meminta sembari matanya menangkap sesuatu yang kemerahan pada wajah Kiran. Ia sedari tadi sadar akan hal itu. Hanya saja pengetahuannya yang kurang – pria ini tidak tahu penyebab munculnya rona di pipi seorang gadis. “Terlalu dekat?” Kiran bertanya sesaat setelah ia duduk. Khawatir Wira memberikan peringatan lagi. “Tidak.” “Wira. Aku melakukan kesalahan, ya?” Netranya masih enggan menatap lawan bicara. Putri Lukman tetap menunduk. “Aku minta maaf. Sungguh aku tidak tahu kalau kau tidak suka denganku. Bahkan kau membuatku ketakutan, kukira kau tidak akan bangun lagi.” “Memangnya kalau aku tidak bangun lagi kau akan menangis sampai tak bersuara?” pria kaku ini melempar candaan. “Tentu saja!” diiringi pandangannya yang terangkat. “Walaupun kau aneh, kau kan suamiku.” Wira kembali terkekeh. Ternyata istrinya begitu lucu. “Bukannya ti
“Hai, kita bertemu lagi, nona.” Teman pria di mimpi Kiran menyapa penuh senyum bersamaan lambaian tangannya. “Apa kita akan ke restoran waktu itu?”Kiran pun baru teringat kalau dirinya mengunjungi kembali dunia mimpi, dunia yang selalu membuat teka-teki.Perempuan yang diajak bicara masih termenung, berpikir sambil mengamati wajah laki-laki di depannya. Mengapa ia tidak bisa mengenali pria ini? meskipun ia sangat tahu nama dan identitas lawan bicara.“Nona, apa aku mengganggumu. Kemarin kan kau yang menemuiku lebih dulu.” Tambah si pria.“Ah, em, tidak – kau tidak mengenaliku, ya?” Kiran bertanya dengan raut muka yang menuntut.“Kenal. Bukannya kita sudah bertemu sebelumnya?” giliran laki-laki itu yang keheranan.Kiran sedang berpikir keras, dengan mengikuti alur alam bawah sadar – ia akan semakin terkunci dan mendapatkan pertanyaan-pertanyaan yang baru. Seperti suatu l