Ivanna Sanchez
Aku berada di ruangan dokter bersama Jax dan Bri. Jax ngotot untuk ikut masuk dan merasa harus mengetahui kondisiku saat ini.Ya, secara teori aku baik-baik saja. Penjahat itu tidak jadi memperkosaku, terima kasih untuk jax, dan tak ada kurang satu apa pun. Namun, tidak secara mental.Aku masih sering didera ketakutan yang mendalam setelah kejadian penyerangan itu dan selalu bermimpi buruk di malam hari.Sesungguhnya tak aneh jika Jax berjaga di luar kamarku. Namun, hampir setiap malam, aku seperti melihat kehadirannya di ruangan tempatku berada.Meski dalam keadaan tidak sadar karena kantuk, aku tak mungkin tidak bisa melihatnya dengan pasti bahwa itu memang dia.“Bagaimana kondisinya, Dok?” tanya Jax pada dokter, seolah ia adalah anggota keluarga yang sangat mencemaskan kondisiku saat ini. Bahkan Bri belum sempat mengatakan apa pun, dan Jax sudah menyela.“Dia baik-baik saja. Tak ada luka serius di kepala akibat benturan, atau tidak juga seperti yang kalian cemaskan. Ia belum tersentuh oleh penjahat itu.”“Syukurlah. Apakah ada hal lain yang harus kami perhatikan tentang dia?” Lagi, pria itu mengambil panggung yang seharusnya untuk Bri.Aku hanya tersenyum tipis memerhatikan bagaimana lagak Jax yang seolah dirinya adalah suamiku dan kami bukan sedang memeriksakan kesehatanku melainkan ...“Hey, Vans! Kau melamun, ya?” Tepukan Bri di lenganku membuyarkan angan bakal yang baru saja terlintas. Syukurlah ia menyadarkanku dari lamunan, jika tidak, mungkin aku akan malu karena bisa jadi Jax yang akan melakukannya.“Ya, aku tahu kalau bodyguardmu itu sangat memesona, tetapi jangan terlalu kelihatan begitu. Ingat, Damon adalah seorang pencemburu “ godanya, yang hanya kujawab dengan senyum dan wajah yang tersipu.Tersipu? Tidak! Tidak mungkin aku tersipu hanya karena kelakar ringan yang dilontarkan oleh Bri. Aku biasanya sangat profesional dan ridak mungkin akan melakukan hal yang tidak-tidak, tetapi kali ini, sangat berbeda.Jax tampaknya memang berbeda dari pria mana pun.Pria itu bahkan menuntunku sejak turun dari mobil hingga tiba di ruanganku. Tatapan mata tajamnya tak henti mengawasi sekitar, memastikan aku benar-benar aman.Aku bisa rasakan otot liat di balik jaket biker yang ia kenakan kala lengannya itu merengkuh tubuhku dan membawaku masuk serta membantuku berbaring di atas ranjang.Oh ... apa yang terjadi padaku?“Kau aman sekarang, Nona. Bolehkah aku permisi sebentar?” pamitnya. Aku mengangguk tanpa bertanya ke mana ia akan pergi. Aku percaya padanya meski aku baru bertemu dengannya beberapa hari.Mungkin aku buta, tetapi aku tahu kalau pria ini memang tulus dan profesional menjalankan tugasnya untuk menjaga keselamatanku.Aku menanti cukup lama. Bri tak muncul, begitu juga Jax. Namun, aku tidak mencemaskan Bri karena ia telah mengabariku kalau dirinya akan kembali ke studio untuk menyelesaikan rancangannya yang akan kukenakan dalam acara malam anugerah nanti.Lantas di mana Jax? Apakah ia memutuskan u tuk pulang malam ini? Jika memang iya, dia pasti dan seharusnya mengabariku, bukan?Aku bangkit dan berjalan perlahan, mencari pelayan yang biasanya akan berjaga di beberapa ruangan agar mereka bisa membantu kapan pun aku membutuhkan bantuan.Mereka masih ada di sana, bertanya apa yang kubutuhkan.“Satu margarita. Tolong letakkan di kamarku. Aku mau mencari udara segar sebentar saja.”Seorang bartender mengangguk patuh, kemudian membuatkan apa yang kupesan, sementara aku masih dengan misi semula yaitu menemukan Jax, sekaligus berjalan-jalan sebentar menikmati udara malam dan bintang yang gemerlap di langit.Malam tampak cerah. Beberapa hari ini memang udara terasa lebih hangat. Aku pun tak memakai mantel, hanya balutan dress satin berwarna hitam dengan sleeping robe dengan bahan dan warna senada.“Jax?” kupanggil namanya, saat kudengar suara di semak-semak taman. Aku mendekat dan menemukan Jax tengah terduduk di sana dan menyuntikkan sesuatu ke pahanya.Aku tidak mungkin salah lihat. Ia memang tengah menginjeksikan cairan berwarna merah—yang tidak kuketahui jenisnya—ke dalam tubuhnya. Beberapa kali. Pertama di pahanya, lalu lengan dan perutnya.Apakah ia menderita semacam penyakit? Diabetes mungkin? Ataukah dia adalah seorang pecandu?***“Apa yang anda tuduhkan itu tidak benar, Nona. Aku bukan seorang pecandu! Kau pasti salah lihat,” elaknya, sembari memasukkan benda-benda keparat itu ke dalam tas pinggangnya. “Ini hanya serum. Aku sedikit mengalami kesulitan jika terkena udara dingin.”Aku memicingkan mata, memastikan bahwa dia tidak berbohong. Namun, sudah jelas kalau itu hanyalah alasannya.“Malam ini tidak dingin, Jax. Kecuali kau menderita masalah tiroid, kau tidak akan merasa kedinginan,” sanggahku, tak mau kalah. “Bagaimana kalau kita lakukan tes?”Wajah Jax yang memang sedikit pucat, kini tampak lebih pias kala aku mengatakan tentang tes adiksi. Bisa saja dia seorang pecandu, kan?Jika memang iya, aku pastikan akan berhenti memakai jasanya.“Uhm, Vans. Kurasa kecurigaanmu itu ridak beralasan. Kau tidak seharusnya mempertanyakan mengenai penyakitnya, itu tisak sopan,” ujar Brianna yang tampak berusaha memahami konflik yang terjadi di hadapannya.“Tapi aku melihatnya sendiri, Bri. Dia menyuntikkan sesuatu.”Aku masih tetap ngotot dengan pendapat dan apa yang aku lihat meski Jax masih mencoba mencari alasan, sepertinya, agar dia bisa bebas dari tuduhanku. Namun, seperti biasa, Bri berusaha menenangkanku dan ia mendekati Jax. Entah apa yang mereka bicarakan. Kuharap itu tidak akan menambah masalah baru bagiku.***Aku merasa sekujur tubuhku sangat nyeri, seolah kejadian penyerangan itu baru saja terjadi dan luka yang kurasakan masih menganga hingga menimbulkan sakit tak terhingga saat ini.Aku terbangun dan merasakan peluh sudah memenuhi kening dan tubuhku. Sepertinya aku baru saja mengalami mimpi buruk lagi. Dan melihat Jax berdiri tepat di hadapanku membuat napasku tercekat seketika.Aku hendak berteriak, tetapi tak ada suara yang keluar.Apakah dia di sini untuk melampiaskan kemarahannya atas tuduhanku terhadapnya mengenai apa yang ia lakukan beberapa jam lalu? Aku tidak berbohong dan dia memang menyuntikkan sesuatu yang tidak kuketahui.Aku sangat anti dengan seorang pecandu, maka wajar kalau aku benar-benar tegas untuk masalah itu. Aku bahkan sudah katakan agar dia tidak lagi bekerja di sini, tetapi Bri pasti mempertahankannya.“Ssh ... jangan berteriak, Nona.” Pria itu membekap mulutku lantas meletakkan telunjuk di bibirnya sebagai tanda bahwa aki tidak boleh bersuara. Aku tidak tahu apa alasannya. Namun, saat aku berkedip, Jax sudah tak ada lagi di hadapanku.Ia lenyap seperti tak berbekas.Apakah aku sedang berhalusinasi? Ataukah ... mungkinkah aku terlalu terganggu dengan kehadiran dan gelagat aneh pria itu hingga mengkhayalkan sesuatu tentangnya?Tentu saja. Memangnya alasan apa lagi yang mendasari semua yang aku alami selama Jax masuk dalam kehidupanku sebagai pengawal?Aku bangkit dan turun dari ranjang, lantas berjalan perlahan keluar dari kamar. Seluruh ruangan hanya diterangi cahaya remang-temang, tak mungkin jika masih ada yang terjaga. Mungkin Jax adalah pengecualian, karena dia adalah pengawalku.Namun, di mana dia?Sungguh aku tak habis pikir dengan apa yang barusan kualami. Jelas-jelas Jax membekap bibirku dan memintaku untuk tidak bersuara.Baiklah ... andaikan saat ini aku sedang menjadi lakon dalam film thriller, maka aku harus mengikuti apa yang Jax katakan.Diam dan jangan bersuara.Aku terus melangkah, tak sengaja mendengar suara yang berasal dari lantai satu. Aku berjalan menuruni tangga dan mengikuti arah sumber suara.Dadaku bergemuruh saat melihat apa yang ada di hadapanku. Damon, bersama seorang wanita tengah melakukan hal yang tak pernah kuduga akan ia lakukan.Kali ini tak mungkin aku salah menduga. Meski aku tidak begitu jelas melihat siapa wanita yang kini berada di bawah tubuh Damon dan tengah bertukar peluh dan saling mengisi dengan tunanganku, tetapi tidak mungkin mataku tidak mengenali pria yang akan menjadi suamiku.Dadaku terasa sesak, penuh seakan mau meledak. Seluruh tulang-tulangku sekaan lenyap entah ke mana. Tubuhku melemah, seperti tak ada lagi tenaga yang mampu menopangnya agar tidak limbung dan jatuh ke lantai. Dan memang, aku nyaris tersuruk andaikan sepasang lengan kokoh tidak menangkap tubuhku dengan sigap. Dan setelahnya, aku hanya merasakan kegelapan menyelimuti duniaku.***Aku terbangun tiba-tiba, tetapi secercah cahaya matahari menyeruak masuk melalui celah tirai yang membuatku yakin kalau apa yang kualami malam tadi hanyalah mimpi. Terlebih, Damon sedang terlelap di sampingku dan hanya sehelai selimut yang membungkus tubuh polosku.Aku bangkit dengan cepat, menggeleng tak percaya.Apakah ini maksudnya aku melihat Damon tengah bercinta dengan diriku sendiri saat itu? Ada apa sebenarnya denganku?“Hey ... apa yang terjadi?” tanya lelaki itu, bangkit dan membelai rambutku. Aku hanya menggeleng, tak mengerti.“K-kau ke mana semalam? Aku tidak menemukanmu di ranjang,” tanyaku, tak bisa menahan diri. Bisa saja ini halusinasiku atau justru Damon memang tengah mengkhianati dan mempermainkanku.Bagaimana tidak curiga? Damon adalah seorang pengusaha sukses yang tampan dan murah hati. Ia mudah merasa iba pada siapa pun sehingga akan membuatnya bersikap tidak masuk akal. Kalau pun tujuannya untuk menolong orang lain, sering kali dengan cara yang tidak bisa kumaklumi.Misalkan saat seorang wanita mendapat perlakuan tidak selayaknya dari sang suami, Damon membawa wanita itu dan mengizinkannya tinggal di apartemen miliknya.Ketika aku datang untuk memeriksa kondisinya, wanita itu justru bersikap tidak pantas dan saat Damon tahu, ia justru membela wanita itu.“Oh, mungkin kau terbangun saat aku sedang ke kamar kecil. Aku hanya sebentar dan saat kembali, kau sedang tidur, sayang.”Pria itu membelai rambutku lagi. Jawabannya masuk akal dan mungkin merupakan sebuah kebenaran. Namun, mengapa aku tidak percaya?Aku merasa ada yang salah. Entah memang Damon, atau justru diriku sendiri.Aku merespon perkataan Damon hanya dengan gelengan. Aku tidak percaya, tetapi tak ingin memulai pagi ini dengan pertengkaran. Terlebih saat ia mengecup bibirku dan mengecup ceruk leherku, sengatan hasrat itu tiba-tiba timbul. Dari dalam diriku.“Damon, aku menginginkanmu,” mohonku, lantas menatap bola mata kelabunya dalam-dalam. Napasku masih terengah, berusaha menahan letupan gairah yang mulai menguasaiku. Namun, jawaban Damon meredupkan hasrat itu dan menenggelamkannya ke dasar lautan.“Maafkan aku, sayang. Semalam kau sudah begitu liar sampai aku kewalahan. Pagi ini aku ada janji dengan Tatiana untuk pergi mengunjungi posko bencana. Kami akan melakukan donasi,” ucapnya.Ya ... tentu saja. Lagi-lagi Tatiana. Bagaimana aku tidak cemburu kalau ia terus seperti ini?“Kalau begitu aku ikut,” jawabku, dengan senyum termanis yang kupaksakan, berharap ia akan mengabulkan permintaanku kali ini.Selama ini, Damon jarang mengizinkanku ikut dengannya setiap kali ia mengadakan kegiatan sosial. Selalu Tatiana yang akan ia bawa dan jadi partner terbaiknya. Padahal, aku juga ingin sesekali merasakan melakukan sesuatu yang bermanfaat bersama dengannya.Aku ingin mengenalinya lebih lagi. Apa yang ia sukai, hobinya, passionnya. Aku ingin mengetahui dan menyelami itu semua. Namun, ia seolah memberi jarak bagiku agar tidak terlalu dalam masuk ke kehidupannya.Dan benar saja, mendengar permintaanku, pria itu menatap wajahku dengan bibir yang ia katupkan.“Jangan katakan. Aku tahu, kau pasti lagi-lagi akan mencegahku untuk pergi denganmu.” Aku menunduk kecewa.“Baby, bukan seperti itu. Lihatlah kondisimu. Aku hanya mencemaskanmu. Di luar sana terlalu banyak orang jahat dan mereka menggilaimu.”“Apa maksudnya?” tanyaku tak suka akan pernyataan yang baru saja meluncur dari mulutnya. “Apakah maksudmu mereka yang menyukaiku adalah orang jahat? Semuanya? Berani sekali kau—““Vans ... tolong jangan mulai.” Damon menggeleng. Ia lantas mengecup bibirku beberapa detik. Aku menghitung berapa lama waktunya, karena ini merupakan jurus yang selalu ia lakukan setiap kali aku mulai merajuk. “Aku harus pergi. Jax akan menjagamu dan kau boleh memintanya mengantarmu ke mana saja kau mau, tapi tolong, berhati-hatilah, oke?”Apa bedanya? Dia pergi berdua dengan Tatiana dan tidak mengizinkanku ikut dengannya, tetapi justru mengizinkanku keluar bersama Jax.Persetan denganmu, Damon!***Aku memandangi kepergian Damon dan Tatiana yang sempat melemparkan kecupan udara padaku. Aku hanya menyunggingkan senyum tipis. Aku muak dengan sandiwara sok ramah yang satu ini.Baiklah, katakan saja aku kejam, jahat, negatif, atau apa pun karena berpikiran buruk pada sahabatku—padahal dialah yang mengenalkanku dengan Damon, sepupunya. Namun, please, lihatlah dari sudut pandangku. Apakah ada wanita yang bisa sabar jika kekasihnya, calon suaminya, terlalu sering berurusan dengan sepupunya dan tampak layaknya kekasih?Padahal siapa kekasih Damon?“Nona, apakah kau sudah siap? Apakah ada lagi yang ingin kau bawa?” tanya Jax, yang sudah siap dengan barang bawaanku.Aku mempererat mantelku. Udara terasa begitu dingin padahal ini masih pagi. Dan Jax ... mengapa kulitnya tampak begitu pucat dan seolah bersinar di bawah sorotan cahaya matahari?Lalu, bicara soal Jax ... kurasa aku harus bertanya padanya apa yang ia lakukan malam tadi di kamarku. Jangan katakan kali ini aku lagi-lagi berhalusinasi.“Jax, bolehkah aku bertanya sesuatu?” tanyaku, ketika mobil mulai bergerak perlahan meninggalkan mansion. Aku sengaja membawa satu sopir dan membiarkan Jax fokus dengan tugasnya melindungiku saja, tidak merangkap sebagai sopir.“Silakan, Nona.” Pria yang duduk di samping kursi kemudi, tampak menoleh sedikit ke arahku. Namun, aku tidak bisa melihat bagaimana reaksi pria itu karena kaca mata hitam yang ia kenakan.“Kau di mana malam tadi?” pertanyaan yang sama seperti yang aku tanyakan pada Damon, dan berharap aku akan dapatkan jawaban yang lebih melegakan bahwa aku tidak bermimpi atau berhalusinasi malam tadi.“Aku berjaga di luar kamar anda dan tuan Alejandro. Apalah ada masalah, Nona?”Aku mendesah kasar. Jawaban yang tidak jauh berbeda dengan apa yang Damon katakan. Tidak benar-benar serupa tetapi sama saja. Tidak memberikan apa yang aku ingin dengar.“Tidak. Aku hanya merasa aneh. Semalam aku jelas terbangun dan mencarimu. Tetapi tidak menemukan siapa pun. Dan ketika turun ke lantai satu, Damon ... sudahlah. Kurasa sebaiknya kita tidak membahas itu.”Aneh sekali. Apakah Jax dan Damon bekerja sama untuk mempermainkanku? Mengingat aku mendapatkan Jax melalui aplikasi milik Tatiana. Dan malam penyerangan itu ... apakah juga merupakan siasat mereka?Ivanna SanchezTidak banyak yang kulakukan seharian ini, hanya pergi berbelanja, mengunjungi beberapa tempat baru, dan hanya bersama Jax yang mana merupakan orang lain. Bukan sahabat, bukan kekasih. Dan itu sangat aneh bagiku. Selama ini aku tak pernah ke mana pun secara sembarangan. Tak ada yang tidak mengenalku. Seperti halnya siang tadi, beberapa orang akhirnya berkerumun untuk meminta sesi foto bersamaku. Beruntungnya ada Jax yang sigap melindungi dan membawaku menjauh dari kerumunan, tidak hanya satu atau beberapa orang, melainkan puluhan orang. “Jax, apa yang kau lakukan? Mereka ingin berfoto denganku!” ketusku, saat Jax menjauhkanku dari mereka, merangkulkan lengan kokohnya setelah menutupi kepalaku dengan jaketnya. Aku merasa mirip seperti penjahat yang harus lari dan menyelinap dari banyak orang. Padahal apa salahnya berfoto sebentar saja? “Apakah kau tidak lihat tadi? Mereka tak hanya satu atau dua orang, Nona. Sepuluh atau mungkin lebih. Apakah kau yakin bisa memenuhi h
Ivanna's POVHaruskah aku mempercayai Jax? Ia mengatakan kalau akulah yang bercinta dengan Damon, yang mana saat itu justru aku berada di sana dan menyaksikan apa yang telah mereka lakukan. Aku bahkan tidak merasakan sama sekali dan Jax juga mengakui bahwa aku pingsan saat itu dan ia yang menyelamatkanku. Lalu, apa maksudnya mengatakan segala kebohongan itu? Apakah benar kalau Jax dan Damon bersekongkol untuk melakukan kejahatan terhadapku? Jika benar, apa motif mereka melakukan itu? Aku masih tepekur seorang diri di kamar. Damon, sekali lagi pergi entah ke mana dan aku seperti wanita simpanan yang hanya akan bertemu dengannya di malam hari, berbaring di sampingnya hanya untuk beberapa jam dan ketika terbangun di pagi hari, ia sudah tak ada lagi. Jangan pernah tanyakan bagaimana aktivitas seksual antara aku dan dirinya. Sangat buruk. Itu sebabnya aku tak bisa percaya saat Jax mengatakan bahwa akulah yang tengah digauli oleh Damon dengan begitu bernafsu. Damon tak pernah seperti it
Ivanna's POVAku masih termangu seperti orang tak waras. Kejadian yang ada di hadapanku itu jelas bukanlah mimpi. Apakah Jax akan mengatakan kalau aku salah lihat? Jelas beberapa orang di hadapanku itu bukanlah manusia biasa. Dan Jax yang tiba-tiba muncul—mengapa ia bisa berkomunikasi dengan para vampir itu untuk melepaskanku? Apakah Jax juga adalah seorang ... “Ini untukmu. Minumlah dulu, Nona,” ucap pria yang baru satu minggu menjadi pengawalku tetapi sudah banyak hal misterius yang ia lakukan dan terjadi dalam hidupku. Aku menerima secangkir minuman yang ia sodorkan, tanpa melepaskan tatapan darinya. Lalu dengan segera kuperiksa minuman di tanganku. Hanya secangkir teh camomile kesukaanku. Tidak! Aku tidak ingin berpikiran buruk mengenai ini, tidak ingin bertanya-tanya mengapa ia bisa tahu kesukaanku. Siapa pun bisa mempunya persediaan teh camomile di rumahnya, seperti juga aku. Lagi pula, mari pertimbangkan jasanya karena telah menyelamatkanku dari kemungkinan menjadi santapan
Jax's PoV Ivanna Sanchez bukan gadis remaja yang terjerat cinta pada seorang pria dan berubah menjadi bodoh. Ia tahu dan sudah mengendus apa yang dilakukan Damon di balik punggungnya. Dan kini, memergoki pria itu dan dengan gegabah berniat merangsek masuk demi memberinya pelajaran, bukan ide yang bagus. Dia pasti bertanya-tanya, mengapa Damon begitu tega menyakiti wanita sempurna sepertinya. Aku pun ingin menanyakan hal yang sama jika boleh. Sayangnya, pria bernama Damon itu bukanlah pria yang memiliki kecerdasan seperti Ivanna. Bohong jika kukatakan bahwa aku tidak terpengaruh dengan permainan petak umpet yang dilakukan oleh pria itu. Aku bahkan sudah mengawasinya sejak pertama kali menginjakkan kaki di mansion ini. Namun, aku harus berhati-hati karena Ivanna tampaknya mulai curiga terhadapku. "Maafkan aku, Nona. Terkadang kau harus diam meski mengetahui sesuatu. Ini demi keselamatanmu," ucapku, berusaha menenangkan gemuruh dalam batinnya yang nyaris berkobar dan membakar segalan
Ivanna’s PoV Jax berusaha mencari siapa pun atau apa pun yang kuyakini ada dalam kamarku. Aku tidak melihatnya dengan jelas karena lampu yang redup, selain hanya suara yang jelas menyerupai geraman serigala. Aku sedang berada si balkon saat mendengar suara aneh itu. Persis seperti suara Damon saat bercinta dengan wanita yang tak kukenal—untuk yang satu ini aku tidak terlalu yakin, jadi akan kupastikan kembali malam nanti apakah benar pria itu Damon atau bukan. Itu pun andai dia pulang ke rumah ini. Damon belum juga kembali sejak semalam, jadi karena aku terlanjur ketakutan, aku berniat untuk mencari pertolongan tanpa harus masuk ke kamar dan bertemu makhluk itu. Sayangnya, aki terlalu banyak mengonsumsi alkohol hingga tubuhku sempoyongan dan nyaris kehilangan nyawa. Terima kasih untuk Jax yang sigap menolongku, meski ada kejanggalan yang kurasakan ketika pria itu membantuku naik. Tak mungkin aku salah. Namun, sayangnya aku tidak memiliki bukti apa pun untuk menuding pria yang telah
Jax’s PoV Aku tak percaya dengan apa yang dilakukan gadis ini. Apakah dia sadar apa yang dilakukannya ini sangat berbahaya? Selain karena melanggar kode etik profesionalitas, ini juga rasanya tak pantas ia lakukan karena Ivanna telah bertunangan, akan terjadi keributan jika Damon sampai mengetahui kejadian ini. Aku harus menjaga keberadaanku di tempat ini, karena ada satu urusan yang belum selesai kulakukan. Dua urusan, salah satunya adalah melindungi Ivanna. Dan itu sangat penting, mengingat satu dan lainnya saling berkaitan. Aku tidak bisa menjelaskan lebih detail karena aku sendiri pun tengah mencari tahu dan berusaha membuktikan kecurigaanku. Hasrat dalam diriku yang sejak tadi bergejolak, serta sakit yang kurasakan, secara ajaib memudar seiring dengan kecupan hangat yang Ivanna berikan. Ini bukan kali pertama, tetapi aku tahu, aku akan mengingat ini lebih baik dibanding pengalaman lain yang pernah kualami. Selama beberapa waktu terakhir, aku berusaha menahan diri agar bisa te
Ivanna’s PoV Aku memang melakukan kebodohan dengan mengecup bibir Jax saat itu. Aku hanya mengikuti dorongan dalam diriku yang entah mengapa justru mengarahkanku untuk melakukan perbuatan itu. Dan kini, aku didera rasa malu yang berkepanjangan. Beberapa lama aku hanya mondar-mandir di kamar dan tak bisa terpejam. Entah mengapa, satu hari rasanya cepat sekali berlalu dan untuk menghadapi ini semua, aku seperti tak punya harapan lagi. Pernikahanku dan Damon yang kubayangkan akan menjadi momen yang sakral dan membahagiakan, rasanya tak mungkin kulanjutkan. Tidak mungkin aku menjerumuskan diriku sendiri ke dalam kubangan di mana aku nantinya akan tenggelam, dan jika itu terjadi, Damon belum tentu akan menyelamatkanku. Lagi-lagi ini akan menjadi tugas Jax. Lalu, ketika aku sudah sedikit lebih tenang dan hendak membaringkan tubuh, pintu kamar terbuka. Aku enggan menoleh, karena dari suara langkah kaki saja aku sudah tahu siapa yang datang. Tidak mungkin Jax berani masuk ke kamarku begit
Ivanna’s PoV Kami, lebih tepatnya aku, Damon dan Tatiana sudah tiba di hotel H yang merupakan salah satu dari sepuluh hotel termewah di sana. Dan segalanya sungguh di luar ekspektasiku. Jika kukatakan seperti ini, artinya cukup buruk untuk dikatakan berjalan lancar. Mungkin lancar bagi Damon dan Tatiana yang memang memiliki keperluan bisnis. Hari pertama, kami tiba di hotel saat matahari telah tinggi dan Damon menyewa suite dengan perlengkapan di dalamnya yang mempunyai dua kamar tidur. Aku kurang suka ide satu ini, karena artinya, kami tidak punya privasi dan lagi-lagi Tatiana tetap harus ada di tempat yang sama dengan kami. Aku tak mengerti apa yang terjadi padaku hingga begitu penuh kecurigaan dan pikiran negatif terhadap mereka berdua. Terlebih ketika Damon dan Tatiana telah siap dengan pakaian rapi sementara aku baru mengenakan piama, karena memutuskan untuk beristirahat sebentar. “Kau mau ke mana? Kita baru saja tiba,” ucapku, tak habis pikir dengan sikap pria ini. Jika Damo
Jax's POV Aku dan Ivanna saling bertatapan, begitu pula Gabby yang terlihat tak percaya apa yang baru saja ia dengar. “Kehamilanmu adalah hadiah dari Amethyst, Sang Dewi Bulan, untukmu dan Dokter Davidson, karena kalian telah menolong kami,” lanjutnya. Aku bisa melihat air mata bahagia menetes dari sudut mata Gabby. Ia telah lama menantikan seorang bayi, karena menurutnya, dirinya tak mungkin bisa mengandung. Vampire tak mungkin mengandung, meski Ayden adalah seorang hybrid yang masih mungkin memiliki organ dan sel hidup dalam tubuhnya untuk bereproduksi, tetapi tidak dengan Gabby.Itu sebabnya ia mengusahakan dengan eksperimen yang telah hancur akibat perbuatan Jason. “Aku sangat bahagia mendengarnya. Selamat, Gabby!” Ivanna turut meneteskan air mata dan memeluk Gabby dengan erat, begitu pula lainnya bergantian mendekap wanita berambut merah itu. “Lalu bagaimana dengan embrio yang Jason bawa saat itu?” tanya Ivanna tampak ingin tahu. “Dia tak pernah tumbuh, Ivanna. Aku melihatny
Jax’s POVAku bisa merasakan nagamaki yang menembus punggung Jason semakin mengoyak tubuhnya, termasuk juga tubuhku. Jason menarikku mendekat dan seolah tak membiarkanku hidup sementara dirinya harus berakhir di tangan wanita yang selama ini ia anggap lemah.Ivanna berhasil menaklukkan apa yang selama ini membuatnya gentar. Pertemuan dengan Bethany dan Jason, adalah hal paling menakutkan baginya.Jason mendekapku cukup lama. Bola mata kelabunya menatapku dengan tatapan bengis, penuh kebencian. Aku masih ingat perkataannya yang terdengar sebagai ancaman seolah aku akan takut dan memilih untuk berpihak padanya.“Kau tidak akan pernah bisa lari, Jax. Aku akan terus memburumu dan keturunanmu di kehidupanku selanjutnya,” ujarnya, kemudian menyeringai.“Mungkin. Jika kau memang terlahir kembali, aku akan dengan senang hati menghadapi dan membunuhmu dengan tanganku sendiri,” jawabku sebelum kemudian mendorong Jason menjauh dan berusaha menopang tubuhku sendiri agar tak terjatuh.Aku masih in
Ivanna's POV Aku bangkit perlahan, duduk dengan tegak dan meraih Ash yang semula kubaringkan di atas hamparan pasir. Tak ada tangis sedikit pun, seolah ia mengerti bahwa ibu dan ayahnya sedang berjuang untuk keselamatannya, maka ia tak ingin membebani kami dengan rengekan.Aku menyerahkan Ash pada Ivory, membiarkan wanita itu merengkuh putraku.“Aku tak tahu apakah ini keputusan benar, mempercayakan bayiku padamu. Namun, seperti kau percaya padaku, maka itu yang kulakukan. Aku percaya padamu. Tolong jaga Ash untuk kami. Aku akan kembali ke sana menolong Jax dan kawan-kawan lainnya. Aku akan kembali mengambil Ash setelah kekacauan ini selesai.”“Tenang saja, Ivanna. Kau bisa percaya padaku. Aku berjanji akan menjaga Ash, karena ia adalah jodoh Mackenzie. Tak mungkin aku melenyapkan jodoh putriku sendiri. Sekarang kembalilah, tolonglah Jax dan lainnya. Aku akan membantu kalian dari sini,” ucap Ivory yang membuatku tertegun sejenak mendengar apa yang barusan ia ucapkan.Ash berjodoh den
Ivanna’s POVGabby menatapku dengan tatapan yang tak mampu kuterjemahkan. Apa yang tengah ia pikirkan saat ini? Mengapa aku tak bisa membaca pikirannya, dan pikiranku seolah tak mampu menangkap sinyal darinya. Apakah ini karena perasaanku tengah kacau balau?Gabby tampak gugup dan tak bisa memberikan jawaban maupun menuruti keinginan Jason, untuk memberikan Ash pada Bethany yang sudah tampak begitu kelaparan. “A-aku ingin ke kamar kecil,” ucap Gabby yang membuatku terhenyak. Apakah ia berniat untuk melarikan diri di tengah kekacauan yang telah ia buat? Jax mengatakan padaku bahwa Gabby sempat berniat untuk mengkhianati kami. Apakah ini salah satunya?Mendengar perkataan Gabby, Jason tersenyum mengejek. “Kau ingin menipuku, huh?”Gabby menggeleng. Bahkan ketika Jason akhirnya mencengkeram wajahnya, perempuan itu sama sekali tidak memberi perlawanan. Ayden yang tampak geram dan berusaha melepaskan diri untuk bisa menyelamatkan kekasihnya, sementara aku dan Ash, nyawa kami di uju8ng tan
Ivanna's POV Bethany, jika aku tak salah mengenali, layaknya seekor anjing yang datang bersama tuannya. Jason mengikatnya tanpa ampun.“Halo, Ivanna. Apakah aku lupa mengatakannya, bahwa kau tak akan pernah bisa lari dariku. Ke mana pun kau pergi, aku akan selalu bisa menemukanmu.” Ia menoleh pada makhluk yang ada dalam ikatannya. “Benar begitu, kan, sayang. Kau boleh menyapa dirimu di kehidupan terakhir, Beth. Setelah ini, kaulah yang akan hidup dan dirinya hanyalah tinggal kenangan.”“Kami tak akan biarkan kau menyentuh Ivanna!” geram Gabby kemudian menerjang Jason yang dengan gesit selalu berhasil menghindar.Lalu giliran Ayden yang menyerang. Kekuatan keduanya imbang, tetapi bagaimana pun, Jason adalah lelaki yang licik. Ia menggunakan Bethany sebagai senjata untuk menghalau dan mempersulit posisi Ayden dan Gabby.“Kau harus menghabisinya, Ayden. Kita harus selamatkan Ivanna.” Aku masih mendengar suara mereka berdua tengah bercakap-cakap sembari sesekali kudengar suara denting be
Ivanna’s POVDi tengah kekacauan yang terakhir kali kulihat adalah sosok kekasihku yang telah siap dengan sahabat karibnya, nagamaki yang selalu tersemat di balik punggung. Jika Jax sudah mengetatkan genggaman di ujung pegangan nagamaki, itu artinya, pertarungan besar akan terjadi. Jumlah Feral yang datang, aku lupa tepatnya, tetapi aku tahu kalau mereka tak hanya satu, dua, atau sepuluh. Ratusan, jika aku boleh memperkirakan. Apakah Jax dan Max akan baik-baik saja menghadapi mereka?Ivory menarik lengan dan membawaku melarikan diri bersamaan dengan datangnya gerombolan makhluk liar itu. Aku merasa beruntung karena tak hanya aku yang ada di sana, melainkan Ayden dan Gabby yang bertemu dengan kami di sebuah persimpangan.Beruntungnya, Ash tak pernah jauh dariku. Ia masih berada dalam gendonganku setelah mendapatkan tanda keanggotaannya.“Ivy, akan kau bawa ke mana kami?” tanyaku, sembari mengikuti kecepatan wanita itu. Ivory sangat gesit dan lincah. Ia seolah sudah terbiasa melarikan
Jax's POV “Jax, apakah kau sudah gila? Aku sudah katakan kalau Ash berada dalam bahaya. Kau malah setuju untuk ikut dengan mereka.” Ivanna menyuarakan protes ketika mendengar permintaanku agar kami segera berkemas. “Aku tak menyangka kau menganggap perkataanku hanya bualan.”“Aku tak pernah berpikir demikian, Ivanna. Mengertilah!” Aku meraih wanita itu agar menghadap padaku. “Ivanna, dengarkan aku. Kita tidak memiliki pasukan dan Jason bisa menyerang kapan saja.”“Devon sudah menyerahkan klan-nya untukmu, bukan? Kita bisa memulainya jika kau mau.”Aku menggeleng. “Tidak semudah itu, Ivanna. Banyak yang harus kita lakukan dan persiapkan untuk membentuk sebuah klan yang kuat. Kita belum sebanding dengan Jason, kecuali kalau ia berani berduel melawanku, maka kupastikan aku akan menang.”Ivanna tampak gelisah. Wajah pucatnya yang biasanya masih merona, kini terlihat makin pucat. Ia tampak kelelahan setelah apa yang kami lalui selama beberapa hari terakhir. Aku tak ingin jika penderitaan
Jax’s POVAku membawa Ivanna untuk ikut denganku menuju ke ruang bawah tanah. Aku susdah mengatakan padanya, meski masalah ini bukanlah rahasia dan Max bahkan tak melarangku jika aku ingin menyampaikan pada Ivanna, tetapi tidak seharusnya kami datang ke ruang bawah tanah di malam hari seperti ini.Kekuatan feral akan meningkat di malam hari dan aku tak ingin sampai membuat kekacauan karena sikap keras kepala kekasihku ini. Namun, apa boleh buat?Kubiarkan ia melihat di sekeliling, di mana beberapa lycan tengah dikurung, tetapi dalam kondisi normal. Ivanna tampak tertarik dengan apa yang membuat Max dan member pack memutuskan untuk memenjarakan mereka.“Pastinya karena masalah yang cukup besar mereka mendapat hukuman sebagai efek jera,” jawabku saat Ivanna tampak tak mampu menahan diri dan sebelum ia berpikir bahwa pemerintahan yang Max jalankan terlalu ketat, aku memberikan penjelasan padanya.Tiba di satu sel yang tampak berbeda dibanding lainnya, langkahku terhenti dan ia pun melaku
Ivanna's POV Aku masih memikirkan perkataan Ivory mengenai penawarannya agar Jax menjadi warior bagi Alsenic pack dan kami menjadi bagian dari pack tersebut. Aku bahkan belum menyampaikan pembicaraan itu pada Jax. Ia tengah menyibukkan diri menimang Ash dan aku hanya memerhatikannya dengan banyak pikiran yang semrawut.Setelah berhasil menidurkan Ash, Jax membaringkannya di sebuah box bayi yang juga sudah tersedia lengkap di rumah ini, lalu menghampiriku yang sejak tadi termenung memandangi Jax dengan tatapan kosong.“Apa yang kau pikirkan?” tanya Jax setelah mengecup bibirku sekilas. Aku mendesah dan memaksa tubuhku untuk berbaring, sementara ia meraih kakiku dan memijitnya dengan lembut. “Lihatlah, kau sangat kelelahan. Katakan apa yang sedang kau pikirkan? Mungkin saja membaginya denganku pikiranmu bisa sedikit lebih tenang.”“Jax, apakah Max mengatakan sesuatu? Bukankah kalian tadi berjalan ke suatu tempat berdua? Apakah dia mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan politik atau