Kematian adalah sebuah kepastian. Kita hanya menunggu giliran.
"Pecat, Mas! Pecat dia!" teriak Livy.Lukman menatap dua orang perempuan yang ada di hadapannya. Kiran menunduk sambil memegang bunga mawar, tak ada bantahan dari bibirnya."Heh! Kamu! Kenapa masih tetap di situ? Kan saya sudah bilang, kamu itu dipecat. Nunggu apa lagi sih?" ucap Livy dengan sinis.Kiran masih terdiam, menunggu reaksi Lukman.'Duh, dipecat beneran nggak sih nih? Tapi kalau aku pergi dari ruangan ini, gengsi, ih. Mending jambak-jambakan deh sekalian. Lagian sih, Pak Lukman pakai nongol segala.'"Jangan diam saja. Sudah sana cepat. Mau nunggu security maksa kamu keluar dari rumah ini?"Kiran menarik napas panjang. Bukankah dari awal dirinya menyatakan perang dengan Livy, ia sudah paham dengan risiko kehilangan pekerjaan di rumah ini. Jadi apa lagi yang ia harapkan dari Lukman?"Kiran," panggil LukmanJika bisa mengulang waktu, aku ingin terus membahagiakanmu.Lukman berdiri di dekat pintu mobil. Iring-iringan tamu pengantar jenazah dibiarkan melewatinya. Kedua kakinya seakan terasa tak mampu menahan berat badannya.Apa ini?Kenapa begitu cepat?Tak adakah kesempatan untukku melihat senyummu lagi?Tak bisakah aku memeluk tubuh hangatmu lagi?Lukman hanya bisa mengatupkan rahang dan mengepalkan kedua tangan saat tanah merah mulai digugurkan, menutupi tubuh Ratih yang tertutup kain kafan.Lagi.Ia telah melewatkan kesempatan untuk menemani Ratih dengan alasan pekerjaan.Setumpuk janji dengan rekanan dan juga tumpukan berkas di atas meja selalu merebut waktunya. Padahal Stevani sudah mengabarkan bahwa Ratih tidak akan bisa bertahan lebih dari satu bulan lagi.Seperti pagi tadi, ia baru saja menapakkan kaki di Perth Airport saat Stevani mengabarkan kepergian Ratih.
Kastil Residence, salah satu apartemen mewah yang terletak di belahan Jakarta Pusat. Dari lantai dua puluh dua, laki-laki itu bertelanjang dada. Ia berdiri di tepi jendela kamar, menatap kelap kelip lampu ibu kota di kala malam. Ia menyesap minuman dingin yang berada di tangan kanannya. Bagaimana bisa begitu cepatnya roda kehidupannya berputar? Dulu, dirinya tinggal di dalam sebuah gang sempit.Setiap hari pulang pergi ke kantor dengan motor matic, sekarang ia tinggal di apartemen mewah dan bisa memilih mobil apa saja yang mau ia pakai sehari-hari. Namun, pikirannya tetap kalut. Otaknya berusaha berputar keras. Lelaki itu menghabiskan minumannya. Sudah berkali-kali ia bercinta, tetapi dahaganya seakan tidak pernah terpenuhi. Raganya selalu memenuhi keinginan pemilik apartemen mewah yang ia tempati beberapa bulan belakangan ini. Namun, di matanya ada sosok sang mantan istri."Aku harus kembali ke rumah Lukman," ucap Livy yang telah selesai berpakaian.Agung hanya berdeham."Nggak usa
Jayadi. Laki-laki keturunan asli Jakarta yang mampu menyandingkan namanya di sepuluh besar orang terkaya di Indonesia. Selain ia berhasil meneruskan usaha eksport import kerajinan tangan, ia juga berhasil memperluas jaringan usaha yang digelutinya.Kehidupannya banyak membuat orang-orang ingin selalu berada di lingkungannya. Termasuk lingkungan keluarganya.Jayadi hidup dengan satu orang istri dan empat orang anak laki-laki. Semua anak telah ia beri bekal pendidikan yang tinggi dan juga ia gembleng menjadi wirausaha.Di antara keempat putranya itu, ada satu anak yang paling menonjol di dunia bisnis. Anak itu berhasil menabur membuka jenis-jenis usaha baru yang dapat dipasarkan ke berbagai negara tetangga. Dia adalah Lukman Jayadi, putra pertama Jayadi. 'Apapun yang terjadi, dia harus segera menikah. Denganku!' tekad Livy dalam hati setiap melihat wajah Lukman.Ini adalah kesempatan besar baginya. Untuk itu ia meminta bantuan kedua orang tuanya yaitu Nathalie dan Nataya. Sedangkan unt
Aku memang pernah menyakitimu, tetapi kali ini biarkan aku melindungimu.Agung kembali mengunjungi rumah Lukman. Kali ini secara diam-diam saat Livy berada di gym.Semalam ia menghabiskan malam dengan menemani Livy ke klub. Livy meminum alkohol dalam jumlah banyak. Dalam keadaan mabuk, Livy tidak berhenti memaki Kiran dan juga anak-anak Lukman. Bahkan berulang kali, Livy menyebut akan menghabiskan mereka.Lalu apakah perkataan orang mabuk bisa dipercaya?Bagi Agung, Livy adalah sebuah buku yang terbuka. Ia bisa membacanya kapan saja. Cukup dengan memandang wajah Livy, ia dapat mengetahui apa yang Livy inginkan.Saat ini, Livy memang belum mengetahui wajah Kiran, Agung tidak pernah memberikan foto Kiran pada Livy. Selain itu, Livy juga tidak berminat melihatnya. Livy hanya tahu nama istri dan anak Agung. Agung menganggap kata-kata yang Livy ucapkan semalam bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja.Sore ini, Agung memilih menggunakan sepeda motor miliknya. Agung memarkir motornya di
Keserakahan tak akan pernah berhenti mencari korban.Kiran berdiri di bawah tangga sambil sesekali melihat ke arah kamar anak-anaknya Lukman. Tak pernah ia mendapati mereka tertidur dalam waktu yang lama seperti ini."Mbak Kiran," panggil Atik membuyarkan pikiran Kiran."Dicariin lho dari tadi.""O, iya. Memangnya ada apa, Bu?"Atik tersenyum kemudian menggandeng Kiran berjalan menuju dapur."Saya baru selesai masak gulai ayam. Yuk, cobain. Dari tadi saya liat kayaknya Mbak Kiran belum makan nasi ya?""Kiran. Aku serius. Untuk kali ini, berhati-hatilah. Jangan lengah. Perhatikan semua makanan yang akan kamu makan. Begitu juga minuman. Kamu harus tau, Ran. Semua karyawan di rumah ini berada di bawah kaki Livy. Sebaiknya kamu berhati-hati. Mereka bisa baik di depanmu. Tapi tidak di belakangmu."Kiran tiba-tiba teringat kata-kata Agung tadi. Kini ia sudah berada di meja dapur. Atik menyediakan berbagai makanan untuknya."Ayo, Mbak Kiran. Makan dulu. Ini sengaja saya siapin semuanya."Kir
Ada kalanya keramaian adalah tempat bersembunyi yang paling aman.Sopir taksi berhenti di depan UGD Rumah Sakit Keluarga seperti permintaan Kiran. Petugas rumah sakit dengan sigap segera menyambut mereka. Anak-anak segera mendapat tindakan.Kiran berjalan bolak-balik di depan ruang UGD dengan penuh kecemasan. Siapa yang harus ia hubungi saat ini? Menanggung biaya pendaftaran rumah sakit tiga anak bukanlah hal yang mudah baginya. Jelas nama anak-anak Lukman tidak ada di dalam kartu KJP-KIS seperti keluarganya.Kiran sudah siap dengan ponselnya untuk menghubungi Lukman, tetapi dia bingung harus mengatakan apa pada majikannya itu."Sebaiknya kamu cepat menghubungi Pak Lukman. Aku nggak bisa lama-lama di sini. Usahakan jangan sampai pegawai-pegawai di rumah tau. Mereka bisa saja memanipulasi keadaan jadi memojokanmu."Kiran hanya terdiam sambil menatap Agung dengan wajah bingung."Bagaimana ini, Mas. Aku harus ngomong apa ya sama Pak Lukman?" tanya Kiran, ia tidak dapat menutupi kecemasan
Aku sadar bahwa dirimu sangat berharga saat aku sudah kehilanganmu.Agung kembali ke apartemennya kemudian merebahkan diri di atas ranjang. Sampai kapan ia harus hidup seperti ini? Kata-kata Kiran menari dalam otaknya. Apakah benar dirinya telah menjual diri?Astaga.Agung bangkit dan duduk di tepi ranjang sambil menyugar rambutnya.Apakah masih ada jalan untuk pulang? Setelah Malika pergi dan Kiran tersakiti?'Setidaknya aku harus menyelamatkan Kiran dari Livy. Apapun caranya.'Agung memaksa otaknya untuk berpikir. Ia harus memilih jalan yang tepat untuk membuat Livy balik bertekuk lutut kepadanya. "Berhasil apa nggak ya cara itu? Huh."Sebenarnya ia telah memiliki rencana, tetapi ia sendiri tidak yakin apakah itu akan berhasil atau tidak. Namun, ia tidak akan pernah tahu jika ia belum mencobanya, bukan?Agung menyudahi lamunannya saat mendengar suara pintu terbuka. Ia tahu bahwa Livy datang."Arrghh ...." teriak Livy sambil melempar tubuhnya ke ranjang kemudian merentangkan kedua
Ombak membawaku terdampar di sini, dapatkah aku keluar dan melarikan diri?Kiran menemani Yoga dan Andika yang sedang bermain basket. Ia duduk di tepi lapangan bersama Diandra."Nggak ikut main aja?" tanya Kiran kepada Diandra."Nggak ah, lagi dapet. Mending ngobrol aja di sini sama Mbak Kiran," jawab Diandra.Kiran tersenyum mendengar jawaban Diandra. Semakin ke sini, Diandra semakin terbuka pada dirinya. Banyak hal yang mereka lakukan bersama. Diandra juga lebih membuka diri kepada Kiran."Ih, Yoga curang tuh," teriak Diandra sambil menunjuk ke arah Yoga.Yoga mendengar teriakan Diandra segera berhenti dan melempar bola basketnya ke sembarang arah."Aaah ... Aku capek, Mbak Kiran. Bang Andika nggak mau ngalah sama aku," rengek Yoga sambil menjatuhkan diri ke pelukan Kiran."Ya, kalau main kan harus sportif. Yaudah sekarang istirahat. Nih minumnya," ucap Kiran, menyodorkan jus buah tanpa gula pada Yoga dan Andika."Tau nih, Yoga. Sudah gede masih curang aja main basketnya," ucap Andi
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara
Ketika malam kejadian Kiran disekap Ronald, Agung sama sekali tidak dapat memejamkan mata, tanpa ia tahu alasannya. Saat ini ia tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah uang. Ia yakin Livy tidak akan berani melaporkan dirinya ke pihak yang berwajib. Ia juga telah mendapatkan pekerjaan sambilan di sebuah bengkel untuk mengisi waktu luangnya.Bukan karena ia tak lagi tinggal di apartemen mewah. Rumah kecil yang ia sewa saat ini cukup memberinya kenyamanan. Semua yang bisa ia lakukan malam itu, sudah ia kerjakan semua. Namun, tetap saja matanya tak mau terpejam. Satu hal yang tidak bisa ia hindari, Kiran selalu ada di dalam pikirannya malam ini.Untuk itu, saat paginya tiba Agung memutuskan pergi ke rumah Lukman. Di dekat rumah Lukman, ada warung kopi liar yang selalu ramai. Para security kompleks sering mampir ke sana. Pada waktu-waktu tertentu warung ini ramai security yang memesan kopi, mie instan atau sekedar berbincang-bincang. Bukan berarti mereka tidak mendapatkan makanan dari
Bu Nunik tiba di rumah Kiran pukul empat sore. Siang tadi, Lukman menelepon. Memintanya untuk datang ke rumah Lukman, menjenguk Kiran. Lukman menawarkan diri untuk menjemput ke rumah Bu Nunik. Namun, Bu Nunik menolak. Ia bilang akan ke sana bersama Milo, putra bungsunya.Ning menyambut Bu Nunik di ruang tamu, tak lama kemudian Lukman muncul dan menyapa Bu Nunik."Apa kabar, Bu Nunik, Milo?" tanya Lukman."Alhamdulillaah, kami baik, Pak," jawab Bu Nunik."Ayo duduk, Bu, Milo. Maaf merepotkan," ucap Lukman."Jadi, apa yang terjadi dengan Kiran, Pak?" tanya Bu Nunik.Lukman menarik napas panjang. Ia agak ragu menceritakan semua yang terjadi pada Kiran di hadapan Milo."Hmm ... Saya boleh numpang ke ruang makan, Pak?" tanya Milo, membuat Bu Nunik bingung. Milo cukup peka, ia tahu ada hal yang harus dibicarakan tanpa perlu diketahui dirinya."Apa-apaan sih, Mil?""Biar Ibu sama Pak Lukman bisa ngobrol, Bu.""Iya, tapi kenapa jadi minta makan begitu?""Laper, Bu. Pengen cemilan."Lukman ter
Kiran terbangun dari tidur meringkuknya. Rasa takut menghampiri. Ia tak sanggup menggerakkan badan bahkan ia tak sanggup memandang anak-anak yang berada di depannya."Mbak Kiran," sapa Yoga.Suara Yoga, membuat Kiran semakin merapatkan diri ke dinding."Aku sudah mandi dong. Tadi cari bajunya sendiri," ucap Yoga."Boong, Mbak. Dibantuin sama Mbak Ning tadi," timpal Andika.Kiran menutup kedua telinga, membuat anak-anak bingung. Ning segera meminta anak-anak pergi ke meja makan untuk sarapan karena melihat reaksi Kiran seperti itu. Anak-anak pun menurut."Mbak Kiran. Kita sarapan dulu, yuk," ajak Ning dengan suara berhati-hati.Kiran menatap ke arah Ning. Reaksinya berbeda saat mendengar suara laki-laki dan perempuan. Ia lebih bisa menerima kehadiran sosok perempuan di dekatnya.Berbeda dengan sosok laki-laki. Rasa takut menyergapnya seketika jika mendengar suara laki-laki. Ia merasa bahwa suara laki-laki itulah yang telah melecehkan dirinya. Kini ia berpikir bahwa semua laki-laki akan