Livy melarikan diri. Lukman meninju dinding ruang kantornya. Ia menyesal karena tidak bertindak dari jauh-jauh hari. Saat ini pihak kepolisian sedang melacak keberadaan Livy.Kemarahan Lukman teralihkan pada ponselnya yang berada di atas meja. Zainab. Lukman mengatur napas sebelum menjawab telepon ibunya."Ya, Ma.""Nanti jadi kan makan malam di rumah?" tanya Zainab."Belum tau. Masih banyak kerjaan.""Nggak bisa begitu dong, Lukman. Nabila malam ini sudah Mama undang makan malam lagi. Nggak enak kalau kamunya malah nggak datang kayak waktu itu," keluh Zainab."Lukman banyak kerjaan nih, Ma. Kapan-kapan deh bahas masalah itu."Lukman segera menutup telepon, tidak peduli dengan suara Zainab yang masih memanggilnya. Sikapnya sangat jelas menyatakan bahwa ia keberatan dengan sikap Zainab.Zainab melihat ke arah ponselnya dengan kesal. Ia bersungut karena sikap Lukman yang tidak mau mengikuti perintahnya. "Apa susahnya sih cuma makan malam doang di rumah?" gerutu Zainab."Kenapa lagi sih
Kelengahan akan membuatmu jatuh. Jadi, selalu siagalah setiap waktu."Kurang ajar itu perempuan! Kirain santun, nggak taunya barbar," ucap Kiran.Ia berjalan sambil meraba-raba langkah, mencari keran air untuk membersihkan wajahnya yang terkena tumpahan makanan."Aduh perih banget lagi nih mata. Keran airnya di mana sih? Perasaan nggak jauh-jauh dari sini," keluh Kiran sambil menahan perih di matanya.Kiran tak dapat melihat dengan jelas lagi. Bukan sekali, dua kali ia menabrak kursi teras atau pot bunga.Di saat yang sulit seperti itu, Kiran merasakan sebuah tangan memegang pergelangan tangan dan menuntunnya. Kiran memberontak karena ia tidak dapat melihat pemilik tangan tersebut. Ia tidak mau dituntun ke tempat yang salah."Tunggu! Saya mau dibawa ke mana?" tanya Kiran sambil menarik tangannya.Namun tak lama kemudian, Kiran mendengar suara keran air dibuka. Lalu tangan itu, membimbingnya menuju keran air.Kiran segera mencuci wajahnya. Terutama daerah mata."Ya Allah, perih banget
Pagi yang gaduh. Ismail terbangun karena kaget dari tidurnya pagi ini. Ia membuka pintu kamar dan melihat Zainab berteriak ke sana ke mari. "Aduh, itu Mama kenapa sih pagi-pagi jejeritan?" keluh Ismail.Mata Ismail bertemu dengan Jayadi yang sedang menggeleng-geleng melihat tingkah istrinya."Kenapa sih, Pa?""Kamu tidur di sini, Ismail?"Ismail menjawab Jayadi dengan anggukan."Dari semalam?"Ismail mengangguk lagi."Kenapa semalam nggak langsung kamu periksa tensi darahnya mama kamu?"Ismail tersenyum lebar sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ia ingat, terakhir tensi darah Zainab terakhir ia periksa adalah satu bulan yang lalu."Pagi, Ma," sapa Ismail.Zainab tidak peduli dengan panggilan putranya, ia tetap berteriak memanggil semua karyawannya untuk berkumpul."Manggilnya sambil tenang dong, Ma. Jangan pakai emosi. Nggak baik lho buat tekanan darah tinggi Mama," rajuk Ismail sambil memijat perlahan bahu Zainab.Satu per satu karyawan rumah itu mulai berdatangan dan berbar
"Kami akan keluar dari rumah ini. Kiran, siapkan anak-anak."Lukman berbicara tanpa memandang ke arah Zainab. Entah kenapa hatinya terasa tersinggung melihat tingkah laku ibunya pagi ini. Penghinaan yang Zainab berikan kepada Kiran, terasa diberikan untuknya.Kiran segera beranjak, keluar dari barisan dan mengajak anak-anak ke kamar mereka masing-masing. Kiran membantu Yoga merapikan barang-barang yang akan dibawa, sedangkan Diandra dan Andika dibiarkan melakukan sendiri.Jayadi membubarkan semua karyawan, meminta mereka kembali bekerja kembali. Ismail segera menuntun Zainab ke kursi karena ia melihat wajah ibunya itu sangat merah."Ma, sabar ya. Atur napasnya dulu, jangan diikutin emosinya. Kita cek tekanan darah Mama dulu ya," ucap Ismail.Jayadi muncul membawa segelas air untuk Zainab dan Ismail segera ke kamar mengambil perlengkapan untuk memeriksa Zainab."Minum dulu, Ma."Jayadi mengusap keringat yang ada di kening Zainab.*****Kiran duduk di kursi belakang bersama Yoga dan Dia
"Pagi, Cantik," sapa Ronald saat melihat Kiran muncul di dapur. Kiran hanya menjawab dengan senyuman."Bikin jus buah buat Yoga ya?" tanya Ronald lagi.Kiran tersenyum sambil mengangguk."Kamu memang pendiam begitu ya, Kiran?"Kiran mengangkat kedua alis saat mendengar Ronald memanggilnya tanpa embel-embel Mbak."Ternyata kamu itu perempuan penuh misteri ya, Ran. Aku jadi penasaran sama kamu."Kiran berbalik badan, membelakangi Ronald.'Kok geli ya ngomong sama dia?' batin Kiran. Ia segera melangkah menuju kulkas.Kiran memilih buah yang menjadi favorit Yoga. Begitu ia selesai, Ronald sudah berada di meja tempat ia biasa membuat jus."Sini aku bantu," ucap Ronald.Kiran tak bisa menolak karena Ronald langsung mengambil buah-buahan yang ada tangan Kiran."Tanpa gula," ucap Kiran mengingatkan."Siap, Bu."Ronald membuat jus buah tanpa mengalihkan pandangannya dari wajah Kiran."Kamu itu cantik, kok mau jadi baby sitter?" tanya Ronald membuat Kiran bingung, apakah kalimat pertanyaan itu
Menaklukkan wanita itu mudah, cukup kuasai pekerjaan yang mereka anggap hanya untuk mereka."Jika kamu dapat menidurinya dalam waktu satu minggu, aku berikan mobil kesayanganku!"Ronald menyeringai saat selesai membaca pesan dalam ponselnya. Tidak sia-sia ia memberikan tempat kepada seorang buronan yang datang kepadanya beberapa bulan yang lalu."Deal," ucap Ronald sambil mengetik kata yang bersamaan di ponselnya.Siapakah yang dimaksud oleh pengirim pesan tadi? Tentu saja Kiran. Kiran adalah salah satu alasan Ronald berada di sini. Awalnya ia tidak menyangka Zainab secara tiba-tiba menghubungi dan memintanya datang ke rumah.Ronald pun datang ke rumah Zainab. Saat itu ia hanya berpikir Zainab akan memintanya memasak untuk acara kumpul-kumpul keluarganya. Namun, ternyata Zainab memintanya untuk bekerja di rumah Lukman.Zainab pun memastikan agar Ronald tidak perlu memusingkan masalah bayaran. Ronald akan mendapatkan gaji dua kali. Gaji dari Lukman dan juga dari Zainab. Selain itu, Za
Satu minggu berlalu dan dirinya tak juga takluk padaku.Mata Ronald selalu mengekori Kiran yang sedang membuat jus untuk Yoga. Kini keinginannya berubah menjadi amarah. Apa kekurangan dirinya dibanding Lukman? Dari usia, jelas dia lebih unggul karena jauh lebih muda dari Lukman. Soal wajah, tak perlu diragukan, darah bule mengalir dari ibunya tentu menjadikan wajah Ronald adalah impian setiap perempuan.Cinta? Ya, mungkin itu yang menjadi penghalang dirinya mendekati Kiran. Ada laki-laki lain dalam hati wanita itu. Ronald jelas dapat melihat wajah Kiran yang begitu mendamba saat memandang Lukman."Sial," umpat Lukman sambil membanting spatula ke dalam wastafel pencuci piring.Baru kali ini ia merasa dirinya sangat menyedihkan. Bahkan saat ini Kiran sama sekali tidak melihat ke arahnya sedikit pun.'Kamu akan aku cicipi, Kiran. Pasti! Malam ini. Apapun caranya.'*****"Tau ga? Kemaren pas kita main basket, aku dengar suara-suara aneh lagi dari paviliun belakang rumah," ucap Andika samb
Kiran mengerjapkan mata berkali-kali. Kepalanya masih terasa berputar. Sebelum berhasil mengingat apa yang terjadi, Kiran mendapati dirinya berada dalam keadaan terikat di atas ranjang dan mulut disumpal."Hmmp ... Hmmmp."Berkali-kali Kiran mencoba berteriak, tetapi tidak berhasil.Hari telah gelap. Hanya sedikit cahaya yang Kiran dapatkan dari sebuah jendela yang berada di ruangan itu. Kiran menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia mencoba mengenali tempat di mana ia berada. Sebuah kamar. Di dalam paviliun. Kiran berhasil mengingat kejadian sore tadi. Termasuk kelakuan Ronald."Hmmmmp ...."Kiran menjerit saat melihat beberapa ekor hewan yang paling menjijikan bagi Kiran muncul di hadapannya.Beberapa tikus mencicit dan berlari ke sana ke mari. Mereka tidak ragu berada di atas bahkan menggigit tubuh Kiran.*****Lukman tiba di rumah tepat saat makan malam. Ia sekuat tenaga menantang diri sendiri untuk menepati janji yang telah ia buat.Yoga berjalan menghampiri Lukman yang baru saja turun d
Tujuh hari berlalu dari kematian Ronald di tangan Agung. Livy telah menyiapkan segalanya. Ia harus segera pergi dari daerah ini. Ada satu tempat yang akan ia jadikan tempat persembunyian sebelum ke luar negeri. Yaitu rumah tempat ia dulu tinggal bersama tantenya, mendiang Ilona.Livy kesal saat mengetahui dari Nathalie bahwa polisi masih terus mengawasi keluarganya. Ditambah lagi peristiwa penyergapan kemarin, tentu saja polisi semakin siaga mencari keberadaannya.Livy berdiri di tepi ranjang kamar. Ia menatap ke tas yang sudah ia siapkan. Livy memandang seisi kamar, kemudian menarik napas. Sama seperti biasanya, tempat ini selalu sepi.Pukul tujuh malam lewat lima belas menit, waktu yang telah ia putuskan untuk meninggalkan rumah yang ia tempati saat ini. Ia tidak mungkin keluar saat matahari bersinar. Ia juga tidak mau mengundang kecurigaan warga jika keluar tengah malam."Non. Non Olie ...."Suara Bu Ida terdengar bersamaan dengan suara ketukan pintu.Livy menoleh kemudian melangk
Kenapa kami harus kehilangan kasih sayang yang baru saja kami dapatkan kembali? *****Yoga membawa bola basket dengan wajah cemberut. Sesekali ia melirik ke arah Kiran yang sedang duduk di kebun mawar bersama Bu Nunik. Dalam hati, Yoga selalu bertanya kapankah Kiran akan bersikap seperti dulu kepadanya.Bu Nunik tersenyum dan melambaikan tangan kepada Yoga yang melihat ke arah mereka, sedangkan Kiran hanya memberikan tatapan datar.Setidaknya itu adalah sebuah kemajuan bagi Kiran. Setelah beberapa kali bertemu dengan Farah, ia tidak lagi panik bersembunyi saat melihat dan mendengar suara laki-laki. Namun, untuk berbicara atau berinteraksi lainnya, ia belum berani mencoba.Kiran menatap Yoga yang masih saja cemberut saat mengoper bola basket kepada Andika. Kiran berharap dapat menghilangkan rasa takut saat berada bersama anak itu. Bagi Kiran, Yoga sangat menggemaskan. Segala tingkah laku anak itu, cukup membuatnya nyaman. Kini ia pun merindukan saat-saat kebersamaan mereka."Mau mend
Pada hari di mana Lukman menyergap Ronald dan Livy, Livy segera naik ke lantai dua begitu ada kesempatan. Ia segera mengunci pintu kamar.Livy meraih tas berukuran sedang yang telah ia siapkan jika tiba-tiba harus melarikan diri. Ia langsung mengambil tas itu. Dalam tas itu, ia sudah menyiapkan semua surat identitas baru yang ia bikin melalui Ronald. Begitu pula dengan paspor. Livy juga mengambil ponsel yang ada di atas meja kamar. Tak lupa ia membuka nakas di samping ranjang, tempat Ronald menyimpan uang tunai. Livy segera memasukkan uang itu ke dalam tas. Hingga nakas itu kosong.Livy mengintip dari jendela, Ronald dan Lukman masih sibuk baku hantam. Livy tak mau membuang-buang waktu, ia segera turun dan berlari ke arah ke belakang Villa. Ronald sudah memberitahu rute pelarian yang akan dilewati jika mereka berada di situasi seperti sekarang.Livy yakin, jika memang Ronald selamat, laki-laki itu pasti tahu kalau dirinya kabur melewati jalur ini.Livy melihat pintu belakang villa ya
Firdaus menutup telefon yang baru saja ia terima."Misi selesai," ucapnya, disambut pandangan penasaran semua keluarga."Ronald mati!"Semua yang mendengar saling pandang."Bukan! Bukan sama Bang Lukman."Yang lain semakin heran."Komadan bilang, ada seorang laki-laki yang menikam Ronald di depan villa. Dia mengakui bahwa hari ini semua kejadian di villa itu adalah perbuatannya," jelas Firdaus lagi."Siapa dia?" tanya Haqqi.Firdaus mengangkat kedua bahunya."Aku belum dapat detailnya. Mungkin nanti saat semua sudah kembali ke Jakarta.Firdaus mengambil segelas minuman yang ada di atas meja."Untung saja aku ngikuti saran Papa untuk minta tolong pihak kepolisian saja. Kalau nggak, entah apa jadinya saat ini."Adik-adiknya mengangguk."Ya. Bersyukur juga Ronald mati di sana dan bukan di tangan Lukman. Kalau tertangkap hidup-hidup pasti bikin repot. Liat aja. Paviliun itu benar-benar rata dengan tanah hanya dalam satu hari," ucap Jayadi sambil menunjuk ke arah paviliun dengan dagunya."
Hari yang cukup indah bagi dua orang buronan yang sedang bersembunyi. Ronald membawakan beberapa piring cemilan yang baru saja ia buat untuk Livy."Bagaimana menurutmu tempat ini?" tanya Ronald."Sepi. Cukuplah untuk bersembunyi.""Cuma itu?" tanya Ronald sambil mengeryitkan kening."Lalu, kamu mau aku jawab apa?""Ya, seenggaknya kamu bersyukurlah aku kasih tempat di sini. Nggak terlalu jauh dari Jakarta. Fasilitas lengkap. Aku sediakan semua kebutuhan kamu lewat warga yang biasa aku titipkan tempat ini.""Walau pun cuacanya terasa lebih panas?"Ronald tertawa mendengar pertanyaan Livy yang terdengar mengejek."Aku sudah berusaha membuat tempat ini menjadi asri, Liv. Kamu liat sendiri banyak pepohonankan di sini."Livy akhirnya mengangguk setuju dengan semua ucapan Ronald. Setidaknya itu salah satu cara agar dirinya tidak diusir dari tempat ini."Jadi, bagaimana dengan mobil yang kamu janjikan padaku?" tanya Ronald sambil tersenyum.Livy melihat ke arah Ronald. Laki-laki ini pasti te
Tak ada yang lebih menyakitkan daripada melihat orang yang kita sayangi terluka.Agung kembali menutup kaca mobil setelah Lukman masuk ke dalam rumah. Sudah dari pagi ia mengikuti Lukman. Selepas ia berbincang dengan Ujang di warung kopi.Ia tidak turun dari mobil saat melihat Lukman masuk ke warung pecel ayam. Ia juga melihat pemuda yang ditemui Lukman. Namun, ia tidak mau gegabah. Daerah pelabuhan Tanjung Priok bukanlah tempat yang bisa disepelekan begitu saja.Agung mematikan mesin dan membuka sedikit jendela mobil. Kemudian ia menyandarkan kepala. Pikirannya melayang. Bagaimana jika ia kembali menyusup ke rumah Lukman? Ia ingin sekali melihat keadaan Kiran. Banyak hal yang terlintas dalam otaknya hingga terasa amat penat, hingga akhirnya ia pun memejamkan mata, tertidur.*****Pagi menjelang. Lukman terbangun di meja kerjanya. Semalaman ia menyelesaikan tugas tiga hari ke depan karena ada hal yang harus ia lakukan.Lukman segera membersihkan diri dan turun ke meja makan untuk sara
Ketika malam kejadian Kiran disekap Ronald, Agung sama sekali tidak dapat memejamkan mata, tanpa ia tahu alasannya. Saat ini ia tidak perlu lagi pusing memikirkan masalah uang. Ia yakin Livy tidak akan berani melaporkan dirinya ke pihak yang berwajib. Ia juga telah mendapatkan pekerjaan sambilan di sebuah bengkel untuk mengisi waktu luangnya.Bukan karena ia tak lagi tinggal di apartemen mewah. Rumah kecil yang ia sewa saat ini cukup memberinya kenyamanan. Semua yang bisa ia lakukan malam itu, sudah ia kerjakan semua. Namun, tetap saja matanya tak mau terpejam. Satu hal yang tidak bisa ia hindari, Kiran selalu ada di dalam pikirannya malam ini.Untuk itu, saat paginya tiba Agung memutuskan pergi ke rumah Lukman. Di dekat rumah Lukman, ada warung kopi liar yang selalu ramai. Para security kompleks sering mampir ke sana. Pada waktu-waktu tertentu warung ini ramai security yang memesan kopi, mie instan atau sekedar berbincang-bincang. Bukan berarti mereka tidak mendapatkan makanan dari
Bu Nunik tiba di rumah Kiran pukul empat sore. Siang tadi, Lukman menelepon. Memintanya untuk datang ke rumah Lukman, menjenguk Kiran. Lukman menawarkan diri untuk menjemput ke rumah Bu Nunik. Namun, Bu Nunik menolak. Ia bilang akan ke sana bersama Milo, putra bungsunya.Ning menyambut Bu Nunik di ruang tamu, tak lama kemudian Lukman muncul dan menyapa Bu Nunik."Apa kabar, Bu Nunik, Milo?" tanya Lukman."Alhamdulillaah, kami baik, Pak," jawab Bu Nunik."Ayo duduk, Bu, Milo. Maaf merepotkan," ucap Lukman."Jadi, apa yang terjadi dengan Kiran, Pak?" tanya Bu Nunik.Lukman menarik napas panjang. Ia agak ragu menceritakan semua yang terjadi pada Kiran di hadapan Milo."Hmm ... Saya boleh numpang ke ruang makan, Pak?" tanya Milo, membuat Bu Nunik bingung. Milo cukup peka, ia tahu ada hal yang harus dibicarakan tanpa perlu diketahui dirinya."Apa-apaan sih, Mil?""Biar Ibu sama Pak Lukman bisa ngobrol, Bu.""Iya, tapi kenapa jadi minta makan begitu?""Laper, Bu. Pengen cemilan."Lukman ter
Kiran terbangun dari tidur meringkuknya. Rasa takut menghampiri. Ia tak sanggup menggerakkan badan bahkan ia tak sanggup memandang anak-anak yang berada di depannya."Mbak Kiran," sapa Yoga.Suara Yoga, membuat Kiran semakin merapatkan diri ke dinding."Aku sudah mandi dong. Tadi cari bajunya sendiri," ucap Yoga."Boong, Mbak. Dibantuin sama Mbak Ning tadi," timpal Andika.Kiran menutup kedua telinga, membuat anak-anak bingung. Ning segera meminta anak-anak pergi ke meja makan untuk sarapan karena melihat reaksi Kiran seperti itu. Anak-anak pun menurut."Mbak Kiran. Kita sarapan dulu, yuk," ajak Ning dengan suara berhati-hati.Kiran menatap ke arah Ning. Reaksinya berbeda saat mendengar suara laki-laki dan perempuan. Ia lebih bisa menerima kehadiran sosok perempuan di dekatnya.Berbeda dengan sosok laki-laki. Rasa takut menyergapnya seketika jika mendengar suara laki-laki. Ia merasa bahwa suara laki-laki itulah yang telah melecehkan dirinya. Kini ia berpikir bahwa semua laki-laki akan