Mas Umair lalu berjalan kearah pintu depan, sementara aku tetap terdiam di tempatku. Entah mama atau Riska yang datang atau bahkan siapa pun itu, pasti akhirnya aku juga akan mengetahuinya. "Riska?" aku terheran ketika yang datang bersama suamiku adalah Riska, padahal tadi jelas ku dengar yang mengucapkan salam adalah suara mama. "Tenang, ada mama juga kok," kata mas Umair seakan mengerti apa yang ku batin. Ya, mama dan rombongannya kini muncul dari balik ruang tamu. Mbak Sinta dan mas Bima. Firasat buruk kembali menyelimuti batinku setiap kali kedatangan mama tiriku itu. Mas Umair lalu meminta Riska langsung mengecek kondisi kakiku. Sementara mama dan lainnya tanpa diminta mereka pun ikut mendudukkan dirinya di sofa. Suamiku itu pun berlalu guna membuatkan minuman dan mengambil beberapa cemilan untuk mama. "Di sana aja, yuk!" ku tarik tangan Riska yang hendak memeriksa kakiku.Mama dan mas Bima tampak biasa melihat sikapku, berbeda dengan kakak tiriku yang satu itu, mbak Sinta,
"Makanya jangan sembarangan ngomong, dasar perempuan bod*h!" cerca mas Bima. Dan dengan cepat ku buka mataku setelah mendengar cercaan dari mas Bima barusan. Aku pun teringat akan sesuatu yang benar-benar akan bisa membalas tekanan dari mas Bima. Ya, sebuah pernyataan yang mama katakan saat walimahanku waktu itu. "Aku rasa Mas lupa atau bahkan mungkin tidak tahu apa yang menjadi penyebab kecelakaan ibu kandungku sepuluh tahun yang lalu," kataku menajam pada mas Bima yang membuatnya terdiam seketika. Ya, aku ingat saat walimahanku kala itu mama mengiyakan sebuah pernyataan bahwa seakan dirinya terlibat dalam kecelakaan ibu kandungku. Entah benar atau tidak, detik ini juga aku menyadari sepertinya aku harus menyelidiki ulang kecelakaan itu. Dulu, karena usia aku tak bisa berbuat apa-apa, tapi tidak dengan sekarang, perasaan menerima kenyataan atas kepergian mama yang tragis kini muncul kembali karena pernyataan mama dan cercaan mas Bima barusan. Ku tinggalkan mas Bima yang masih me
"Tujuan mama apa ya Mas kira-kira? Masa medadak minta nginep," tanyaku pada mas Umair disuatu malam. "Besok kita akan tahu," balas suamiku lantas merebahkan badannya di ranjang lalu tidur. Ah, suamiku. Kebiasaan buruk mas Umair yang selalu membuatku jengkel dan naik pitam mendadak. Tak pernah to the point dengan apa yang menjadi tujuan utama dalam pembicaraan, yang ada malah menyuruhku menebak-nebak. Menyebalkan! Huh! Dengan jengkelnya ku hidupkan kipas angin berkecepatan paling tinggi, lalu dengan kasar ku tarik selimut yang menutupi hampir seluruh tubuh suamiku itu hingga terlepas darinya, ku biarkan saja ia kedinginan, siapa suruh malam-malam begini membuatku geram. Kalaupun tidak tahu alasannya, bilang saja tidak tahu, tak perlu ada dalih bahwa besok akan tahu. Andaikan mau ngeprank aku lagi, sungguh, itu sangat menyebalkan. Sifat buruk dari mas Umair yang ingin sekali aku musnahkan dari dirinya. Baru memejamkan mata sebentar, tiba-tiba aku dibuat terkejut hingga mataku terbe
"Cepat ya, Dek, pagi ini mendadak kita harus balik ke kota." Mas Umair beranjak dari tempat duduknya. Meninggalkan kami yang masih sibuk dengan sarapan masing-masing. Aku yang masih menyisakan setengah dari sarapanku akhirnya dengan kecepatan kilat ku habiskan segera. Mengingat kebiasaan super cepat yang dilakukan mas Umair jika ingin bepergian, apalagi mendadak seperti ini, kalau aku lama yang ada aku bakal ditinggal olehnya. "Pelan-pelan aja," kata umi yang melihatku begitu lahap menghabiskan nasi goreng di piringku. "Iya, Mi," balasku namun tetap saja aku dengan cepat menyuapi satu persatu mulutku. Setelah selesai dan meneguk habis segelas air putih milikku, tentu saja dengan kekuatan super kilat aku pun menyusul mas Umair ke kamar. Ternyata kudapati mas Umair sudah rapi dan siap berangkat. Syukurlah kakiku sudah tak terlalu terasa sakit, jadi kembali ku keluarkan jurus kilatku untuk bersiap agar tak ditinggal mas Umair nantinya. Mas Umair sendiri sudah lebih dulu keluar kamar
"Mas kotaknya!" teriakku pada mas Umair yang akan masuk ke rumah."Ntar aja, ini lebih penting!" balasnya sambil berlalu begitu saja. Lagi-lagi aku dibuat heran dengan sikap suamiku itu. Apa pemikirannya berubah begitu cepat, yang tadinya menganggap kotak ini penting, dan sekarang dengan entengnya ia meninggalkannya begitu saja seperti tak takut jika diambil orang. Dengan terpaksa aku pun membawa kotak tersebut masuk ke dalam rumah menyusul mas Umair. Namun, sesampainya aku di dalam tak ku temui sosok lelaki berstatus suamiku itu. Dimana mas Umair? "Mas?" teriakku memanggil mas Umair guna memastikan keberadaannya. "Mas Umair!" ku ulangi lagi karena belum terdengar respon dari si pemilik nama. "Astagfirullah, kemana, sih, mas Umair!" gerutuku yang tak kunjung mendapat petunjuk. Secepat itukah suamiku itu menghilang, tapi kenapa harus menghilang? Sekalipun ia cerdas, ku pikir jika menghadapi penjahat pasti ia mampu menaklukkannya. Tiba-tiba terdengar suara kran yang menyala dari a
Astagfirullah, mendadak lemas diriku jika mengingat-ingat lagi selama perjalananku tadi. Dari rumah, sampai di rumah mama, sampai di rumah mas Umair yang ini. Meski tak begitu banyak bertemu orang, tapi pasti ada yang tak sengaja melihatku. Aduh. Aku juga merasa bersalah dengan mas Umair, karena sudah salah sangka terhadapnya. Tapi, kalau harus minta maaf, sejujurnya aku malu jika harus berkata jika aku salah menduga dirinya mengajak untuk menuntaskan keinginannya. Aish. "Astagfirullah!" aku terlonjak kaget karena tiba-tiba suara ketukan pintu dari luar. Pasti mas Umair. "Sebentar, Mas!" kataku dari dalam kamar mandi. Tak ada balasan, suasana dalam kamar mandi kembali hening. Duh, mendadak jadi horor. Aish, kenapa juga suamiku itu tidak menyahut walaupun sekedar basa basi. Setelah menyelesaikan masalahku di dalam kamar mandi, aku pun bergegas kembali menyusul mas Umair di ruang tengah. Namun, tak ku temukan dirinya, bahkan di berbagai sudut ruangan rumah ini pun tak terlihat bata
"Tapi .... " Mama menggantungkan ucapannya. "Apa?" tanya mas Umair. Aku dan mas Umair menunggu kelanjutan cerita dari mama. Jatungku sendiri mendadak berdegup lebih kencang menanti jawaban mama. "Mama tidak sendirian dalam melakukannya," kata mama yang membuatku semakin tak sabaran mendengarnya. Mama menatapku. "Ayahmu juga terlibat!"Aku semakin terkejut mendengar penuturan mama barusan. Jadi, kecelakaan ibuku waktu itu memang sudah direncanakan. Bahkan, ayahku sendiri termasuk pelaku dibaliknya. Tiba-tiba aku teringat kembali dimana saat itu ayah mengajakku ke sebuah toko tak jauh dari tempat kecelakaan ibu kandungku. Ternyata ini alasannya, karena saat aku dan ayah sedang berada di toko tersebut, tiba-tiba sebuah truk dengan muatan penuh menabrak mobil kami yang dimana ada ibu di dalamnya sedang menungguku dan ayah. Padahal jelas-jelas saat itu kami sudah memarkirkan mobil milik kami di tepi jalan. Pantas saja, setelah kejadian kecelakaan itu ayah bersikukuh untuk tidak melan
Beberapa hari berlalu, kini keadaan hatiku maupun fisikku mulai membaik setelah mendapat pengakuan dari mama. Entah, pernyataan itu sebuah kebenaran atau tidak, yang jelas membuat batin ini teriris amat pedih. Masih ada rasa tak menyangka jika benar adanya ayahku berbuat demikian pada ibuku. Astagfirullah. Ku buyarkan lamunanku dan melawan rasa malas yang beberapa hari terakhir merasuki tubuh ini. Tentang pengakuan mama, mas Umair berjanji akan mencarikan jalan keluarnya untukku bertindak selanjutnya. Sekarang, saatnya aku harus bersiap karena mas Umair akan mengajakku ke suatu tempat hari ini. Katanya, itung-itung sebagai obat cuci mata untukku. "Kamu sudah cek ponselmu?" tiba-tiba mas Umair masuk ke kamar. Mengagetkanku yang tengah berdandan. "Apa? WA?" tanyaku sembari menyempurnakan tatanan jilbabku."Bukan."Dalam sekejap ku hentikan aktivitasku lalu tersenyum sumringah karena mendengar jawaban mas Umair barusan. Aku mengerti maksudnya jika bukan aplikasi hijau yang ia tujukan,
#SKDYpart 120 TamatPetang sudah menjelang, matahari hampir turun ke peraduan dan Mas Umair baru saja sampai ke rumah dengan Mas Bima yang seraya pulang bersama Mbak Sinta. Setelah selesai sholat maghrib, mendadak pintu rumah kami diketuk dan seseorang yang datang, mengejutkan aku serta Mas Umair seketika.Romi … Benar, lelaki yang sempat menyatakan perasaannya lewat suamiku itu kembali muncul. Ku pikir setelah kepergiannya dari bumi perkemahan waktu itu ia sudah menghilang bersama istrinya. Sebab, semenjak itu pula lah mas Umair mengaku tidak pernah lagi berkomunikasi. Padahal hubungan kami terbilang baik-baik saja. “Assalamuallaikum … Umair?” Romi mengulas sebuah senyuman di hadapan suamiku.“Waalaikum salam. Oh kamu, Romi? Ayo masuk – masuk! Silahkan masuk,” kata suamiku yang justru terlihat lebih tenang dan santai.“Tidak usah, aku duduk di teras saja.” Romi menolak dan langsung berbalik mencari kursi di teras rumah kami yang langsung menghadap ke pekarangan yang lumayan luas.
#SKDYPart 119 Siapa yang datang? Keluar dari kamar, kami berdua sudah saling bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya, Mbak Sinta yang terus menggandeng tanganku tanpa berniat melepaskannya begitu saja. Meski masih ada jejak air mata di kedua pipi Mbak Sinta. Bisa ku lihat dengan jelas sebuah senyum merekah di bibir kecilnya. Senyuman yang hampir tak pernah ku lihat bahkan semenjak kami bersama dulu. Mas Bima terlihat ikut senang dengan perdamaian antara kami berdua. Begitu pun dengan Mas Umair yang ikut tersenyum dan memperlihatkan ekspresi bangga dengan kebesaran hati yang kuberikan pada Mbak Sinta. Sementara Abi hanya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ secara lirih dan pergi begitu saja keluar rumah diikuti oleh Umi. Entah kenapa mereka melakukannya setelah sempat menyampaikan keinginan mereka agar kami saling memaafkan. Tapi aku enggan memikirkannya untuk saat ini.“Karena semua sudah membaik, bagaimana kalau kalian juga ikut hadir dalam acara aqiqah putri kami hari ini?” Mas Uma
#SKDYPart 119 Memaafkan? Mungkin karena melihat Mbak Sinta yang tak kunjung mendapatkan maaf dari kami, membuat Mas Bima yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Kemudian ikut berlutut di hadapan Abi dan Umi. Kini pria berusia hampir 40 tahun tersebut menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam dan membuat Abi yang awalnya membuang muka, kini mulai menatap wajah Mas Bima.“Abi … Bima sadar, sebagai suami … Bima sudah gagal mendidik istri Bima selama ini, hingga membuat Sinta mampu melakukan hal yang tidak seharusnya.” Mas Bima terlihat menangis sejurus kemudian, mengejutkan kami semua termasuk aku.“Sepertinya, mereka benar – benar sudah menyesal, Dek.” Mas Umair membisiki telingaku.Aku kembali mengernyitkan kening dan melihat ke arah suamiku ini. Kebiasaan mas Umair yang bisa semudah ini untuk memaafkan mbak Sinta dan mas Bima. Setelah semua yang mereka lakukan pada kami?Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Mas Umair kembali berbisik.“Coba kamu tarik nafas dala
#SKDYPart 118 Kemunculan Mbak SintaRahma membuntutiku dari belakang dan beberapa kali mengintip. Sementara aku merasakan jantungku berdegup cukup kuat dan kencang. Perasaan penasaran dan takut kalau kejadian buruk yang lalu terulang kembali, kini mulai merasuk ke dalam benak dan pikiranku. Aku takut, kalau Mbak Sinta datang untuk kembali membuat ulah seperti dulu.Menghancurkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan bersama keluargaku baru – baru ini. Kalau sampai itu terjadi, rasanya aku pasti akan sangat gila dan siap mengamuk di depan perempuan itu. Sumpah serapah juga sudah siap ku lontarkan dari mulutku ini, jika dia menyerukan kata – kata pahitnya lagi. Tak akan ada rasa peduli lagi dengan sikap apa yang akan diperingatkan oleh mas Umair terhadapku. Tak akan ku biarkan acara untuk kebahagiaan putriku dihancurkan oleh kakak tiriku itu. Memang setelah menghilangnya mbak Sinta dulu aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Namun, entah bagaimana perasaan takut dan was-was jika mbak Si
#SKDYPart 117 Beberapa Bulan BerlaluHari pun menjelang siang. Aku dan mas Umair bergegas membereskan semua perlengkapan camping kami. Ya, suamiku itu memutuskan untuk segera pulang. Sebab, bukan hanya Shaka yang menjadi alasan kami tetapi juga paper bag pemberian Romi tadi dimana mas Umair sendiri juga mengungkapkan rasa penasarannya. "Ha ha ha! Penasaran juga 'kan kamu!" batinku sambil melihat mas Umair. Sesampainya di rumah, entah mengapa tiba-tiba aku juga ikut tak sabar untuk melihat isi paperbag pemberian Romi tadi. Begitu juga dengan mas Umair. Suamiku itu bahkan hanya meletakkan barang-barang kami begitu saja di dekat meja. "Alhamdulillah .... " Serentak aku dan mas Umair berucap ketika mengetahui apa yang ada di dalam paperbag tersebut. Benar, di dalam paperbag tersebut berisikan sebuah hexa frame yang berukuran mini yang mana terdapat lampu yang bisa meneranginya jika ditekan pada tombol di salah satu sudutnya. Terlihat sederhana memang tetapi aku tahu maksud dari hexa
#SKDYPart 116 Kehadiran Romi"Mas jangan kayak ginilah. Hanya gara-gara Romi biar terlihat baik-baik aja di hari pernikahannya malah membuat Mas gak bertindak apa-apa. Dia itu kayak Rima lho, Mas. Tolong, jangan diam aja kalau sudah menyangkut rumah tangga kita," tuturku panjang lebar. Berusaha meyakinkan mas Umair agar tidak berserah diri dengan keadaan. "Kamu yang tenang, Dik. Mas ada alasan lain kenapa Mas ambil keputusan ini," kata mas Umair yang membuatku menautkan kedua alisku. Alasan lain? Alasan apalagi ini? "Maksud, Mas?" tanyaku kebingungan. Bukannya menjawab pertanyaanku mas Umair malah melihat kearah jam tangan yang melingkar dj lengan kirinya. "Sudah malam rupanya. Ayo tidur!" kata mas Umair setelah mengetahui waktu yang menunjukkan hampir tengah malam. "Tapi Mas—" dengan cepat mas Umair meletakkan kedua tangannya di sisi bahuku sambil berkata," tidur dulu ya, biar tendanya gak sia-sia." Mas Umair tersenyum lalu masuk ke dalam tenda. Mendengar mas Umair berkata dem
#SKDYPart 115 AncamanNamun, karena mas Umair menyebut nama Shaka, hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan ia katakan sehingga tak ingin anaknya itu tahu.Pikiranku pun tanpa dipaksa mendadak ikut menebak-nebak tentang apa yang akan disampaikan oleh suamiku itu. Jika tentang pekerjaannya rasanya tak mungkin. Jika tentang rasa cintanya terhadapku, bukankah barusan ia mengungkapkannya? Ah, benar-benar aku tak bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada diri mas Umair. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku. "Kamu kenal Romi?" mas Umair menoleh kearahku sebentar. "Romi?" gumamku lalu mengingat-ingat kembali siapa yang dimaksud mas Umair. Beberapa detik kemudian aku pun tersadar dan teringat dengan sosok Romi yang dimaksudkan oleh suamiku itu. Ya, Romi adalah temanku di masa sekolah. Waktu itu memang kami terbilang dekat, namun bukan berarti kami ada hubungan spesial. Kami hanya teman biasa. Kami pun sudah lama tak berkomunikasi. Lebih tepatnya semenjak Romi memutusk
#SKDYPart 114 Sikap Berbeda dari Mas Umair"Emangnya Mas mau ngomongin apa?" perlahan dengan suara pelan aku menoleh kearah suamiku itu. Mas Umair membalas tolehanku. Ia tersenyum kecil sembari berkata," nanti kamu juga tau."Belum sempat aku membalas perkataannya mas Umair sudah melangkahkan kakinya menuju mobil. Mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan camping hari ini. Sedangkan aku masih terdiam di tempat dan mencoba mencerna apa saja yang dikatakan mas Umair sebelumnya. ***Sembari menikmati suasana malam yang teramat dingin aku dan mas Umair menyantap makanan yang kami beli di warung makan yang memang berada di sini. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku sembari menyiapkan peralatan makan yang sudah kami bawa dari rumah. "Makan dulu, ya," kata mas Umair menoleh kearahku lalu kembali memandangi bintang-bintang di atas sana. "Selalu begitu," gerutuku. Meski agak kesal karena masih dibuat penasaran, tetapi mau bagaimana lagi? Sebab memang begitulah tabiat suamiku itu. Awalnya a
#SKDYPart 113 Ke Suatu TempatNamun, sedetik setelah menutup pintu kamar tidur langkahku langsung terhenti. Aku terdiam tepat di depan pintu dan menyadari sesuatu hal yang membuatku beristighfar sembari mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. "Astaghfirullah," ucapku kesal pada diriku sendiri. Dengan langkah malas sembari menahan malu akhirnya aku berbalik badan kembali ke kamar. Sebab, ternyata tanpa ku sadari kalau sebetulnya waktu sudahlah gelap. Bahkan saat sudah membuka pintu kamar netraku langsung tertuju pada jam dinding yang berada di ruang kamar tidur. Memastikan apakah kegelapan yang ku lihat benar adanya. Dan ternyata memang begitu keadaannya. "Tau 'kan jam berapa?" tanya mas Umair yang melihatku kembali masuk ke dalam kamar. "Iya, Mas, maaf," kataku sembari menghampiri suamiku. Sekarang aku sadar mengapa mas Umair menyuruhku melepas gamis yang ia berikan tadi. Karena memang waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam tentu diwaktu seperti ini ka