"Tapi .... " Mama menggantungkan ucapannya. "Apa?" tanya mas Umair. Aku dan mas Umair menunggu kelanjutan cerita dari mama. Jatungku sendiri mendadak berdegup lebih kencang menanti jawaban mama. "Mama tidak sendirian dalam melakukannya," kata mama yang membuatku semakin tak sabaran mendengarnya. Mama menatapku. "Ayahmu juga terlibat!"Aku semakin terkejut mendengar penuturan mama barusan. Jadi, kecelakaan ibuku waktu itu memang sudah direncanakan. Bahkan, ayahku sendiri termasuk pelaku dibaliknya. Tiba-tiba aku teringat kembali dimana saat itu ayah mengajakku ke sebuah toko tak jauh dari tempat kecelakaan ibu kandungku. Ternyata ini alasannya, karena saat aku dan ayah sedang berada di toko tersebut, tiba-tiba sebuah truk dengan muatan penuh menabrak mobil kami yang dimana ada ibu di dalamnya sedang menungguku dan ayah. Padahal jelas-jelas saat itu kami sudah memarkirkan mobil milik kami di tepi jalan. Pantas saja, setelah kejadian kecelakaan itu ayah bersikukuh untuk tidak melan
Beberapa hari berlalu, kini keadaan hatiku maupun fisikku mulai membaik setelah mendapat pengakuan dari mama. Entah, pernyataan itu sebuah kebenaran atau tidak, yang jelas membuat batin ini teriris amat pedih. Masih ada rasa tak menyangka jika benar adanya ayahku berbuat demikian pada ibuku. Astagfirullah. Ku buyarkan lamunanku dan melawan rasa malas yang beberapa hari terakhir merasuki tubuh ini. Tentang pengakuan mama, mas Umair berjanji akan mencarikan jalan keluarnya untukku bertindak selanjutnya. Sekarang, saatnya aku harus bersiap karena mas Umair akan mengajakku ke suatu tempat hari ini. Katanya, itung-itung sebagai obat cuci mata untukku. "Kamu sudah cek ponselmu?" tiba-tiba mas Umair masuk ke kamar. Mengagetkanku yang tengah berdandan. "Apa? WA?" tanyaku sembari menyempurnakan tatanan jilbabku."Bukan."Dalam sekejap ku hentikan aktivitasku lalu tersenyum sumringah karena mendengar jawaban mas Umair barusan. Aku mengerti maksudnya jika bukan aplikasi hijau yang ia tujukan,
Setelah cukup lama menunggu akhirnya seorang wanita paruh baya keluar menyambut kami. Ia pun mempersilakan aku dan mas Umair untuk duduk di ruang tamu. Kemudian datanglah seorang lelaki yang ku perkiraan usianya tak jauh dari wanita tersebut. Kata mas Umair, lelaki itu adalah suaminya. Wanita bernama Sri atau yang biasa dipanggil bu Sri itu pun masuk ke dalam dan kembali dengan membawa minuman hangat serta beberapa makanan ringan untuk kami. Kemudian lelaki yang berstatus suami bude Sri ini memperkenalkan diri bahwa dirinya bernama Harto atau biasa dipanggil pak Harto.Setelah berbincang-bincang cukup lama, akhirnya aku mengerti tujuan mas Umair mengajakku ke sini. Yakni mas Umair menyerahkan kotak yang diberikan bi Iyem waktu itu. Meski sebenarnya bingung kenapa mas Umair menyerahkan kotak tersebut yang katanya milik abi, tetapi aku memilih diam terlebih dahulu dan mengikuti alur yang ada.Rupanya, pak Harso adalah adik kandung dari bi Iyem. Aku jadi teringat, dulu bi Iyem pernah b
Mas Umair lalu meletakkan ponselnya. Ia melihat kearahku dengan tatapan yang serius. Mendadak aku jadi salah tingkah dibuatnya. Mau apa lagi suamiku ini, selalu saja begitu, setiap diberi pertanyaan tak langsung menjawab malah bertingkah yang aneh-aneh. Huh. "Isi kotak itu ..... " Mas Umair menggantungkan ucapannya yang membuatku semakin penasaran. Bahkan jatungku mendadak berdebar kencang menunggu kelanjutan jawabannya. Aish, lama sekali rasanya. Ku tatap wajah suamiku penuh asa dengan harapan ia bisa memberikan jawaban sesuai keinginanku. "Apa Mas?" aku kembali bertanya. Sudah seperti di sinetron saja, lama dan digantung. Haduh. Mas Umair lalu memalingkan wajahnya. Sontak raut wajahnya berusaha lesu. "Mas ... sebenarnya juga gak tau apa isinya."Arrgh, aku lemas seketika dan menyandarkan badanku pada sandaran tempat tidur kami. Astagfirullah suamiku ini, gemas bin kesal rasanya. Awal sudah membuat situasi tegang, tapi ujungnya malah seperti ini. Menyebalkan. "Kamu kenapa, Dek?"
"Kalian ku gratisin menginap di sini!!" teriak Hendra yang membuat mas Umair memalingkan wajahnya disertai senyuman juga mengacungkan jempol kanannya. Aku tercengang melihat apa yang dilakukan suamiku ini. Apa dia menerima yang dikatakan Hendra barusan? Duh, mas Umair, mau ditaruh dimana muka ini. Aish.Selepas sarapan namun lebih tepatnya makan menjelang siang, kami pun melanjutkan perjalanan. Sepeda motor mas Umair kembali melaju menyusuri jalanan dengan pemandangan yang begitu indah nan menyejukkan. Tapi, aku sedikit heran karena seingatku jalanan yang kami lewati ini adalah jalan menuju pulang. "Kita mau pulang Mas?" tanyaku di tengah perjalanan. "Enggak, ikuti aja dulu," balas mas Umair. Kalau sudah begini, aku bisa apa? Ku ikuti saja kata suamiku ini, toh pasti semuanya sudah dalam perencanaannya.Tak ingin memikirkan hal yang jelas aku tak tahu apa itu, aku memilih kembali diam dan menikmati perjalanan. Tak lupa ku kencangkan tanganku yang melingkar pada pinggang suamiku ini
Dan kejadian sebelum kami meninggalkan tempat penginapan tadi pagi pun terulang lagi. Mas Umair terjebak dengan obrolan yang amat panjang dengan Hendra. Aku sampai heran dengan suamiku ini. Disetiap obrolannya dengan Hendra, pasti Hendra menyematkan kata-kata entah penghinaan yang ditujukan pada kami ataupun ia memamerkan barang miliknya yang katanya mahal, tetapi respon mas Umair hanya tersenyum dan sesekali menanggapinya, namun masih dengan keadaan tenang.Sebenarnya apa dirinya tidak merasa sakit hati setiap hinaan dilontarkan pada dirinya? Aku saja baru melihat orangnya sudah kepengen memelempar batu lantas melarikan diri. "Kamu itu sudah beristri Mair, harusnya lebih maju dikitlah, kasihan istrimu," kata Hendra pada mas Umair. Sok bijak sekali satu orang ini."Rejeki 'kan sudah diatur, aku juga sudah banyak berusaha, tinggal Allah maunya gimana," balas mas Umair yang terdengar sangat bijak. Tidak seperti lawan bicaranya. "Gimana k
"Dasar pengecut! Pembohong!" mendengar teriakan dari Yanti membuatku menghentikan langkah seketika. Tak terima mendapat cercaan seperti itu, aku putuskan untuk kembali ke tempat dimana Yanti dan suaminya berada. Tak bisa dibiarkan, mereka harus mendapat balasan dariku, apalagi karena teriakannya barusan menjadikanku pusat perhatian setiap pasang mata. Mas Umair terlihat bingung kala aku melewatinya. Gegas, ia pun menyusulku lagi kearah orang yang mengaku sebagai temannya itu. "Apa kamu bilang?" aku berkacak pinggang di depan Yanti dan hendra. "Dek, sudahlah, ayo pulang saja," kata mas Umair yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahku. Ia berusaha menarik lenganku untuk pulang, namun dengan cepat aku melepaskannya. "Buktikan pada kami, kalau kamu memang benar mampu membeli tasku seharga dua juta," kata Yanti dengan congkahnya. Merasa tertantang aku pun dengan cepat mengeluarkan uang sejumlah yang Yanti minta dan meletakkannya di atas meja."Du-a ju-ta!" ku tunjuk tumpukan lembara
Tok!! Tok!! Tok!! Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar dengan keras. Saking kerasnya membuatku dan mas Umair kaget sebentar. Gegas mas Umair mengganti baju kokonya dengan kaos biasa. Lalu berjalan menuju pintu untuk membukanya. Sementara aku mengekorinya dari belakang. Siapa yang bertamu dengan mengetuk pintu sekeras itu?"Selamat malam." Rupanya ada dua orang laki-laki bertubuh kekar yang menjadi tamu kami malam ini. Aku sendiri tak mengenal siapa mereka, dan mas Umair dari yang ku lihat tatapan matanya menandakan ia juga tak mengenal dua laki-laki di hadapannya. "Malam. Siapa, ya?" tanya mas Umair. Tiba-tiba salah satu diantara laki-laki itu mendorong masuk mas Umair dan membuat suamiku itu jatuh tersungkur. Aku pun refleks ikut berlari mundur seraya berteriak karena ketakutan. "Minggir Saudah!" Mas Umair memerintahkanku untuk menjauh dari kedua laki-laki tak dikenal. Aku pun dengan cepat berlari ke sudut ruangan. Mas Umair sendiri sudah bangkit dari jatuhnya dan bersi
#SKDYpart 120 TamatPetang sudah menjelang, matahari hampir turun ke peraduan dan Mas Umair baru saja sampai ke rumah dengan Mas Bima yang seraya pulang bersama Mbak Sinta. Setelah selesai sholat maghrib, mendadak pintu rumah kami diketuk dan seseorang yang datang, mengejutkan aku serta Mas Umair seketika.Romi … Benar, lelaki yang sempat menyatakan perasaannya lewat suamiku itu kembali muncul. Ku pikir setelah kepergiannya dari bumi perkemahan waktu itu ia sudah menghilang bersama istrinya. Sebab, semenjak itu pula lah mas Umair mengaku tidak pernah lagi berkomunikasi. Padahal hubungan kami terbilang baik-baik saja. “Assalamuallaikum … Umair?” Romi mengulas sebuah senyuman di hadapan suamiku.“Waalaikum salam. Oh kamu, Romi? Ayo masuk – masuk! Silahkan masuk,” kata suamiku yang justru terlihat lebih tenang dan santai.“Tidak usah, aku duduk di teras saja.” Romi menolak dan langsung berbalik mencari kursi di teras rumah kami yang langsung menghadap ke pekarangan yang lumayan luas.
#SKDYPart 119 Siapa yang datang? Keluar dari kamar, kami berdua sudah saling bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya, Mbak Sinta yang terus menggandeng tanganku tanpa berniat melepaskannya begitu saja. Meski masih ada jejak air mata di kedua pipi Mbak Sinta. Bisa ku lihat dengan jelas sebuah senyum merekah di bibir kecilnya. Senyuman yang hampir tak pernah ku lihat bahkan semenjak kami bersama dulu. Mas Bima terlihat ikut senang dengan perdamaian antara kami berdua. Begitu pun dengan Mas Umair yang ikut tersenyum dan memperlihatkan ekspresi bangga dengan kebesaran hati yang kuberikan pada Mbak Sinta. Sementara Abi hanya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ secara lirih dan pergi begitu saja keluar rumah diikuti oleh Umi. Entah kenapa mereka melakukannya setelah sempat menyampaikan keinginan mereka agar kami saling memaafkan. Tapi aku enggan memikirkannya untuk saat ini.“Karena semua sudah membaik, bagaimana kalau kalian juga ikut hadir dalam acara aqiqah putri kami hari ini?” Mas Uma
#SKDYPart 119 Memaafkan? Mungkin karena melihat Mbak Sinta yang tak kunjung mendapatkan maaf dari kami, membuat Mas Bima yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Kemudian ikut berlutut di hadapan Abi dan Umi. Kini pria berusia hampir 40 tahun tersebut menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam dan membuat Abi yang awalnya membuang muka, kini mulai menatap wajah Mas Bima.“Abi … Bima sadar, sebagai suami … Bima sudah gagal mendidik istri Bima selama ini, hingga membuat Sinta mampu melakukan hal yang tidak seharusnya.” Mas Bima terlihat menangis sejurus kemudian, mengejutkan kami semua termasuk aku.“Sepertinya, mereka benar – benar sudah menyesal, Dek.” Mas Umair membisiki telingaku.Aku kembali mengernyitkan kening dan melihat ke arah suamiku ini. Kebiasaan mas Umair yang bisa semudah ini untuk memaafkan mbak Sinta dan mas Bima. Setelah semua yang mereka lakukan pada kami?Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Mas Umair kembali berbisik.“Coba kamu tarik nafas dala
#SKDYPart 118 Kemunculan Mbak SintaRahma membuntutiku dari belakang dan beberapa kali mengintip. Sementara aku merasakan jantungku berdegup cukup kuat dan kencang. Perasaan penasaran dan takut kalau kejadian buruk yang lalu terulang kembali, kini mulai merasuk ke dalam benak dan pikiranku. Aku takut, kalau Mbak Sinta datang untuk kembali membuat ulah seperti dulu.Menghancurkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan bersama keluargaku baru – baru ini. Kalau sampai itu terjadi, rasanya aku pasti akan sangat gila dan siap mengamuk di depan perempuan itu. Sumpah serapah juga sudah siap ku lontarkan dari mulutku ini, jika dia menyerukan kata – kata pahitnya lagi. Tak akan ada rasa peduli lagi dengan sikap apa yang akan diperingatkan oleh mas Umair terhadapku. Tak akan ku biarkan acara untuk kebahagiaan putriku dihancurkan oleh kakak tiriku itu. Memang setelah menghilangnya mbak Sinta dulu aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Namun, entah bagaimana perasaan takut dan was-was jika mbak Si
#SKDYPart 117 Beberapa Bulan BerlaluHari pun menjelang siang. Aku dan mas Umair bergegas membereskan semua perlengkapan camping kami. Ya, suamiku itu memutuskan untuk segera pulang. Sebab, bukan hanya Shaka yang menjadi alasan kami tetapi juga paper bag pemberian Romi tadi dimana mas Umair sendiri juga mengungkapkan rasa penasarannya. "Ha ha ha! Penasaran juga 'kan kamu!" batinku sambil melihat mas Umair. Sesampainya di rumah, entah mengapa tiba-tiba aku juga ikut tak sabar untuk melihat isi paperbag pemberian Romi tadi. Begitu juga dengan mas Umair. Suamiku itu bahkan hanya meletakkan barang-barang kami begitu saja di dekat meja. "Alhamdulillah .... " Serentak aku dan mas Umair berucap ketika mengetahui apa yang ada di dalam paperbag tersebut. Benar, di dalam paperbag tersebut berisikan sebuah hexa frame yang berukuran mini yang mana terdapat lampu yang bisa meneranginya jika ditekan pada tombol di salah satu sudutnya. Terlihat sederhana memang tetapi aku tahu maksud dari hexa
#SKDYPart 116 Kehadiran Romi"Mas jangan kayak ginilah. Hanya gara-gara Romi biar terlihat baik-baik aja di hari pernikahannya malah membuat Mas gak bertindak apa-apa. Dia itu kayak Rima lho, Mas. Tolong, jangan diam aja kalau sudah menyangkut rumah tangga kita," tuturku panjang lebar. Berusaha meyakinkan mas Umair agar tidak berserah diri dengan keadaan. "Kamu yang tenang, Dik. Mas ada alasan lain kenapa Mas ambil keputusan ini," kata mas Umair yang membuatku menautkan kedua alisku. Alasan lain? Alasan apalagi ini? "Maksud, Mas?" tanyaku kebingungan. Bukannya menjawab pertanyaanku mas Umair malah melihat kearah jam tangan yang melingkar dj lengan kirinya. "Sudah malam rupanya. Ayo tidur!" kata mas Umair setelah mengetahui waktu yang menunjukkan hampir tengah malam. "Tapi Mas—" dengan cepat mas Umair meletakkan kedua tangannya di sisi bahuku sambil berkata," tidur dulu ya, biar tendanya gak sia-sia." Mas Umair tersenyum lalu masuk ke dalam tenda. Mendengar mas Umair berkata dem
#SKDYPart 115 AncamanNamun, karena mas Umair menyebut nama Shaka, hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan ia katakan sehingga tak ingin anaknya itu tahu.Pikiranku pun tanpa dipaksa mendadak ikut menebak-nebak tentang apa yang akan disampaikan oleh suamiku itu. Jika tentang pekerjaannya rasanya tak mungkin. Jika tentang rasa cintanya terhadapku, bukankah barusan ia mengungkapkannya? Ah, benar-benar aku tak bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada diri mas Umair. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku. "Kamu kenal Romi?" mas Umair menoleh kearahku sebentar. "Romi?" gumamku lalu mengingat-ingat kembali siapa yang dimaksud mas Umair. Beberapa detik kemudian aku pun tersadar dan teringat dengan sosok Romi yang dimaksudkan oleh suamiku itu. Ya, Romi adalah temanku di masa sekolah. Waktu itu memang kami terbilang dekat, namun bukan berarti kami ada hubungan spesial. Kami hanya teman biasa. Kami pun sudah lama tak berkomunikasi. Lebih tepatnya semenjak Romi memutusk
#SKDYPart 114 Sikap Berbeda dari Mas Umair"Emangnya Mas mau ngomongin apa?" perlahan dengan suara pelan aku menoleh kearah suamiku itu. Mas Umair membalas tolehanku. Ia tersenyum kecil sembari berkata," nanti kamu juga tau."Belum sempat aku membalas perkataannya mas Umair sudah melangkahkan kakinya menuju mobil. Mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan camping hari ini. Sedangkan aku masih terdiam di tempat dan mencoba mencerna apa saja yang dikatakan mas Umair sebelumnya. ***Sembari menikmati suasana malam yang teramat dingin aku dan mas Umair menyantap makanan yang kami beli di warung makan yang memang berada di sini. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku sembari menyiapkan peralatan makan yang sudah kami bawa dari rumah. "Makan dulu, ya," kata mas Umair menoleh kearahku lalu kembali memandangi bintang-bintang di atas sana. "Selalu begitu," gerutuku. Meski agak kesal karena masih dibuat penasaran, tetapi mau bagaimana lagi? Sebab memang begitulah tabiat suamiku itu. Awalnya a
#SKDYPart 113 Ke Suatu TempatNamun, sedetik setelah menutup pintu kamar tidur langkahku langsung terhenti. Aku terdiam tepat di depan pintu dan menyadari sesuatu hal yang membuatku beristighfar sembari mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. "Astaghfirullah," ucapku kesal pada diriku sendiri. Dengan langkah malas sembari menahan malu akhirnya aku berbalik badan kembali ke kamar. Sebab, ternyata tanpa ku sadari kalau sebetulnya waktu sudahlah gelap. Bahkan saat sudah membuka pintu kamar netraku langsung tertuju pada jam dinding yang berada di ruang kamar tidur. Memastikan apakah kegelapan yang ku lihat benar adanya. Dan ternyata memang begitu keadaannya. "Tau 'kan jam berapa?" tanya mas Umair yang melihatku kembali masuk ke dalam kamar. "Iya, Mas, maaf," kataku sembari menghampiri suamiku. Sekarang aku sadar mengapa mas Umair menyuruhku melepas gamis yang ia berikan tadi. Karena memang waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam tentu diwaktu seperti ini ka