Tok!! Tok!! Tok!! Tiba-tiba terdengar ketukan pintu dari luar dengan keras. Saking kerasnya membuatku dan mas Umair kaget sebentar. Gegas mas Umair mengganti baju kokonya dengan kaos biasa. Lalu berjalan menuju pintu untuk membukanya. Sementara aku mengekorinya dari belakang. Siapa yang bertamu dengan mengetuk pintu sekeras itu?"Selamat malam." Rupanya ada dua orang laki-laki bertubuh kekar yang menjadi tamu kami malam ini. Aku sendiri tak mengenal siapa mereka, dan mas Umair dari yang ku lihat tatapan matanya menandakan ia juga tak mengenal dua laki-laki di hadapannya. "Malam. Siapa, ya?" tanya mas Umair. Tiba-tiba salah satu diantara laki-laki itu mendorong masuk mas Umair dan membuat suamiku itu jatuh tersungkur. Aku pun refleks ikut berlari mundur seraya berteriak karena ketakutan. "Minggir Saudah!" Mas Umair memerintahkanku untuk menjauh dari kedua laki-laki tak dikenal. Aku pun dengan cepat berlari ke sudut ruangan. Mas Umair sendiri sudah bangkit dari jatuhnya dan bersi
Part 43 Perjalanan Akhir Usai dari kamar mandi, kesadaranku terasa sudah kembali sepenuhnya. Ku lihat keadaan suamiku juga sepertinya sudah lebih baik. Tapi yang ku herankan saat ku intip ponselku, waktu menunjukkan pukul satu dini hari. Untuk apa ia membangunkanku di jam seperti ini? "Pakai ini." Mas Umair menyodorkan gamis beserta printilannya untukku. Pilihan mas Umair sungguh menyedihkan bagiku, lantaran warna jilbab yang tak senada dengan warna gamis yang ia berikan. Apalagi warna kaos kaki yang cerah dan bermotif penuh. Sangat tidak kontras dengan apa yang akan ku kenakan nanti. Dengan terpaksa aku pun menerima gamis dan printilannya tersebut. Setelah mengganti pakaian lalu aku memasangkan jilbab segi-empatku sembari mendengarkan penjelasan dari mas Umair kenapa ia membangunkanku tengah malam seperti ini. Ternyata saat aku tidur mas Umair sama sekali tidak ikut tidur. Sengaja ia melakukannya karena menunggu waktu yang pas untuk cek out dari penginapan ini. Selain itu ia juga
"Kalau udah longgar, kita beli baju baru buat kondangan ke pernikahan Rani, ya," kata mas Umair lagi. Aku tertegun mendengar perkataannya. Ia seperti menjawab apa yang menyebabkan lamunanku pagi ini. Entahlah, sering kali mas Umair bisa saja berkata yang demikian. Seakan ia tahu isi hatiku. Apa mungkin suamiku bisa membaca isi hati seseorang? Aku tersenyum sebagai tanda membalas perkataan mas Umair. Lalu menerima uluran tangannya yang ia layangkan untukku. Kemudian kami bergegas untuk sarapan bersama sebelum kami berangkat ke kota. Seperti biasanya, hanya umi yang akan mengantar kami ketika hendak berangkat. Meskipun hanya sampai di depan rumah. Lantaran abi sudah lebih dulu ke penggilingan, dan Rahma sudah berangkat ke sekolah. Begitulah ayah mertuaku. Ia tahu betul anak lelakinya takkan pernah marah ataupun tersinggung ketika tak diantar untuk pergi. Sebab, memang sudah terbiasa dengan mas Umair yang pulang pergi seperti ini. "Mas Umair!" tiba-tiba datang bu Menik, salah satu t
Tiga puluh menit berlalu, aku yang tengah bersantai mendadak terkejut kala mas Umair yang tiba-tiba muncul. Jangan-jangan ia akan mengajakku untuk melanjutkan pergi ke rumah mama? Tapi, sebentar lagi akan memasuki waktu sholat maghrib, tidak biasanya ia akan pergi di waktu yang seperti ini. Haduh, bagaimana ini? "Mobil dah selesai. Cuma ada masalah di apa tadi, aku lupa namanya." Mas Umair tersenyum nyengir. "Oya, kamu di rumah aja, aku ke rumah mama sendiri. Assalamualaikum." Mas Umair mengecup keningku sebelum ia meninggalkan tempat. Aku tentu bersorak gembira dalam hati mendengar keputusan mas Umair. Tak perlu ikut ke rumah mama, dan cukup menunggu hasilnya di rumah sambil rebahan. Waktu berlalu, tiba-tiba aku terbangun dari tidurku. Ya, usai makan selepas sholat isya tadi, sambil menunggu pulangnya suamiku, aku memutuskan untuk mengistirahatkan badanku.Ku lihat jam dinding sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tetapi tanda-tanda kepulangan mas Umair belum juga terlihat. Pesan
'Kemana kamu Mas?' batinku yang rasanya ingin menjerit memanggil suamiku. Bu Restu terus memelukku, mencoba menenangkan diriku yang mulai pasrah dengan keadaan. Harus bagaimana lagi untuk menemukan keberadaan suamiku jika ke rumah mama saja aku tak bisa. Kalaupun harus menelepon mama, rasanya itu tak mungkin bagiku. Karena aku sudah memblokir dan menghapus semua nomor keluarga mama.Sekitar lima belas menit kami terdiam. Dan pak Eko masih belum menyalakan mesin mobilnya. Mungkin ia juga sedang memikirkan hal bagaimana kami bisa masuk ke dalam kompleks dengan cara lain. Meski rasanya itu mustahil. "Gak coba telepon mamamu atau saudaramu, Mbak?" tanya bu Restu yang hanya ku jawab dengan gelengan kepala.Bu Restu lantas kembali terdiam tanpa menanyakan hal lebih mengapa aku menjawab demikian. Mungkin bu Restu bisa menangkap apa yang terjadi dibalik masalah yang sedang ku hadapi sekarang. Tiba-tiba aku terpikirkan sesuatu dan kemudian dengan cepat kembali menghampiri pos satpam. Pak Ek
Ku lihat ponselku, dan waktu sudah hampir pukul tiga dini hari. Dan pesan ataupun panggilan untuk mas Umair sama sekali belum ada balasan. Mengingat waktu dan tak mau lebih banyak merepotkan pak Eko dan bu Restu aku pun memilih untuk kembali pulang. Sementara akan ku tenangkan diriku dan mengumpulkan tenaga terlebih dahulu. Sebab selepas terbitnya matahari, aku tahu kepada siapa yang harus ku temui untuk menemukan petunjuk tentang suamiku. ***Pagi ini aku berniat akan menemui seseorang yang ku yakini bisa membantuku untuk menemukan petunjuk tentang mas Umair. Sebab, mas Umair sendiri sama sekali belum merespon pesan-pesan WA atau panggilan dariku sejak tadi malam. "Mbak Saudah?" tiba-tiba bu Restu muncul ketika aku sedang duduk di kursi teras menunggu taksi online yang sudah ku pesan. Aku bangkit mendekati bu Restu yang terlihat sedang kebingungan. "Kenapa Bu?" tanyaku. Bu Restu lalu memperlihatkan isi pesan ponselnya padaku. Aku pun paham apa yang menjadi penyebab kebingungan
Aku celingukan di depan lorong rumah sakit karena ketinggalan jejak mas Bima dan mbak Sinta. Kesal, jelas saja ku rasakan karena itu artinya aku akan kehilangan petunjuk untuk menemukan keberadaan suamiku. "Mbak Saudah." Tepukan sebuah tangan mendarat di bahu kananku, hingga membuatku terlonjak kaget. Tak langsung menoleh pada seseorang yang membuat jantungku mendadak berdebar. Takut-takut jika itu mas Bima atau mbak Sinta. Atau bahkan malah mama. Ku tarik nafas agar aku lebih tenang dan bersiap melarikan diri jika itu orang-orangnya mama. Dan perlahan mulai menengok sosok yang mengagetkanku barusan. "Kamu!" kataku saat ku ketahui orang tersebut bukanlah orangnya mama, melainkan Risa. Sepupu mas Umair yang entah dari garis keturunan mana. Sebab saking banyaknya dari saudara-saudara mertuaku yang masih menjalin hubungan dengan kerabat kedua orang tuanya. Mas Umair sendiri pernah menceritakan silsilah keluarganya. Diawali dari kakek buyut dan nenek buyutnya dari pihak abi. Lalu ada
Mas Umair pun melanjutkan ceritanya. Jadi, yang di kamar pasien tempat kami berdiri tadi adalah kamar dimana Santi dirawat. Entah sakit apa yang ia alami, mas Umair belum mengetahuinya. "Lalu, dimana Joko, Mas?" tanyaku karena sejak tadi mas Umair tak menyinggung hal apapun yang berkaitan dengan Joko. Padahal salah satu tujuan kami ke kota adalah memenuhi tagihan dari bu Menik yang mempertanyakan soal anak bungsunya itu. Mas Umair lalu melanjutkan ceritanya lagi. Ia mengatakan bahwa Joko juga ada di rumah sakit ini. Bahkan selama mas Umair mengawasi, Jokolah yang lebih sering menunggu Santi di ruang rawatnya. Sementara mama dan lainnya entah kemana, mas Umair belum mengetahuinya. "Terus kenapa kamu gak temuin langsung Joko nya, bawa dia pulang," kataku. "Gak semudah itu, Dek. Mas gak bisa bawa Joko begitu saja tanpa mengetahui alasan mama mengajak Joko ke kota. Apalagi ini menyangkut nama baik kita," jelas mas Umair. "Kan kita bisa nanya ke Joko langsung nantinya, Mas Umaaaiiir,"
#SKDYpart 120 TamatPetang sudah menjelang, matahari hampir turun ke peraduan dan Mas Umair baru saja sampai ke rumah dengan Mas Bima yang seraya pulang bersama Mbak Sinta. Setelah selesai sholat maghrib, mendadak pintu rumah kami diketuk dan seseorang yang datang, mengejutkan aku serta Mas Umair seketika.Romi … Benar, lelaki yang sempat menyatakan perasaannya lewat suamiku itu kembali muncul. Ku pikir setelah kepergiannya dari bumi perkemahan waktu itu ia sudah menghilang bersama istrinya. Sebab, semenjak itu pula lah mas Umair mengaku tidak pernah lagi berkomunikasi. Padahal hubungan kami terbilang baik-baik saja. “Assalamuallaikum … Umair?” Romi mengulas sebuah senyuman di hadapan suamiku.“Waalaikum salam. Oh kamu, Romi? Ayo masuk – masuk! Silahkan masuk,” kata suamiku yang justru terlihat lebih tenang dan santai.“Tidak usah, aku duduk di teras saja.” Romi menolak dan langsung berbalik mencari kursi di teras rumah kami yang langsung menghadap ke pekarangan yang lumayan luas.
#SKDYPart 119 Siapa yang datang? Keluar dari kamar, kami berdua sudah saling bergandengan tangan. Atau lebih tepatnya, Mbak Sinta yang terus menggandeng tanganku tanpa berniat melepaskannya begitu saja. Meski masih ada jejak air mata di kedua pipi Mbak Sinta. Bisa ku lihat dengan jelas sebuah senyum merekah di bibir kecilnya. Senyuman yang hampir tak pernah ku lihat bahkan semenjak kami bersama dulu. Mas Bima terlihat ikut senang dengan perdamaian antara kami berdua. Begitu pun dengan Mas Umair yang ikut tersenyum dan memperlihatkan ekspresi bangga dengan kebesaran hati yang kuberikan pada Mbak Sinta. Sementara Abi hanya mengucapkan kata ‘Alhamdulillah’ secara lirih dan pergi begitu saja keluar rumah diikuti oleh Umi. Entah kenapa mereka melakukannya setelah sempat menyampaikan keinginan mereka agar kami saling memaafkan. Tapi aku enggan memikirkannya untuk saat ini.“Karena semua sudah membaik, bagaimana kalau kalian juga ikut hadir dalam acara aqiqah putri kami hari ini?” Mas Uma
#SKDYPart 119 Memaafkan? Mungkin karena melihat Mbak Sinta yang tak kunjung mendapatkan maaf dari kami, membuat Mas Bima yang sejak tadi hanya diam dan menundukkan kepala. Kemudian ikut berlutut di hadapan Abi dan Umi. Kini pria berusia hampir 40 tahun tersebut menunjukkan ekspresi kesedihan yang begitu dalam dan membuat Abi yang awalnya membuang muka, kini mulai menatap wajah Mas Bima.“Abi … Bima sadar, sebagai suami … Bima sudah gagal mendidik istri Bima selama ini, hingga membuat Sinta mampu melakukan hal yang tidak seharusnya.” Mas Bima terlihat menangis sejurus kemudian, mengejutkan kami semua termasuk aku.“Sepertinya, mereka benar – benar sudah menyesal, Dek.” Mas Umair membisiki telingaku.Aku kembali mengernyitkan kening dan melihat ke arah suamiku ini. Kebiasaan mas Umair yang bisa semudah ini untuk memaafkan mbak Sinta dan mas Bima. Setelah semua yang mereka lakukan pada kami?Seolah mengerti dengan jalan pikiranku, Mas Umair kembali berbisik.“Coba kamu tarik nafas dala
#SKDYPart 118 Kemunculan Mbak SintaRahma membuntutiku dari belakang dan beberapa kali mengintip. Sementara aku merasakan jantungku berdegup cukup kuat dan kencang. Perasaan penasaran dan takut kalau kejadian buruk yang lalu terulang kembali, kini mulai merasuk ke dalam benak dan pikiranku. Aku takut, kalau Mbak Sinta datang untuk kembali membuat ulah seperti dulu.Menghancurkan kebahagiaan yang sedang ku rasakan bersama keluargaku baru – baru ini. Kalau sampai itu terjadi, rasanya aku pasti akan sangat gila dan siap mengamuk di depan perempuan itu. Sumpah serapah juga sudah siap ku lontarkan dari mulutku ini, jika dia menyerukan kata – kata pahitnya lagi. Tak akan ada rasa peduli lagi dengan sikap apa yang akan diperingatkan oleh mas Umair terhadapku. Tak akan ku biarkan acara untuk kebahagiaan putriku dihancurkan oleh kakak tiriku itu. Memang setelah menghilangnya mbak Sinta dulu aku sudah memaafkan semua kesalahannya. Namun, entah bagaimana perasaan takut dan was-was jika mbak Si
#SKDYPart 117 Beberapa Bulan BerlaluHari pun menjelang siang. Aku dan mas Umair bergegas membereskan semua perlengkapan camping kami. Ya, suamiku itu memutuskan untuk segera pulang. Sebab, bukan hanya Shaka yang menjadi alasan kami tetapi juga paper bag pemberian Romi tadi dimana mas Umair sendiri juga mengungkapkan rasa penasarannya. "Ha ha ha! Penasaran juga 'kan kamu!" batinku sambil melihat mas Umair. Sesampainya di rumah, entah mengapa tiba-tiba aku juga ikut tak sabar untuk melihat isi paperbag pemberian Romi tadi. Begitu juga dengan mas Umair. Suamiku itu bahkan hanya meletakkan barang-barang kami begitu saja di dekat meja. "Alhamdulillah .... " Serentak aku dan mas Umair berucap ketika mengetahui apa yang ada di dalam paperbag tersebut. Benar, di dalam paperbag tersebut berisikan sebuah hexa frame yang berukuran mini yang mana terdapat lampu yang bisa meneranginya jika ditekan pada tombol di salah satu sudutnya. Terlihat sederhana memang tetapi aku tahu maksud dari hexa
#SKDYPart 116 Kehadiran Romi"Mas jangan kayak ginilah. Hanya gara-gara Romi biar terlihat baik-baik aja di hari pernikahannya malah membuat Mas gak bertindak apa-apa. Dia itu kayak Rima lho, Mas. Tolong, jangan diam aja kalau sudah menyangkut rumah tangga kita," tuturku panjang lebar. Berusaha meyakinkan mas Umair agar tidak berserah diri dengan keadaan. "Kamu yang tenang, Dik. Mas ada alasan lain kenapa Mas ambil keputusan ini," kata mas Umair yang membuatku menautkan kedua alisku. Alasan lain? Alasan apalagi ini? "Maksud, Mas?" tanyaku kebingungan. Bukannya menjawab pertanyaanku mas Umair malah melihat kearah jam tangan yang melingkar dj lengan kirinya. "Sudah malam rupanya. Ayo tidur!" kata mas Umair setelah mengetahui waktu yang menunjukkan hampir tengah malam. "Tapi Mas—" dengan cepat mas Umair meletakkan kedua tangannya di sisi bahuku sambil berkata," tidur dulu ya, biar tendanya gak sia-sia." Mas Umair tersenyum lalu masuk ke dalam tenda. Mendengar mas Umair berkata dem
#SKDYPart 115 AncamanNamun, karena mas Umair menyebut nama Shaka, hal itu membuatku semakin penasaran dengan apa yang akan ia katakan sehingga tak ingin anaknya itu tahu.Pikiranku pun tanpa dipaksa mendadak ikut menebak-nebak tentang apa yang akan disampaikan oleh suamiku itu. Jika tentang pekerjaannya rasanya tak mungkin. Jika tentang rasa cintanya terhadapku, bukankah barusan ia mengungkapkannya? Ah, benar-benar aku tak bisa mengira-ngira apa yang sebenarnya terjadi pada diri mas Umair. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku. "Kamu kenal Romi?" mas Umair menoleh kearahku sebentar. "Romi?" gumamku lalu mengingat-ingat kembali siapa yang dimaksud mas Umair. Beberapa detik kemudian aku pun tersadar dan teringat dengan sosok Romi yang dimaksudkan oleh suamiku itu. Ya, Romi adalah temanku di masa sekolah. Waktu itu memang kami terbilang dekat, namun bukan berarti kami ada hubungan spesial. Kami hanya teman biasa. Kami pun sudah lama tak berkomunikasi. Lebih tepatnya semenjak Romi memutusk
#SKDYPart 114 Sikap Berbeda dari Mas Umair"Emangnya Mas mau ngomongin apa?" perlahan dengan suara pelan aku menoleh kearah suamiku itu. Mas Umair membalas tolehanku. Ia tersenyum kecil sembari berkata," nanti kamu juga tau."Belum sempat aku membalas perkataannya mas Umair sudah melangkahkan kakinya menuju mobil. Mempersiapkan segala sesuatu untuk kegiatan camping hari ini. Sedangkan aku masih terdiam di tempat dan mencoba mencerna apa saja yang dikatakan mas Umair sebelumnya. ***Sembari menikmati suasana malam yang teramat dingin aku dan mas Umair menyantap makanan yang kami beli di warung makan yang memang berada di sini. "Mas mau ngomong apa?" tanyaku sembari menyiapkan peralatan makan yang sudah kami bawa dari rumah. "Makan dulu, ya," kata mas Umair menoleh kearahku lalu kembali memandangi bintang-bintang di atas sana. "Selalu begitu," gerutuku. Meski agak kesal karena masih dibuat penasaran, tetapi mau bagaimana lagi? Sebab memang begitulah tabiat suamiku itu. Awalnya a
#SKDYPart 113 Ke Suatu TempatNamun, sedetik setelah menutup pintu kamar tidur langkahku langsung terhenti. Aku terdiam tepat di depan pintu dan menyadari sesuatu hal yang membuatku beristighfar sembari mengusap wajahku dengan kedua telapak tanganku. "Astaghfirullah," ucapku kesal pada diriku sendiri. Dengan langkah malas sembari menahan malu akhirnya aku berbalik badan kembali ke kamar. Sebab, ternyata tanpa ku sadari kalau sebetulnya waktu sudahlah gelap. Bahkan saat sudah membuka pintu kamar netraku langsung tertuju pada jam dinding yang berada di ruang kamar tidur. Memastikan apakah kegelapan yang ku lihat benar adanya. Dan ternyata memang begitu keadaannya. "Tau 'kan jam berapa?" tanya mas Umair yang melihatku kembali masuk ke dalam kamar. "Iya, Mas, maaf," kataku sembari menghampiri suamiku. Sekarang aku sadar mengapa mas Umair menyuruhku melepas gamis yang ia berikan tadi. Karena memang waktu yang sudah menunjukkan hampir pukul sembilan malam tentu diwaktu seperti ini ka