“Bukannya kemarin aku bilang akan menemuimu di sini, Arum,” ujar Danu.
Arum membisu di tempatnya. Jadi kedatangan Danu kali ini berhubungan dengan ucapannya di depan kafe tempo hari. Sama sekali tidak membahas tentang kerja samanya dengan Anjani.
“Eng ... maaf, Mas. Aku ... aku lupa.”
Danu tersenyum datar sambil memperhatikan penampilan Arum. Kali ini penampilan Arum memang sedikit berantakan. Rambut hitam legamnya diikat acak dan dikait dengan sebuah tusuk konde ke puncak kepala. Sementara blus satin warna lembayung yang ia kenakan sudah ia gulung setengah bagian lengannya untuk memudahkan pergerakan.
“Apa bosmu yang meminta lembur?” Kembali Danu bersuara dan Arum bisa menebak kalau Danu masih menganggapnya pramuniaga di sini.
“Eh ... iya, ehmm ... tidak. Akh ... maksudku Nona Anjani tidak memintaku lembur. Aku saja yang mengajukan diri membantunya.”
Danu tidak berkomentar dan menganggukkan ke
“Tuan ingin rujuk dengan Nyonya?” tanya Budi.Alih-alih menjawab pertanyaan Danu, Budi malah balik bertanya. Danu terlihat kesal, menatap Budi dengan tajam melalui kaca spion. Tentu saja reaksi Danu itu terlihat jelas oleh Budi. Asisten Danu itu tampak serba salah kali ini.“Saya rasa hampir mirip dengan persyaratan menikah, Tuan. Saya bisa mengurusnya dengan cepat. Kapan Tuan ingin rujuk dengan Nyonya?”Seketika mata Danu terbelalak dan sontak memalingkan wajah sambil bersuara dengan keras. “Enggak. Siapa juga yang mau rujuk?”Budi hanya manggut-manggut dan merasa bersalah sudah bertanya seperti itu. Asisten Danu itu kembali konsentrasi ke lalu lintas di depannya. Sementara Danu terlihat melamun lagi kali ini.“Mana mungkin dia mau rujuk denganku. Aku sudah menyakiti hatinya terlalu dalam. Aku sudah menorehkan luka dan aku yakin dia tidak akan memaafkanku,” batin Danu.**Pagi itu baru
“APA!!!” seru Arum.Spontan dia bersuara seperti itu usai mendengar jawaban Danu tadi. Arum sungguh tidak menduga kalau Danu malah memintanya bergabung di perusahaannya. Apa yang sebenarnya sedang ia rencanakan?Arum mengolah udara sambil mengurut dadanya. Dia sangat shock kali ini dan masih belum tahu apa yang harus ia katakan setelahnya.“Nona, kenapa Anda terkejut?” Suara Danu di seberang sana terdengar mengandung kecurigaan.Arum menelan ludah sambil mengatur napasnya. Ia tidak mau Danu curiga nantinya.“Eng ... gak. Maksud saya, saya hanya tidak menduga Anda mengenal karyawan saya tadi.”Danu tidak menjawab hanya menganggukkan kepala sambil mengulum senyum.“Bagaimana kalau dia tidak mau, Tuan?” Tiba-tiba Arum berani mengajukan pertanyaan seperti itu.“Astaga, Nona. Dia hanya bawahan Anda. Anda yang berkuasa, bukan?”Arum membisu dan membenarkan ucapan Danu
“Aku tidak sengaja,” ujar Arum.“Tidak sengaja katamu?” seru Citra.Entah mengapa adik iparnya itu sengaja menaikkan suaranya hingga semua orang yang berlalu lalang di trotoar menoleh ke arah mereka. Arum menarik napas panjang sambil melirik ke arah Nyonya Lani yang masih duduk di trotoar.Arum yakin jika mantan mertuanya tidak mengalami luka serius. Lagi pula dia tidak mendorongnya dengan keras. Dia hanya berusaha melepaskan diri tadi. Namun, bagaimanapun Arum sudah merunduk dan membantu Nyonya Lani berdiri.Namun, bukannya terima kasih dengan tindakan Arum. Malah sebuah tamparan tiba-tiba melayang dengan keras ke pipi Arum.Arum terkejut setengah mati. Spontan Arum memegang pipinya yang sudah tercetak gambar tangan di sana. Sekilas Arum melihat senyuman mengejek keluar dari bibir Citra.“Itu hadiah karena telah berbuat tidak sopan kepada orang tua,” geram Nyonya Lani.Arum membisu, tapi mata pekat
“Lisa!! Apa kamu yang memberitahu nomor ponselku ke Tuan Danu?” seru Arum.Usai membaca pesan masuk yang ternyata dari Danu, Arum gegas menghubungi Lisa. Arum ingat kalau dia tidak pernah memberi nomor ponselnya ke Danu dan kenapa kini mantan suaminya malah bisa menghubunginya?“Maaf, Nona. Tadi Tuan Danu menelepon saat Anda baru saja keluar. Dia bersikeras meminta nomor Anda dan saya terpaksa memberinya.” Terdengar suara Lisa bergetar di seberang sana. Bisa jadi asisten Arum itu tampak ketakutan karena sudah melakukan kesalahan.Arum terdiam sejenak sambil mengatur udara di dadanya. Ia belum mulai mengemudi dan masih berada di dalam mobilnya.“Ya udah, sudah terlanjur mau gimana lagi.” Arum terlihat pasrah kali ini. Memang biasanya, Lisa tidak pernah sembarangan memberi nomor ponsel Arum ke semua orang. Namun, entah mengapa kali ini Lisa begitu mudah memberi nomornya ke Danu.“Jadi ... apa Nona akan datang
“APA KATAMU?” seru Nadia.Budi terdiam sambil berulang menggerakkan jakunnya naik turun, menelan saliva. Sepertinya dia telah melakukan kesalahan kali ini dan Budi yakin Danu akan marah jika sampai tahu.“Eng ... bukan, bukan hanya bertemu dengan mantan istrinya. Namun, Tuan Danu sedang bernegosiasi dengan Nona Anjani kali ini.”Nadia tidak peduli dengan penjelasan Budi kali ini. Ia hanya menyakini jawaban pertama Budi. Wajah Nadia terlihat merah padam dengan kilatan mata yang menyalang. Belum lagi bibir merahnya tampak bergetar usai bersuara tadi.“Sekarang beri tahu aku!! Di mana mereka bertemu?” Kembali Nadia berseru dan terlihat sekali kalau wanita cantik itu sedang berusaha meredam amarahnya.“Nona ... saya takut nanti Tuan Danu –““Kamu mau berikan atau tidak?” Nadia sudah memotong ucapan Budi seraya mencengkram kerah baju pria kurus itu.Budi menghela napas panja
“NADIA!! KAMU APA-APAAN?” seru Danu.Nadia tidak menjawab hanya menatap dengan penuh kebencian ke arah wanita tersebut. Perlahan wanita di depan Danu itu menoleh dan mendongak menatap Nadia. Seketika Nadia terkejut. Matanya melotot dan bibirnya terbuka lebar.“IBU FATMA??? Anda bukan Arum?”Kini ganti Nadia yang tampak terkejut. Matanya terus melotot, jarinya bergetar usai melihat sosok yang baru ia siram dengan minuman itu ternyata bukan Arum.“Iya, saya Bu Fatma, pemilik salah satu stasiun tv swasta. Apa Anda sudah tidak mengenali saya, Nona Nadia?” Wanita paruh baya yang rambut dan bajunya basah semua itu kini bersuara.Nadia langsung menunduk dan terlihat sangat malu.“Ma—maaf, Bu. Saya ... saya pikir tadi bukan Anda. Saya ---““CUKUP!! Pak Danu, rasanya saya batal memakai Nona Nadia di acara tv saya. Saya cari yang lain saja.”Nadia langsung mengangkat
“Apa Nona Anjani memperlakukanmu dengan buruk hingga kamu berkata seperti itu?” tanya Danu.Arum terkejut dengan pertanyaan Danu. Dia lupa kehadirannya di sini bukan sebagai Anjani Maheswari yang berbicara dengan Danu tadi pagi. Pantas saja Danu bertanya seperti itu padanya. Arum gegas menggeleng sambil tersenyum.“Tidak. Malah sebaliknya, beliau sangat baik padaku. Itu sebabnya aku tidak bisa menolak permintaannya kali ini.”Danu hanya manggut-manggut sambil menatap Arum tanpa jeda. Tentu saja ulah mantan suaminya ini membuat Arum kesal. Padahal dia berpenampilan biasa saja kali ini. Sengaja dia hanya mengenakan riasan soft. Rambut hitam legamnya pun dia biarkan terurai ke belakang tanpa menatanya seindah mungkin saat menjadi sosok Anjani. Bahkan dia hanya mengenakan blazer dan celana kain seragam di rumah modenya.Arum memang tidak mau tampil mencolok di pertemuan ini. Namun, mengapa tatapan Danu terus menghujam tajam ke arahnya?
“Itu ... itu bukan mobilku,” ujar Arum.Ia benar-benar kebingungan saat Danu bertanya tentang kepemilikan mobil Rolls Royce. Danu hanya menganggapnya anak buah Anjani bahkan sebagai pramuniaga. Jadi mana mungkin dia bisa punya mobil sebagus dan semewah itu.“Aku tadi mengantar Nona Anjani dan beliau mengizinkan aku membawa mobilnya ke sini. Itu sebabnya aku tidak mau kamu antar. Aku harus menjemput Nona Anjani setelah ini.”Kali ini terpaksa Arum berbohong, sementara Danu hanya diam sambil menatap tajam ke arah Arum. Arum yakin kalau Danu masih terkejut dengan penjelasannya kali ini. Namun, dia tidak peduli. Dia ingin lekas pergi dari sini.“Sejak kapan kamu bisa mengendarai mobil, Arum?” Lagi-lagi Danu bertanya yang membuat Arum kerepotan menjawab.“Eng ... baru saja. Nona Anjani yang mengajariku.”Kembali Arum berbohong, padahal dia sudah terbiasa membawa mobil sejak bercerai dari Danu. Gara-
“Selamat sore, apa benar ini rumah Tuan Burhan?” tanya Tuan Simon.Usai memastikan foto yang sama, sore itu Tuan Simon berkunjung ke rumah keluarga Dokter Sandy. Seorang wanita paruh baya tampak terkejut mendapati kedatangan Tuan Simon. Wanita itu hanya diam tak menjawab sambil menatap Tuan Simon dengan ketakutan.Tuan Simon tersenyum, membungkukkan badan seakan sedang memberi salam.“Jangan takut. Saya hanya ingin bertemu dengan teman saya. Sampaikan pada Tuan Burhan, ada Simon yang mencarinya.”Wanita paruh baya itu tampak ragu. Lagi-lagi ia tidak berkomentar hanya menatap Tuan Simon dengan bingung. Tuan Simon menunggu dengan sabar hingga akhirnya wanita paruh baya itu bersuara.“Tuan Burhan sedang istirahat. Saya … saya tidak berani membangunkannya.”Tuan Simon berdecak sambil menggelengkan kepala.“Sayang sekali … padahal saya datang dari jauh untuk melihat keadaannya.”
“Silakan, Tuan!!” ujar seorang pria.Dia tampak membungkuk sambil memberi jalan seorang pria berkepala plontos masuk ke dalam rumah sakit. Pria itu berjalan menyusuri koridor hingga menuju ruang praktek Dokter Andi. Seorang perawat menyambut pria paruh baya itu dengan ramah.“Selamat pagi, Pak!! Tunggu sebentar, Dokter akan segera memeriksa Anda.”Pak Sudibyo hanya tersenyum menyeringai sambil menatap perawat di depannya dengan tatapan liar. Sementara perawat itu buru-buru menunduk dan berlalu pergi dari ruang periksa. Pak Sudibyo kini sudah duduk di kursi periksa. Mungkin karena faktor usia, banyak giginya yang sering linu dan sakit digunakan untuk mengunyah. Selain itu ada juga yang berlubang dan itu menyulitkannya.Pak Sudibyo sedang asyik memainkan ponselnya saat pintu ruang periksa terbuka. Pak Sudibyo melirik sekilas dan melihat seorang pria mengenakan pakaian dokter masuk. Kali ini pria itu juga mengenakan masker putih. Pak
“PAPA!!! Papa!!!” seru Nyonya Maria.Wajahnya tampak cemas dan sudah berlarian keluar rumah. Lalu kakinya terhenti saat melihat suaminya keluar dari dalam mobil dengan tangan terborgol. Nyonya Maria tercengang, mulutnya terbuka dengan mata terbelalak.“Pa … ,” cicitnya lirih.Tuan Rafael sebenarnya ada di rumah dan hendak melarikan diri, tapi keburu polisi datang ke rumahnya. Lalu ia memilih sembunyi di garasi, tapi malang, malah ketahuan.Salah satu petugas polisi langsung mendatangi Nyonya Maria.“Anda juga harus ikut kami ke kantor, Nyonya. Anda sudah berbohong dan mengelabui petugas.”Mata Nyonya Maria sontak melotot dan tak lama ia sudah jatuh pingsan. Untung saja petugas polisi yang berdiri di depannya sigap menangkap tubuhnya. Hingga wanita paruh baya itu tidak sampai jatuh ke tanah.Sementara Tuan Rafael hanya menatap istrinya dengan sendu. Matanya berkaca dan terlihat penyesalan di w
“Tuan, ini foto Pak Burhan,” ujar Bu Rahayu.Wanita paruh baya itu tampak jalan tergesa keluar rumah menghampiri Tuan Simon. Tuan Simon tersenyum kemudian menerima selembar foto yang baru saja diberikan Bu Rahayu. Tuan Simon tampak diam sambil mengernyitkan alis menatap foto itu dengan seksama.“Apa pria yang berdiri di belakang anak-anak ini, Bu?” tanya Tuan Simon.“Iya, benar sekali, Tuan. Dulu saya punya fotonya yang jelas, tapi sepertinya sudah rusak termakan usia. Hanya itu yang tersisa.”Tuan Simon hanya diam sambil memandang foto yang terlihat usang dan lecek itu. Wajah Pak Burhan sama sekali tidak jelas terlihat. Wajahnya buram, tapi sosok tubuhnya terlihat tegap dan proposional.“Apa boleh saya simpan, Bu?”Bu Rahayu tersenyum sambil mengangguk. “Tentu saja, Pak. Silakan.”Tuan Simon mengangguk dan segera menyimpan foto itu ke dalam tasnya. Tak lama setelahnya dia su
“Mau apa lagi? Bukankah urusanmu sudah beres berpuluh tahun lalu,” ujar Dokter Sandy.Pria berkepala plontos itu tersenyum menyeringai sambil mengurut dagunya. Ia menatap Dokter Sandy dengan sinis dan penuh ejekan.“Jadi begini balas budimu setelah aku menyekolahkanmu hingga menjadi seorang dokter yang sukses?”Dokter Sandy berdecak sambil menggelengkan kepala.“Katakan saja berapa biaya yang kamu keluarkan untuk menyekolahkanku. Aku akan menggantinya.”Sontak pria itu terkekeh mendengar ucapan Dokter Sandy.“Sombong sekali kamu, Sandy. Merasa sudah hebat, ya? Jadi kamu sudah lupa siapa yang selama ini membantu keluargamu. Begitu!!!”Dokter Sandy tidak menjawab hanya diam sambil menatap pria berkepala plontos itu dengan mata berkilatan. Pria bertubuh gempal itu berdiri, berjalan menghampiri Dokter Sandy hingga sejajar di depannya.“Dengar, ya!! Gara-gara kamu, ada yang sedan
“Tuan, makanan ini saya apakan?” tanya Beni.Pria bertubuh tinggi besar itu sudah menunjuk paper bag berisi makanan yang diberikan Nyonya Lani tadi. Danu diam sejenak sambil melirik paper bag tersebut. Sementara hidung Arum tampak mengendus aroma makanan tersebut.“Baunya enak sekali. Aku jadi ingin mencobanya, Mas.”Danu langsung memelotot ke Arum. Arum tampak terkejut, mengernyitkan alis dengan tatapan penuh tanya.“Maaf, Mas. Sejak hamil hidungku sangat sensitive kalau mencium bau sedap seperti ini. Aku jadi laper.”Arum berkata sambil tersenyum meringis.Danu ikut tersenyum sembari mengelus kepala Arum.“Iya, aku tahu. Mungkin itu bawaan ibu hamil. Kamu boleh makan apa saja, tapi jangan masakan Mama Lani.”Arum terlihat semakin bingung mendengarnya. Danu melihat reaksi Arum. Ia tersenyum sekilas sambil mengajak Arum duduk di sofa. Tuan Prada masih terlelap di brankarnya. Ada Ben
“Tuan, saya Beni. Maaf, ini nomor telepon baru saya,” ucap Beni.Danu menghela napas panjang sambil mengusap wajahnya dengan kasar. Ia sudah tegang sekaligus kesal setengah mati.“Ada apa, Ben?”Terdengar helaan napas panjang dari seberang sana.“Tuan … maaf, saya pulang lebih awal dari rumah sakit untuk menyelidiki Nyonya Lani.”Danu mengernyitkan alis, tapi kepalanya sudah mengangguk kali ini.“Lalu … kamu menemukan sesuatu? Dia menemui siapa?”“Belum, Tuan. Hanya saja Nyonya Lani tampak sedang berkemas saat ini. Tidak hanya beliau, putrinya Nona Citra juga sedang sibuk berkemas. Beberapa kali saya melihat mereka memindahkan barang-barang ke sebuah apartemen mewah di pinggir kota.”Danu menganggukkan kepala sambil sibuk menerka di mana lokasi apartemen yang dimaksud.“Papa memang sudah menceraikan Mama Lani. Mungkin itu sebabnya mereka tamp
“Sayang … sudah bangun?” tanya Danu.Ia langsung masuk usai berbincang dengan Budi dan Beni tadi. Arum yang tadi hendak keluar segera duduk di sofa dan hanya tersenyum saat melihat Danu. Kebetulan Art mereka sedang keluar untuk membeli makanan.Danu menggeser duduknya mendekat ke Arum, kemudian mengecup keningnya sekilas.“Kita pulang habis ini. Aku sudah minta Beni berjaga di sini membantu Bibi.”Arum hanya mengangguk sambil tersenyum. Ia melihat Beni dan Budi ikut masuk ke dalam ruangan. Dua orang kepercayaan Danu itu tampak membungkuk memberi salam ke Arum. Arum hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.Arum berharap semoga saja dua orang ini tidak menemukan keterlibatan Tuan Arya pada semua hal yang dilakukan Nyonya Lani. Arum akan sangat kecewa jika itu semua terjadi nantinya.Selang beberapa saat, Arum dan Danu sudah tiba di rumah. Usai makan malam, mereka langsung masuk kamar untuk beristirahat. Sepan
“Baguslah. Aku tunggu di sini.” Danu mengakhiri panggilannya.Ia melirik Arum dan tersenyum saat melihat istrinya masih terlelap. Dengan hati-hati, Danu mengangkat kepala Arum dan meletakkannya di atas bantal. Selanjutnya ia sudah keluar kamar menunggu kedatangan Budi dan Beni di teras.Selang beberapa saat tampak Budi dan Beni mendekat. Dua orang kepercayaan Danu itu tersenyum lebar berjalan mendatangi Danu.“Jadi katakan siapa pelakunya, Bud!!” seru Danu tak sabar.Budi tersenyum, menganggukkan kepala sambil menatap Danu dengan senyum penuh kemenangan.“Anda pasti sangat terkejut begitu tahu siapa orang yang ada di balik semua ini, Tuan,” ucap Budi.Danu mengernyitkan alis menatap Budi dengan penuh tanya. Sementara Beni dan Budi hanya saling pandang dengan senyum lebar.“Baik, kalau begitu katakan siapa dia? Apa Dokter Sandy lagi atau Mama Lani?”Tentu saja Budi dan Beni tampak