Pagi itu, ruang rapat di lantai 20 gedung pencakar langit yang megah di pusat kota terasa begitu tegang. Jendela-jendela besar yang biasanya memamerkan pemandangan kota yang indah kini seolah hanya menjadi bingkai bagi langit yang kelabu, mencerminkan suasana hati para dewan pengawas dan para pemegang saham Elang Group yang berkumpul.
Berita mengejutkan telah mengguncang mereka semua kemarin. Pertemuan mendadak ini segera dicetuskan demi menyelamatkan citra perusahaan yang sudah susah payah dibangun. Skandal menjijikkan yang baru sekali ini terjadi sepanjang sejarah berdirinya Elang Group dan seluruh lini bisnis keluarga Triadmodjo, seolah sedang mempersiapkan badai yang mengancam reputasi mereka. Sebelum video itu terkuak, bisa dipastikan Elang Group adalah salah satu perusahaan yang menopang perekonomian negara, dan dianggap sebagai penyelamat anak-anak bangsa yang kesulitan bersekolah. Direktur mereka, yang secara tidak disangka malah menjadi penghanSenja telah berlalu, suara angin berhembus pelan melalui pepohonan daan sesekali bunyi burung hantu memecah keheningan. Di dalam pondok kayu, Nala dan Sky duduk mengelilingi meja bundar berisi tumpukan dokumen dan buku yang isinya sudah dicoret-coret. Meskipun tampak sedang bersantai, pikiran mereka sibuk dengan segala hal. Sky memikirkan cara cepat membereskan Elang Group tanpa huru-hara dan kegemparan yang berarti, sedangkan Nala membayangkan keluarganya yang sedang menjalani hari-hari yang normal seolah semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk akibat ketiduran saat menonton film aksi. Suasana yang tenang itu segera berubah ketika alat komunikasi mereka mengeluarkan suara. Telpon satelit. “Sky, kau di sana?” suara seorang pria muda terdengar ke segala penjuru ruangan. Nala terperanjat kaget. “Siapa?” tanya wanita itu pada suaminya. Sky memperhatikan Nala, sambil mendengarkan telpon. “Keep, ada apa?”
Bayu duduk di dekat jendela, memandang keluar. Dari apartemen Rose, bocah itu bisa mengintip sedikit lautan kendaraan yang lalu lalang di jalan tol. Sebagian otaknya memikirkan hal lain. Membersihkan kandang kelinci tak pernah seasyik seperti yang dibayangkan. Bayu baru tahu kalau pekerjaan itu adalah yang paling menyenangkan dalam hidupnya setelah terkurung selama seminggu penuh di ruang sempit dan jauh dari mana-mana. Lingkungan tempat tinggalnya juga berisik dengan alat berat. Entah pembangunan apa yang sedang dikerjakan. Setiap saat anak itu ingin mengerjakan soal dari buku yang dipinjamkan Rose, suara riuh dan mengguncang tanah selalu mengganggu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain memakai penyumpal telinga sambil sesekali berteriak mengikuti jalan pikirannya yang kacau. Tapi, tentu saja di depan paman dan pacar pamannya itu, Bayu tidak pernah sedikitpun memperlihatkan rasa sedih atau gundahnya terang-terangan. Ia hanya sesekali me
Nala meregangkan kedua tangannya. Hari sudah sore, dan ia baru bangun. Sementara suaminya masih tidur nyenyak setelah semalaman menyelesaikan pekerjaannya menganalisa laporan keuangan yang baru diberikan Tiger kemarin. Saat itu, Nala mengutuk atasan suaminya itu dalam hati. Kenapa selalu datang sambil membawa dokumen tebal? Bantal yang ia tiduri saja tidak setebal itu. Nala dengan hati-hati turun dari ranjang setelah mengecup pipi Sky dua kali. Ketika pria itu melenguh merasa sesuatu mengganggu mimpi indahnya, Nala memutuskan buru-buru pergi. Bau daging mulai menusuk hidungnya, saat ia keluar dari kamar. Setelah menaiki tangga, Nala melihat sosok Tiger sedang sibuk di depan kompor. Ia tampak memanggang sepotong daging tebal yang sepertinya sudah dibumbui. Begitu menangkap baunya yang sedap, liur Nala nyaris menetes. Tiger menyadari kehadiran seseorang yang sedang memperhatikan dirinya. Sontak, pria itu menoleh dan mendapati Nala menatapny
Blue menarik pemantiknya dan menyalakan sebatang rokok. Ia tak pernah benar-benar menyukai aktivitas merokok sejak dulu. Namun, ia seringkali penasaran bagaimana mungkin Rose tak bisa hidup tanpa menyulut rokok setidaknya dua kali sehari. Padahal, rokok sendiri sering meninggalkan jejak bagi pemiliknya. Cukup berbahaya bagi para agen. Dalam sekali tarikan nafas, Blue terbatuk-batuk. Dengan panik, ia mematikan rokoknya. Pria itu seketika mengetahui kalau kelemahan terbesarnya adalah harus berakting menjadi perokok. “Maaf, membuatmu menunggu.” Sky bergabung dengan Blue. Wajahnya tampak segar seperti baru saja cuci muka. Ia mengenakan jaket dan sepatu lari dan dadanya dibasahi keringat. “Kau lari? Ada ratusan transportasi yang siap mengantarkanmu sampai ke tujuan, tapi kau memilih lari?” Sky tersenyum sinis. “Aku memakai mobil Tiger, kok. Aku hanya ingin lari kecil saja sambil menunggumu. Aku datang dua jam lebi
Anya masih gemetaran. George berada di samping gadis itu sambil sesekali membelai rambutnya lembut. Mereka dalam perjalanan menuju rumah Anya. “Kau yakin sudah siap pulang?” George, dengan logat dan pelafalannya yang masih belum sempurna, membuyarkan lamunan Anya. Anya memperhatikan sorot mata tunangannya yang tampak khawatir. Gadis itu menggeleng pelan, berusaha meyakinkan. “Aku harus pulang, George. Kalau belum mengamuk, aku pasti akan terpuruk terus-terusan.” Senyum tipis George mengembang. “Kau memang spesialis marah-marah, ya.” Anya mengangguk mantap. “Aku harus mengamuk dan memarahi papa. Apa yang dia lakukan benar-benar menjijikkan dan memalukan. Aku sudah tidak bisa lagi mentolerir apa yang sudah ia perbuat. Aku muak, George.” “Tapi kau sudah tahu sejak lama kalau papamu selingkuh, kan? Kenapa kau semarah ini?” “Itu karena aku benar-benar melihatnya. Dari dulu aku memang menduga papa ti
Olivia memangkas dengan hati-hati ranting tanamannya yang kering. Sarung tangannya tampak kotor, bernoda tanah. Sesekali ia mengambil sekop kecil dan menggali tanah dengan kasar. Pikirannya kacau. Karena terlalu bersemangat menggali, sebagian tanah mengenai wajah dan matanya membuatnya terkesiap dan berteriak kecil. Sontak seseorang menghampirinya dengan sigap. “Kau tidak apa-apa?” Olivia menggeleng pelan. Ia menggenggam lengan pria itu, begitu menyadari kalau yang menghampirinya adalah Pak Was. Pak Was membantu meniup mata Olivia dengan hati-hati. Setelah beberapa kali berkedip, Olivia bisa membuka matanya dengan normal. Meskipun bola matanya memerah. “Hentikan aktivitasmu. Biar aku yang menata kebun.” Wanita itu menolak tawaran sekretaris suaminya itu dan kembali berjongkok di depan tanaman. Kali ini, ia cukup berhati-hati menggali. “Semua tanaman itu sensitif, Was. Mereka past
Anya bermaksud menyapa mamanya yang sudah lama tidak ditemui beberapa hari karena ia menginap di rumah tunangannya. Dengan semangat, gadis itu menyelinap dari kamar, berjalan pelan-pelan sambil memperhatikan di mana kira-kira Olivia sedang menghabiskan sorenya.Di taman belakang, Anya bisa melihat bayangan mamanya sedang berbicara dengan seseorang. Ia mengenali suara itu. Pak Was, sekretaris pribadi papanya.Anya menyelinap lebih dekat. Senyumnya mengembang meskipun pipinya memar dan matanya sembab.“Tidak bisakah rencana meracuni Hartono dipercepat?”Langkah kaki Anya terhenti. Seketika gadis itu menahan napas, memastikan apakah benar yang sedang bicara adalah mamanya sendiri.“Seluruh negeri sedang mengolok-olok perilakunya. Pemegang saham lain dan dewan pengawas juga pasti gelisah atas video yang beredar. Seandainya kita bisa memanfaatkan kejadian ini dan berhasil, maka Anya bisa segera dilantik menjadi direktur baru dan pemilik sah saham terbesar di Elang Group. Kau tahu pasti hal
Pukul dua dini hari, angin malam berhembus dingin dan sepi di sekitar pusat perbelanjaan yang megah dan modern. Mall itu berdiri angkuh dengan jendela-jendela kaca besar dan dinding marmer yang berkilau di bawah sinar bulan. Sudah jelas Hartono cukup banyak menaruh minat dalam pembangunan gedung ini.Dua sosok bayangan bergerak dengan lincah dan penuh kehati-hatian, menyelinap di antara bayang-bayang, mencoba tetap tak terlihat dari para penjaga yang sedang berkeliling.“Tiger bilang, kemungkinan ada tiga titik,” bisik Sky pada Blue, begitu mereka sudah mencapai sudut gedung yang gelap. “Kita harus memastikan semuanya.”“Kalau ditemukan, kau yakin akan langsung menjinakkannya?”Sky mengangguk. “Aku tidak ingin mengambil terlalu banyak risiko, Blue. Sekalipun mungkin ada orang lain yang akan selalu memastikan bom itu tetap di sana, kita sebaiknya mencobanya.”Blue mengangguk sambil mengutak-atik tabletnya. “CCTV sudah kubekukan. Kita mulai
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi