Hari itu, tiga orang anak sedang sibuk membersihkan kandang kelinci di halaman belakang sekolah mereka. Pekerjaan ini menjadi rutinitas mereka setiap pulang sekolah. Joana, Aldo, dan Shasti masing-masing sibuk dengan tugasnya. Joana menyapu lantai kandang, Aldo mengganti air minum kelinci, dan Shasti memberikan wortel segar kepada hewan peliharaan sekolah mereka.
"Aduh, kenapa harus kita yang selalu kena giliran membersihkan kandang kelinci ini? Anak-anak jadi malas karena ujian sudah dekat." Aldo tiba-tiba mengeluh, wajahnya menunjukkan rasa tidak puas. "Ini semua ide Bayu. Tapi sekarang dia malah menghilang."Joana yang sedang menyapu, berhenti sejenak dan menatap Aldo dengan kesal."Aldo, bisa nggak sih kita nggak usah bahas Bayu lagi? Yang penting kita selesaikan pekerjaan ini. Kita bantu nenek Shasti."Aldo mendesah, tetapi tidak menjawab. Dia kembali fokus pada pekerjaannya, meski jelas masih kesal. Shasti yang berada di dekat kandang kelinRose dan Nala duduk di dalam mobil, meluncur pelan di jalan berliku menuju pondok mereka setelah mengunjungi Bayu di panti asuhan. Udara segar masuk melalui jendela yang sedikit terbuka, membawa aroma pepohonan yang menenangkan."Bayu terlihat sangat bahagia di sana," kata Rose, memulai percakapan. "Dia benar-benar anak yang luar biasa."Nala tersenyum, meskipun ada sedikit kekhawatiran di matanya. "Iya, dia memang luar biasa. Tapi kadang aku khawatir dia merasa terlalu sendirian. Meskipun dia tampak baik-baik saja, aku tahu dia pasti merindukan rumah."Rose mengangguk, paham dengan perasaan Nala. "Aku yakin Bayu tahu kalau kau sangat mencintainya. Lagipula, anak-anak di panti tampak menyukainya. Dia bahkan sudah seperti guru bagi mereka."Nala tertawa kecil. "Ya, siapa sangka anakku yang masih kecil itu bisa mengajar kalkulus. Kadang aku berpikir dia akan jadi profesor sebelum usianya dua puluh tahun."Rose tertawa juga. "Mungkin saja. T
Nala dan Sky duduk di perapian, menonton berita di televisi dengan penuh perhatian. Layar televisi menampilkan seorang pembawa berita yang membahas keterkaitan Hartono yang menjadi investor dari puluhan klub besar yang di antaranya melegalkan narkoba dan prostitusi. Berita tersebut menjadi sorotan utama di berbagai stasiun televisi, dan malam itu, Nala dan Sky tidak ingin melewatkannya."Sungguh tak bisa dipercaya," gumam Nala, matanya terpaku pada layar. "Olivia luput mengambil langkah."Sky mengangguk setuju, wajahnya serius. "Ya, kita tidak mungkin berhasil melakukannya tanpa bantuan dari menteri pertahanan."Pembawa berita melanjutkan, "Menteri Pertahanan, Rudi, telah menyatakan dukungannya dalam penyelidikan ini. Beliau menegaskan komitmennya untuk bekerja sama dengan pihak berwenang guna menindak tegas semua pihak yang terlibat.""Rudi benar-benar bisa diandalkan," kata Sky dengan nada lega. "Siapa yang menyangka kalau dia rupanya berteman b
Hartono berdiri di depan jendela besar ruang rapat Elang Group, menatap kosong ke luar gedung pencakar langit yang mengelilingi kantornya. Pikirannya kacau, perasaan marah dan frustrasi bergemuruh di dalam dadanya. Hari ini, dia dipanggil untuk menghadapi dewan direksi, yang menuntut pertanggungjawaban atas skandal yang mencemarkan nama baik perusahaan.Pintu ruang rapat terbuka, dan anggota dewan direksi mulai masuk satu per satu. Mereka mengambil tempat duduk, ekspresi wajah mereka serius dan tegang. Hartono berbalik, menyadari bahwa saat yang ditakutinya telah tiba. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri."Selamat pagi, semuanya," sapanya, mencoba terdengar percaya diri meskipun hatinya berdebar kencang.Ketua dewan, Bapak Suryadi, membuka pertemuan dengan suara yang berat. "Hartono, kita semua tahu mengapa kita berkumpul di sini hari ini. Perilaku anda telah mencemarkan nama baik Elang Group. Skandal yang melibatkan anda sebagai inves
Video Hartono sedang mengacungkan pistol di ruang rapat Elang Group telah menjadi viral di internet. Dalam hitungan jam, rekaman tersebut menyebar luas di berbagai platform media sosial, memicu gelombang reaksi dari masyarakat. Orang-orang terkejut, marah, dan banyak yang merasa jijik dengan tindakan Hartono yang dianggap tidak pantas bagi seorang pemimpin perusahaan besar.Di apartemen Rose, Blue sedang menonton berita di televisi. Layar menampilkan cuplikan video Hartono dengan pistolnya, wajahnya memerah oleh amarah dan keputusasaan. Blue menatap layar dengan perasaan campur aduk. Di satu sisi, dia merasa senang karena rencananya mulai menunjukkan hasil. Di sisi lain, dia merasa cemas tentang apa yang mungkin terjadi selanjutnya.Rose masuk ke ruangan dengan secangkir teh di tangan, wajahnya penuh semangat. "Blue, kamu lihat ini?" tanyanya, menunjuk ke layar televisi. "Video Hartono sudah viral! Ini gila!"Blue mengangguk sambil mengambil remote dan mem
Di dalam rumah megah mereka, Olivia dan Hartono sedang berada di ruang tamu yang biasanya menjadi tempat mereka bersantai. Namun, suasana di ruangan tersebut saat ini jauh dari santai. Olivia berdiri dengan wajah merah padam, sementara Hartono duduk di sofa dengan ekspresi marah yang sama."Bagaimana bisa kau melakukan itu, Hartono?!" Olivia memulai dengan suara penuh emosi. "Kau tahu betapa pentingnya rapat itu bagi kita. Kau sudah merusak semuanya dengan kelakuan gilamu!"Hartono mendengus, mencoba untuk tidak terlihat terpengaruh oleh kata-kata istrinya. "Aku tidak punya pilihan lain, Olivia. Mereka memaksaku ke sudut. Mereka ingin aku mundur dan kehilangan segalanya!"Olivia melangkah mendekat, jarinya menunjuk ke arah Hartono dengan penuh tuduhan. "Kau tidak bisa menyelesaikan masalah dengan cara seperti itu. Sekarang semua orang melihatmu sebagai orang gila yang tak bisa dikendalikan. Apa kau tahu seberapa besar dampaknya bagi reputasi kita? Bagi per
Olivia duduk di kursi teras balkon kamarnya, di hadapannya terdapat setumpuk dokumen dan laptop yang menampilkan beberapa situs asuransi. Wajahnya tampak tegang dan penuh dengan kebencian yang membara. Tatapan matanya kosong. Pak Was, berdiri di sebelahnya dengan raut wajah cemas."Kita harus lakukan ini, Was," Olivia berkata tegas, matanya tak berpaling dari layar laptop. "Hartono sudah menghancurkan segalanya. Tidak hanya reputasi kita, tetapi juga masa depan kita. Dia tidak layak hidup lebih lama lagi."Pak Was menghela napas panjang, merasa berat dengan pembicaraan ini. "Olivia, kita sudah berjanji pada Anya untuk tidak menyentuh Hartono. Dia tetap ayahnya, bagaimanapun juga."Olivia menatap Pak Was dengan tajam, kemarahan jelas terlihat di matanya. "Anya tidak tahu betapa besar ancaman Hartono bagi kita semua. Setiap hari dia semakin tidak terkendali. Jika kita tidak bertindak sekarang, kita semua bisa kehilangan segalanya. Lagipula, jika kita melakuk
Keesokan paginya, Hartono dipanggil oleh pihak kepolisian karena kasus klub dan narkoba yang melibatkan namanya. Suasana di sekitar rumahnya begitu sunyi, hanya terdengar suara angin yang berhembus pelan. Polisi telah mengepung area, siap untuk melakukan penangkapan.Di antara para polisi yang bersiap, Rose dan Blue berdiri dengan seragam polisi lengkap, menyamar untuk mengintai dan memastikan bahwa rencana mereka berjalan lancar. Mereka sudah menghabiskan berminggu-minggu merencanakan operasi ini, berharap ini akan menjadi akhir dari kekuasaan Hartono yang licik dan penuh tipu daya.“Ini saatnya,” bisik Blue kepada Rose, matanya tidak lepas dari pintu depan rumah Hartono. “Kita harus memastikan dia tidak bisa kabur kali ini.”Rose mengangguk, merasakan ketegangan yang sama. “Jangan khawatir, Blue. Kita akan memastikan dia tidak bisa lolos. Semuanya sudah diatur.”Saat pintu rumah Hartono terbuka, para polisi segera masuk dan menangkap Hartono den
Tiger memimpin seseorang masuk ke pondok kayu yang tersembunyi di tengah hutan. Malam itu gelap gulita, hanya diterangi cahaya bulan yang samar-samar. Angin malam yang dingin menyelinap di antara pepohonan, menambah kesan misterius tempat tersebut. Nala, Sky, Rose, dan Blue sudah menunggu di dalam pondok.Nala, dengan rambutnya yang panjang tergerai dan wajah yang menunjukkan keheranan, menatap sosok yang baru masuk bersama Tiger."Sarah?" tanyanya, suaranya mengandung nada tak percaya. "Kau Sarah? Mamanya Aldo?"Blue juga sama tak percayanya. Nala dan Blue sempat saling berpandangan.Sarah, dengan tatapan tenang dan penuh keyakinan, hanya tersenyum tipis. "Aku minta maaf karena telah mengejutkanmu, Nala. Secara khusus, Tiger menugaskanku melindungimu dan Blue.""Tapi, kau sudah tinggal lama di kompleks itu. Bukankah sebuah kebetulan kalau kita bertemu?" Nala masih mencoba berpikir keras."Bukan begitu cara kerjanya," tukas Sky.
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi