Apartemen Rose terasa hening ketika Blue melangkah masuk dengan langkah yang berat. Udara di ruangan penuh dengan ketegangan yang terabaikan, dan Blue bisa merasakan beban yang sama beratnya di pundaknya seperti yang dirasakan Rose. Mereka saling bertatapan, membiarkan keheningan menjadi saksi dari keputusan-keputusan sulit yang telah mereka hadapi.
Dengan nada serius, Blue berkata. "Rose, kita harus bicara."Rose menatap Blue dengan mata yang penuh dengan kelelahan. "Ya, Blue. Apa yang harus kita lakukan sekarang?"Blue menempati kursi di sebelah Rose, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk menjelaskan situasi yang mereka hadapi.Blue menghela nafas panjang. "Artikel-artikel yang Sky dan Blue tulis, bukti-bukti yang kita ungkapkan, semuanya seakan tidak cukup. Survei terbaru menunjukkan bahwa popularitas Hartono tetap stabil, bahkan menguat. Semua karena tidak adanya bukti keterkaitan Hartono dengan klub itu.Rose mengangguk, menatBlue dan Rose tiba di pondok kayu Tiger, tempat Nala dan Sky kini tinggal. Matahari mulai terbenam, memberikan warna oranye hangat di langit saat mereka mengetuk pintu. Sky yang membuka pintu, menatap keduanya dengan rasa ingin tahu. Di belakangnya, Nala berdiri dengan senyum ramah, meskipun ada sedikit ketegangan di wajahnya. Terakhir kali mereka datang, selalu berakhir dengan misi bersama yang berbahaya. Nala sedang tidak ingin melakukan apapun minggu ini."Blue, Rose, masuklah. Apa yang membawa kalian ke sini?" tanya Sky sambil memberi mereka ruang untuk masuk.Blue menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. "Sky, kami perlu bicara. Ini tentang Anya."Sky tertegun. Dia merasakan gelombang kecemasan mendadak menyelimuti hatinya. Terakhir kali mereka berjumpa adalah saat ia berusaha menyelinap ke rumah ayahnya."Apa yang terjadi dengan Anya?" tanyanya dengan nada serius.Rose melirik Blue sebelum berbicara. Gadis itu menyarank
Di dalam pondok kayu, di ruang tamu, Nala duduk sendiri di sudut ruangan, menghadap ke arah jendela yang memperlihatkan pemandangan alam yang damai. Dedaunan saling bergesekan tertiup angin. Ketenangan itu sudah menjadi makanannya sehari-hari. Namun, hatinya jauh dari tenang. Matahari telah terbenam, dan kegelapan mulai merayap masuk, menciptakan bayangan panjang yang menghiasi dinding kayu.Nala menarik napas dalam-dalam, berusaha mengatasi perasaan berat yang menekan dadanya. Ia meratapi kehidupannya yang terasa seperti komedi tragedi. Dengan suara pelan dan penuh emosi, ia mulai berbicara kepada dirinya sendiri."Bagaimana bisa hidupku menjadi seperti ini?" gumamnya, matanya terpaku pada kegelapan di luar. "Aku menikah dengan Bram. yang ternyata adalah seorang mata-mata. Aku bahkan tidak tahu nama aslinya dan memanggilnya Sky sampai tugasnya berakhir. Lalu, tiba-tiba ayahku muncul. Di lain hari, orang-orang menyampaikan fakta lain kalau anak dari musuh
"Sepertinya, aku datang terlalu cepat ya?"Nala menoleh. Ia mendapati Tiger berdiri di dekat tangga, menatapnya canggung."Tak apa. Aku juga sudah bosan sendirian. Biar aku ambilkan teh."Suara cericit jangkrik mengiringi angin malam yang lembut, menciptakan suasana tenang. Tiger dan Nala duduk di depan perapian yang menyala redup. Mereka memegang cangkir teh hangat di tangan, tanpa mengucapkan apapun."Nala, kau ingat saat aku meninggalkanmu di desa bersama nenekmu? Aku selalu merasa bersalah meninggalkanmu di sana," kata Tiger, tiba-tiba.Nala tidak pernah menyangka obrolan pertama mereka adalah membahas hal yang begitu serius. Wanita itu kelabakan dan tampak berusaha menekan ekspresinya agar tidak berubah."Kau tak perlu merasa bersalah. Itu adalah masa yang indah bagiku. Aku benar-benar menikmatinya."Tiger menghela napas lega. "Syukurlah kau merasa begitu. Aku selalu khawatir kau merasa kesepian atau terbebani."
Langit malam yang gelap menyelimuti rumah megah milik Hartono, menciptakan bayangan-bayangan menyeramkan di sekitar bangunan tersebut. Angin malam berhembus lembut, seolah memperingatkan tentang apa yang akan terjadi. Sky dan Blue, mengendap-endap menuju rumah besar ayah mereka. Mereka tahu bahwa misi ini penuh risiko, tetapi mereka tidak punya pilihan lain. Mereka harus sekali lagi menghadapi ayah mereka dan memintanya mundur dari jabatannya demi kebaikan semua orang. Rumah megah itu berdiri dengan angkuh di tengah taman yang luas, dengan pintu besar dan jendela-jendela tinggi yang memancarkan cahaya redup dari dalam. Sky dan Blue bersembunyi di balik semak-semak, memeriksa situasi sebelum bergerak lebih dekat. "Blue, kita harus berhati-hati. Keamanan di sini pasti ketat," bisik Sky, matanya waspada menatap sekeliling. Blue mengangguk, wajahnya penuh ketegangan. "Aku tahu, Sky. Kita harus masuk dan
Setelah kunjungan mengejutkan dari Sky dan Blue, suasana di rumah Hartono berubah drastis. Peringatan dan permintaan dari kedua putranya telah mengganggu pikirannya, menciptakan ketegangan yang semakin meresahkan. Hartono, yang sebelumnya tampak tak tergoyahkan, mulai merasa ada sesuatu yang salah. Keraguan dan kecurigaan terhadap orang-orang terdekatnya mulai menghantui. Hari-hari berlalu tanpa Hartono kembali ke rumah. Olivia merasakan kekosongan yang semakin besar. Rumah semakin terasa dingin dan sepi. Olivia sering berdiri di jendela besar di ruang tamu, menatap jalanan kosong, berharap melihat suaminya pulang. Namun, setiap malam, hanya keheningan yang menyambutnya. Di tempat lain, Hartono merasa semakin terisolasi. Pikirannya dipenuhi dengan keraguan. Pertemuan dengan Sky dan Blue membuatnya mulai meragukan kepercayaan terhadap orang-orang di sekitarnya. Ia merasa seperti ada konspirasi yang direncanakan untuk menggulingkannya. Olivia, yang dulu d
Sky dan Blue menyelinap dengan hati-hati di lorong-lorong rumah mewah Hartono. Langkah kaki mereka nyaris tak bersuara saat mereka bergerak di bawah cahaya remang-remang dari lampu gantung kristal. Rumah itu besar dan penuh kemewahan, namun di dalamnya terasa dingin dan kosong. Setiap sudutnya tampak mengingatkan mereka pada masa lalu yang penuh dengan kebencian dan konflik.Ketika mereka hampir mencapai pintu keluar, sebuah suara langkah kaki terdengar di belakang mereka. Anya berlari dari ujung lorong. Matanya yang besar dan penuh haru memandangi kedua kakaknya itu. Ia tidak menyangka akan bertemu mereka di sini, di rumah yang sudah lama ia anggap sebagai penjara emosi.Sky dan Blue berhenti sejenak, saling menatap dengan cemas. Mereka tidak ingin melibatkan Anya dalam kekacauan ini. Namun, kehadirannya di sini membuat mereka merasa lebih terbuka dan rentan. Anya pun memeluk keduanya erat-erat. "Aku sangat merindukan kalian," katanya dengan suara berget
Di rumah besar yang terasa semakin sunyi dan dingin sejak kematian Anggi, Olivia duduk di balkon kamarnya yang mewah namun penuh dengan bayang-bayang kegelapan. Rasa frustrasi dan kelelahan tergambar jelas di wajahnya yang cantik namun tegang. Di seberangnya, Pak Was, berdiri dengan tangan terlipat di dada, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menenangkan Olivia.Olivia menghela napas panjang, lalu memijat pelipisnya dengan jemari yang gemetar. "Aku tidak tahu berapa lama lagi aku bisa bertahan seperti ini, Was. Sejak Anggi meninggal, Hartono semakin tidak terkendali. Dia hampir tidak pernah pulang, dan semua urusan logistik jual beli senjata jadi berantakan. Anggi adalah satu-satunya yang tahu cara mengelolanya."Pak Was mengangguk, meskipun wajahnya juga tampak kebingungan. "Aku tahu. Anggi memang sangat berpengaruh dalam mengatur segala sesuatunya. Namun, kita harus mencari cara untuk melanjutkan tanpa dia."Olivia memandang Pak Was deng
Nala dan Rose melangkah pelan-pelan menuju gerbang panti asuhan, tempat Bayu dititipkan. Udara pagi itu sejuk, dan suara tawa anak-anak terdengar dari kejauhan. Rose, dengan senyum ceria di wajahnya, merangkul lengan Nala. "Hari ini pasti seru, ya? Aku sudah tidak sabar melihat Bayu."Nala tersenyum, meskipun ada sedikit kekhawatiran yang melintas di matanya. "Iya, aku juga. Semoga dia baik-baik saja di sini."Mereka melangkah masuk ke area panti asuhan, dan pemandangan di depan mereka langsung membuat hati mereka hangat. Anak-anak berlarian, bermain, dan tertawa bersama. Namun, di tengah keramaian itu, Bayu tampak mencolok. Dia duduk di sebuah bangku di taman, dikelilingi oleh beberapa anak yang tampak serius mendengarkan."Apakah itu Bayu?" Rose bertanya, meskipun dia sudah tahu jawabannya. "Dia sedang... mengajar?"Nala mengangguk, bangga sekaligus khawatir. "Iya, itu Bayu. Dia mengajar kalkulus kepada anak-anak di sini."
Setahun kemudian.. Sky, Nala, dan Bayu, sedang menikmati sore di taman kota. Setelah sekian lama berjuang melawan berbagai tantangan dalam hidup, mereka akhirnya menemukan kedamaian dan kebahagiaan di kehidupan mereka saat ini. Bayu baru saja mulai bersekolah lagi di SD Matahari bersama teman-temannya, Joana dan Aldo. Mereka tinggal di kompleks yang sama dengan Joana dan Aldo, sehingga setelah berjalan-jalan santai, mereka kembali ke rumah mereka. Anya telah meniti karier yang sukses sebagai direktur Rumah Sakit Besari, mendedikasikan dirinya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan di komunitas mereka. Elang Group, perusahaan yang dipimpin oleh Blue, atau yang sekarang dikenal sebagai Langit, terus berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat dan lingkungan sekitar. Sementara itu, Rose berhasil mendapatkan naturalisasi dan membuka toko bunga yang indah di dekat kompleks tempat tinggal Nala. Tokonya menjadi tempat favorit bagi penduduk setempat yang mengagumi keahli
Tiger, Nala dan Rose tiba di tepi pantai dengan napas terengah-engah, terdengar gemuruh ombak di kejauhan. Mereka menghentikan langkah mereka mendadak ketika mendengar suara letusan yang mengejutkan dari arah dermaga.Dor!Hati Nala berdebar kencang, naluri mereka langsung mengarahkan pandangan ke arah Sky dan Blue yang terendam di dalam air.Nala, dengan mata berkaca-kaca, berlari mendekati Sky yang terdampar di tepi pantai. Dengan gemetar, dia jatuh berlutut di pasir pantai. Riak air tiba-tiba berhenti, menandakan mereka berdua sudah jauh tenggelam.Nala dan Rose mencoba mendekati tempat kejadian, namun para polisi mencegahnya. Beberapa petugas ada yang menyelam, mencari mereka. Namun, nihil. Tak ada tanda-tanda tubuh mereka ditemukan."Sepertinya mereka terbawa arus," ucap salah satu di antara mereka. "Kami tidak menemukan apapun."Rose dan Nala menjerit tak karuan. Setelah beberapa saat, mereka mencoba menenangkan diri di pin
Sky dan Blue memacu mobil mereka dengan cepat mengejar Hartono yang melarikan diri. Lampu-lampu kota yang masih hidup, berkedip-kedip di sekitar mereka saat mereka melaju melewati jalan-jalan yang ramai. Mereka mengejar mobil Hartono yang berbelok-belok di antara lalu lintas, mencoba untuk tidak kehilangan jejak."Kita hampir mendapatkannya!" seru Sky, matanya tetap fokus pada mobil di depan mereka.Blue, yang duduk di kursi penumpang dengan tegang, mengangguk setuju. "Tetap fokus, Sky. Kita harus menangkapnya sebelum dia bisa kabur lebih jauh."Mereka terus memacu mobil mereka, mengikuti dengan cermat setiap gerakan mobil Hartono. Jalanan mulai sepi ketika mereka mendekati dermaga yang terletak di pinggiran kota. Lampu-lampu jalan redup di belakang mereka, memantulkan kekhawatiran yang mereka rasakan.Hartono, yang terus melaju dengan cepat, akhirnya memarkir mobilnya di ujung dermaga yang sepi. Dia keluar dengan cepat, menghadapi Sky dan Blue ya
Suara letusan senjata menggelegar di dalam vila yang sunyi, menyela hening pagi yang mulai terang. Tiger, yang menunggu di mobil dengan tegang, mendongak mendengar itu. Dia menatap Nala dengan mata penuh kekhawatiran."Kau merasa gugup?" Tiger bertanya dengan lembut. "Setelah ini, semuanya akan berakhir."Nala, yang duduk di sampingnya dengan wajah tegang, menggeleng pelan. Dia mencoba untuk menenangkan dirinya sendiri meskipun jantungnya berdegup kencang."Ya, sedikit," jawab Nala akhirnya, suaranya bergetar sedikit. "Ini semua terasa seperti mimpi buruk. Kuharap tidak ada yang terluka dari letusan itu."Tiger meraih tangan Nala dengan penuh dukungan. "Kita akan melalui ini bersama-sama, Nala. Kami sudah mendekati akhir dari semua ini."Mereka berdua duduk dalam hening sejenak, mengumpulkan keberanian dan fokus untuk apa yang akan mereka hadapi selanjutnya.Lalu, tiba-tiba suara radio mengejutkan mereka."Lapor, Tiger.
"Ahhhh!!!" Olivia, dengan hati yang penuh kegelisahan, melihat Pak Was jatuh dari balkon dengan terkejut yang mendalam. "Tidak, tidak. Was!! Was, jangan tinggalkan aku, Was. Jangan pergi! Was! Kau sudah berjanji padaku, Was. Kau harus hidup, jangan tinggalkan aku! Jangan tinggalkan akuu!!!"Olivia berteriak histeris, mencoba menjangkau pak Was yang terbaring tak bergerak di tanah. Anya, putrinya yang ketakutan, berlari mendekat untuk menahan ibunya. Namun, dalam kepanikan yang melanda, Olivia terlalu kuat untuk ditahan."Mama, sudah. Jangan seperti ini, atau mama akan jatuh. Ma, tolong. Ayo, ma kita turun. Ma,"Anya bisa melihat dari kejauhan kalau rumahnya sudah dikepung. Ia tahu sebentar lagi akan menjadi akhir dari perjalanan orang tuanya dalam melakukan kejahatan. Tapi, ia sendiri tidak menyangka akan menyaksikan peristiwa jatuhnya Pak Was. Dari tampilannya, tampaknya tubuh Pak Was sudah tak lagi bernyawa. Pria itu sudah tak lagi bisa diselam
Di luar jendela, matahari mulai terbit, menyisakan langit senja yang memancarkan cahaya oranye dan merah muda yang lembut. Suasana itu memberikan kontras dengan keheningan yang menyelimuti ruangan Hartono yang sepi.Pikirannya melayang ke masa lalu, saat semuanya masih normal. Pak Was, yang selalu setia dan dedikatif dalam pekerjaannya, kini telah mengkhianatinya. Dia merasa kehilangan sosok yang telah menjadi bagian dari kehidupannya selama bertahun-tahun.Hartono menatap foto keluarganya, foto Liliana dan kedua anak kembarnya, di meja kerjanya, sorot matanya tampak penuh penyesalan. Dia berdoa dalam hati, berharap agar Liliana tenang di tempat yang lebih baik.Suasana pagi itu di ruang kerja Hartono memantulkan perasaannya yang campur aduk: kesedihan, penyesalan, dan tekad balas dendam yang membara. Langit fajar yang merona menjadi saksi dari perubahan yang mendalam dalam hidupnya, suatu perubahan yang tidak pernah dia rencanakan atau bayangkan sebelumny
Setelah perjalanan yang tegang dan cepat dari kota menuju vila terpencil di pinggiran hutan, Blue, Nala, Sky, dan Rose tiba di tempat tujuan mereka. Hutan di sekeliling vila memberikan kesan sunyi namun tegang, dengan sinar fajar yang mulai membuat bayangan di balik pohon-pohon rimbun. Mereka turun dari mobil dengan hati-hati, siap untuk bertindak cepat dan efisien, menunggu pasukan lain dan Tiger tiba.Setelah beberapa saat, belasan mobil polisi dan dua mobil yang mengangkut pasukan khusus, mulai berdatangan. Tiger muncul di antara mereka dengan membawa senapan laras panjang dan senyum di wajahnya."Bagaimana? Siap?" pria itu bertanya. "Helikopter sudah dalam perjalanan. Kali ini, Hartono tidak akan kabur.""Bukankah jumlah ini terlalu berlebihan?" Rose tampak melongo dengan sejumlah pasukan yang mengitari mereka. "Memangnya kita menangkap gerombolan orang jahat ya?""Ya, Hartono setara dengan ratusan penjahat, sih. Jadi ini sepadan, hehe."
Anya melangkah dengan cepat di koridor vila, menuju kamar Olivia. Setiap langkah yang ia ambil, membuat ingatannya memainkan gambaran masa lalu yang penuh cahaya, berbeda dengan suasana saat ini yang dipenuhi dengan ketegangan dan kekhawatiran. Dia berusaha menenangkan dirinya sendiri sambil mencari-cari ibunya, Olivia, yang mungkin masih terlelap dan tidak tahu atas apa yang akan terjadi.Sebagai anak dari Olivia dan Hartono, Anya tumbuh di lingkungan yang sering kali menawarkan lebih banyak teka-teki daripada jawaban. Ayahnya, Hartono, adalah seorang pria yang selalu tampak gelap dan misterius yang dibalut dengan senyum hangatnya, sementara ibunya, Olivia, adalah sosok yang mencoba sekuat tenaga untuk menjaga ketenangan dan keseimbangan dalam kehidupan keluarga mereka, tentu saja dengan cara-cara licik yang belakangan Anya ketahui. Namun, situasi yang sering kali tegang dan penuh tekanan telah membuat Anya belajar untuk memilih langkah-langkahnya denga
Suasana malam yang dingin dan tenang menyelimuti kota saat Sky, Nala, Blue, dan Rose menerima telepon darurat dari Anya. Mereka duduk bersama di ruang tengah pondok kayu, tempat mereka kini berkumpul, atmosfer yang sebelumnya santai berubah menjadi tegang seketika. Anya, dengan suara gemetar, memberitahukan bahwa Hartono memergoki istrinya, Olivia, sedang bermesraan dengan Pak Was. Entah bermesraan yang seperti apa, yang pasti Anya tampak takut akan terjadi sesuatu yang buruk.Sky, yang duduk di sofa dengan laptopnya, segera menutup layar dan menatap serius ke arah Blue dan Nala. "Kita harus segera ke sana. Anya bilang dia sudah mengirimkan alamatnya padamu, kan?"Blue, yang biasanya santai, kini tampak tegang. Dia mengangguk cepat. "Aku ambil kunci mobil."Nala, yang sedang mengaduk secangkir teh, menaruh sendoknya perlahan. "Aku ambil kit medis dari lemari."Rose, yang duduk di pojok ruangan dengan buku di tangannya, mengangguk setuju. "Aku ambi