Pov Ibu Dimas. Ternyata mantan menantu ku, berasal dari keluarga terpandang. Padahal aku pikir, dia dari keluarga miskin yang hidupnya hanya bergantung dari hasil buruh tani. nyatanya tidak!Dia dari keluarga kaya dan sialnya aku tidak tahu semua itu. Bagimana mau tahu dia setiap hari dirumah, dan sering membuat kue yang katanya biasa dipesan orang. Selain itu aku juga tidak pernah melihat dia pulang lama, palingan pagi - pagi keluar pulang nya siang, Kadang juga aku tak pernah melihat dia keluar. Semenjak Dimas menikah dengan Farah, hidup kami semakin susah. Ditambah lagi Farah yang numpang hidup dianak ku Dimas. Awalnya aku pikir Farah itu anak orang kaya, banyak harta karena tinggal di rumah megah. Apalagi dia berpendidikan dan bekerja diposisi manager di slah satu perusahan terkenal di kota ini. Ternyata rumah itu bukan rumah pribadi nya tapi, rumah abangnya yang sekarng abang nya itu sudah pulang ke kota ini dan menetap di rumah itu. Farah juga memang dia berpendidikan, hanya saj
Malam yang dingin, aku duduk termenung meresapi setiap perkatan mama dan papa tadi. Apa bisa aku membuka hati lagi untuk pria lain? sejujurnya, aku juga ingin seperti orang - orang diluar sana yang bahagia bersama keluarga kecil mereka, seperti Aina contohnya. Menjalani hidup sendiri seperti sekarng ini memang bebas, aku terlihat seperti gadi kuat tapi sebenarnya aku rapuh. Aku iri melihat keharmonisan rumah tangga orang- orang diluar sana yang, entah sengaja atau tidak aku bertemu. benar kata mama, sampai kapan sendiri? " Anak mama, melamun apa? belum tidur sayang?" sapa mama tiba - tiba. "Mama? kok belum tidur? tadi katanya ngantuk," "Mama ke dapur ambil minun, trus mama ingin melihat anak mama yang cantik ini tidur. Jadinya mama ke sini," jelas mama.Aku hanya tersenyum. "Kenapa? apa yang kamu pikirkan? sini cerita sama mama," lanjut mama."Nggak ma, Nela nggak mikir apa - apa kok," kila ku"Jangan bohong kamu sama mama, apa kamu masi memikirkan apa yang mama dan papa bilang ta
"Nela, Robi kok nggak diajak masuk?" ujar mama di teras rumah. Aku terperanjat. "Mama, kok nggak masuk?" tanya ku. "Ajak Robi masuk," ujar mama."Dia buru - buru ma," kila ku. "Malam tante, apa kabar?" sapa Robi yang sudah turun dari mobi, dan langsung menyalami tangan mama. 'Astaga, kenapa nggak pulang aja sih nih orang' batin ku. "Baik, kamu apa kabar?" tanya mama. "Baik tante." jawab Robi."Kamu sibuk nggak? kalau nggak sibuk mampir dulu yuk, ikut diner bareng kita, soalnya malam ini tante masak banyak," ajak mama."Tadi aku sama Robi udah makan ma," hardik ku. "Nggak sibuk tante, kebetulan aku laper. Mumpung tante ajak, jadi aku mau. Hehehe." Ujar Robi sambil terkekeh. 'Astaga Robi, aku pikir kamu nolak padahal nggak.' batin ku. "Ayok masuk," ajak mamaKami pun masuk ke dalam. "Kenapa nggk nolak aja sih?" bisik ku, ketika aku dan dia berjalan beriringan. "Rejeki nggak boleh ditolak," balas nya. "Ihh, tapi aku tuh udah kenyang." tukas ku."Yaudah, aku aja yang makan. Kamu
Pov Robi. Kesempatan berduaan dengan Nela, akhirnya terwujud juga. Aku mengajaknya jalan -jalan.Kami pun jalan - jalan, makan, hingga tak terasa sudah senja. Aku mengajak Nela ke pasar malam. Rasanya, ingin terus berduaan dengan nya. Dulu di kampung aku pernah sekali ke pasar malam bersama Aina dan Nela, yang waktu itu hanya sekedar menikmati gulali, jagung bakar dan bermain permainan yang ada disana.Hampir semua permainan disana kami coba dan tak lupa gulali pelangi, yang Kata Nela itu kesukaan nya."Coba itu yuk," ajak ku sambil menunjuk biang lala yang sudah ramai pendatang. Aku tahu Nela paling takut ketinggian, semoga saja dia sudah tidak takut lagi."Ihh nggak mau, takut." Yah, ternyata dia masi takut."Masi takut ketinggian aja kamu," tukas ku. "iya, aku takut." Jawabnya. "Aman, kan ada aku. Coba yuk," kata ku sambil menarik tangan Nela. Nela pasrah saja saat ku tarik tangannya, dan mencoba biang lala itu. Kami berdua pun menaiki biang lala, dan tak lama biang lala bergera
Akhirnya pembukaan cabang toko selesai. Setelah mengurus keperluan dalam toko, alat - alat dan keperluan toko, aku lekas pulang. Untuk toko yang akan dibuka di kampung, akan di urus besok, karena hari ini aku sangat capek. Setelah pulang aku merebahkan diri di kasur empuk ku. 'Huh! lelah,' Setelah mata terpejam, aku kaget setelah mendengar ada sura dari arah depan. "Bi," pangil ku mencari bi Ijah, bukanya tadi bi Ijah sudah pamit pulang? mungkin itu kucing atau Tikus.Aku segera berbalik badan dan masuk kamar. Tapi aku merasa ada orang."Bi," Bibi belum pulang?" Panggil ku lagi. Tak ada suara. Tiba- tiba.. "long time no see Nela," aku kaget."Kamu, kenapa bisa ada disini?!" "Kenapa kamu kaget begitu?" "Darimana kamu tahu rumahku?" "Ternyata kamu memang kaya, punya rumah sebesar ini dan toko kue. Kamu memang hebat, sayang." "KELUARR! KELUARR KAMU DARI RUMAH SAYA!!" "Aku rindu kamu sayang," segera ku tepis tanganya yang hendak mebelai rambutku. "Jangan sentuh aku!" "Aku
Ting. [kamu nggak lupa kan, ntar sore ada acara di Rumah ku?] satu pesan masuk. Hampir saja aku lupa, hari ini ada undangan acara syukuran pergantian CEO baru keluarga Renata. Setelah pekerjaan di kantor selesai aku bersiap diri ke rumah Renata, teman ku. "Robi, kok lama sih datang nya," rengek Renata sambil mengandeng lenganku."Sorry, tadi ada pekerjaan yang harus aku kerjakan dulu," jawabku berusahan melepaskan gandengan itu. "Yaudah, masuk yuk udah di tunggu papa, mama dan yang lain," "Sorry ya Bi, waktu ulang tahun Resto mu aku nggak datang, soalnya waktu itu aku lagi di Singapore. Biasalah, kerjaan." ujar Renata. "Gak papa Ren, aku tahu kok, kamu itu sibuk banget." "Padahal, aku tuh udah persiapan banget tau,""Robi, udah dari tadi ya datangnya?" sapa pak Bondan, papa nya Renata. "Nggak om, baru juga nyampe. Sorry telat," "Santai aja," Sambil menyerahkan Wine ke arah ku. Acara pun dimulai. Sambutan demi sambutan, penyerahan kekuasaan pemimpin perusahan jatuh kepada Ren
"Apa?! S e * * n itu hampir melecehkan kamu?" pekik papa geram, setelah aku menceritakan semua kejadian kemarin. Hari ini aku di kampung mengurus toko baru ku. "Untung Robi nolong kamu cepat. Kalau nggak, aduh mama nggak tahu lagi gimana nasib kamu," "Iya Ma, untung aja ada Robi," Ujar ku."Gimana sih ceritanya sampai Robi datang nolong kamu? tanya mama. Aku pun menceritakan kronologi nya. Mama hanya mengangguk antusias. "Duh, nggak kebayang deh pas Robi hajar itu orang, pasti keren banget,"'"Iya dong ma," "Brarti nggak salah dong, mama dukung hubungan kalian," goda mama. "Mama ih, Nela sama Robi itu nggak ada hubungan apa - apa. Cuma rekan kerja aja ma,""Terserah kamu deh," ********Setelah samapi di toko, aku melihat banyak orang berdatangan. Aku segera masuk ke dalam. "Nela," ada yang memanggil dari arah belakang."Nela, tolong kamu cabut tuntutan kamu kepada Dima, Ibu mohon." Kata nya sambil memelas memasang wajah sedih. Aku hanya diam, mendengar kelanjutannya. "Ibu min
“Nel, beneran Robi mau tunangan?” tanya Aina saat lagi nongkrong di restoran biasa.“Iya, calon nya nama Renata. Cantik.”“Ah, kamu sih terlambat sadar. Coba waktu itu kamu teriama dia, mungkin pertunangan nya sama Renata nggak akan terjadi,” “Sama aja kalia Na, Kedua orang tua mereka itu udah saling kenal, dan nggak mungkin mama dan papa nya Robi mau sama aku yang janda ini. Aku juga tahu diri kali,”“Iya sih, tapi jujur ya aku nggak iklas tau Robi nikah sama Renata.”Ujar Aina.“Renata itu yang mana sih? aku kepo deh sama mukanya,” ujar Aina lagi.Langsung saja aku membuka akun I*******m Renata dan menunjukan pada Aina.“Nih, orang nya!”Dengan kepo Aina langsung merebut benda pipih itu dari tangan ku. “Gila, ini mah cantik banget. Udah cantik, pemimpin perusahan. Gila sih,” Puji Aina.“Pantasan Robi mau, kamu mah kalah dari si Renata ini.” Pekik Aina.“Ihh Aina! tadi bela aku, sekarang dia,”“Hehehe, iya – iya kamu dah yang paling cantik," "Ehmm," aku hanya bergumam. "Btw, kamu k
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m