Tak terasa sudah dua bulan lebih, aku menjalin kerjasama dengan Robi. Hari- hari ku lewati bersama nya tapi, aku tidak tahu kehidupan pribadi dia seperti apa."Bi, aku kok gak pernah lihat istri mu dimana dia?" tanya ku kala itu.Robi pun terkejut lalu tertawa."Aku belum Nikah." Jawaban yang membuat ku terkejut.apa? Robi belum menikah? "Kenapa kamu belum menikah?" tanya ku penasaran. Dia terdiam."Dulu, aku mencintai seorang gadis. Dia cantik, pintar dan mandiri, setelah tamat SMA aku tak mengetahui kabarnya lagi. Tapi aku percaya, takdir akan mempertemukan kembali aku dan dia. Seiring berjalannya waktu yang lama sekali aku sama sekali tidak mengetahui kabarnya aku pikir rasa ini sudah sirna, hingga beberapa bulan lalu akhirnya aku kembali bertemu dia diwaktu yang tidak terduga. Dan rasa cinta ku tumbuh kembali tapi, sayangnya dia sudah menikah." Aku hanya diam mendengar cerita Robi."Terus?" karena Robi terdiam dan aku sangat penasaran aku terus bertanya."Tamat." Jawabnya sambil
Pov Robi. "Pak ini berkas yang harus bapak tanda tangani." kata sekertaris ku. Setelah menandatangani berkas - berkas itu, aku pun menuju ke ruang meeting. Setelah selesai meeting, karena lapar aku hendak pergi ke cafe terdekat untuk mengisi perut. Sebenarnya aku punya Restoran sendiri, tapi kali ini aku pengen mencoba makanan di restoran orang. Sial! hujan, Untung aku sudah sampai di parkiran Resotran Tapi, tetap saja pakaian ku sedikit basah. Segera aku masuk ke dalam cafe itu dan mencari tempat agak jauh dari kerumunan orang banyak agar bisa menikmati waktu sendiri. Tapi, mataku tertuju pada dua gadis yang sedang asyik becerita bercanda gurau. Sepertinya aku mengenali mereka, Ya. Mereka adalah Nela dan Aina sahabat ku waktu SMA, bisa dibilang sahabat karena kami sering bersama waktu itu, heheh. Aku menghampiri mereka berdua. "Apakah aku boleh duduk disini?" tanya ku dengan memasang senyum termanis.Dua gadis itu menoleh dengan tatapan binggung dan sedikit kaget."Ro-, Robi?" tany
Ting.Sebuah pesan dari Aina, masuk digawai ku. Baru saja aku pulang dari toko kue, dan ingin rebahan.[Nel, sibuk nggak? jalan yuk. Ke cafe atau nongki dimana gitu,] [Ihh, kamu kek masi bujang aja, Ingat udah punya anak.][Biarin, anakku lagi dirumah neneknya sama ayahnya, aku bosan sore - sore gini dirumah sendiri.][Yaudah Ayok, mumpung aku nggak sibuk. Jemput ya,] sebenarnya, aku mau istirahat tapi karena akhir - akhir ini aku jarang bertemu Aina, jadinya aku iyakan saja.[Okey. Sepuluh menit lagi aku otw.]Sepuluh menit, lima belas menit berlalu, Aina tak kunjung datang. 'Dasar, jam karet!' umpaetku. "Nel, Nelaa!!" teraik Aina sambil mengetuk pintu kamar ku. Sudah biasa, kalau Aina main ke rumah dan menuju ke kamar. Apalagi, bi Ijah sudah mengenal Aina."Apa sih teriak - teriak, kamu lama banget sih,""Sorry, Macet parah," "Yaudah ayok,"Aku dan Aina lalu berjalan ke mobil, dan menuju ke cafe, mau nongki ala - ala anak remaja gitu. Sesampainya di cafe, kita memesan makanan dan
Hari dimana ulang tahun cafe Robi tiba. Setelah bersiap diri, segera aku berangakt menuju cafe itu. Para tamu undangan sudah banyak. Aku masuk ke dalam mencari keberadaan Aina, karena disini tak ada satupun yang aku kenal kecuali, Robi dan keluarga Aina. "Nela, sini." Panggil Aina. Aku pun melihat ke arahnya dan langsung menghampiranya."Udah dari tadi Na?" tanya ku "Nggak, baru juga," jawab Aina "Oh, sendirian aja?" "Nggak, sama mas Bian. Tapi, dia lagi ke toilet." mas Bian adalah suami Aina, yang dulu adalah kaka kelasnya waktu masi kuliah. "Naira gak ikut?" "Nggak, masi di rumah neneknya," "Eh, Nela. Apa Kabar Nel," sapa Mas Bian saat dari toilet. "Baik mas, apa kabar juga mas?" tanya ku balik "Baik juga," jawabnya. Aku hanya tersenyum. "Kalian dari tadi datang?" tiba - tiba Robi datang menyapa kami. "Nggak kok, aku baru datang." Jawab ku. "Eh, mas Bian, apa kabar mas?" sapa Robi, sambil menyalim tangan mas Bian"Baik Robi," jawab mas Bian."Kalian saling kenal?" tany
Pov Ibu Dimas. Ternyata mantan menantu ku, berasal dari keluarga terpandang. Padahal aku pikir, dia dari keluarga miskin yang hidupnya hanya bergantung dari hasil buruh tani. nyatanya tidak!Dia dari keluarga kaya dan sialnya aku tidak tahu semua itu. Bagimana mau tahu dia setiap hari dirumah, dan sering membuat kue yang katanya biasa dipesan orang. Selain itu aku juga tidak pernah melihat dia pulang lama, palingan pagi - pagi keluar pulang nya siang, Kadang juga aku tak pernah melihat dia keluar. Semenjak Dimas menikah dengan Farah, hidup kami semakin susah. Ditambah lagi Farah yang numpang hidup dianak ku Dimas. Awalnya aku pikir Farah itu anak orang kaya, banyak harta karena tinggal di rumah megah. Apalagi dia berpendidikan dan bekerja diposisi manager di slah satu perusahan terkenal di kota ini. Ternyata rumah itu bukan rumah pribadi nya tapi, rumah abangnya yang sekarng abang nya itu sudah pulang ke kota ini dan menetap di rumah itu. Farah juga memang dia berpendidikan, hanya saj
Malam yang dingin, aku duduk termenung meresapi setiap perkatan mama dan papa tadi. Apa bisa aku membuka hati lagi untuk pria lain? sejujurnya, aku juga ingin seperti orang - orang diluar sana yang bahagia bersama keluarga kecil mereka, seperti Aina contohnya. Menjalani hidup sendiri seperti sekarng ini memang bebas, aku terlihat seperti gadi kuat tapi sebenarnya aku rapuh. Aku iri melihat keharmonisan rumah tangga orang- orang diluar sana yang, entah sengaja atau tidak aku bertemu. benar kata mama, sampai kapan sendiri? " Anak mama, melamun apa? belum tidur sayang?" sapa mama tiba - tiba. "Mama? kok belum tidur? tadi katanya ngantuk," "Mama ke dapur ambil minun, trus mama ingin melihat anak mama yang cantik ini tidur. Jadinya mama ke sini," jelas mama.Aku hanya tersenyum. "Kenapa? apa yang kamu pikirkan? sini cerita sama mama," lanjut mama."Nggak ma, Nela nggak mikir apa - apa kok," kila ku"Jangan bohong kamu sama mama, apa kamu masi memikirkan apa yang mama dan papa bilang ta
"Nela, Robi kok nggak diajak masuk?" ujar mama di teras rumah. Aku terperanjat. "Mama, kok nggak masuk?" tanya ku. "Ajak Robi masuk," ujar mama."Dia buru - buru ma," kila ku. "Malam tante, apa kabar?" sapa Robi yang sudah turun dari mobi, dan langsung menyalami tangan mama. 'Astaga, kenapa nggak pulang aja sih nih orang' batin ku. "Baik, kamu apa kabar?" tanya mama. "Baik tante." jawab Robi."Kamu sibuk nggak? kalau nggak sibuk mampir dulu yuk, ikut diner bareng kita, soalnya malam ini tante masak banyak," ajak mama."Tadi aku sama Robi udah makan ma," hardik ku. "Nggak sibuk tante, kebetulan aku laper. Mumpung tante ajak, jadi aku mau. Hehehe." Ujar Robi sambil terkekeh. 'Astaga Robi, aku pikir kamu nolak padahal nggak.' batin ku. "Ayok masuk," ajak mamaKami pun masuk ke dalam. "Kenapa nggk nolak aja sih?" bisik ku, ketika aku dan dia berjalan beriringan. "Rejeki nggak boleh ditolak," balas nya. "Ihh, tapi aku tuh udah kenyang." tukas ku."Yaudah, aku aja yang makan. Kamu
Pov Robi. Kesempatan berduaan dengan Nela, akhirnya terwujud juga. Aku mengajaknya jalan -jalan.Kami pun jalan - jalan, makan, hingga tak terasa sudah senja. Aku mengajak Nela ke pasar malam. Rasanya, ingin terus berduaan dengan nya. Dulu di kampung aku pernah sekali ke pasar malam bersama Aina dan Nela, yang waktu itu hanya sekedar menikmati gulali, jagung bakar dan bermain permainan yang ada disana.Hampir semua permainan disana kami coba dan tak lupa gulali pelangi, yang Kata Nela itu kesukaan nya."Coba itu yuk," ajak ku sambil menunjuk biang lala yang sudah ramai pendatang. Aku tahu Nela paling takut ketinggian, semoga saja dia sudah tidak takut lagi."Ihh nggak mau, takut." Yah, ternyata dia masi takut."Masi takut ketinggian aja kamu," tukas ku. "iya, aku takut." Jawabnya. "Aman, kan ada aku. Coba yuk," kata ku sambil menarik tangan Nela. Nela pasrah saja saat ku tarik tangannya, dan mencoba biang lala itu. Kami berdua pun menaiki biang lala, dan tak lama biang lala bergera
Setelah permasalahan sudah selesai, persahabatan ku dengan Aina kembali seperti semula. Namun, kami jarang sekali bertemu apalagi bertukar cerita, entah itu di dunia nyata ataupun di dunia maya. Sekalinya bertukar pesan, ia hanya memesan kue untuk hajatan di rumah mertua nya. Setelah itu, tak lagi ada perbincangan akrab. Sepertinya ia masi canggung jika diajak berbicara. Seperti pagi hari ini, tiba - tiba saja ia memesan 20 bentuk kue tart dengan model yang berbeda dan varian rasa yang best seller di toko kue ku. Aku segera mengerak kan, karyawan - karyawan ku untuk segera membuat tart, pesanan Aina. Karena sore nanti, sudah harus selesai. Setelah semuanya selesai, aku kembali menghubungi dirinya untuk segera menuju rumah mertuanya, utuk mengantarkan pesanan.Sore ini cukup cerah. Karena melihat, karyawanku yang sudah kelelahan, aku memutuskan untuk mengantar pesanan semuanya sendiri saja. Toh, mereka juga sudah sangat bekerja keras, untuk membuat pesanan kue dadakan dari Aina ini. S
P O V Aina. Sesuai kesepakatan, hari ini aku akan ke kantor polisi dan memberi pengakuan semuanya. Aku di arahkan, ke ruang interogasi. Di hadapanku, sudah duduk pria berumur yang akan menyelidiki diriku. Setelah itu, aku pun memberi pengakuan seperti apa yang aku tahu. Sebenarnya, aku juga harus di tangkap, karena terlibat dan mendukung rencana suamiku. Tak hanya itu, aku juga sudah memutar balikan fakta dan berbohong kepada Nela. Aku meminta polisi itu juga turut adil, dalam menangkap diriku. Tapi, nyatanya tidak. Ia hanya mengatakan kalau semuanya tergantung pada keputusan Robi. Aku masi saja, bersihkeras untuk menyerahkan diri, tapi itu hanya angin lalu baginya dan, ia mengabaikan diriku lalu melangka keluar. Aku pun ikut keluar, dan menghampiri dua insan yang tengah menatapku. Aku meminta mereka, untuk menuntutku, agar turut mendapatkan hukuman juga. "Tidak, kami tak akan menuntut kamu," ujar Robi, ketika aku mengatakan itu. "Aku mohon, biarkan aku menebus kesalahanku ini. Nel
P O V Aina. Rencanaku hari ini, adalah ke toko kue milik Nela. Aku mencoba untuk, memelas meminta dirinya membebaskan mas Bian. Semoga saja, dirinya mau dan luluh dengan diriku, yang memohon untuk membebaskan suamiku , atau setidaknya bertemu sedetik dengan mas Bian. Sesampainya di toko cake Nela, aku bergegas masuk. Sepertinya Nela, ada di toko karena mobilnya sudah terparkir rapi di garasi toko kue nya. "Nela ada?" Tanyaku, pada salah satu karyawan yang berada di meja kasir. Entah lah, siapa. Aku Lupa dengan nama nya. "Bu Nela, ada bu." Jawab wanita itu. "Okey," langsung saja, aku masuk dalam ruangan nya. Benar saja, Nela sedang fokus berkutat dengan komputer yang ada di depan nya. Tanpa basa basi lagi, aku langsung mengatakan tujuanku kesini. "Nela.. aku mohon, tolong bebaskan mas Bian... tolong Nel, tolong cabut tuntutan itu," cercaku, yang datang langsung memohon. Nela hanya sedikit terkejut, dengan kedatanganku. Tapi, segera ia memalingkan wajah dan mengabaikan diriku.
P O V AinaSegera aku menghubungi mas Bian, tapi ponsel nya aktif. Tak seperti biasa ia begini, jika memang sibuk bekerja, tapi kalau aku yang telpon dia segera angkat. Firasat ku mendadak jadi tak enak, kepada dirinya. Apa yang sudah terjadi dengan suamiku? ****Aku semakin di buat pusing, karena mas Bian tak juga mengangkat telpon ku. Drittt...Drittt...Tiba - tiba, telpon ku berdering. Gegas aku meraih benda pipi yang layarnya sedang menyala kerlap kerlip itu, yang ku pikir adalah mas Bian, ternyata bukan...."Hallo bu, gawat!" Ujarnya, seorang pria dari sebrang sana. "Hallo.. kenapa Di?" "Bapak bu... Bapak...." Gugupnya, seraya menggantungkan kalimatnya. "Bapak kenapa Di?" Aku semakin panik dengan, perkataan Budi, yang tak menyelesaikan ucapanya. "Bapa ditahan-" "Maksud kamu? Ditahan sama siapa?" Potongku, yang sudah keringat dingin, padahal suhu Ac di ruangan ini sangat dingin. "Bapak ditahan polisi. Tadi, polisinya datang bu," "APA?!!" Sekujur tubuhku lemas, tanganku
Aina pun, sudah benar - benar pulih dan sekarang sudah di izinkan pulang oleh dokter. Akhirnya, yang di tunggu - tunggu tiba juga. Dimana, hari berlangsungnya sidang telah tiba. Didepan hakim, Aina, mas Bian, Budi, supir truk dan ada beberapa yang terlibat di seret semua ke hadapan hakim. Dulu, Aku sempat berpikir, kalau mereka akan menyewa pengacara untuk membantu dalam kasus ini. Ternyata tidak! mereka ingin bertanggung jawab atas perbuatan mereka. Baguslah! Padahal, aku dan Robi juga sudah merencanakan akan menyewa pengacara juga dalam kasus ini. Sebelum berjalan ke depan, Aina sempat melemparkan tersenyum padaku. Senyum, yang terlihat tulus. Dengan spontan, aku membalas senyum darinya. Ia terlihat, masi sangat pucat. Persidangan pun dimulai. Hakim menanyakan semuanya dan para tersangaka mejawab dengan jujur tanpa ada yang ditutupi. Aina pun, ditanya oleh hakim dan ia menjawab dengan jujur, seperti apa yang ia katakan kepadaku. "Saudara Bian Aditama, apa benar anda yang sudah me
Selepas pulang kerja, aku selalu mengunjungi Aina di rumah sakit. Seperti biasa, ia belum juga menyadarkan diri. Akhirnya, sidang itu diundur dilain waktu lagi, sampai Aina benar - benar pulih kembali. Kata Robi, mas Bian masi saja bungkam. Ia tak berniat mengakui semua kesalahanya. Saat, sudah berada di rumah sekitar jam empat, aku dikabarkan dari tante Risa, katanya Aina sudah siuman. Setelah mengurus Dania, aku bersiap diri untuk ke rumah sakit. "Kamu ikut, sayang?" Tanyaku, pada Robi yang sedang fokus pada laptop, di ruang kerjanya. "Nggak, aku masi banyak kerjaan," jawabnya, tanpa melihat ke arahku. "Baiklah, aku sediri saja," "Hati - hati, sayang. Oh iya, sampaikan salam pada Aina," tukasnya."Iya! Perhatikan Dania ya, kalau dia rewel, tolong kamu gendong dulu. Kasian bi Ijah," peringatku, karena bi Mey masi izin ke kampungnya. Jadi, Dana dijaga Bi Ijah. Aku segera masuk mobil dan menyalakan mobil lalu perlahan meninggalkan rumah. Saat sampai di rumah sakit, langsung saja
Aina dikabarkan sakit, satu hari sebelum sidang dilaksanakan. Kata asisten rumah tangga mereka, bahwa Aina ditemukan tak menyadarkan diri di kamar, dengan beberapa obat yang sudah kadarluasa. Tanpa berpikir panjang, aku langsung ke rumah sakit, tempat ia dirawat. Saat sampai di rumah sakit, aku langsung mendatangi kamarnya dan menerobos masuk. Terlihat Naira, yang sedang menangis di samping ibunya itu. "Tante Nela...." Seru Naira, langsung menghambur dalam pelukanku. Naira, juga sangat dekat dengan ku, makanya dia tak lagi sungkan untuk memeluku. "Sayang, jangan nangis ya.... Mama Aina pasti baik - baik, saja." Ujarku, menenangkan gadis cantik, yang sebentar lagi akan beranjak dewasa. "Iya tante," jawabnya, masin memelukku. "Sekarang, yang perlu Naira lakukan adalah, mendoakan mama Aina, agar segera pulih seperti sedia kala, okey?" kataku, dengan lembut seraya tersenyum kepada gadis cantik itu. "Iya tante," Aku berjalan mendekati Aina, yang sedang terbaring lemah."Aina kenapa b
Tiga hari setelah kedatangan Aina di toko, aku tak lagi mendengar kabarnya. Hingga hari ini, ia datang langsung ke rumah kami. Aku sedikit terkejut saat, bi Ijah mengatakan kalau ada Aina di depan. Awalny, aku malas bertemu dengan dirinya, karena pasti ia akan memohon - mohon lagi, untuk membebaskan suaminya itu. Tapi, Robi membujuk diriku untuk tetap menemukan dirinya. "Ayolah, sayang. Siap temui Aina," "Malas ah, palingan dia mohon - mohon untuk mencabut tuntutan itu," "jangan berpikir negatif dulu sayang, kita kan nggak tahu, maksud dan tujuan nya apa," Robi masi saja, keukeh dengan pendiriannya. Mau tak mau, akhirnya aku pun setuju dan melangka dengan malas le ruang tamu untuk menemukan dirinya. "Ada perlu apa kamu datang kesini?" Tanyaku, dengan nada ketus. "Nel, aku kesini ingin-" "Mau minta kita cabut tuntutan, agar suamimu bebas? dan akan melanjutkan proyek itu?" Potongku cepat, saat ia melanjutkan ucapannya. Segera Robi, memegang tanganku lembut dan memberi isyarat agar
"Bagaimana proses selanjutnya?" Tanyaku pada Robi, yang kini duduk berhadapan denganku. "Aman. Semua bukti, sedang diproses oleh polisi." "Apa, tadi kamu mengunjungi dirinya?" "Iya. Aku menangkap langsung di perusahannya," "Lalu, bagimana reaksinya? Aku tahu, tak semudah itu dia mengakui kesalahnya," "Iya dia tak mengaku. Saat di ruang interogasi di kantor polisi pun, iya tak membuka mulut," Jawab Robi. Ia lalu menceritakan kepadaku, semuanya yang telah terjadi siang tadi. "Bagimana jika dia tidak mengaku? Aku tahu, kita punya bukti yang kuat. Tapi, bisa jadi dia melakukan sesuatu, yang akan membuat dirinya bebas," aku khawatir jika, itu akan terjadi.. "Jika begitu, maka Aina yang harus mengantikan dirinya," "Maksud kamu?" aku mengernyitkan kening, saat mendengar perkataanya barusan. "Aina yang akan menanggung, semua perbuatan suaminya," Aku sedikit terkejut. "Apa, harus Aina?" "Apa kamu tak mau menyeret dia, dalam masalah ini?" Aku menagngguk. Jujur saja, walaupun aku m