"Mendingan jadi wanita kampung daripada jadi wanita perusak rumah tangga orang!" bisikku, dekat sekali di telinganya.
Lusi menghentakkan kakinya lalu berusaha menarik rambutku. Untung saja aku sudah antisipasi hingga bisa menghindari serangan harimau betina tersebut.
Selepas shalat subuh, sesuai instruksi Ibu, aku tidak keluar dari kamar.
Aku hanya berguling-guling di atas kasur, sambil memainkan ponsel berkirim pesan dengan Raihan putraku.
Ya Allah, andai anak semata wayangku tahu kelakuan bapaknya di sini, pasti dia akan merasa sangat kecewa. Mudah-mudahan anakku tidak sampai melihat video bapak serta kakak sepupunya yang sempat viral di sosial media.
Aku melirik jam di layar ponsel dan ternyata sudah pukul enam pagi. Gegas aku keluar, karena tenggorokan ini terasa kering juga cacing-cacing di perut sudah berdemonstrasi. Mungkin Lusi sudah selesai menyiapkan sarapan
Aku beranjak dari duduk dan lekas keluar mencari sarapan, dan sengaja tidak memberhentikan tukang makanan yang lewat depan rumah, supaya Mas Ibnu tetap menghabiskan masakan yang sudah ia puji-puji tadi."May, bagi nasi uduknya sedikit. Kalau nggak itu buat aku. Kamu kan bisa beli lagi. Nasi gorengnya rasanya nggak enak banget!" ucap Mas Ibnu setengah berbisik."Di sananya sudah habis, Mas. Lagian kamu kan sudah ada nasi goreng spesial buatan bidadari. Kamu makan saja masakan bidadari tak berakhlak itu. Jangan malah minta nasi uduk aku!" jawabku sengaja meninggikan nada bicara, supaya Lusi mendengar percakapan kami."Memangnya masakan aku kenapa, Mas?!" Lusi mendelik menatap suamiku."E–enggak, Lus. Masakan kamu itu enak banget. Kaya masakan chief restoran bintang lima!" puji Mas Ibnu berlebihan.Padahal jelas-jelas tadi dia bilang masakan Lusi tidak enak.
"Saya masih istrinya, Mas. Omong-omong, Mas ini siapa ya? Soalnya saya merasa kaya pernah mengenal Mas?" Aku memberanikan diri untuk bertanya."Saya bosnya Ibnu," jawab pria itu. "Oh, jadi Mba masih istrinya? Saya minta maaf, soalnya waktu itu dia memperkenalkan istri barunya yang bernama Lusiana, dan dia bilang sudah berpisah sama Mba. Sekali lagi saya minta maaf!" Lelaki bermata sipit itu menangkupkan tangan."Perempuan yang dia bawa itu bukan istrinya, Bar. Itu selingkuhannya. Dan elo tahu nggak? Selingkuhannya itu tunangan gue. Jadi gue sama Mayla itu sama-sama korban!" sambung Abraham sambil mengepalkan tangan. Kilat kemarahan tergambar jelas di mata coklatnya."Sorry, gua benar-benar nggak tahu. Parah juga si Ibnu ya. Terus, sekarang apa Mba Mayla masih bertahan sama suami seperti dia?" tanya Akbar lagi."Entahlah, Mas. Saya ingin mempertahankan hak saya. Kalau saya maen tinggalin dia aja kan k
"Maaf, Mas. Aku jalan sendiri aja. Nggak usah repot-repot!" tolakku secara halus.Tin! Tin!Terdengar suara orang menekan klakson di depan pagar rumah.Abraham menurunkan kaca mobilnya, melambaikan tangan sambil tersenyum manis.Ekor mataku melirik ke Mas Ibnu yang terlihat sudah mengepalkan tangan di samping badan. Sepertinya dia cemburu. Atau, entahlah. Yang pasti wajah pria bertubuh jangkung itu terlihat marah."Ayo May. Sudah siang. Nanti rejekinya dipatok ayam!" teriak Abraham dari dalam kendaraannya."Mending dipatok ayam dari pada dibagi dua sama pelakor!" celetukku sembari melenggang pergi melewati Mas Ibnu.Aku masuk ke dalam mobil dan tidak kusangka pria berjambang tipis tersebut mengekor di belakangku, dan langsung menarik kasar kerah baju Abraham."Kamu nggak usah keganjenan sama Mayla, Bram. Dia itu istri
"Astaghfirullahaladzim!" pekikku sembari beringsut menjauh."Kenapa, May?" tanya Mas Ibnu dengan suara serak."Kamu ngapain masuk kamar aku, Mas?!""Lah, memangnya kenapa? Kamu itukan istri aku!""Lucu kamu ya, Mas. Bukannya kamu bilang ke Pak Akbar kalau aku ini mantan istri kamu. Dan kamu udah ngenalin uler keket itu sebagai istri kamu?!"Mata Mas Ibnu langsung membulat sempurna mendengar ucapanku."Aku juga nggak menjamin kalau kamu itu tidak tertular penyakit kelamin. Lusi itukan doyan gonta-ganti pasangan. Siapa tahu dia punya penyakit dan menular sama kamu!" hardikku lagi."Tutup mulut kamu, Mayla!! Kalau kamu nggak mau kasih jatah aku, nggak usah jelek-jelekin Lusi. Kamu itu maunya apa sih? Asisten rumah tangga yang biasa nyiapin keperluan aku kamu pecat. Sekarang semua pekerjaan malah suruh dikerjakan sama Lusi yang je
Hari ini toko lumayan cukup ramai. Aku dan Andita cukup kewalahan melayani pengunjung, karena ternyata hari ini adalah hari valentine.Mungkin karena faktor usia sampai aku lupa hari juga tanggal. Untung saja stok bunga mawar masih melimpah ruah, sehingga pelanggan tidak kecewa karena barang yang mereka minta masih tersedia."Alhamdulillah, An. Kita ampe nggak istirahat!" ucapku kepada Andita yang terlihat sedang memijat-mijat betis."Iya, Bu. Mudah-mudahan besok rame lagi kaya sekarang. Biarpun capek tapi seneng ya, Bu?" sahut Andita sambil melengkungkan bibirnya."Assalamualaikum!"Aku dan Andita menoleh secara bersamaan ketika Abraham meng
Astaghfirullah, bagai ribuan duri menancap di relung hati ini. Sakit sekaligus malu diperlakukan seperti ini oleh suami sahku sendiri."Ya Allah, Mas. Walaupun dia selingkuhan kamu, Meskipun Lusi itu orang yang udah merebut suami aku, aku itu tidak sejahat itu loh, Mas. Lagian kamu kan tahu, aku ini kerja seharian. Mana tahu dia makan apa dan melakukan apa. Bisa saja dia jajan sembarangan, dia itukan aslinya juga memang jorok!" jawabku datar, membuat semua orang yang ada langsung berbisik entah membicarakan apa."Ibu Lusi itu alergi olahan susu sapi, Pak. Bisa jadi dari keju, yoghurt atau makanan sejenisnya," kata dokter bertubuh tambun itu menambahkan."Keju, Lusi alergi berat sama keju!" Mas Ibnu langsung berseru.Tanpa ba bi bu, laki-laki yang sudah menikahiku selama dua belas tahun tersebut berlari menghampiri sang gundik. Membelai lembut rambutnya dan hendak mencium kening wanita ular itu
Aku duduk di meja makan sambil menikmati nasi uduk buatan Mpok Melah yang rasanya sudah tidak diragukan lagi. Sudah murah, enak pula. Tidak lupa juga membelikan sebungkus untuk Mas Ibnu, karena hari ini tidak ada Lusi yang menyiapkan sarapan untuk laki-laki itu.Sekali-kali lah, Mas Ibnu sarapan enak. Jangan makan masakan bidadari somplak itu terus. Kasihan!Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka enam pagi. Gegas aku memesan ojek online untuk mengantarku berangkat ke toko, dan terus menghubungi Mas Ibnu ketika sudah keluar dari rumah."Ada apa, Sayang?" tanya Mas Ibnu dengan suara serak khas orang baru bangun tidur."Kamu sudah bangun? Sudah siang, ayo berangkat kerja. Nanti kalau kamu nggak kerja, siapa yang bayar biaya rumah sakit Lusi?" jawabku panjang kali lebar."Duh, masih pagi, May! Jangan bahas dia!"'Tumben, nggak mau bahas gundiknya!' gerund
Teringat dua belas tahun yang lalu, saat kami masuk ke kamar hotel setelah selesai melakukan resepsi pernikahan kami, Mas Ibnu membopongku masuk, tersenyum penuh arti sambil membisikkan kata cinta di telingaku.Aku begitu bahagia kala itu. Begitu juga dengan Mas Ibnu yang tiada henti-hentinya berucap syukur karena akhirnya bisa mempersunting ku.Tanpa terasa buliran-buliran air hangat mulai luruh dari ujung netraku. Sekuat tenaga aku sudah menahannya, tapi butiran-butiran luka itu tetap saja lolos tanpa mampu aku bendung lagi."Kok kamu malah nangis, May. Apa aku menyakitimu?" tanya Mas Ibnu seraya menghapus air mataku dengan ujung jarinya."Kenapa kamu menghianati aku, Mas?" Aku terus menatap manik hitam nan teduh milik suamiku.Hening. Hanya helaan nafas berat Mas Ibnu yang terdengar."Apakah kamu tidak pernah berpikir sedikit saja tentang perasaan serta ha
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem