Hari ini toko lumayan cukup ramai. Aku dan Andita cukup kewalahan melayani pengunjung, karena ternyata hari ini adalah hari valentine.
Mungkin karena faktor usia sampai aku lupa hari juga tanggal. Untung saja stok bunga mawar masih melimpah ruah, sehingga pelanggan tidak kecewa karena barang yang mereka minta masih tersedia.
"Alhamdulillah, An. Kita ampe nggak istirahat!" ucapku kepada Andita yang terlihat sedang memijat-mijat betis.
"Iya, Bu. Mudah-mudahan besok rame lagi kaya sekarang. Biarpun capek tapi seneng ya, Bu?" sahut Andita sambil melengkungkan bibirnya.
"Assalamualaikum!"
Aku dan Andita menoleh secara bersamaan ketika Abraham meng
Astaghfirullah, bagai ribuan duri menancap di relung hati ini. Sakit sekaligus malu diperlakukan seperti ini oleh suami sahku sendiri."Ya Allah, Mas. Walaupun dia selingkuhan kamu, Meskipun Lusi itu orang yang udah merebut suami aku, aku itu tidak sejahat itu loh, Mas. Lagian kamu kan tahu, aku ini kerja seharian. Mana tahu dia makan apa dan melakukan apa. Bisa saja dia jajan sembarangan, dia itukan aslinya juga memang jorok!" jawabku datar, membuat semua orang yang ada langsung berbisik entah membicarakan apa."Ibu Lusi itu alergi olahan susu sapi, Pak. Bisa jadi dari keju, yoghurt atau makanan sejenisnya," kata dokter bertubuh tambun itu menambahkan."Keju, Lusi alergi berat sama keju!" Mas Ibnu langsung berseru.Tanpa ba bi bu, laki-laki yang sudah menikahiku selama dua belas tahun tersebut berlari menghampiri sang gundik. Membelai lembut rambutnya dan hendak mencium kening wanita ular itu
Aku duduk di meja makan sambil menikmati nasi uduk buatan Mpok Melah yang rasanya sudah tidak diragukan lagi. Sudah murah, enak pula. Tidak lupa juga membelikan sebungkus untuk Mas Ibnu, karena hari ini tidak ada Lusi yang menyiapkan sarapan untuk laki-laki itu.Sekali-kali lah, Mas Ibnu sarapan enak. Jangan makan masakan bidadari somplak itu terus. Kasihan!Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka enam pagi. Gegas aku memesan ojek online untuk mengantarku berangkat ke toko, dan terus menghubungi Mas Ibnu ketika sudah keluar dari rumah."Ada apa, Sayang?" tanya Mas Ibnu dengan suara serak khas orang baru bangun tidur."Kamu sudah bangun? Sudah siang, ayo berangkat kerja. Nanti kalau kamu nggak kerja, siapa yang bayar biaya rumah sakit Lusi?" jawabku panjang kali lebar."Duh, masih pagi, May! Jangan bahas dia!"'Tumben, nggak mau bahas gundiknya!' gerund
Teringat dua belas tahun yang lalu, saat kami masuk ke kamar hotel setelah selesai melakukan resepsi pernikahan kami, Mas Ibnu membopongku masuk, tersenyum penuh arti sambil membisikkan kata cinta di telingaku.Aku begitu bahagia kala itu. Begitu juga dengan Mas Ibnu yang tiada henti-hentinya berucap syukur karena akhirnya bisa mempersunting ku.Tanpa terasa buliran-buliran air hangat mulai luruh dari ujung netraku. Sekuat tenaga aku sudah menahannya, tapi butiran-butiran luka itu tetap saja lolos tanpa mampu aku bendung lagi."Kok kamu malah nangis, May. Apa aku menyakitimu?" tanya Mas Ibnu seraya menghapus air mataku dengan ujung jarinya."Kenapa kamu menghianati aku, Mas?" Aku terus menatap manik hitam nan teduh milik suamiku.Hening. Hanya helaan nafas berat Mas Ibnu yang terdengar."Apakah kamu tidak pernah berpikir sedikit saja tentang perasaan serta ha
."Nggak mau. Aku kan masih kangen sama kamu. Masa gandeng tangan suami sendiri nggak boleh!" Aku pura-pura merajuk."Manis banget istrinya Mas kalau lagi ngambek!" Mas Ibnu mengusap lembut pipiku.Cup!Bibir laki-laki itu tiba-tiba mendarat di kening. Aku menatap manik hitam suamiku, ternyata getaran cinta di hatiku masih ada, bahkan terasa masih kuat. Apalagi kalau dia memperlakukan aku dengan manis seperti ini, walaupun aku tahu semua hanya sandiwara untuk menutupi kebusukannya."Ayo masuk!" ajaknya ketika kami sudah sampai di depan kamar Lusi.Aku terus merangkul lengan suamiku, dan kentara sekali kalau dia merasa risi ketika masuk dengan mode seperti ini."Assalamualaikum!" ucapku tanpa melepas tangan Mas Ibnu.Ibu yang sedang berbaring di sofa langsung menjawab salam dan tersenyum mel
Aku membuka mata dan segera turun dari tempat tidur karena sang muadzin sudah mengumandangkan adzan subuh.Gegas aku masuk ke dalam kamar mandi, mengguyur tubuh menghilangkan hadas besar dan lekas membangunkan Mas Ibnu."Memangnya jam berapa, May?" tanya Mas Ibnu seraya menggeliat seperti ulet keket."Udah subuh. Ayo mandi. Kita sholat berjamaah. Sudah lama loh, kita nggak sholat bareng-bareng!" Sahutku seraya mengenakan pakaian."Mas absen dulu ya." Dia kembali membungkus tubuhnya dengan selimut."Berarti nanti malam absen tidur di kamar ini juga ya. Aku nggak mau tidur bareng sama orang yang nggak mau sholat!" pungkasku."Iya deh. Sekarang jadi doyan ngambek istrinya Mas!" Dia mencolek daguku.Aku mendengkus kesal karena wudhuku jadi batal.Pagi ini, setelah sekian lama akhirnya kami bisa sholat berjamaa
"Kok melamun?" tanya Mas Ibnu menarikku dari lamunan."Nggak, Mas. Ya sudah aku kerja dulu. Kamu hati-hati di jalan." Membuka pintu mobil dan lekas keluar.Aku melambaikan tangan ketika Mas Ibnu membunyikan klakson dan menggerakkan kendaraan roda empat miliknya menjauh."Wah, Bu Mayla cantik sekali hari ini," puji Andita yang ternyata sudah berada di teras toko."Gombal kamu, An!" sahutku seraya mengambil anak kunci dari dalam tas."Tadi suaminya Ibu?""Iya, An." Mengulas senyum."Romantis banget ya."Alisku bertaut mendengar dia bilang suamiku romantis. Jangan-jangan, Andita tadi melihat Mas Ibnu mencium bibirku?Biarlah, dia kan suamiku. Dan masih halal melakukan apa saja denganku.***"Fik, tolong kirim ra
"Iya, May. Maaf. Aku benar-benar nggak tahu." Mas Ibnu menggengam jemariku dan mengecupnya dengan lembut. Aku mlepas sabuk pengaman karena kami sudah sampai di parkiran pusat perbelanjaan. Mas Ibnu menggadeng tanganku mesra menuju toko perhiasan yang lumayan cukup besar dan bagus-bagus sekali modelnya. "Waw.... inikan yang Bram fotoin ke aku tadi siang...." Aku menatap kagum sebuah kalung limited edition bertahtakan berlian yang terpajang di etalase. "Ta–tapi, itu harganya terlalu mahal, May." Mas Ibnu tergagap melihat harganya. Ah, tapi masa iya, dia tidak punya uang sebanyak itu. Kayanya kalo dia beli sepuluh biji barang seperti itu juga dia mampu, deh. Kan aku tahu gaji dia itu lumayan gede, ditambah lagi tunjangan-tunjangan yang dia dapat dari perusahaan. "Kok, melamun?" Mas Ibnu mengusap lembut wajahku. Aku menyu
"Lus, Lusi!" Aku membangunkan Lusi yang masih terlelap di balik selimut."Apaan sih, May. Aku masih ngantuk!" Perempuan berambut keemasan tersebut langsung membungkus kepalanya dengan selimut."Bangun, udah siang.""Aku mau membatalkan perjanjian itu, May. Aku nggak kuat!" Lusi menyibak selimut dan turun dari tempat tidur."Oke, kita bicarakan nanti di luar. Kamu mandi dulu. Bau banget!" Mengibas-ngibaskan tangan di depan hidung.Tanpa banyak basa-basi aku keluar dari kamar dan menghapiri Mas Ibnu yang sedang duduk membaca koran."Kenapa, May? Kok mukanya dilipet begitu. Cantiknya ilang tau!" Mas Ibnu mencubit pipiku."Memangnya aku cantik? Bukannya aku buruk rupa, wajahnya mbosenin dan keliatan tua!" sahutku kesal.Entahlah, akhir-akhir ini ruang emosiku lebih tinggi dan sulit sekali untuk terkendali. Moodku mudah se
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem