Hampir dua puluh menit aku menunggu, dokter juga sudah selesai melakukan tindakan kuretase kepada Lusi, dengan jam tangan bermerek milikku sebagai jaminannya. Untung saja pihak rumah sakit masih memberi sedikit toleransi dan mau menangani Lusi walaupun aku belum bisa membayar down payment biaya rumah sakit, karena itu menyangkut nyawa seseorang.“Pak Ibnu!” panggil Rudi sambil tersenyum ke arahku.Dih, sok akrab. Kalau sedang tidak membutuhkan tenaganya juga tidak mau dekat-dekat dengan para bawahan. Malas. Nanti ujung-ujungnya ngelunjak, cari muka, memintaku supaya mempromosikan mereka untuk naik jabatan.“Totalnya jadi lima ratus ribu ya, Pak. Soalnya tadi tukang ojek yang menjaga mobil Bapak minta tambahan uang. Katanya Bapak Cuma ngasih mereka delapan puluh ribu. Mereka semua mengancam jika aku tidak memberi mereka uang, maka mereka akan menahan mobil Bapak,” ucap Rudi panjang lebar.Bikin pusing saja. Apa dia tidak tahu perasaanku sedang tidak karuan?Membuka pintu mobil, duduk d
Tapi, kenapa suara perempuan itu sepertinya bukan suara Mayla istriku. Apa Abraham diam-diam memiliki kekasih lain selain Mayla?Sambil meringis menahan sakit aku berjalan menuju mobil. Kuseret langkahku sambil menahan nyeri karena kaki ini terus saja mengeluarkan darah. Aku tidak mau Abraham sampai tahu kalau aku membuntutinya.Masuk ke dalam mobil dan kembali melajukan kendaraanku menuju rumah sakit menemui Lusi.“Kamu dari mana saja, Mas?” Lusi menatap curiga ketika aku sampai di rumah sakit dengan keadaan yang teramat kacau.“Nyari Mayla!” jawabku jujur.Mata indah Lusi membulat sempurna mendengarku menyebut nama Mayla.“”Tenang saja, Lus. Aku nyariin dia Cuma mau minta uang gajiku, buat biaya perawatan kamu di rumah sakit!” ungkapku, tidak mau dia curiga dan mengira aku masih berhubungan dengan Mayla.“Tapi kok lama banget?”“Maylanya nggak ketemu. Sudah pindah. Ngikutin Bram sampai ke rumahnya juga dia malah lagi ena-ena sama perempuan lain. Sial banget aku hari ini tahu, nggak?
Bibir Lusi terkatup rapat. Mata perempuan berusia tiga puluh empat tahun itu menatap nanar ke arahku, menunjukkan rasa terkejut sebab aku menemukan benda tersebut di dalam tasnya.“Untuk apa kamu menyimpan benda seperti itu, Lusi?!” Sentakku kalap, tidak peduli kalau saat ini keadaan Lusi sedang tidak berdaya. Hati ini sudah terlanjur sakit serta terbakar cemburu.“Itu punya temen!” Jawabnya pelan.Bulsyit!Mana ada seorang teman yang menitipkan kontrasepsi kepada seorang wanita. Memangnya aku kaki-laki bodoh.“Katakan, Lusi. Siapa laki-laki yang tadi bersama kamu, juga beberapa pria yang berkirim pesan dengan kamu. Apa jangan-jangan, selama ini kamu menjual tubuh kepada mereka?!” Mencondongkan badan menatap dalam-dalam netra beningnya.Plak!Panas perih menjalar di pipi kanan serta kiriku, saat tangan Lusi mendarat. Dia terlihat kalap. Mungkin tersinggung dengan ucapanku.“Kenapa mesti tersinggung? Nyatanya banyak chat di ponsel kamu dengan para lelaki hidung belang, bahkan kamu meng
Ah, sepertinya tidak mungkin. Mayla begitu mencintaiku. Buktinya, walaupun sudah tahu aku berkhianat, dia masih mau memberikan hakku sebagai seorang suami. Pasti Mayla belum bisa move on dariku.Karena penasaran, iseng-iseng kubuka sosial media berwarna biru belogo huruf F dan melihat apa saja kegiatan Mayla selama dia menjauh dariku. Pasti isi statusnya hanya ratapan-ratapan pilu. Aku sangat yakin itu.Dan ....Sial!Kenapa semua statusnya malah memamerkan kedekatannya dengan Abraham juga Gus Azmi. Apa maksudnya coba?Apa dia sengaja ingin memanas-manasi aku?Tidak Mayla. Aku tidak akan cemburu melihat kamu bersama kedua manusia sok alim itu. Aku masih lebih hebat dari mereka, bahkan kalau aku mau, saat ini juga aku bisa membawamu kembali ke rumah dan menjauhkan kamu dari kedua laki-laki sok tampan itu.Argh!Melempar semua yang ada di atas meja, hingga berkas-berkas yang belum selesai aku kerjakan berserakan di lantai.“Ibnu, apa-apaan kamu. Kenapa semua berkas-berkas yang ada di me
Drrrttt... Drrrttt... Ponsel dalam saku celanaku terus saja berdering. Lagi. Lusi memanggil. Sambil menahan emosi kugeser tombol hijau, menyapa wanita yang membuat moodku buruk sembari masuk ke dalam. “Mas, jemput sekarang. Aku sudah keluar dari rumah sakit, kamu malah nggak mau jemput aku!” Rutuknya tanpa basa-basi. “Iya, aku jemput sekarang!” jawabku malas. Kembali masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin kendaraan roda empat tersebut untuk menjemput Lusi. Orang lain yang berbuat, malah aku yang suruh repot. “Lama banget, sih?!” sungutnya saat aku menepikan mobil di parkiran rumah sakit. Aku hanya menoleh tanpa berucap sepatah kata pun. “Mana uang aku yang kamu pake buat bayar biaya rumah sakit?” Lusi menodongkan tangan. Aku mendesah kesal. Duit mulu yang ada di dalam otaknya. “Mas! Mana uangnya?!” teriak perempuan berambut keemasan itu membuatku berjingkat kaget. “Nggak ada!” jawabku sambil fokus mengemudi. “Kok bisa nggak ada? Pokoknya aku nggak mau tahu. Ganti uang aku s
#Mayla“Oke. Kalau kamu tidak mau memberikan uang itu. Berarti saya tidak akan menceraikan kamu juga. Supaya status kamu gantung dan tidak ada satu orang pun yang bisa menikahi kamu!” ancam Mas Ibnu, menatap menghunus manikku.Aku menyentak nafas kasar sambil membuang muka. Kebiasaan, hobi sekali mengancam serta menekan istri.Tapi aku tidak akan gentar, Mas. Aku akan mempertahankan hakku dan juga Raihan, tidak akan membiarkan apa yang sudah kita berdua susah payah kumpulkan dinikmati oleh si pelakor.“Aku pastikan hidup kamu tidak akan bahagia, Mayla!” ucapnya lagi sebelum pergi meninggalkan toko bunga tempatku bekerja.“Kamu yang sabar, Mayla. Jangan takut!” Abraham mendekat dan berdiri di sisiku.Aku mengangguk dan tersenyum.“Aku akan selalu melindungi kamu dan juga Raihan!” ucapnya lagi.Aku menoleh menatap wajah tampannya. Lagi. Ada desiran aneh di dada manakala tanpa sengaja pandangan kami saling berserobok. Aku tidak tahu perasaan apa yang sudah bertengger di dada. Apakah itu
“Mayla! Kamu itu kenapa sih?!” Ternyata Abraham mengejar dan mengambil paksa semua barang yang ada di tangan.“Aku mau pulang, Bram. Anak aku nungguin!” ucapku meninggikan nada bicara satu oktaf.“Kan tadi aku sudah bilang. Kita pulang bareng-bareng. Rumah kita searah. Kamu juga pulangnya ke toko aku!” Dia menatap tajam wajahku tanpa ekspresi.Aku menelan ludah sambil memalingkan wajah. Salah tingkah.“Kembalikan barang-barang aku, Bram!” pintaku memelankan nada bicara.“Aku nggak mau!”Ya Tuhan, aku baru tahu kalau laki-laki ini begitu keras kepala. Apa sih maunya Abraham?“Bram. Aku mau pulang. Anak aku nungguin!” Memasang wajah memelas.“Mayla. Kita pulang bareng. Memangnya kenapa sih kalau jamu pulang sama aku? Apa kamu lagi ada janji sama pria lain?”Memutar badan, berlari menuju lift dan turun ke lantai dasar. Dan ketika berada di halaman mal ternyata Athira dan pria itu sudah berdiri di sana.Ya Allah. Maunya dia apa sih? Apa sengaja ingin memanas-manasi aku dengan kekasih baru
Malam kian beranjak larut dan sunyi. Aku membenamkan tubuh ke dalam selimut, mencoba memejamkan mata menjemput lelap, mengistirahatkan badan serta hati yang terasa lelah. Tidak lupa juga mematikan ponsel. Menghindari panggilan masuk dari orang-orang terdekatku.Namun entah mengapa, walaupun berusaha untuk memejamkan mata, hati ini terus saja berkelana. Aku selalu saja memikirkan perempuan yang siang tadi bersama Abraham di mal.Ya Allah. Kenapa aku harus merasa seperti ini?Kenapa aku harus marah melihat dia bersama wanita lain?Dia itu bukan siapa-siapa aku. Dia dekat sama aku juga hanya karena kasihan melihat aku selalu disakiti oleh Mas Ibnu.Kembali membuka mata, menyalakan ponsel memutar murrotal supaya hati merasa tenang. Aku tidak mau terus-menerus memikirkan kaki-laki yang tidak memiliki hubungan apa-apa denganku.Menyibak tirai, membuka pintu ketika sebuah mobil berwarna merah terparkir di depan rumah dan Gus Azmi keluar dari dalam mobil tersebut. Wajah Raihan terlihat sangat
Abraham terkekeh mendengar jawaban dari istrinya. “Kamu itu sekarang istrinya Mas, An. Nggak apa-apa kali Mas liat aurat kamu!” “Tapi, Mas. Aku malu.” Lagi. Pria bertubuh tegap serta berambut panjang itu tertawa nyaring. “Udah, buruan keluar. Mas kebelet!” Menggedor-gedor pintu. Pelan-pelan Andita membuka pintu, menyilang tangan di depan dada kemudian berjalan gemetar melewati suaminya. “Lama!” Abraham menjawil pipi sang istri lalu masuk ke dalam kamar mandi. Belum juga mengenakan pakaian, Andita kembali dibuat kaget oleh suaminya yang tiba-tiba sudah terlihat dalam pantulan cermin. Wajah wanita itu bersemu merah ketika merasa sedang diperhatikan oleh Abraham, sebab ini kali pertamanya berada dalam satu kamar dengan laki-laki, dengan keadaan seperti ini pula. Buru-buru Andita membuka tasnya, mengambil sepotong gamis dan segera mengenakannya. “Di lemari banyak baju, An. Ibu sengaja beliin buat menantu kesayangannya. Kamu pakai baju pemberian Ibu saja!” titah Abraham seraya mend
“Saya terima nikah dan kawinnya Andita Putri binti Bapak Yusuf, dengan mas kawin tersebut dibayar tunai!” Dengan sekali tarikan napas Abraham mengucap janji suci di hadapan Allah, mengambil alih tanggung jawab serta dosa Andita ke pundaknya.Semua hadirin ramai gemuruh mengucap ‘sah’ diiringi lelehan air mata Yusuf—ayah Andita. Laki-laki berusia empat puluh enam tahun itu merasa begitu bersyukur karena akhirnya sang anak dipersunting oleh seorang laki-laki yang paham agama, baik, mapan pula. Rasanya bagaikan mimpi bisa menikahkan anaknya dengan orang yang kastanya lebih tinggi darinya, tetapi mau menerima Andita apa adanya.Tidak lama kemudian Andita keluar menemui laki-laki yang kini sudah menyandang gelar sebagai suami, menyalami serta mencium punggung tangannya dengan khidmat.Tangan Abraham terlihat begitu gemetar ketika untuk pertama kalinya bersentuhan begitu lama dengan seorang wanita. Dia terus menatap Andita yang terlihat begitu cantik memesona dengan kebaya putih melekat di
Dia kemudian kembali membawa istrinya ke rumah sakit menuruti saran bidan, walaupun ada sedikit rasa kesal dalam hati. Tapi mau bagaimana lagi. Demi anak yang ada dalam rahim Lusi, supaya dia selamat dan mendapatkan kesempatan menatap dunia ini.***Sesampainya di rumah sakit. Lusi segera mendapatkan penanganan dan segera dibawa masuk ke ruangan khusus sebelum menjalani operasi sectio caesarea.Wajah Ibnu mulai menegang serta ketakutan. Dia berdoa dalam hati, semoga Tuhan menyelamatkan istri serta calon anaknya.Lampu indikator menyala. Pertanda tindak operasi sudah dimulai dan beberapa menit lagi bisa melihat calon anak yang sudah ditunggu selama tujuh bulan lebih ini.Tidak lama kemudian, seorang dokter anak keluar mendorong sebuah boks bayi dengan raut wajah mendung. Dia menghampiri Ibnu yang sedang duduk terpekur di kursi tunggu dan menyuruh ayah dari bayi yang baru saja dilahirkan untuk segera mangazani anaknya.“Astaghfirullahaladzim!” Ibnu beringsut mundur saat melihat keadaan
POV Author.Ibnu duduk sambil meremas rambutnya frustrasi. Berkali-kali dia mencoba membuka usaha, akan tetapi hingga uang yang dia pinta kepada Mayla, uang hak Raihan putranya habis tapi tidak ada satu usahanya pun yang berkembang. Semuanya bangkrut tidak menyisakan apa-apa selain hutang yang kian menumpuk di bank.“Mas, bagi duit dong!” Lusi—istrinya menghampiri seraya menodongkan tangan.Ya. Ibnu dan Lusi sudah menikah. Mereka sengaja pindah tempat tinggal jauh dari orang-orang yang mengenali mereka dan kemudian melangsungkan pernikahan secara siri. Sebab di kota kelahiran mereka, tidak ada satu ustaz pun yang mau menikahkan karena mereka masih ada hubungan darah.Pun ketika di Jakarta dan di komplek tempat tinggal mereka. Pak RT serta ustaz yang diminta untuk menikahkan selalu saja menolak. Mereka tidak berani melanggar peraturan agama sebab Lusi adalah keponakan Ibnu sendiri dan masih ada garis keturunan nasab di antara mereka berdua.“Kamu itu minta duit melulu, Lus. Nggak tahu
“Kalau sakit bilang ya, Bu.” Dokter berujar lagi sambil terus menatap teman sejawatnya yang berada di balik tirai.Suara dentingan alat medis saling beradu mendominasi ruangan. Para dokter dan perawat asyik berbincang entah apa yang sedang mereka bicarakan aku kurang paham. Sementara diriku, masih saja dalam suasana ketegangan, walaupun tidak setakut saat baru masuk ke ruangan ini.Aku menghela napas panjang, menepis rasa itu jauh-jauh sambil membaca semua doa yang aku bisa. Hingga akhirnya merasa dada ini seperti sedang diimpit benda berat, sesak, hampir tidak bisa bernapas kemudian ucapan hamdalah diserukan oleh para dokter di ruang operasi.“Baby boy sudah keluar satu ya, Bu.” Dokter anestesi yang sedang memperhatikan teman-temannya berkata.“Alhamdulillah ....” responsku sembari menitikkan air mata yang sudah tidak bisa lagi dibendung. Bahagia karena akhirnya salah satu anak kembarku sudah lahir ke dunia ini.Suara tangis jagoan kecilku bagai menyulap rasa yang sedang bertengger d
“Sayang, lagi ngapain?” Menoleh ke sumber suara sambil menerbitkan senyuman di bibir.“Nggak ngapa-ngapain, Mas. Cuma lagi kepanasan saja!” jawabku singkat.“Oh, istrinya Mas gerah?” Dia melenggang ke ruang tengah dan tidak lama kemudian kembali lagi dengan kipas anyaman bambu di tangannya. Orang Tegal biasa menyebutnya ilir.“Sini Mas kipasin biar nggak kegerahan!” Gus Azmi segera duduk di sebelahku, membiarkan tubuh gemukku bersandar di tubuhnya lalu dengan cekatan mengipasi tubuh ini yang sudah basah oleh keringat.“Pinggang Adek juga sakit, Mas. Kaki rasanya ngilu semua. Pokoke nikmat.....banget rasanya, Mas.” Bukannya mengeluh kepada Tuhan, tapi hanya ingin suami tahu apa yang sedang aku rasa saat ini. Supaya dia tambah sayang dan perhatian kepada diriku.“Sabar ya, Sayang. Dua bulan lagi dedeknya lahir. Terima kasih ya, Dek, karena sudah mau menjadi Ibu dari anak-anaknya Mas.” Dia mendaratkan ciuman singkat di pipi.Segera kurebahkan tubuh di atas sofa, dengan paha suami sebagai
Aku mengusap wajah Gus Azmi yang semakin terlihat tampan memesona, mengunci matanya dengan pandangan, melebur rindu yang sudah menggunung di dalam kalbu.“Kalau njenengan kerso, ya lakukan saja, Mas. Kan aku ini istri njenengan!” bisikku dekat sekali di telinga.“Jangan, sayang. ‘Kan nggak boleh sama dokter. Mas nggak kepengen begituan, kok. Mas Cuma kepengen meluk Adek doang!” Dia kembali mendaratkan ciuman singkat di kening.Aku menarik tangan suaminya dan menjadikannya sebagai bantal. Sudah kangen tidur di lengan kekarnya.“Kembarnya Abi lagi ngapain? Kangen ya sama Abi?” Gus Azmi mengelus perut gendutku dengan gemas, sembari terus mengulas senyum kepadaku.“Adek bobok lagi ya, Mas. Masih ngantuk.”“Iya, Sayang. Jangan lupa baca do’a.”Aku menjawab dengan menganggukkan kepala, mempererat pelukan kemudian kembali memejamkan mata.Setelah beberapa menit tertidur dengan mode saling memeluk, aku mengubah posisi memunggungi suami karena pinggang sudah terasa panas jika terus menerus tid
“Saya minta maaf, Gus!” lirihnya, bagai suara angin sedang berkesiur.“Saya juga minta maaf karena sudah membuat sampean kehilangan Dek Mayla. Tapi asal sampean tahu, Mas. Aku juga sudah lama memperjuangkan Dek Mayla, jauh sebelum sampean mengenal dia,” beberku lagi.“Ya sudah, Gus. Saya ke bengkel dulu. Ini orang bengkel sudah chat saya, katanya saya suruh ke sana.” Mas Abraham mengalihkan pembicaraan.“Apa saya boleh ikut sama sampean?”“Bo—boleh, Gus.” Terlihat sekali kalau dia keberatan kalau aku mengikuti dia pergi.Segera kuhabiskan teh manis buatan Ibu, mencuci cangkir kotornya di belakang kemudian meletakkannya di rak piring.“Loh, Gus. Kenapa njenengan malah nyuci piring sendiri? Aturan biarin aja, Gus. Biar saya yang cuci. Njenengan ini ‘kan tamu? Moso tamunya nyuci gelas sendiri?” kata Ibu seraya menghampiri.“Mboten nopo-nopo, Bu. (Nggak apa-apa, Bu) Saya sudah biasa mengerjakan pekerjaan dapur di rumah. Bantuin Ummi sama istri!” Menerbitkan senyum kepada wanita berhijab h
“Kamu jangan terlalu memikirkan Raihan. Dia baik-baik saja. Mas pastikan Raihan akan kembali ke pelukan kita, sayang.”“Terima kasih, Mas. Pokoknya aku ikhlas tidak mendapatkan apa-apa dari Mas Ibnu, asalkan dia tidak mengambil anakku. Aku rela kehilangan semua asalkan jangan kehilangan putraku.”“Iya, sayang.”Segera kuakhiri panggilan, meminta Mas Abraham menyerahkan anjungan tunai mandiri milik Dek Mayla kepada Mas Ibnu.“Oke. Saya akan menyerahkan ATM ini, asalkan Mas Ibnu mau tanda tangan di atas materai. Aku ingin dia membuat pernyataan kalau dia tidak akan mengganggu kehidupan Mayla dan putranya!” usul Mas Abraham dan langsung kami sepakati.Gegas kami berjalan menuju tempat foto copy, menyuruh si empunya toko membuatkan surat perjanjian, menyuruh Mas Ibnu tanda tangan di atas materai dan setelah itu membawa Raihan pulang ke rumah Mas Abraham.Sebenarnya sudah tidak sabar membawa pulang putraku ke pesantren, karena hati sudah teramat merindukan Dek Mayla dan juga calon bayi kem