Bulan September baru saja lewat, tapi hawa panas akhir musim kemarau masih terasa di bumi.Tapi aku malah duduk di ruang kerja, merasa kedinginan di sekujur tubuh, seakan-akan berada di ruang bawah tanah yang terbuat dari es.Aku bergegas keluar dalam keadaan linglung.Aku masih tidak percaya Hendra akan mengkhianatiku. Aku masih merasa semua yang ada di komputer itu palsu.Pasti ada orang dengan rencana jahat yang mau memfitnah!Aku meneleponnya, tapi tidak diangkat.Dia bilang, ada acara makan bersama rekan, jadi aku pergi mencarinya di setiap restoran.Aku bersikeras mau tanya pada Hendra saat itu juga.Meminta kejelasan.Kemudian aku temukan Hendra di sebuah restoran daging panggang. Di mejanya, sekumpulan orang tampak ngobrol dengan senang.Sementara dia duduk di ujung meja dengan senyum tipis di bibirnya, tampak seperti pria sukses yang selalu lembut, anggun dan ramah.Di sebelah kanannya duduk seorang wanita berambut panjang dan mengenakan gaun putih.Matanya sebening air, tampa
Aku bahkan tidak pernah biarkan dia minum setetes alkohol pun.Dengan susah payah aku bantu dia jaga kesehatan pencernaannya.Tapi saat ini, agar “Kesayangannya” tersenyum, dia minum bir tanpa ragu.Tiba-tiba aku tidak tahan lagi.Ternyata saat orang sangat marah, mereka tidak mampu tetap tenang, berpikir rasional atau pertimbangkan untung ruginya.Dengan otakku yang bergemuruh, aku menyerbu maju.Merebut gelas dari tangan Hendra dan membantingnya ke lantai.“Bajingan!”Aku berteriak.Hendra menatapku dengan kaget.“Ah…”Vianie tampak ketakutan, dia mundur dua langkah dan terjatuh. Secara tak sengaja, panci berisi kuah mendidih di sebelahnya pun ikut jatuh, minyak panas memercik ke wajah dan dahinya.Dia berteriak.Hendra terkejut dan berteriak, “Vianie!”Semua orang berkumpul di sekelilingnya.Tiba-tiba bahuku terdorong dengan kekuatan yang dahsyat.Aku kehilangan keseimbangan, tersandung dan jatuh, dahiku terbentur sudut meja.Salah satu anak muda menatapku dengan tajam.“Dari mana d
Tiba-tiba aku berubah dari Caroline yang optimis, ceria, antusias dan ramah jadi orang gila yang sarkastis dan kasar.Hendra saat ini menatapku seolah-olah dia sedang menatap orang gila.Aku makin marah, mengambil bantal dan melemparkannya ke mukanya.“Pergi!”Hendra perlahan merapikan rambutnya yang berantakan, lalu berdiri, suaranya sudah tenang.“Sekarang kamu sedang emosi, nggak bisa berkomunikasi dengan tenang. Jadi mending aku pergi dulu.”“Hardi Wijaya sudah minta maaf padaku karena sudah dorong kamu. Ini juga bukan salah dia. Dia nggak kenal kamu, lagian kamu tiba-tiba datang, buat Vianie terkejut hingga dia terluka. Dia cuma mau bela Vianie.”“Dahi Vianie juga ada bekas luka bakar, tapi dia nggak berniat minta kamu tanggung jawab, jadi jangan khawatir.”“Pokoknya, masalah ini nggak seburuk yang kamu kira. Kamu tenangkan diri dulu. Kalau kamu benaran nggak bisa lupakan ini, aku bisa terima apa pun hukumanmu.”Dia membungkuk, memungut bantal dan meletakkannya di tempat tidur, la
Melihat aku abaikan dia, dia perlahan meletakkan termos itu dan berjalan keluar tanpa suara.Beberapa kali Melisa meneleponku, tanya kapan aku akan pulang dan bilang makanan yang dimasak ayahnya sangat tidak enak.Aku benar-benar tak tahu harus berbuat apa…Sehari sebelum aku keluar dari rumah sakit, aku tiba-tiba ingin pergi ke taman kecil di lantai bawah untuk hirup udara segar.Di sana aku kebetulan melihat Vianie dan Hendra.Vianie pakai baju rumah sakit dan Hendra memegang dua kotak makan, mereka bicara dengan suara pelan.Mereka berdiri berhadapan, angin sepoi-sepoi dari belakang meniup rambut panjang Vianie, membuatnya berkibar di wajah dan bibir Hendra.Hendra berdiri diam, membiarkan rambutnya sentuh wajahnya dengan lembut.Itu seperti hubungan tak terucapkan yang mesra.Setelah beberapa saat, dia tundukkan kepalanya dan memberikan satu kotak makan ke Vianie.Angin membawa bisikan Vianie, “Kakak!”Otakku tiba-tiba berdengung dan aku bergegas menghampiri.Saat Hendra lihat pupi
Hendra baru pulang ke rumah dua hari setelah aku keluar dari rumah sakit.Melisa dibawa ke rumah neneknya dan aku duduk sendirian di meja makan sambil makan semangkuk mie vegetarian.Dia lepas jaketnya, ganti sepatunya, melirik ke arahku dan berkata dengan tenang dia akan pergi ke luar kota untuk rapat selama dua hari ke depan.Aku terus makan mie, tak menanggapi.Tiba-tiba dia mencibir, “Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Kami nggak sekotor yang kamu kira. Kalau nggak percaya, kamu bisa periksa berita di akun publik rapat itu. Ada foto-fotoku saat bicara di sana.”Aku habiskan suapan terakhir dan pergi ke dapur untuk cuci piring.Saat keluar, aku melihat dia duduk di sofa sambil menyilangkan kaki dan tangan, ekspresinya tampak serius.“Caroline, keadaan sudah jadi gini, kita perlu bicara.”Akhirnya aku menatapnya.“Ayo bicarakan.”Dia sedikit mengerutkan dahi, lalu setelah beberapa saat, dia melanjutkan, “Masalah ini… Aku akui aku salah, tapi reaksi dan perilakumu akhir-akhir ini sudah
“Oh.”Dia menatapku dan menghela napas. “Setelah masalah ini selesai, kita bakal tetap menjalani hidup dengan baik. Aku bakal segera dipromosikan jadi wakil ketua, masa depan kita cerah.”“Telepon saja.”Suara Vianie terdengar bergetar karena gembira.“Kakak, gimana kamu tahu aku lagi kangen...”“Vianie.” Hendra memotong pembicaraannya, suaranya sedikit bergetar, “Caroline ada di sampingku. Dia mau minta maaf padamu atas semua yang telah dilakukannya selama ini. Dengarkan saja dia.”Ada keheningan di ujung telepon dan suaranya menjadi tenang.“Sebenarnya, aku nggak apa-apa. Pak Hendra, tolong jangan bahas cerai lagi. Asalkan kakak ipar nggak anggap hubungan kita terlalu kotor, aku sudah puas.”Hendra menyerahkan telepon padaku dan menatapku dengan serius.Aku menerimanya, dan berbicara dengan nada hangat.“Nona Vianie.”“...Halo, Kakak Ipar.”Aku tersenyum dan mengucapkan kata per kata.“Kalian masih berani mau dengar aku minta maaf?”“Kalian lakukan perzinahan dengan kedok cinta tanpa
“Kalau ini yang kamu mau, maka kamu berhasil.”Setelah berkata demikian, dia tersenyum sinis, mengemasi barang-barangnya dan pindah ke rumah ibu mertuaku.Keesokan paginya, ibu mertua dan saudara iparku menggedor pintu rumahku.“Caroline, kamu keterlaluan! Kamu terlalu kejam hanya karena masalah sepele gini. Kamu jelas tahu seberapa besar usaha kakakku dalam kariernya hingga saat ini! Di mana hati nuranimu?” Saudara iparku sangat marah.“Caroline, Ibu sangat kecewa padamu. Bisa-bisanya kamu khianati Hendra di saat penting kariernya. Bukannya suami istri harusnya jalani hidup bahagia dan menderita bersama. Ibu nggak nyangka kamu begitu kejam pada suamimu, bahkan nggak peduli pada cinta antara kalian?” Ibu mertuaku bertanya.Aku tampak tenang.“Cinta di antara kami? Emang dia peduli? Kalian mungkin nggak percaya, tapi dia bahkan suruh aku untuk minta maaf pada wanita itu. Bukan aku yang sebabkan konsekuensi ini, melainkan Hendra sendiri. Kalau dia punya nyali untuk selingkuh, dia harusny
’Nggak, aku mau marahi mereka langsung.’‘Aku nggak salah, akulah korbannya.’‘Mereka saja tidak sopan, untuk apa aku harus sopan?’Bukan untuk hukum mereka, tapi untuk selamatkan diriku sendiri.Masa depanku harus indah dan damai, aku tidak boleh biarkan hal sepele seperti ini pengaruhi suasana hatiku sedikit pun!Gimanapun juga, saat aku kepikiran betapa sulitnya kehidupan mereka sekarang, setidaknya tanganku tidak gemetar di pagi hari, tidak sesak napas lagi, aku bahkan bisa tidur nyenyak di malam hari.Ketika aku pergi jemput Melisa, entah gimana para ibu tahu hal ini dan berkumpul di sekitarku untuk menghibur.“Aku nggak nyangka keluargamu bisa alami hal seperti ini. Sepertinya di dunia ini nggak ada pria baik!”“Ibunya Melisa, kamu benaran langsung laporkan dia ke kantornya. Aku kagum banget lho. Tapi apa suamimu nggak bakal benci kamu?”Aku berkata, “Emang kenapa kalau dia benci? Palingan cerai saja.”“Cerai?”Tampak ekspresi terkejut di wajah semua orang.“Ibunya Melisa, nggak
Saat itu aku dan Melisa pergi ke rumah sakit untuk menjenguk Bu Nia yang kakinya terkilir. Ketika kami keluar, kami bertemu mereka.Keduanya sedang berdebat hebat di aula rawat jalan.Aku menggandeng Melisa dan berdiri di tengah kerumunan, aku terkejut oleh perubahan besar penampilan mereka.Vianie jadi keriput dan lusuh, mulutnya menjadi setipis garis, sudut bibirnya terkulai ke bawah dan dia mengutuk, “Omong kosong! Keluargamu nggak berguna. Orang tuaku yang harus kerja keras untuk urus anak kita. Beraninya mereka remehkan keluargaku? Beraninya mereka marahi aku, dasar jalang tua!”Hendra berwajah muram dan mengenakan jaket yang aku belikan untuknya beberapa tahun lalu. Pada usia 35 tahun, rambutnya sudah beruban dan dia tampak lelah dan tua.Bibirnya juga bergerak, sama sekali tidak mau mengalah.“Kamu yang sampah! Seluruh keluargamu sampah! Dasar benalu! Setelah sedot uangku, kamu masih mau targetkan keluargaku! Biaya pengobatan anak kita sangat mahal, keluargamu pun makan dan ting
“Semua orang nggak percaya dan bilang apa ada salah paham. Tapi Vianie malah bilang dengan keras bahwa itu benar, bayi dalam perutnya adalah anak Pak Hendra!”“Setelah dengar itu, Pak Hendra tiba-tiba marahi Vianie dengan keras, dia bilang Vianie yang sengaja goda dan bius dia, Vianie yang jebak dia tidur dengannya. Vianie juga nggak mau kalah, dia tanya balik, untuk pertama kali, aku emang bius kamu, tapi gimana dengan kedua kalinya? Ketiga kalinya? Apa itu juga dibius?”Setelah menutup telepon, aku terdiam cukup lama.Hari itu aku bilang pada Vianie ada cara lain agar dia tidak perlu kembalikan uang itu.Dia bertanya apa yang bisa dilakukan.Kataku, “Rebut Hendra pergi.”Niatku awalnya adalah minta bantuannya untuk lancarkan perceraianku, tapi aku tak menyangka dia bakal ambil tindakan ekstrem seperti itu.Aku sempat tidak percaya.Kalau teringat kata-kata penuh gairah dan membekas di folder [Kesayangan] itu, aku merasa sungguh ironis.Hendra dengan jelas bilang padaku dengan suara l
Aku tidak tahan lagi, sungguh tak bisa dipercaya. Aku pun berteriak, “Vianie itu satu-satunya istrimu, Hendra! Gimana bisa kamu bilang nggak pernah berpikir untuk bersamanya? Lalu apa gunanya ratusan dokumen itu? Untuk apa kalian berlagak mesra gitu?”‘Apa gunanya rencana perceraianku yang sudah aku rencanakan selangkah demi selangkah selama ini!’Hendra adalah orang yang keras kepala.Dia tampaknya siap membuktikan kata-katanya dengan tindakan.Sejak saat itu, dia bangun pagi tiap hari untuk buat sarapan, tapi aku dan Melisa bahkan tidak mau memandangnya. Aku pergi bekerja dan Melisa pergi sekolah, kami tidak banyak berkomunikasi dengannya.Siang harinya, dia juga kirimkan berbagai pesan padaku, seperti: [daun gugur indah yang jatuh di jalan], [makan siangnya] dan [teori apa yang dia temukan hari ini].Pada malam hari, dia cuci piring dan kerjakan pekerjaan rumah, mengucapkan selamat malam pada kami berulang kali sebelum tidur, begitu sabar dan gigih.Aku tidak tahan lagi dan pergi me
Keduanya menunjukkan ekspresi tidak rela dan tak puas di wajah mereka.Vianie tiba-tiba berteriak, “Kak”, kemudian memeluknya.Keduanya berpelukan erat.Melisa menggigit bibirnya dan menatap mereka, air mata mengalir tak terkendali.Aku menghela napas dalam hati.Aku awalnya tidak bermaksud menyeret anakku ke dalam kesalahan orang dewasa.Tapi ketika Melisa menangis dan berteriak padaku: “Aku pilih ayah” hari itu, aku tiba-tiba sadar bahwa dia sudah berada di dalamnya.Perkataan Melisa tentu saja menyakiti hatiku, tapi saat aku tanya pada diriku sendiri, aku tahu aku benar-benar tidak tega tinggalkan putri yang telah aku besarkan sendiri.Sejak kecil dia dekat dan bergantung padaku serta ayahnya.Hanya saja dia dituntun ke arah yang salah oleh orang lain yang punya niat buruk.Dia butuh aku dan aku butuh dia.Jadi aku biarkan dia menyaksikan kekejaman hidup sejak dini.Tak apa, asal aku di sampingnya, aku akan ajari dia jadi anak yang pintar, jadi orang yang cerdas, dan mampu hadapi ke
Tubuh Vianie bergetar, dia akhirnya tak bisa tahan air matanya lagi, dan menangis tersedu-sedu, berlari keluar sambil menutupi wajahnya.Sementara Hendra tetap berdiri kaku di sana, menatap ponselnya, tidak mengangkat kepalanya.Setelah kembali ke rumah, wajah Hendra muram dan suaranya galak, “Caroline, sudah kubilang, syaratku untuk pulang adalah lupakan masalah ini, tapi kamu nggak tepati janji!”Aku tersenyum dan berkata, “Ya, aku sudah ingkar janji. Kamu mau gimana?”Hendra terdiam cukup lama, menatapku dan berkata dengan nada yang penuh kesedihan, seolah hatinya telah mati.“Kita terpaksa cerai.”Aku mengangguk. “Oke.”Dia tertegun, ekspresi tidak percaya tampak jelas di wajahnya.Aku masuk ke kamar, mengambil sebuah dokumen dan serahkan padanya.“Ini surat cerai. Coba cek apa ada masalah.”Matanya terbuka lebar, mengambilnya dengan kaku dan bertanya sambil menggertakkan giginya, “Kapan… Kamu siapkan ini?”Aku menyipitkan mataku sambil memiringkan kepala dan berpikir.“Kapan ya? O
Dia terbata-bata, “Aku nggak mengenalimu saat itu, aku nggak tahan lihat kamu lukai orang lain. Lagian aku sudah minta maaf pada Pak Hendra.”“Minta maaf pada Pak Hendra? Emangnya dia yang terluka?”Tanyaku dingin sambil melihat ke arahnya.Mereka yang berdiri di tengah kerumunan itu semuanya adalah mantan bawahan Hendra. Mereka semua tampak geram dan merasa kasihan pada Vianie. Tampak jelas mereka anggap aku bersikap tidak masuk akal.Aku menatap Hendra lagi.Wajahnya sedikit miring, menatap Vianie yang berusaha keras menahan air matanya, masih terlihat kasihan dan sedih.Aku tersenyum, mengeluarkan ponsel dari tas dan menyerahkannya pada Hendra.“Tadi ponselmu ketinggalan di mobil, jadi aku bawakan. Aku juga sudah kirim rekaman video CCTV restoran daging panggang hari itu ke grup kalian.”Seketika tempat itu menjadi heboh, semua orang menunduk menatap ponsel mereka.“Video itu sangat jelas dan dapat membuktikan dua hal. Pertama, aku sama sekali nggak sentuh Vianie. Dia juga harusnya
Lembaga penelitian ini diinvestasikan oleh modal swasta dan Pak Stev adalah pemegang saham utama.Jadi Bu Nia setara dengan ratu.Mataku tiba-tiba terasa hangat.Hendra berdiri di samping dengan canggung.Dia sebenarnya tidak pandai bersosialisasi, tapi Pak Stev bilang dia hanya akan pertimbangkan untuk kembalikan dia ke jabatan semula jika Hendra bisa pastikan keluarganya harmonis dan tidak ada masalah. Jadi Hendra terpaksa berdiri di sampingku.Tiba-tiba mataku tertuju pada Vianie.Dia berjalan lurus ke arahku sambil bawa sepiring kue. Ekspresinya rapuh, tapi tetap tampak sombong, punggungnya tegak, di dahinya masih ada plester luka.“Bibi, ini kue yang kusiapkan khusus untukmu, mewakili departemen logistik,” katanya lembut.Aku menatapnya dengan tenang.Dia menurunkan alisnya dan berdiri tepat di sebelah Hendra. Entah itu suatu kebetulan atau suatu provokasi diam-diam dari seorang wanita lembut.Bu Nia mengerutkan dahi dan berkata, “Aku menderita diabetes, nggak boleh makan ini.”Vi
Aku tersenyum tipis. “Sudah selesai ujian setengah bulan yang lalu.”“Jadi, punya waktu untuk hadiri acara Hari Keluarga perusahaan?”“Ya.”Pada acara Hari Keluarga.Ketika aku dan Hendra muncul, seketika suasananya menjadi sunyi. Semua mata tertuju padaku, menatapku tanpa ekspresi apa pun.Aku jelas sadar, itu bukan tatapan bersahabat. Hendra telah membangun citra yang sangat baik di lembaga penelitian dalam beberapa tahun terakhir.Tentu saja dia itu baik.Dia tampak anggun dan sopan serta tidak banyak menuntut bawahannya, jadi sekumpulan anak muda itu sangat memujinya.Setelah sumpah Hendra di rumah sakit tersebar di lembaga penelitian, semua orang sangat tersentuh oleh perselingkuhannya dengan Vianie.“Dia memang salah, tapi nggak apa-apa. Ada banyak orang yang telantarkan anak dan istrinya, tapi mereka tetap baik-baik saja kok. Jadi kelakuan mereka ini masih termasuk biasa saja.”“Mereka berdua emang saling suka, tapi tetap nggak lewat batas. Aku nggak setuju sih, tapi masih bisa
Mata Melisa tampak merah dan bengkak, dia berteriak: “Ayah sama sekali nggak ada hubungan dengan Bibi itu! Ibulah yang licik! Ibu mau ganti ayah baru!”“Ada lagi?”Suaraku terdengar makin suram.Melisa mungkin belum pernah lihat aku seperti ini sebelumnya. Dia terdiam sejenak, lalu tidak nangis lagi dan menjawab pertanyaanku dengan patuh.“Lalu... Bibi tanya aku, apa Bibi Vianie cantik. Dia tanya aku, mau nggak Bibi Vianie jadi ibuku.”Kuku tanganku menancap kuat di telapak tanganku.“Melisa, kapan kamu ketemu Bibi Vianie?”“Aku sudah sering ketemu dia. Kadang saat Ayah datang jemput aku, dia ada di dalam mobil dan tanya apa dia boleh ikut pulang numpang mobil Ayah. Lalu aku bilang ya.”“Saat bibimu tanya apa kamu mau Bibi Vianie jadi ibumu, apa Ayah ada di sana?”“Ada.”“Apa dia bilang sesuatu?”“Nggak, dia nggak bilang apa-apa.”Aku pejamkan mataku dan biarkan darah yang mengalir deras di tubuhku perlahan jadi tenang.“Melisa, kalau ayah dan ibu pisah, kamu mau pilih siapa?”Air mata