"Yakin kamu menikah denganku, Fahim? Kamu masih ada waktu untuk memikirkan ulang, Fahim!" bisik Muzammil di dalam mobil. Aku dan Muzammil duduk berdampingan, tanganku berkeringat dingin.
"Aku siap, Kak Zammil," jawabku pelan.
"Kamu gugup ya?" tanya Muzammil yang selalu tersenyum mengembang.
"Tidak kok," jawabku berbohong.
Tak lama mobil yang kami tumpangi, parkir di satu masjid besar yang letaknya tak jauh dari rumah.
"Ayo kita turun, Fattah dan Hermin sudah menunggu di dalam," ajak Muzammil.
Aku melihat masjid itu tidak ada bedanya seperti hari-hari biasanya. Apakah Muzammil menikah sedemikian sederhananya, pikirku.
"Ini akan membuat kamu aman dan nyaman," bisik Muzammil.
Oh iya, kalau pernikahan ini meriah akan mengundang kontak banyak orang, bagaimana kalau salah satu ada yang mengenaliku? Kenapa aku tidak bisa berpikir ke sana sih?
"Rosa, kemarilah!" teriak Hermin memanggil.
Aku senang melihat
Kekuatan Faruq tak sebanding dengan aku yang kebetulan masih sakit tangan maupun kakiku. Aku terdorong ke belakang hingga sempoyongan. Aku tidak mengira Faruq yang datang sepagi ini. "Apa yang kamu lakukan?" tanyaku ketakutan. Tanpa menggubrisku Faruq menutup dan mengunci kembali pintunya. Dia berjalan mendekatiku. "Jangan mendekat!" bentakku. Faruq terus mendekatiku tanpa menghiraukan teriakanku. Kini aku terpojok, tubuhku terhimpit antara dinding dan tubuh Faruq. Aku takut, kebringasannya terbayang lagi di mataku. "Aku sudah menduga itu adalah kau, Fahim. Kamu tidak akan pernah bisa mengelabuhiku!" ujarnya geram. "Siapa yang ingin mengelabuhimu, Tuan Muda? Aku terjerat masalah berat, yang tidak kulakukan. Kamu yakin kan bahwa aku bukan pelakunya? Itu makanya aku harus menyamar" kataku. "Iya aku tahu, tapi itu hukuman yang pantas kamu terima karena untuk kedua kalinya kamu lari dari pernikahanku. Kamu sudah bikin aku malu!" uj
Entah kenapa aku suka sekali bila Muzammil memanggil namaku Zhee. Satu-satunya orang yang memanggilku dengan nama itu. Dan bila Muzammil yang memanggil suara manja dan lembut begitu menyentuh hatiku. "Zhee, nanti kalau sampai rumah aku telepon lagi ya, ini mau masuk pesawat," ujar Muzammil. "Iya Kak Zammil, hati-hati ya!" pesanku. "Kamu juga ya, jaga dirimu! Assalamualaikum ...!" "Waalaikum salam." Kemudian aku menutup teleponnya, hatiku hancur bila ingat kejadian barusan. Kenapa aku begitu lemah hingga tidak mampu menolong diriku sendiri. Padahal melawan Ikhsan atau yang lain aku masih ada kekuatan. Apa karena kaki dan tanganku yang belum sembuh betul. Aku beranjak dari sofa dan menuju kamar mandi. Kuguyur bajuku yang tercabik-cabik dan tubuhku yang penuh luka di bawah air shower. Aku menggosoknya sambil menangis sejadi-jadinya, menyesali perbuatannya yang tidak bisa dihentikan. Cinta penuh nafsu dan obsesi yang justru membuatku
Aku kembali tidak sadar, tekanan di kepala dan dada membuatku sulit bernafas. "Zhee, bangun kenapa kamu harus mengalami semua ini?" ujar Muzammil sambil menenggelamkan tubuhku dalam dekapannya. Aku masih bisa mendengarnya, meskipun samar-samar. Muzammil menciumi rambutku dengan penuh sayang. Karena apa yang sedang aku alami, aku malu untuk membuka mataku menatap Muzammil suamiku. "Bangunlah Zhee, aku tidak akan membiarkan dirimu sendiri lagi. Aku akan membawamu kemanapun aku pergi," janji Muzammil pada dirinya sendiri. Perlahan aku membuka mataku, Muzammil sedang menggenggam tanganku, air mata menggenang di matanya. Aku sudah kembali ke kamarku dan terbaring diatas kasur. "Kamu sudah sadar?" tanya Muzammil lega. "Maafkan aku, Kak Zaammil, seharusnya ini tidak terjadi," kataku pelan. "Hust!" sahutnya sambil menutup bibirku dengan telunjuknya. Kemudian kembali Muzammil mendekapku semakin kuat dan erat. Seakan mengga
Dret ... Dret ... Dret ...! "Papa?" panggil Muzammil memekik. Aku terperanjat, segera aku menjauh agar tidak terjangkau kamera karena mereka memanggil video. "Assalamualaikum, Pa?" sapa Muzammil. "Waalaikum salam," jawab papanya. "Kok ditunggu tidak menelepon sih, mana istrimu?" desak Sultan Mahmud, papanya. "Sabar Pa, kita masih ke dokter, nih pak dokternya nanti aku telepon, Pa!" jawab Muzammil gugup, asal ceplos sambil mengarahkan kamera ke wajah dokter. "Ke dokter? Jangan bilang dia sedang hamil?" tanya papanya menohok. Apa hamil?" kata Muzammil terkejut. Aku melihat wajah Muzammil yang memerah sambil memandangku. Bagaimana mungkin hamil baru kemarin menikah lagian dia tidak berani menyentuhku. Tapi bagaimana kalau aku bener hamil anaknya Faruq, bukankah dia menodaiku kemarin. Tidak! Jangan Ya Allah! Jangan beri hamba kemalangan seberat ini? "Tidak, Pa! Dia hanya kurang enak badan, tenang saja nanti aku ajak
"Ma, bagaimanapun Zhee adalah istriku. Diterima ataupun tidak dia tetap istriku, Ma. Kami berdua menikah secara agama maupun negara," ujar Muzammil menjelaskan. "Aku tidak peduli, jangan bawa dia pulang ke sini, Zammil!" pesan mamanya. "Apa maksudnya, Ma? Dia istriku berhak mendapat perlakuan yang layak, Ma," bantah Muzammil. "Kalau kamu mau mamamu lekas pergi dari dunia ini, silakan!" sahutnya. "Mama?" pekik Muzammil. "Mama menunggu kepulanganmu secepatnya, tanpa alasan!" ujarnya kemudian menutup teleponnya. Aku mendengarkan semua pembicaraan ibu dan anak itu. Aku merasa bersalah telah menciptakan masalah diantara mereka hanya gara-gara Muzammil menikahiku. "Zhee, maafkan aku ...," kata Muzammil terputus. "Tidak perlu minta maaf, Kak Zammil! Bukankah kita hanya menikah bohongan, Kak Zammil hanya ingin menolongku belaka," ujarku pelan menahan sedih. "Tidak begitu, Zhee, tidak ada yang salah dengan pernikahan kit
Aku malu mendengar kelakar mereka. Bisa-bisanya Muzammil berbicara seperti itu, padahal jangankan menyentuhku tidur saja kita terpisah. Kasihan Muzammil menutupi banyak hal hanya demi aku. "Sudah kalian berdua istirahatlah, besuk operasi kita mulai pukul 09.00!" pesan dr. Fuad. "Oke, kita cepat istirahat kok dan jangan khawatir sementara aku tidak menyentuh istriku kok," ujarnya sambil mata dan senyumnya menggoda aku. Aku yang tahu maksud kelakar Muzammil segera menunduk menahan malu. Dokter Fuad meninggalkan kamar kita sambil menutup pintu kamarku. Kini di kamar ini tinggal aku sendiri bersama Muzammil. Otomatis karena statusku suami istri Fuad menyediakan satu kamar untuk kita. "Aku tidur bawah saja, Zhee, tidurlah dulu aku masih mainan ponsel," kata Muzammil. "Jangan Kak, tidur di atas di sebelahku nggak papa kok," sahutku. Apapun alasannya dia adalah suamiku, aku harus berbakti kepadanya. Dia berhak atas tubuhku meskipun aku
Sakit rasanya pertama kalinya masuk ruang operasi dimana suasananya sangat mencekam. Aku harus terbaring sendiri tanpa seorang pun menjadi penyemangatku. Aku merasa begitu sepinya hatiku, hidup bagai sebatang kara. Tidak ada tangan yang siap menggenggamku, agar aku kuat dan tidak jatuh. Hanya Muzammil yang selama ini siap melakukannya untukku. Kenapa aku masih ragu dan menyia-nyiakannya? Karena pengaruh dari obat bius, antara sadar dan bermimpi. Anehnya Pangeran Muda Tukasha, Muzammil selalu datang di mimpiku sebagai penunggang kuda putih. Dia datang sebagai penolong aku dan Iqbal. Bukan Faruq yang datang melainkan Muzammil, itu sebagai pertanda dari Allah bahwa Muzammillah jodoh yang dikirim Allah untuk mengangkat diriku dari lembah nista. Tapi kenapa hatiku masih terpaut pada Faruq yang bernafsu iblis. Antara takut, jijik, muak, benci dan rindu. Karena berbagai pertimbangan dokter Fuad harus membius total diriku. Paska operasi pun aku ditempatkan di ruang isolasi.
Ternyata Muzammil sudah menceritakan tentang keadaanku yang sebenarnya. Bahkan Dokter Fuad juga tahu kalau Muzammil sedang menikah di Tukasha. Sekarang Dokter Fuad mengajak aku pulang ke rumahnya. Walau penuh keraguan aku menurut karena Muzammil yang memintanya. "Masuklah, Zhee!" ajak Fuad begitu sampai di apartemennya. "Baik, Dokter," jawabku. Aku berjalan masuk mengikuti langkah kaki Dokter Fuad. "Ini kamarmu, Zhee, dan sebelahnya kamarku. Bila kamu membutuhkan sesuatu bisa memanggilku," pesan Dokter Fuad. Aku jadi ragu, kamarku berdekatan dengan Fuad, sedang di rumah ini cuma kami berdua. Bagaimana kalau dia khilaf? Rasa trauma karena perbuatan Faruq masih menghantuiku. "Zhee, aku di sini sampai hari Kamis depan.," ujar Dokter Fuad. "Maksud Dokter?" tanyaku meyakinkan. "Hari Kamis depan aku kembali ke Singapura, Zhee," ujarnya. Aku terdiam, kalau Dokter Fuad kembali ke Singapura apa aku harus menempati
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese