"Rosa, bukalah cadarmu, sekali saja agar aku dan Faruq sahabatku tidak penasaran!" pinta Muzammil memohon.
"Penasaran kenapa, Pangeran Muda?" sahutku.
"Kita merasa kamu adalah Fahim," jawab Muzammil.
"Fahim? Siapa dia, Pangeran Muda?" tanyaku berpura-pura.
Aku ingin mendengar dari Faruq dan Muzammil apa arti diriku bagi mereka berdua.
"Fahim adalah wanita istimewa yang sedang mengisi hatiku, tapi sayang dia adalah kekasih sahabatku. Aku dan Faruq begitu tergila-gila padanya," ungkap Muzammil.
Betapa terkejutnya aku mendengar pengakuan Muzammil. Padahal selama ini aku belum begitu dekat apalagi mengenalnya. Aku bertemu dengan Muzammil bisa dihitung dengan jari, baru beberapa kali saja. Bagaimana semudah itu dia jatuh hati. Apalagi aku hanyalah orang biasa, hanya TKW yang teraniaya.
"Boleh kulihat wajahmu sekejap saja!" pintanya lagi mendesak.
"Tapi ...," bantahku gugup.
Muzammil tidak menghiraukan aku, dia beranj
Sudah seminggu aku tinggal sendirian di apartemen. Tapi hari ini pangeran muda menyuruhku memasak istimewa karena ada tamu. Fattah membawa belanjaan banyak sekali. Di Inagara tidak banyak wanita berkeliaran di luar. Sehingga belanja pun harus Fattah yang melakukannya. "Rosa, kamu kesulitan apa tidak masak sendirian?" tanya Muzammil yang tiba-tiba muncul di belakang Rosa. "Atau kupanggilkan pembantuku dari rumah?" lanjutnya bertanya. "Tidak, Pangeran Muda, ini sudah selesai kokl" jawabku. "Iyakah?" Muzammil tidak percaya. "Ini, tinggal menata ke meja makan saja, Pangeran," kataku. "Wow hebat sekali, Rosa, kamu juga pinter menghias piring," kata Muzammil kagum. "Biasa saja, ini sih tugas saya sehari-hari, Pangeran Muda," ujarku sombong. Ting ... Tong ...! Bel rumah berbunyi. "Tolong kamu buka pintunya, Rosa! Aku mau bersiap dulu!" perintah Muzammil kemudian menuju kamarnya. "Baik, Pangeran Muda," jawabku.
Aku mulai menyajikan sop buntut di mangkok ala Indonesia. Cara menyajikannya pun tidak berubah seperti biasanya bahkan aroma masakannya sontak membuat Iqbal mengingatku. "Umi," desah lirih Iqbal sambil matanya tajam menatapku. Sontak tangannya meraih tanganku, dan bekas luka di punggung tanganku terlihat jelas oleh Iqbal. Segara dia mengenaliku karena luka cambuk Tuan Hussein di tanganku belum sembuh benar. Mataku segera memberi kode agar Iqbal tenang. Agar Faruq dan Marwa tidak menaruh curiga. Kiranya Iqbal mengerti apa maksudku. "Iqbal, dia Mbak Rosa, abi tadi juga salah orang, buka saja cadarnya kalau kamu tidak percaya!" usul Faruq. Bergegas Marwa menyahut cadar itu dengan kasar dan menariknya hingga terlepas dan cadar itu jatuh di kaki Muzammil. Muzammil terperanjat melihat perangai Marwa yang kasar. Dia bergegas memungut cadarku yang jatuh di kakinya. "Marwa, apa yang kamu lakukan?" hardik Faruq. "Aku yang tidak per
Aku dalam dilema, seandainya aku ikut ke rumah Muzammil takut kalau dua pembantunya bisa mengenaliku. Tapi untuk tinggal sendirian di apartemen aku juga takut, apalagi dalam waktu begitu lama. Tapi kadang aku bertanya pada diriku sendiri, apa benar hanya karena itu? Terkadang aku merasa nyaman hanya berada di dekat Muzammil. Datang rasa kangen apabila sebentar saja tidak bertemu dengannya. Semoga ini bukan cinta, karena tidak pantas rasanya bila aku memiliki perasaan itu. Siapa aku? Bukan saja karena statusku yang hanya seorang babu tapi juga karena hidupku yang sudah hancur dan terjerumus ke lembah nista. Semoga mimpiku ditolong pangeran berkuda putih yang ternyata adalah Muzammil bukanlah sekedar mimpi belaka. Agar aku tidak terbawa perasaan dan nantinya akan kecewa dan tersakiti. "Rosa, kenapa kamu melamun di dapur?" tanya Muzammil yang muncul di belakangku. "Tidak apa-apa, Pangeran Muda," jawabku. "Istirahatlah!" perintah Muzam
Aku masih terdiam tak percaya, seolah semua bagai mimpi. Muzammil telah mengetahui segalanya, bukan saja luka di paha yang sedang kututupi, tapi luka di hatiku pun dia mengetahuinya juga. "Apalagi yang sedang kamu renungkan, hah? Udah tidur saja, aku menundanya pulang ke rumahku. Aku akan merawat kamu dulu," ujar Muzammil. "Tidak perlu, Pangeran, aku sudah tidak apa-apa. Nanti keluarga Pangeran menunggu, kasihan mereka datang dari Kerajaan Tukasha yang sangat jauh. "Ya sudah, gimana kalau sementara aku panggilkan Hermin ke sini, biar dia menemani kamu?" tawar Muzammil. "Bolehkah, Pangeran Muda? Apa bener pangeran akan memanggil Hermin untukku?" tanyaku seolah tak percaya. "Aku kan yang menawarkan? Tentu saja sudah kupikirkan sebelumnya. Santai saja, Hermin baik kok aku sudah mengenalnya lama sekali. Dia setiap Sabtu dan Minggu kerja paruh waktu di sini," Muzammil mengungkapkan. "Iya dia sangat baik, Pangeran, dia membantuku melewati se
Aku menguping pembicaraan di telepon antara Faruq dengan Muzammil. "Sekarang aku di rumahmu, Zammil," ujar Faruq. (...) "Pembantu barumu mempersilahkan aku masuk, dia sedang membuatkan aku kopi," kata Faruq. "Kayaknya bukan Rosa, dimana Rosa?" (...) "O jadi dia bersamamu di situ? Tidak apa-apa kok, aku cuma kangen sop buntut sama susu kurmanya. Semua itu mengingatkan aku kepada Fahim, Zammil." ujar Faruq sedih. Tak lama kemudian Hermin datang dengan membawa nampan berupa secangkir kopi dan makanan kecil. "Silakan diminum kopinya, Tuan!" kata Hermin mempersilahkan. "Iya, terima kasih." jawab Faruq. "Zammil, aku bisa melacak keberadaan Fahim sekarang." ujar Faruq. "Aku mendapat kabar dari pihak bank kalau Fahim habis menarik tunai di Gardu ATM di wilayah Barhee city," ungkap Faruq. Aku baru tahu ternyata posisiku bisa terlacak dari aktifitas ATM. Untung sekarang aku sudah berada di rumah Muza
Muzammil teringat saat itu aku sudah menceritakan kisah hidupku, tapi kali ini matanya melihat lagi bukti kekejaman keluarga Faruq dengan melihat bekas luka di tanganku. "Pasti ini rasanya sakit sekali, Fahim? Mereka selalu mencambukmu ya, di seluruh tubuhmu pasti penuh bekas luka?" tanya Muzammil menebak. "Itu tidak seberapa Pangeran, eh Kak Zammil, asal aku dan Iqbal tidak dipisahkan. Kami saling membutuhkan, aku sangat menyayanginya, Kak Zammil. Perpisahan adalah sesuatu yang paling aku takutkan," kataku sambil air mata menggenang di mataku. "Iya aku paham, Fahim, tapi hubunganmu sangat rumit apalagi setelah Faruq menikah," ujar Muzammil. "Kalau kamu bertahan disitu demi Iqbal maka kamu yang akan selalu tersakiti," lanjutnya. "Iqbal sekarang tenang, setelah tahu saya berada disini, Kak Zammil," ujarku kepada Muzammil. "Jadi dia sudah tahu kalau kamu ada disini?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya." Aku kangen Iqbal, Kak Zammil
Aku terkejut saat Muzammil mengungkapkan perasaannya kepadaku gara-gara mimpi itu. Dan anehnya aku dan Muzammil bermimpi sama, melarikan diri dengan menunggang kuda putih. "Kak Zammil tidak sedang bermimpi kan berkata ini?" tanyaku tak percaya. "Maaf, anggap saja hanya sekedar mimpi, Fahim! Anggap saja aku lagi mengigau juga boleh," kelakar Muzammil mengalihkan pembicaraan. "Aku sudah menduga, Kak Zammil pasti lagi bergurau," ujarku kecewa. Aku berharap apa yang baru saja kudengar itu adalah nyata, bahwa Kak Muzammil sedang jatuh cinta padaku. "Fahim, kembalilah tidur!" perintah Muzammil. "Haruskah aku beritahu Kak Zammil kalau aku juga pernah bermimpi yang sama? Apakah dia percaya? Takutnya dia berpikir aku hanya mengada-ada," batinku. "Kak Zammil, aku mau telepon Iqbal minta izin menikah denganmu, boleh ya?" pintaku kepada Muzammil. "Tentu saja boleh, gimana kalau besuk kita temui dia di sekolahnya?" tawar Muzammil.
Sepulang dari sekolah Iqbal, aku dan Muzammil langsung menuju Kantor Kedutaan Tukasha. Semua surat-surat dan paspor sudah bisa diselesaikan dengan mudah. Mereka mencatat aku sebagai warga Tukasha dengan nama Zhee Amalia. "Rencana berikutnya mohon restu pada orang tuaku," kata Muzammil. "Apa itu harus, Kak Zammil? Kan pernikahan kita cuma bohongan, haruskah melibatkan orang tua?" ujarku bertanya. "Bohongan? Aku seorang Pangeran, seorang Putra Mahkota Tukasha melakukan pernikahan bohongan? Aku sadar tujuanku menikahimu hanya untuk menolongmu, tapi namanya pernikahan itu sakral, Fahim," ujar Muzammil tegas. "Saya cuma takut mengalami banyak pertentangan, akhirnya gagal. Pasti orang tua Kak Zammil tidak mengijinkan Kak Zammil menikah dengan orang rendahan seperti saya," kataku ragu. "Tapi dengan menikah diam-diam keluargaku akan lebih kecewa bahkan marah besar bisa-bisa mereka menghukumku," ujar Muzammil dengan pandangan kosong. "Pernikahann
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese