Ruby dan Sena masuk ke kamarku. Aku yakin di benaknya dipenuhi pikiran kotor. Ruby dan Sena menatapku dengan tatapan tajam dan licik.
"Wah kayak Cinderella aja," ujar Ruby.
"Aku tahu kamu tidak menginginkan pernikahan ini, bukan?" tanya Ruby kepadaku.
"Apa kamu yakin bisa bahagia hidup dengan Tuan Muda? Apalagi kalau Tuan Muda nanti menikah lagi dengan Non Marwa," tanya Sena mendekatiku.
"Dan yang perlu kamu ingat, ancaman Nona Marwa tidak main-main!" Ruby mengingatkan.
"Apa yang kalian inginkan sebenarnya?" tanyaku kepada Ruby dan Sena.
"Aku ingin membantumu pergi dari istana ini," tawar Sena.
"Ini yang kamu inginkan sejak lama kan, aku kalah dan pergi dari Faruq?" gumamku dalam hati. "Aku mengalah bukan karena kalah, demi kebahagiaan Tuan Muda dan Iqbal anakku aku harus pergi," lanjutku.
"Apa hatimu masih bebal dengan semua yang kamu alami di sini? Tidak gentar juga?" tanya Sena mengumpat.
"Aku capek dengan semua ini, kalau kamu ingin aku pergi, apa yang bisa kamu bantu untukku?" tanyaku.
"Aku bisa membantumu keluar dari sini. Untuk yang lain maaf aku tidak bisa!" kata Ruby dengan sombong.
"Baik, itu sudah cukup bagiku, aku tidak menginginkan bantuan apapun dari kalian. Karena aku tidak suka berhutang budi kepada orang yang membenciku," jawabku dingin dan ketus.
"Oke cepat, kamu sudah kehabisan waktu, mobil penghulu sudah datang!" teriak Sena yang berdiri di depan jendela dan melihat jauh ke halaman.
"Ayo cepat!" desaknya tanpa memberiku kesempatan bersiap.
Ruby dan Sena bekerja sama menarik seprai, korden dan apa saja untuk disambung kemudian dikaitkan besi loteng agar terjuntai kuat ke bawah. Aku menatap ke tali itu dan sudah siap membawaku turun.
"Ruby, suruh Markamah matikan penerangan di halaman sebentar agar penjaga tidak melihat Fahim turun dan lari keluar!" perintah Sena kepada Ruby.
Dengan gerak cepat Ruby menelepon Markamah agar penerangan di halaman dimatikan sebentar. Dan tak berselang lama lampu halaman pun mati.
"Cepat Fahim lampu sudah mati! Kamu bisa lari sampai ke luar karena penjaga pasti sibuk mengurusi lampu," desak Ruby.
"Cepat!" Sena pun mendesak.
Aku gugup, panik, semua begitu tiba-tiba, aku pergi tanpa berpesan apapun kepada Iqbal maupun Priya, sahabatku. Aku meraih dompet yang berisi sedikit uang. Karena Faruq memberiku gaji langsung masuk rekening tanpa uang tunai. Dan tak lupa ponsel Faruq kubawa juga, kelak bisa bermanfaat bagiku. Aku memasukan semua di dadaku agar tanganku bisa berpegangan kuat pada tali dan bisa dengan aman turun ke lantai bawah.
Aku melangkah jendela dan kini mulai menitih tali yang terjuntai ke bawah. Kini aku sudah bergelantungan di tengah-tengah tali itu.
"Cepat Fahim, lampunya keburu di nyalain!" desak mereka berdua dari atas.
Aku tidak menjawabnya, antara takut dan capek aku masih bergelantung di tali. Saat aku melihat ke bawah ternyata tali itu tidak sampai ke tanah. Masih ada jarak sekitar tiga meter lebih. Itu berarti aku harus melompat. Aku jadi ragu dan takut.
Aku menatap ke atas, tidak mungkin untuk kembali ke sana. Aku melihat ke bawah, bagaimana aku turun? Untuk melompat masih jauh dan takut. Apalagi di bawah ada taman penuh kerikil hias yang tajam.
"Cepat turun Fahim, lampunya keburu menyala!" bentak mereka mendesak dan aku masih bisa mendengarnya.
Dengan kepasrahanku yang kuat, kupejamkan mataku dan Bismillahirrahmanirrahim! Aku melompat.
"Auh!" jeritku spontan.
Kini aku sudah di tanah, diatas kerikil tajam. Pahaku perih berdarah, ternyata ada luka. Aku mengamati dari mana luka ini kudapat. Ternyata ada ranting kering yang berdiri dan menancap di pahaku. Aku tidak memperdulikannya lagi karena lampu sudah menyala. Aku masih bersembunyi diantara dedaunan sambil memastikan keadaan aman.
Aku berlari menuju mobil itu untuk bersembunyi di bagasinya. Perlahan aku masuk dan merebahkan tubuhku di bagasi yang pengap dan sempit. Gaun pengantin yang lebar dan panjang sangat menyulitkan aku menata tubuhku. Aku harus menarik gaunku yang panjang agar bisa masuk semua. Setelah bisa masuk aku mulai merebahkan tubuhku dengan debar-debar jantungku yang berpacu hebat.
Clek!
Aku terperanjat, bagasi itu terkunci dengan sendirinya. Aku tidak berani berkutik, kudengar mobil mewah bisa membunyikan alarmnya bila dalam keadaan tidak aman. Aku mulai pengap dan berkeringat, dadaku terasa sesak. Aku mengeluarkan dompet dan ponselku dari dadaku.
Sepuluh menit kemudian mobil itu menyala. Aku berharap mobil segera pergi dari sini, keburu Faruq menyadari aku tidak ada di kamarku. Mobil pun mulai berjalan, aku merasa sesaat mobil berhenti itu pasti karena melewati pintu penjagaan.
"Selamat jalan, Tuan, hati-hati!" ucap penjaga pintu.
"Penjaga ... tutup pintunya! Periksa setiap mobil yang ke luar!" teriak Faruq keras.
"Baik, Tuan Muda!" jawab satpam tegas.
Deg! Bagai dihantam sebongkah batu dadaku. Aku masih bisa mendengarnya sekalipun suaranya tampak jauh dan samar-samar.
"Ayo cepat pergi!" gumamku dalam hati.
Mobil yang kutumpangi pun berjalan dan kemudian melaju dengan kencang.
Alhamdulillah! Plong rasanya dadaku. Aku benar-benar terbebas dari pernikahan itu, terbebas dari penderitaan. Lukaku semakin terasa sakit dan perih. Dadaku semakin sesak dan kepalaku pusing.
Apa yang terjadi denganku kemudian?
Bersambung ...
..
Aku merasa semakin sesak dan mual bahkan pusing yang menggigit. Keringatku terus mengucur membuatku tidak nyaman apalagi dengan baju sebesar ini dan bahkan penuh manik-manik. Kakiku yang terluka, terus keluar darah segar. Saat kuraba ada cairan mengental dan kucoba melihatnya merah dan anyir. Semakin pasrah dan putus asa melihatnya. Tiba-tiba aku merasa lelah dan mengantuk, akhirnya aku tidak ingat lagi. Saat mataku terbuka aku sudah diatas tempat tidur. "Dimanakah aku?" gumamku lirih dan ragu. Lelaki itu membelakangiku, berdiri menutup korden jendela kamar. Aku terperanjat saat mendapati tubuhku yang sudah berganti baju. "Bajuku?" pekikku sambil meraba lenganku. Lelaki itu membalikkan badannya, betapa terkejutnya aku. Hah? Tanganku menutup bibirku yang tertutup cadar. "Kak Zammil!" gumamku lirih. "Kamu sudah sadar? Aku memanggil dokter ke rumah, aku tidak berani membawamu ke rumah sakit. Aku yakin kamu juga
Muzammil penasaran dengan berita di televisi, dia ragu menyalakan televisi sambil menatap mataku. "Fahim, yakin kamu ingin menontonnya?" tanya Muzammil meyakinkan. "Iya Kak Zammil, aku harus tahu," ujarku yakin. Akhirnya Muzammil menyalakan televisi di kamarnya. Betapa terkejutnya di rumah Tuan Hussein ada pembunuhan. Dan tersangka sementara adalah aku. Karena barang bukti berupa pisau ada sidik jariku. Sholikin salah seorang sepupu Faruq tewas terbunuh di kamarku. "Bukan aku pelakunya, Kak Zammil," gumamku menyangkal. "Bukan aku, Kak Zammil!" tangisku sesak menahan takut. "Pemirsa, ini adalah wajah tersangka tunggal. Dia sedang melarikan diri, bagi kalian semua yang melihat wajahnya segera saja menghubungi kantor polisi," seorang reporter televisi sedang siaran langsung dan menunjukkan fotoku terpampang besar di depan kamera. "Tidak, kalian salah dengan menuduh umiku! Hati-hati semua kalian bicara! Aku Iqbal anaknya, aku yang menyuruh
Muzammil terus memaksaku agar aku menceritakan semuanya, agar dia bisa berpikir bagaimana cara menolongku. "Kak Zammil, aku disekap di istana itu sepuluh tahun lebih. Hanya aku seorang yang diperlakukan seperti tahanan yang dijaga ketat. Hampir setiap hari aku dijadikan pemuas nafsu oleh Tuan Muda Faruq. Akhirnya dari perkosaan itu lahirlah Iqbal," ujarku pelan. "Kasihan Iqbal memiliki seorang abi yang sebejat itu," kata Muzammil asal. "Dia selalu melukai tubuhku sebelum diperkosa, itu makanya aku tidak mau dinikahinya. Aku takut ...ngeri ... dia seperti monster, Kak Zammil," tangisku saat mencoba membayangkannya kembali. Muzammil segera meraih tubuhku dan memelukku erat, seolah dia ikut merasakannya. Aku diam sesaat, aku menikmati pelukan hangat Muzammil. Beban berat di dadaku berangsur mencair. "Betapa takutnya bila hari menjelang malam, ketakutan kalau Faruq datang ke kamarku," ujarku dengan derai air mata yang meleleh. "Tapi keliha
Aku membantu Yuni memasak di dapur. Muzammil olah raga di taman belakang rumah diantara pohon kurma yang sedang berbuah lebat. Sesekali aku mencuri pandang dari jendela dapur. Parasnya memang rupawan, dengan kumis tipis dan janggut dan bulu di rahang tipis dan halus berkilau. Tak sengaja mata Muzammil menangkap aku yang sedang mengamati dirinya. Aku malu bukan kepalang, apalagi setelah dia melayangkan senyuman manisnya. Aku segera menarik diriku dan sembunyi di balik dinding dapur. "Sudah Fahim, kamu istirahat saja!" pinta Yuni. "Tidak apa-apa aku harus bekerja kalau tidak badanku malah sakit semua," ujarku. "Dimana Yuli?" tanyaku saat melihat Yuli tidak bersama Yuni. "Dia lagi bersih-bersih rumah, kita bagi-bagi tugas, aku memasak dan membersihkan dapur," ujar Yuni. "Enak ya kalau punya teman pengertian, bisa diajak saling berbagi kayak sama saudara sendiri," kataku tersenyum kagum. "Kita hidup di negara orang ha
Aku sangat kecewa dengan Muzammil. Saat ingin kusandarkan beban berat di bahunya kurasa dia memberikannya tapi ternyata fatamorgana. Muzammil hanya memberi harapan palsu kepadaku juga Iqbal bahkan dia berkhianat. Padahal Iqbal sudah menaruh harapan besar kepada Muzammil untuk menjaga uminya. Aku mengambil dompet dan ponsel di kamar. Aku mengendap-endap bak pencuri takut ketahuan tuan rumah. Dengan clingukan memeriksa ke penjuru ruangan takut ada orang yang melihat kepergianku. Kini aku sudah berada di halaman depan yang sangat luas. Sama seperti rumah Faruq. Hanya saja pembantu Muzammil hanya dua orang wanita Indonesia dan tiga pembantu lelaki dari pribumi. Ada dua orang penjaga pintu gerbang, aku harus mencari akal untuk mengelabuhi mereka. Aku mengenakan baju yang dipinjamkan Yuni, begitu juga sandal. Muzammil berjanji akan membelikan baju dari butik langganannya dan baru siang ini akan diantar. Aku berpura-pura tenang agar penjaga tidak curiga. "Se
Aku tidak mengira akan tidur diantara ratusan orang bahkan tidak saling mengenal. Aku berpenampilan sedekil mungkin untuk menjauhkan para lelaki hidung belang agar tidak mendekatiku. Aku mulai punya teman dekat sependeritaan. Dia begitu ikhlas menolongku. Kami saling mendukung dan saling membutuhkan. "Fahim, besuk pagi aku part time, kamu hati-hati ya? Kamu punya uang tidak untuk beli makanan besuk?" tanya Hermin. "Ada Kok," kataku tidak enak hati merepotkan Hermin. "Coba kulihat!" ujarnya sambil merebut dompetku. "Waduh ini cuma cukup untuk sarapan, ini aku tambahi uang untuk beli makan siang ya? Makan malam nanti aku yang belikan," kata Hermin sambil memasukkan beberapa lembar uang ke dompetku. "Aku jadi merepotkan kamu, Hermin," kataku tidak enak hati. "Nggak usah sungkan, Fahim, siapa tahu suatu saat ganti aku yang merepotkan kamu," ujar Hermin tersenyum. "Terima kasih, Hermin," ucapku. "Oh ya, kamu punya ka
Aku kembali ke markas para gelandangan di bawah jembatan. Polisi sudah mengobrak-abrik persinggahan mereka. Bahkan menyapu bersih barang-barang mereka dan diangkut ke truk. Banyak TKI yang tertangkap dan dibawa paksa masuk bus. Mereka yang ditangkap dan dikumpulkan di lapangan serupa padang pasir di dekat jembatan. Ada seratus orang lebih tertangkap. "Akan dibawa kemana mereka, Diah?" tanyaku pada wanita yang mengajakku sembunyi, dia bernama Diah. "Dipenjara Fahim, sebelum mereka akhirnya dideportasi. Kemarin temanku ada yang tertangkap akhirnya dia dipenjara. Di situ dia dilecehkan sama polisi-polisi gila," cerita Diah. Sontak aku merinding, membayangkannya saja tidak bisa. Aku sudah mengalami tindakan seperti itu bertahun-tahun. Tapi aku merasa ini lebih ngeri lagi. Bagaimana kalau mereka tidak hanya seorang saja bahkan beramai-ramai? "Makanya kita harus hati-hati, kalau kita mau pulang ke Indonesia pasti mengalami masuk penjara. Ada juga sih
Wajahku terpampang di mana-mana, bahkan selebaran-selebaran yang terpasang di tembok-tembok. Mereka memajang wajahku saat bercadar dan tidak. Ini membuatku semakin tidak leluasa bergerak. "Fahim, ini sangat tidak aman buat kamu. Alangkah baiknya bila kamu mencari majikan saja dan kamu tinggal di rumahnya," usul Hermin. ”Iya aku tahu, Hermin," jawabku sedih. Aku merasa semakin terpojok dengan berita dimana-mana sebagai buronan. Bahkan Tuan Hussein mengadakan sayembara dengan bayaran yang menggiyurkan. Ini membuat orang semakin tertantang. Mungkin selain Hermin pasti sudah berkhianat. Dia akan memilih uang ketimbang pertemanan. "Tempat ini sudah tidak aman lagi buatmu, Fahim. Kita harus berpikir lagi kemana kita harus pergi. Atau kita bisa cari kontrakan saja, Gimana menurutmu, Fahim?" usul Hermin. "Aku setuju Hermin," jawabku pasrah. "Aku tidak bisa berpikir jernih lagi," kataku sedih. Dret ... Dret ... Dret ...! Ponsel Faruq yang kupeg
Ternyata orang yang sangat kucintai menusukku dari belakang. Diam-diam dia akan mengambil Erkan dariku. Pandainya dia bersandiwara seolah dia adalah pahlawanku, pelindungku juga anak-anak. Ternyata dia ular yang berbisa. Semenjak aku mendengar telepon dari Hema itu aku harus lebih hati-hati kepada Muzammil."Faruq, berikan Erkan kepadaku!" pinta Muzammil kepada Faruq.Dengan suka hati Faruq memberikannya kepada Muzammil. Aku menatapnya dengan kecewa, "harusnya kamu menjaganya, Pangeran, bukannya malah akan menculiknya," batinku."Aku akan menyuapinya, Pangeran," kataku."Suapi saja biar kugendong," usul Muzammil.Tanpa berontak terpaksa aku menyuapi Erkan yang dalam gendongan Muzammil. Sambil bergurau riang menghibur Erkan agar mudah makan. Aku melihat Faruq terpaku menatapku, perasaan canggung mulai menghinggapiku."Assalamualaikum ...?" sapa Marwa yang tiba-tiba muncul di depan kami."Waalaikum salam," jawab kami bersamaan."Marwa?" panggil Faruq terkejut."Nyonya Marwa?" panggilku
Muzammil terkejut ternyata yang menelepon pengawal istana dan mengabarkan hasil penyelidikannya. Ternyata benar wanita yang aku curigai itu adalah Marwa. Berarti Marwa ada di Indonesia? Apa yang dilakukan di negaraku? Apa karena Faruq dan Iqbal belum pulang ke Inagara? Apakah Marwa sudah tahu kalau Faruq sedang sakit? Kalau benar dia sudah tahu tapi kenapa masih mengejar-ngejar Faruq? Apa itu artinya cinta Marwa tulus kepada Faruq? Faruq tidak boleh menyia-nyiakan ketulusan hati seorang istri. Aku tahu Marwa begitu membenciku karena rasa cemburunya yang begitu buta karena takut kehilangan Faruq. Tapi kalau ternyata dia belum mengetahui kalau Faruq sedang sakit, apa yang akan terjadi bila akhirnya dia tahu? Apakah dia akan meninggalkannya?"Awasi terus jangan sampai kehilangan jejak!" perintah Muzammil kepada pengawal istana kemudian menutup teleponnya."Ternyata feeling kamu benar, dia adalah Marwa," gumam Muzammil."Aku takut, Pangeran!" ujarku lirih.Muzammil segera memelukku, hang
Aku sudah kembali ke rumah, betapa bahagianya melihat Iqbal dan Erkan serta adik barunya bermain dengan rukunnya.. Gadis yang manis itu akan aku adopsi dengan nama Naura. Sepertinya itu nama yang cantik dan cocok buat dia. Aku dan Muzammil menemani mereka bermain di teras rumah."Iqbal suka punya adik cantik dan manis seperti dia?" tanyaku kepada Iqbal."Suka, Umi," jawab Iqbal. "Aku senang tinggal di sini, Umi, rasanya tidak ingin kembali ke Inagara," gumamnya."Kasihan abi juga opa dan oma, Sayang," hiburku."Nanti Iqbal akan semakin sering bertemu dengan mereka, jangan khawatir!" Muzammil juga menghiburnya."Iqbal sayang kan sama adik-adik?" tanyaku."Iya Umi, aku sayang banget sama adik-adikku, mereka imut," sahut Iqbal. "Sekarang adikku ada dua iya kan, Abi?" lanjutnya bertanya Muzammil."Iya, ada dua, kamu mau nambah lagi?" kelakar Muzammil."Ih apaan sih, Pangeran, mereka masih kecil-kecil repot tahu?" selaku berbisik sambil mencubit lengan Muzammil."Auh sakit, Zhee!" tawa Muz
Aku segera membacanya, betapa terkejutnya hatiku membaca isinya. Ibu menginginkan aku menikah dan bahagia dengan Faruq. Karena di depan matanya Faruq banyak melakukan pengorbanan dan selalu melindungiku. Ibuku menyaksikan sendiri betapa besar cinta Faruq untukku. Sementara dengan Muzammil dia belum pernah bertemu. Meskipun Muzammil seorang sultan dari Kerajaan Tukasha ternyata tidak membuat ibuku silau dengan pangkat dan derajat."Apa isinya, Zhee?" tanya Muzammil yang ikut mengamati surat itu."Bukan apa, Pangeran," jawabku. "Untung kamu tidak mengerti bahasanya," pikirku dalam hati."Kita lihat ibuku, kamu belum pernah melihat ibu kan?" kataku sambil menggandeng tangan Muzammil mencari jenazah ibu di baringkan.Dengan penasaran dia mengikutiku menuju ruang tengah. Aku melihat jenazah ibu sudah dimasukkan keranda. Akhirnya paman dan beberapa orang membantu membuka keranda itu agar aku bisa melihatnya untuk terakhir kalinya."Jangan menangis, Fahim, jangan sampai air matamu menetes di
Entah apa yang sedang kupikirkan, tiba-tiba saja aku balik kanan dan berlari sambil menggendong Erkan. Tanpa berpikir lagi Muzammil sedang di sisiku. Juga hampir lupa bahwa Erkan sedang dalam gendonganku. "Zhee!" teriak Muzammil memanggilku. Aku tidak menggubrisnya lagi, yang ada di otakku wajah Faruq yang melemah dan butuh dukungan orang yang dicintainya. Tanpa terasa aku sudah berdiri di depan pintu ruang dokter spesialis kanker atau Dokter Onkologi. Tanpa ragu aku menerobos masuk. "Nyonya, ada apa ini?" hardik perawat spontan. Aku tidak peduli, aku terus masuk hingga akhirnya menerobos ruang periksa dokter. "Siapa dia, Tuan?" tanya dokter dalam bahasa Inggris. "Dokter, bagaimana keadaannya?" sahutku panik. "Apa dia istrimu, Tuan?" tanya dokter lagi. "Saya keluarganya, Dok," jawabku. "Kebetulan, Nyonya, silakan duduk!" perintah dokter. "Hanya dukungan keluarga yang paling dibutuhkan. Satu-satunya jalan dia harus kemoterapi, Nyonya, tapi Tuan Faruq menolaknya," ujar dokter
Aku dan Faruq terbelalak kaget tidak mengira Muzammil tiba-tiba muncul. Dan kami tidak siap jawaban dengan pertanyaan itu. Aku dan Faruq saling berpandangan. Ada rasa tidak nyaman dengan kehadiran Muzammil terpancar di wajah Faruq."Ada apa kalian? Kenapa kelihatan tegang seperti itu?" tanya Muzammil sok polos."Penyusup itu, dia ... dia ... meninggal," ujarku pelan dan terbata-bata."Bagaimana bisa? Bukankah sebelumnya dia baik-baik saja?" tanya Muzammil heran. "Bagaimana bisa dengan tiba-tiba dia meninggal?" lanjutnya."Pura-pura!" sahut Faruq menggumam lirih."Maksudmu?" bentak Muzammil heran.Sontak mataku memberi isyarat agar Faruq bisa menahan diri. Belum saatnya kita membongkar kejahatan ini karena bukti belum jelas. Akhirnya Faruq pun menahan diri. Muzammil hendak membuka pintu ruang penyusup itu dirawat tapi perawat lebih dulu membuka pintu dan keluar membawa jenazah pindah ke kamar mayat."Mana mungkin? Dia satu-satunya harapan kita untuk mengungkapkan misteri kejahatan ini?
Muzammil menarik tanganku dan mengajak ke ruang keamanan. Aku hanya pasrah dan mengikutinya bahkan Faruq pun mengikuti kami berdua. "Jaga kamar anak-anakku, Burhan, jangan sampai kecolongan lagi!" pesan Muzammil sambil mempercepat langkahnya menyempatkan menghubungi bodyguard yang menjaga kamar Iqbaal dan Erkan. "Aku takut anak-anak dalam masalah, Pangeran!" sahutku. "Atau biar aku yang menunggu mereka, Zammil?" usul Faruq. "Iya, Faruq, tolong!" jawab Muzammil. Akhirnya Faruq berhenti sejenak karena terlalu lemah fisiknya, dan kami pun juga berhenti mengikuti Faruq. "Kamu baik-baik saja, Faruq?" tanya Muzammil. "Aku hanya capek," jawabnya singkat dibalik napasnya yang berpacu. "Pangeran, bolehkah aku mengantar Tuan muda ke kamarnya? Kasihan dia pucat sekali," pintaku dengan pelan agar pangeran tidak cemburu. Aku melihat dia sedang berpikir, aku tidak tahu apa yang ada dalam otaknya.Tapi aku lebih kasihan melihatnya tampak kesakitan dan melemah. "Tidak perlu, Fahim, aku tidak
Kita bertiga mendatangi kamar dimana penyusup itu dirawat. Dia masih belum sadarkan diri. Di depan pintu masuk ada empat bodyguard sedang berjaga."Dia sepertinya orang Indonesia, Fahim," gumam Faruq lirih. "Betul, Tuan muda," jawabku setuju dengan pendapat Faruq. "Tapi untuk siapa dia bekerja, apa salahku?" lanjutku meruntuk. "Kita tidak mengenalnya, bahkan aku dan ibu tidak punya musuh di sini," lanjutku sambil mengingat-ingat.Tiba-tiba dokter datang bersama perawat untuk memeriksa pasien."Pak Faruq, kenapa bapak tidak istirahat malah jalan-jalan kemari," tanya dokter begitu bertemu Faruq sedang berada di kamar pasien lain."Iya Dokter, sebentar lagi saya kembali ke kamar," jawab Faruq."Dokter Farid yang menangani anda adalah dokter terkenal di Indonesia, semoga bisa membantu masalah anda, Pak Faruq," kata dokter Bagus."Amiin," sahut Faruq dan Muzammil bersamaan."Bagaimana keadaan pasien ini, Dok?" tanya Muzammi."Keadaannya sudah stabil, dia akan segera sadar," kata dokter op
Tiba-tiba dokter dan perawat gadungan itu keluar dari kamar sambil menggendong paksa Erkan. Dia menconcongkan pistol ke kepala Erkan mengancam kalau kita mengadakan perlawanan maka peluru itu akan menebus kepala Erkan. "Apa yang kalian inginkan sebenarnya? Kenapa harus menghukum bayi yang tidak berdosa? Kalau urusan kalian kepadaku atau pangeran ayo kita selesaikan kita bicara," usulku. Dua orang penjahat itu tidak merespon justru semakin kelihatan garang. Mereka semakin lari menjauh mencari jalan keluar. Yang membuat aku penasaran apa yang mereka inginkan. Kenapa selalu ingin menculik Erkan? Aku ingin lari mengikutinya, tapi sontak Muzammil menarik tanganku dan menghentikanku. "Tenangkan hatimu, Zhee!" pinta Muzammil. "Bagaimana bisa tenang, anakku dalam bahaya? Setelah hilang beberapa hari kini harus diculik lagi," tangisku menggerutu. "Dia sudah mulai berjalan keluar rumah sakit, awasi dan ikuti terus jangan sampai kehilangan jejak!" perinta Muzammil lewat telepon kepada sese