Rahma tak mengerti, apa yang harus ditandatanganinya, karena begitu datang, Deni langsung memintanya membubuhkan tanda tangan.
"Apa ini mas? dan dokumen apa yang harus kutanda tangani?" tanya Rahma tak mengerti. Lalu menarik sebuah dokumen dan membacanya.Yudha yang kebetulan tak bekerja, ikut duduk mendampingi Rahma. Tampak, mata lelaki itu menyipit tajam ketika melirik isi dokumen yang dipegang istrinya."Apa maksudnya ini, mas?" tanya Rahma pada Deni."Aku ingin menjaminkan tanah warisan bapak ke bank. Aku butuh uang Rahma," jelas Deni begitu lugas."Oh," jawab Rahma datar karena tak tahu harus berekspresi seperti apa."Lalu apa hubungannya denganku? Bukankah kau dan Mbak Nella yang memutuskan sendiri untuk mengurus tanah dan sawah warisan bapak? Kalian berdua hanya memberiku uang lima belas juta karena merasa aku tidak berhak atas warisan itu, bukankah begitu?" sindir Rahma.Wajah Deni tampak pias dan gelisah, terlihat dari bahasa tubuhnya yang tidak nyaman atas pernyataan Rahma."Sebenarnya sebelum meninggal, tanah itu sudah dibalik nama oleh Bapak menjadi namamu, Rahma," ungkap Deni, yang membuat mata Rahma terbelalak."Su-sudah di ubah bapak menjadi namaku?" Ungkap Rahma terkejut.Deni mengangguk."Iya, karena itu aku ingin meminta tanda tanganmu sebagai persetujuan. Pihak bank menolak menyetujuinya jika kau sebagai pemilik tanah itu tidak ...""Jadi, Mas Deni selama ini merahasiakannya dariku? Kenapa? Karena ingin memiliki tanah itu untuk dirimu sendiri, begitu?" potong Rahma cepat, kemarahan kini terlihat jelas di wajahnya."Tuhan memang adil, ia membuka kezalimanmu padaku, sungguh rasanya aku ingin tertawa! Selama ini, aku tidak tahu jika tenyata akulah pemilik tanah warisan itu," lanjut Rahma sesaat kemudian."Baiklah, aku minta maaf karena tidak memberi tahumu. Iya memang benar, tanah itu diberikan bapak untukmu. Jadi, tolong biarkan aku menjaminkannya, aku butuh uang, Rahma," Deni mengiba."Untuk apa?" tanya Rahma cepat."Ah tidak, jangan bilang jika kau ingin menjaminkan tanah warisan milikku demi memenuhi gaya hidup istrimu yang hedonis itu mas? " Ekor mata Rahma mendelik tajam pada kakak sulungnya.Terlihat Deni menelan ludah kasar.
BersambungRahma mendengkus kesal, nafasnya terlihat naik turun. Rahangnya mengeras menahan emosi yang seakan siap meledak kapan saja.Ingin rasanya Rahma memaki dan menyumpahi saudara laki-lakinya itu. Namun, diurungkannya karena ia masih menjaga harga diri kakaknya dihadapan suaminya. Bagaimanapun, Deni adalah saudara kandungnya, Rahma tidak ingin membuat emosi Yudha terpancing saat melihatnya bertengkar.Deni memilih memalingkan wajahnya, tak berani membalas tatapan mata Rahma yang begitu menghujam, lelaki itu masih tampak gelisah terlihat dari beberapa kali ia mengganti posisi duduknya."Katakan mas! Kau belum menjawab pertanyaanku, apa kau ingin menjaminkan tanah warisan milikku ini demi memenuhi gaya hidup istrimu yang hedonis itu?" ulang Rahma setengah berteriak."Iya! Widya meminta padaku untuk mengganti mobil lama kami dengan yang baru, Rahma." Deni menjawabnya cepat, membuat hati Rahma seketika terhempas. "Kebetulan ada salah satu temannya ingin menjual mobilnya, dan Widya memintaku m
"Pindah? Tapi, pindah ke mana, mas?" tanya Rahma tak mengerti, wajah wanita itu terlihat bingung."Tentu saja ke rumah kita, dek." Yudha menjawab santai pertanyaan istrinya."Rumah kita? Kau membuatku bingung saja, mas!?" lanjut Rahma bertanya."Nanti kau akan mengerti, lebih baik pikirkan apa rencanamu selanjutnya?""Rencana? Tentu saja mengambil sertifikat tanah itu dari tangan Mas Deni, dia mencoba memaksaku menandatangani surat persetujuan jaminan, tanpa memberitahuku apa pun tentang tanah yang sebenarnya adalah milikku." Sahut Rahma geram."Setelah kematian bapak, bertahun tahun Mas Deni menyimpan sertifikat tanah itu dan membohongiku. Tapi sekarang tidak lagi, aku akan mengambilnya, mas," lanjut Rahma dengan kilatan mata penuh amarah.Rahma terpaku sesaat dengan tangan yang mengepal erat, ia tak menyangka jika Deni bisa setega itu pada dirinya. Adik kandungnya sendiri."Mas Deni memang licik, ia memintaku menandatangani surat persetujuan jaminan, Tanpa memperlihatkan sertifikat
"Mana sertifikat tanah milikku?" tanya Rahma tanpa basa-basi saat mendatangi rumah Deni dan Widya, keesokan sorenya."Apa apaan kau Rahma? Sertifikat apa?" ketus Widya."Tentu saja sertifikat tanah warisan milikku dari bapak," balas Rahma tak kalah ketus."Tidak ada, lagipula aku tidak mengerti, tanah warisan yang mana?" teriak Widya tidak ingin kalah."Tanyakan pada suamimu itu," tunjuk Rahma pada Deni, kakak sulungnya.Rahma mendengkus kesal. Dilihatnya Widya yang berkacak pinggang, memandangnya dengan sorot mata tajam dan sinis. Membuat Rahma seakan ingin mencongkel manik mata itu keluar.Rahma tidak datang sendiri, ia mendatangi rumah kakak lelakinya itu ditemani Yudha dan Juga Syarief, seseorang yang dituakan dalam keluarga mereka, saudara laki-laki tertua bapaknya."Serahkan sertifikat itu pada Rahma, Deni! Itu bukan milikmu! Aku yang menjadi saksi bahwa tanah itu diwariskan bapak kalian untuk Rahma." Lelaki berusia enam puluh tahunan itu mulai bicara.Deni tampak bergeming, ras
Mendengar ucapan Rahma, senyum Yudha langsung mengembang, wajah polos istrinya yang tanpa makeup itu, terlihat sangat cantik dan menggemaskan di matanya Yudha menghela nafas panjang, pertanyaan itu sebenarnya wajar untuk ditanyakan, hanya saja, Yudha masih membutuhkan waktu untuk menjelaskan yang sebenarnya terjadi pada Rahma, termasuk identitasnya. Yudha takut, Rahma tak mempercayainya dan menganggapnya sebagai pembohong karena selama ini tidak jujur padanya.Tangan Yudha kini membelai lembut pucuk kepala Rahma, sebuah kecup4n kecil ia tinggalkan disana, entah mengapa rasanya hatinya merasa senang ketika melihat wajah Rahma yang polos dan sederhana itu sedang menatapnya tanpa berkedip."Apa yang ingin kau ketahui, sayang?""Semuanya. Aku ingin tahu semuanya tentang dirimu,mas! Termasuk hal sekecil apapun," Rahma mendesak."Selama ini aku hanya tahu bahwa mas di usir dari rumah karena berpindah keyakinan. Tapi, mas belum menceritakan apapun tentang keluarga mas padaku, kecuali saat m
"Kakek?" Ucap Rahma tampak bingung.Yudha mengangguk lalu tersenyum."Kau sudah menjalin hubungan kembali dengan keluargamu mas?" Tanya Rahma seakan tak percaya."Iya, beberapa hari yang lalu beliau menghubungiku," Jawab Yudha.Mendengar kabar baik itu seketika bibir Rahma tersenyum." Aku senang mendengarnya mas, apa itu artinya keluargamu sudah bisa menerima keputusanmu?" Ujar Rahma tak sabar."Tak lama lagi kau akan tahu, sudah malam, lebih baik kita tidur. Jangan lupa simpan baik-baik sertifikat tanah itu, lagipula bukankah besok kita akan pergi ke rumah Bibi Zaenab untuk mengembalikan seragam pernikahan itu," ujar Yudha mengingatkan.Rahma mengangguk," iya mas, aku akan menyimpannya sebaik mungkin, ini adalah harta yang ditinggalkan bapak untukku. Jika suatu hari nanti aku memiliki rezeki yang cukup, akan ku bangun sebuah masjid untuk bapak di tanah ini."Mendengar niat baik istrinya, spontan Yudha mengulas senyum manis," amin, semoga niat baik itu disegerakan," sahut Yudha sambil
Sebuah mobil Mercedes hitam tampak begitu garang parkir di depan pagar bambu rumahnya, yang membuat kening Rahma seketika berkerut."Mobil siapa itu Rahma?" Tanya Nella yang sedari tadi tidak mampu mengalihkan pandangannya dari Mercedez Benz S Class seharga milyaran rupiah itu. ***Mata Rahma menyipit tajam, sambil terus memperhatikan mobil mewah itu, sama seperti Nella yang tampak heran, wanita itu juga bingung melihat mobil sebagus itu tiba-tiba bisa berhenti di depan rumahnya.Untuk beberapa saat mereka berdua tak ada yang bicara, kedua pasang mata itu seakan ingin terus memandang sesuatu yang tidak jarang mereka lihat sebelumnya.Mobil itu akhirnya benar benar berhenti, seorang lelaki dengan setelan jas berwarna hitam keluar dari arah pintu kemudi, lalu berdiri di ujung mobil seolah sedang menunggu kedatangan seseorang.Baik Nella maupun Rahma masih mencoba mencari tahu siapa gerangan lelaki itu, mereka berdua sangat yakin jika lelaki itu bukan berasal dari kampung mereka, Parung
"Bawa saja barang yang penting, sertifikat tanahmu dan buku nikah kita, setelah itu tinggalkan saja," ujar Yudha begitu mereka selesai menyantap sepiring nasi goreng buatan Rahma."Bawa buku nikah dan sertifikat tanah, aku tak mengerti sebenarnya ada apa mas?" Rahma tampak berpikir."Hari ini kita pindah dari sini, dek!" "Pindah?" Mata Rahma terbelalak lebar seolah tak yakin dengan apa yang baru saja didengarnya."Iya, kita pindah dari sini." Jawab Yudha tersenyum."Bukankah kita sudah bilang pada Bi Zaenab tak bisa hadir ke acara akad nikah putrinya karena mau pergi, iya kan?" lanjut Yudha mengingatkan."Ta-tapi ... nggak harus pergi dari rumah ini mas, nanti kita akan tinggal dimana?" Cemas Rahma yang bingung dengan keputusan mendadak suaminya.Sungguh, ini lebih membingungkan Rahma dari pada memikirkan harga cabe atau telur yang terus naik di pasar."Tentu saja ke rumahmu, rumah kita." Jawab Yudha santai. "Ah mas, kau membuatku bingung saja. Jangan mengajakku bercanda, lebih baik
"Tu-tuan Darren? Apa kalian saling mengenal? Dan lagi mobil siapa ini, mas?" Tanya Rahma penasaran sambil memiringkan kepalanya.***Yudha menatap Rahma sambil tersenyum tipis. Lelaki itu tak menjawabnya, dan memilih meraih tangan mungil istrinya lalu menariknya masuk ke dalam mobil, tentunya diiringi dengan pandangan penuh tanya dari para tetangganya.Mereka berdua kini duduk saling berdampingan di jok bagian belakang mobil, begitu tubuhnya menyentuh dudukan kursinya, Rahma langsung tertegun, dilihatnya interior bagian dalam mobil ini tampak begitu bagus dan mewah. Dudukannya pun sangat empuk dan nyaman, jauh berbeda sekali dengan angkot ataupun bis kota yang sering dinaikinya. Udara sejuk yang mengalir dari pendingin mobil seakan memeluk tubuhnya, rasa gerah yang dirasakan Rahma kini berganti dengan dingin menenangkan.Mata Rahma mengerjab beberapa kali dengan senyum yang mengembang di wajahnya, di tepuk pelan pipinya seolah ingin meyakinkan dirinya jika apa yang sedang terjadi sek