"Ayahmu seorang montir dan bekerja di sebuah bengkel, jika polisi menemukan buku harian itu dan membaca apa yang tertulis di halaman terakhir buku harian tersebut. Apa yang bisa kau pikirkan, Denisa?" Hera balas bertanya membuat Denisa menatapnya dengan pandangan mata yang sulit untuk di artikan.***Ponsel Budi berdering ketika baru saja duduk di mobilnya. Tampak nama Yudha, yang tertera di sana, sejenak lelaki paruh baya itu terdiam menatap layar ponselnya, karena tak biasanya putra kesayangannya itu menelponnya malam begini.Malam memang belum terlalu larut, namun tetap saja dahi Budi mengeryit. Sesaat lelaki berkacamata itu berpikir, mungkinkah ada sesuatu yang penting yang ingin dibicarakan Yudha dengannya, hingga sedetik kemudian, jemarinya menggeser tombol hijaunya."Ada apa, Yudha?" Balas Budi sesaat setelah mendengar suara salam dari Yudha."Papa sudah di rumah?" Tanya Yudha sopan."Papa baru saja mau pulang, tadi ketemu klien sebentar di luar. Ada apa, nak? Apa ada masalah?
"Tidak, itu tidak benar kan, ma?" kepala Denisa menggeleng lemah."Tidak! jangan katakan padaku, jika kecelakaan itu akibat dari sabotase Mama dan dia. Jangan katakan jika itu adalah ulah kalian berdua." Tangan Denisa menutup mulutnya, seakan tak ingin mempercayai apa yang baru saja di dengarnya. ***Pandangan mata Denisa tampak nanar memandang Hera yang kini tertunduk si hadapannya. Tubuhnya gemetar, tak ingin rasanya membayangkan jika kecelakaan itu adalah benar perbuatan ibunya.Suasana hening kini menyapa mereka, sesaat Denisa mengusap wajahnya, mencoba menguasai amarah dalam dirinya yang semakin bergemuruh.Di liriknya kembali Hera yang masih tertunduk di sana. Ada rasa iba menderanya saat ini, Namun segera ditepisnya kuat perasaan itu. Denisa tak ingin hubungan ibu dan anak membuat Hera menyimpan dan menutup rapat kembali kebenaran yang nyaris terungkap ini."Jadi benar kecelakaan mobil yang menimpa Tante Jasmine adalah sabotase Mama dan dia?" Ujar Denisa yang entah mengapa t
"Maka apa, tante ..." Suara Yudha terdengar jelas. Kakinya melangkah masuk ke kamar Denisa dengan sorot matanya yang menghujam tajam memandang Hera yang masih terduduk di lantai.***Wajah Hera seketika pias saat melihat Yudha yang kini berdiri di hadapannya. Tatapan mata Yudha serasa ada begitu menusuk ke dalam manik matanya.Yudha tidak sendiri, di belakang berdiri Rahma yang juga ikut melempar pandangan padanya. Sesaat Hera merasa tubuhnya kaku, sulit untuk digerakkan.Suasana tegang kini mendominasi kamar itu. Terlihat Denisa mengusap kasar wajahnya, tak hanya Hera yang terkejut, namun dirinya juga tidak menyangka jika Yudha bisa berada di hadapannya.Apakah Yudha sudah mendengar semua yang mereka bicarakan? Pertanyaan itu kini menggantung di benak Hera. Perlahan ia berdiri dan dengan terbata-bata menyapa Yudha lebih dulu."Yudha. Apa ada sesuatu yang bisa tante lakukan hingga kau datang ke sini?" "Kalimat yang tadi ... aku ingin dengar lanjutan dari kalimatmu tadi, Tante.""Ka
Helaan nafas Yudha terdengar berat, sejenak ia memejamkan mata hingga akhirnya beranjak bangkit dan bergegas meninggalkan kamar Denisa, tanpa sempat dicegah oleh siapapun. ***"Mas!" Panggil Rahma saat melihat Yudha berlalu di hadapannya.Rahma pamit pada mereka berdua dan mengejar Yudha yang berjalan ke arah kamar. Suara langkah kakinya terdengar cepat, wanita itu berjalan menuju kamarnya yang berada di lantai atas.Perlahan dibukanya pintu kamarnya, tampak di sana Yudha sedang duduk sambil mengusap wajahnya. Sejenak gerakannya terhenti ketika di lihat istrinya tengah berdiri di pintu."Mas!" Panggil Rahma sembari perlahan melangkah masuk ke kamar mereka."Kau baik-baik saja, mas?" Tanya Rahma lalu duduk di samping Yudha."Maaf, aku ... ""Tak perlu minta maaf, aku bisa mengerti, memang sulit untuk menerima kenyataannya. Tapi setidaknya kita tahu apa yang sebenarnya sudah terjadi."Tangan Rahma mengelus lembut punggung Yudha, seakan ingin memberi nya semangat. Tak lama, Yudha meleta
"Menurutmu apakah Yudha akan memaafkan mama?" Tanya Hera sambil menatap nanar ke arah putrinya. Sungguh, rasa takut masih menggerogotinya.***Mobil yang di kemudikan Budi tampak berbelok masuk ke halaman rumah masa kecilnya. Rumah yang menyimpan banyak sekali kenangan tentang keluarganya, rumah yang kini di wariskan kepada Yudha dan menantunya, Rahma.Ekor matanya melirik ke teras rumah. Seperti biasa, rumah besar itu selalu terlihat sepi meski sebenarnya ada orang di dalamnya. Tak lama Budi keluar dari mobilnya dan berjalan menuju pintu masuk utama rumah besar itu.Seorang pelayan membukakan pintunya, segera saja Budi bergegas masuk dan berjalan cepat menuju ruang baca, setelah sebelumnya meminta seorang pelayan memberitahu tentang kedatangannya kepada Yudha.Terlihat tangannya yang menyentuh beberapa buku yang tersusun rapi di atas rak tersebut, hingga sepuluh menit kemudian, terdengar pintu ruangan itu berderit terbuka dan suara langkah kaki yang terdengar mendekat."Papa!" Sapa Yu
"Kau pasti yang memintanya datang ke sini, Iya kan?" Tuding Hera, membuat Denisa menggeleng."Sebaiknya, tante tanyakan saja pada papa. Apa yang membuatnya datang ke sini semalam?" Balas Rahma lalu dengan sopan pamit pergi meninggalkan mereka.***Jantung Hera berdebar dengan kencang saat melangkah menuju meja makan, meski Denisa sudah berkali-kali menyakinkan dirinya bahwa tak akan terjadi apapun. Namun tetap saja gelisah dan rasa cemas menjalar di sekujur tubuhnya.Pandangan mata Suryani yang menatapnya tanpa berkedip membuat Hera menggigit bibirnya. Andai bisa menghilang, Hera ingin pergi sejauh mungkin sekarang dari sini.Hanya tinggal beberapa langkah lagi, maka mereka berdua akan tiba di meja makan. Bertemu kembali dengan Budi, membuat rasa gugup Hera semakin menjadi. Wanita paruh baya itu berharap semoga tak ada masalah baru yang membelitnya meski sebenarnya ia masih berharap hubungannya dengan Budi bisa diperbaiki"Tenanglah ma, Om Budi orang yang bijaksana, aku yakin ia tidak
"Tunggu sebentar Hera, jika tidak keberatan, aku ingin bicara denganmu." Seketika pelipis Hera berdenyut mendengarnya. Sepertinya, hal yang sedari tadi ia takutkan, akan terjadi sebentar lagi.***"Kau baik-baik saja, mas?" Tanya Rahma sambil mengelus lembut punggung Yudha."Aku tak apa - apa.""Maaf, jika tadi aku bersikap tidak sopan, Rahma.""Tak apa, aku bisa mengerti. Menerima kenyataan ini memang terasa berat, namun setidaknya, semuanya sudah terungkap dan jelas sekarang." Rahma menyahut pelan."Entahlah, aku bingung. Kepalaku pusing. Di satu sisi aku menghormati Mbak Denisa yang selalu bersikap baik padaku, tapi di sisi lainnya, aku sangat marah pada Tante Hera," ungkap Yudha sambil memijat pelipisnya yang terasa berdenyut-denyut."Apa yang harus kulakukan, Rahma? memaafkannya? mungkin aku bisa melakukannya tapi untuk melupakan semua kejahatannya? Entahlah, aku tak sebaik itu."Mendengarnya, Rahma mengulas senyum, lalu menatap wajah Yudha lebih dekat."Memaafkan seseorang yang
"Maaf, kali ini aku tak bisa membantumu, Hera. Apapun keputusan yang diambil oleh Yudha nanti, kuharap kau bisa lapang dada menerimanya." Budi memalingkan wajahnya lalu memutuskan untuk bertolak meninggalkan Hera yang masih memandangnya dengan tatapan nanar.***Derit pintu yang terdengar membuat Yudha menoleh, tampak di sana Rahma tengah melangkahkan kakinya ke dalam kamar. Melihat istrinya yang tersenyum membuat suasana hati Yudha sedikit lebih baik."Kau sudah merasa lebih baik, mas?" Tanya Rahma.Yudha tidak menjawab, namun anggukan kepalanya sudah cukup bagi Rahma untuk mengetahui jika suaminya sudah dalam kondisi yang baik.Tangan Yudha menepuk pelan tepian ranjang, tempat yang di dudukinya saat ini. Lelaki itu meminta agar Rahma bisa duduk di sebelahnya."Aku bicara sebentar dengan Denisa tadi, katanya ia akan pulang ke Surabaya dengan penerbangan nanti siang," tutur Rahma menjelaskan."Papa?""Terakhir kulihat ia sedang bicara berdua dengan Tante Hera," jawab Rahma.Yudha hany