Hatiku seperti tertusuk beribu-ribu panah dan menancap pada relung hati. Rasanya mau pingsan saja.
Aku tidak bisa lagi menahan mendungan air mata yang kini telah memenuhi pelupuk mata. Demi Tuhan, pemandangan yang selama ini tidak pernah aku duga, pemandangan yang selama ini aku tidak diharapkan telah di depan mataku sendiri.
Pemandangan itu sangat menyakitkan bagiku. Pemandangan yang membuat hatiku hancur berkeping-keping, sangat hancur.
Aku menangis terisak. Air mata bercucuran deras, hingga pandangan aku buram. Aku seka air mata yang memenuhi pelupuk mata dengan kasar.
Drey sejak tadi mengeratkan genggaman pada tangan kiriku, berharap genggaman itu menguatkan hatiku. Nyatanya tidak sama sekali. Dengan keberanian aku datang ke rumah mama Katerina, walaupun hatiku sama sekali tidak kuat untuk menahan nestapa.
Aku sudah tidak mampu lagi menahan isak tangis, terisak pilu melihat pemandangan itu. Tangan dan bibirku bergetar hebat. Drey yang be
“Aku belum siap Papa pergi, aku sayang papa.”Tante Arumi mengandeng tanganku. Langkah kakiku begitu terasa berat saat menuju di mana Papa akan di makamkan hari ini, di kuburan terdekat. Aku masih tidak rela atas kepergian papa yang begitu saja tanpa terduga.Aku masih terpukul. Aku masih syok.“Ayo, sayang ke sana,” ajak Arumi agar berdiri tepat di pemakaman papa. Jasad papa berada di peti akan di kubur bersama tanah dan peti.Aku, Kak Anna dan Mama Katerina tidak bisa manahan tangis saat papa akan di kubur bersama peti putih. Tiba-tiba Kak Anna merengkuh tubuhku, kita saling membagi kesedihan dan kekuatan setelah sekian lama tidak saling berpelukan.Pemandangan itu begitu menyakitkan.Tangisku pecah kembali ketika papa benar-benar sudah terkubur di dalam sana. Pandanganku memburam, kepalaku pusing, dan dadaku sesak. Aku tidak kuat untuk berdiri. Sesaat aku meliha
“Sudahlah, kamu jangan nangis. Kamu jadi terlihat lebih cantik.”“Pa-pa ....”“Iya, sayang? Berhentilah menangis.”“Ja-jangan pergi.” Aku tergagap dan mencoba menyentuh tangan papa.“Tidak ada yang abadi di dunia, sayang. Tapi papa nggak pergi, papa selalu ada di samping kamu. Walaupun kamu nggak bisa liat papa.”“....”“Selamat tidur, putriku.”“Pa-papa ....”Aku melihat papa semakin menghilang dari pandanganku. Aku berusaha meraih tangan papa, menyentuh kulit papa. Tapi sama sekali tidak bisa disentuh, usahaku nihil. Papa semakin mengabur, terlihat samar-sama lalu menghilang.“Papa, jangan pergi! Papa jangan bercanda, plissss! Ini nggak lucu, Pa!” Dengan sekuat tenaga aku berteriak memanggil papa. “PAPAAAAAAA!!!!”....“Hahhh!”
[Flashback on]“Selamat sayang atas pernikahanmu.”Ucapan selamat dari papa, papa orang pertama yang teristimewa saat mengucapkan selamat karena saat itu papa berkata :“Sayang kamu tau nggak?”Aku menggeleng.“Papa itu pengen gendong cuci sebelum Papa tua, kalau Papa tua nggak bisa main sepeda sama cucu-cucu papa dong. Segera bikinin Papa cucu yah, kalau bisa bikinin cucu yang banyak. Papa bakalan seneng karena nanti rumah Papa ramai menjadi keluarga besar, nggak bakalan sepi hahaha. Papa udah nggak sabar pengen gendong nih.Aku waktu itu mencubit lengan papa karena merasa malu saat papa mengatakan itu di depan keluarga Drey. Ingin mengendong cucu? Duh, baru saja menikah di hari pertama. Papa sudah meminta cucu segala.“Papa apa-apaan, sih!” bisikku malu dan kesal.“Lho, Papa, 'kan cuma minta dibuatin cucu. Emang itu salah, Ryn?”
Aku tahu tidak sepantasnya beralut-larut dalam kesedihan dan terpuruk dengan kepergian Papa. Apa gunannya terus menangis? Tangis tidak akan mengembalikan Papa.Jadi, hari ini aku memutuskan untuk kuliah kembali setelah beberapa hari cuti. Well, aku akan baik-baik saja. Jangan bersedih lagi. Aku harus bersemangat, sebentar lagi akan bertemu dua sahabatku.“Kalau udah selesai hubungi aku, ya. Nanti kita pulang bareng, Ryn. Jangan pulang sendiri dong kaya hari itu.”Aku memajukan bibir beberapa senti. Lagi pula aku pulang sendiri karena Drey tidak bisa dihubungi dan pergi entah kemana tanpa kabar.“Iya iya,” kataku. “Nanti aku telfon kalau kelas sudah selesai. Tapi kalau kamu sibuk biar aku pulang sendiri aja.”“Hari ini aku nggak sibuk, Ryn,” tutur Drey.“Kalau kamu ada urusan mendadak gimana dong? Aku bakal
Aku menghubungi Drey, katanya akan pulang bersama. Tapi Drey mengatakan saat ini sedang berada di perpustakaan, aku mengernyit. Kenapa Drey berada di sana?Sekarang kakiku melangkah memasuki ruangan perpustakaan kampus. Sepi, perpustakaan terlihat sepi saat kakiku menginjakkan lantai marmer. Bola mataku mengedar mencari suamiku, beberapa saat bibirku melengkung melihat Drey yang tengah serius membaca sebuah buku. Tanpa permisi aku langsung duduk di samping Drey, aku menyandarkan kepala di bahunya.“Drey,” panggilku seraya melingkarkan tangan di pinggang Drey dengan manja. “Aku mencarimu kemana-kemana ternyata di sini.”Drey masih terfokus pada buku. “Kenapa nggak menghubungi aku lebih dahulu sebelum mencariku. Hm?”“Oh, iya. Aku lupa,” kataku sambil meringis. “Tumben ke sini. Kesurupan apa?” Yang aku tahu, Drey memang jarang ke perpust
[Author POV]Sepanjang perjalanan, Drey melamun. Drey memikirkan kejadian tadi waktu di kantin saat makan siang. Waktu itu ....[Flashback on]Gabut. Bosan, lama menunggu makanan datang. Mata Drey menyapa ke seluruh penjuru kantin, lumayan ramai suasanya sehingga sedikit berisik dan merasa terganggu. Rasa gabut serta bosan sekarang malah menghilang saat melihat Auryn memasuki kantin tersebut dan duduk agak jauh dari posisi Drey.Sepertinya Auryn tidak menyadari keberadaan Drey tengah memperhatikannya.Drey terus memperhatikan Auryn. Wanita itu sedang asik mengobrol bersama kedua sahabatnya entah membahas apa, yang jelas Auryn terlihat tenang diantara kedua sahabatnya.Ah, kenapa Drey memperhatikan Auryn dengan sangat fokus dan tanpa sedikitpun mengalihkan pandangan ke arah lain, hanya tertuju pada satu wanita di sana.Tanpa sadar Drey menarik sudut bibir
[Author POV]“Nikahi aku, Drey!”Drey menghembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya. Kepalanya panas dan terasa ingin pecah menghadapi ini semua. Beberapa kali dia mengacak-acak rambut gusar.“Astaga, wanita ini,” celutuk Drey dalam hati. Dia tak habis pikir, berani sekali Anna datang ke rumahnya hanya untuk meminta menikah dengannya. Tanpa memikirkan perasaan Auryn.“Drey, aku mohon menikah denganku.”“Aku sudah menikah dengan Ryn. Kenapa kamu tiba-tiba datang hanya ingin meminta menikah?” Drey memainkan alisnya, memandang Anna tak percaya.“Kamu bisa bercerai dengan Ryn!” pungkasnya.Auryn yang sedang bersembunyi sontak memegang dadanya. Terkejut bukan main. Anna yang selama ini peduli dengannya, ternyata tidak sebaik yang dia kira. Bisa-bisanya menyuruh Drey untuk bercerai.“Lalu kamu menikahiku,” imbuh Anna.
“Kenapa kamu, Ryn?” Viola mendongak.Aku melirik Viola malas.Viola menarik tempat duduknya, mendekatiku. “Ada apa sih? Jujur aja, muka kamu beda banget tau!” celutuk Viola.Jessica ikut menyambar. “Kelihatanya kamu lesu gitu. Mau pulang atau mau di sini?” tanyanya.Oh, ya. Hari ini kelas pertama selesai dan akan masuk nanti jam satu. Aku berpikir, mau pulang dulu atau tidak. “Aku ngggak tau,” jawabku lemas. Kepalaku benar-benar pusing dan sepertinya tidak enak badan.“Pulang aja deh, Ryn. Muka kamu pucat,” kata Viola.“Coba telfon, Drey,” perintah Jessica.Ah! Kenapa dari tadi aku tidak kepikiran. Tanpa menunggu apapun, aku menyalakan ponsel dan mencari kontak Drey dan mencoba menelfon. Aku ingin pulang diantarkan oleh Drey.Viola sam
Air mata Drey terus mengalir dan tiada henti. Penyesalan yang ada didalamnya semakin Dreyrasakan. Sejak tadi Drey tidak mampu membaca guratan tinta Auryn, tapi dia membaca hingga selesai. Dengan tangan gemetaran, Dreymemeluk buku diary tersebut dengan isak tangis.Di sini yangtersisa hanyalah barang-barangAuryn, termasuk novel yang seringAurynbaca. Semua masih tertinggal di sini. Sang pemiliklah yang menghilang.Bukan Aurynyang jahat di sini telah meninggalkan Drey, namun Drey yang jahat. Dreymengakui dirinya. Kepergian Aurynbukan membuatnya bahagia, namun hanya menyakitinya. Bukan menenangkannya, namun malah menaruh dirinya dalam jurang kesepian.Dengan mata berair, Dreymeletakkan kembali buku Diary milik Auryn.***[Auryn POV]Di antara keputusan. Inilah keputusan paling terberat yang aku buat. Ini memang keputusan yang paling gila. Bagaimana tidak gila? Ak
Untuk Drey,Drey … maafkan keputusanku yang mengerikan ini. Sepertinya aku membutuhkan waktu. Aku pergi, aku meninggalkanmu. Maaf … ini yang aku inginkan walaupun sangat berat. Maaf juga, waktu itu. Aku melakukan percobaan mengakhiri hidup di bak mandi. Saat itu aku sangat putus asa. Aku benar-benar kecewa. Aku seakan merasa tidak ingin di dunia ini. Keberadaanku yang tak aku inginkan. Aku tidak ingin benar-benar tertekan dengan pernikahan kita.Terima kasih … terima kasih telah menyelamatkanku waktu. Aku pergi, Drey. Aku tidak berpamitan padamu karena saat melihatmu, kekecewaan yang aku rasakan memuncak. Aku ingin pergi tanpa ada rasa bersalah padaku.Perpisahan ini memang harus. Aku harap kamu menjadi lebih baik ketika aku pergi. Biarkan aku pergi, jangan mencariku. Oh, ya. Tentang perceraian. Aku sudah menyiapkan surat cerai kita. Kamu jangan khawatir. Kamu bisa menikah dengan Anna. Kalian bisa hidup bahagia. Kalian bisa bersatu.J
“Sekarang biarkan dia pergi, Nak,“ kata Mama Davina.Wanita itu melepaskan pelukannya dan menepuk pundak Drey berkali-kali.Drey menatap sendu cincin yang berada di tangannya, digenggam erat dengan air mata sudah bercucuran. Cincin itu belum genap satu tahun melingkar di jari Auryn, namun kini cincin itu sudah kembali pada DreyDalam tangisan disertai derasnya air mata.Drey sempat berpikir. Apakah perpisahan ini akan membuat Aurynbahagia? Lalu bagaimana dengan dirinya? Drey bisa mati tanpa Auryn. Dreyberada dipihak tersakitisetelah ditinggalkan oleh Auryn.Mama Davina ikut meneteskan air mata melihat anaknyamenangis—batin seorang Ibu ikut merasa sakit.Dreymenangis dalam penyesalan atas perbuatan bodoh selama ini. Sungguh ini begitu menyakitkan. Penyesalan yang sulit sekali di maafkan. “Pasti Auryn nggak akan maafin aku, Ma. Dia sangat membenciku! Tapi Aku mencintainya,” isak Dre
[Author POV]Jantung Drey berdebar. Dia berteriak frustasi di depan Mama Davina. Dia hancur saat Mamanya memberi tahu bahwa Auryn pergi, Drey marah kepada Mama Davina. Lelaki itu menatap Mama dengan sorot mata redup.“Kenapa Mama membiarkan dia, Ma?!” Drey berteriak kepada Mama, seharusnya Mama Davina tidak membiarkan Auryn pergi, itu yang ada dipikiran Drey. “Kenapa, Ma?” Drey menuntut.Mama Davina hanya bisa menunduk setelah melihat kemarahan dari Drey.“Jawab, Ma!” Getar hati Drey sangat luar biasa. Dia kecewa dan malu pada dirinya sendiri.Kepala Mama Davina mendongak. “Maaf,” kata Mama Davina.Drey mengacak-acak rambut hingga berantakan. SIAL. Kenapa menjadi seperti ini. Auryn benar-benar meninggalkan Drey tanpa berpamitan lebih dahulu. “Aku mencintai dia, Ma. Aku telah menyesali semuanya … tapi aku terlambat menyadari.”“Mencintai Ryn?” Mama tersenyum
[Author POV]Esok harinya aku kembali ke rumah Drey. Mama Davina yang menyuruhku, awalnya aku di rumah Mama Katerina untuk beberapa hari.Sekarang akumenatap kosong ke arah jendela kamaryang menyajikan keindahan halaman rumah Dreyyangdijadikan sebagai tamanbunga. Bunga-bunga yang aku tanam dan dia rawat sudah mekar dan tumbuh cantik.Apa yang telah terjadi beberapa hariterus berputar dalam benakku.Kalimat yangakubenci telah terucap dari bibirku sendiri. Akuingin menceraikanDrey, tapi Dreymenolak dengan tegas. Akusudah pernah memohon agar Dreymenceraikan diriku, Drey menolak dan menahanku.Bukankah aku pernahmeminta satu permintaan?SeharusnyaDreytidak menahan kembali permintaanku, seharusnya dia mengabulkan?Akutau, perceraian adalah perkara hal yang tidak gampang. Kedua pihak harus sama-sama menyetujui. Pilihan yang terbaikkah j
[Author POV]Raut sedih di wajah Dreynampak saatZanymembuka pintu rumahnya. Zanymenggunakan baju rumah, diaterlihatbaru saja mandi karena rambut terlihat basah. Dia terkejut dengan kedatangan Dreysecara tiba-tiba. Mata Dreyterlihat begitu sembab, bibirnya pucat dan sorotan mata ingin menangis. Tergambar jelas kesedihan cukup mendalam dari sorot matanya.“Astaga. Kamu kenapa, Drey. Masuk dulu,” perintah Zanytidak tega melihat Drey datang-datang seperti orang yang baru mengalami kejadian menyedihkandan seperti mayat hidup.Drey berjalan dengan tertatih mendekat Zany yang menatapnya sendu penuh rasa khawatir melihatnya. Keadaan benar-benar menyedihkan, satu kalimat yang Zany sematkan di mulutnya karena melihatnya seperti ini, “Are you ok, Drey?”“Zany ...” panggil Drey lirih. “Ucapkan kalimat untukku,” pinta Drey dengan pasrah.“
Aku melepaskan dengan kasar genggaman dari Drey. Melihat Dreydihadapanku dengan raut berbedamembuat hatikusemakin teriris, sakit tentunya. Dreytelah bermain di belakangkudankenyataan Anna hamil harus aku telan bulat-bulat, dijajal dengan paksa.“Kenapa kamu tidak mengatakan jujur kepadaku?” Aku bertanya dengan menuntut penjelasan Drey, perihal Anna hamil. “Aku dibuat bingung dengan masalah ini.” Aku terkekeh dibuat-buat. “Semua membingungkan. Aku tidak mengerti mengapa. Apa Aku bukan istri yang kamu harapkan?” Pandanganku melihat ke arah Drey dan Mama Katerina.Mama Katerinamembelai pipiku, dia seperti memberikan kekuatan agar aku sabar menghadapi semua ini.“Maafkan, Aku. Aku telah menyakitimu lagi. Ini semua salahku.” KepalaDreymenunduk dalam-dalam di pangkuanku. Air matanya menetes mengenai tangankudan membasahiselimut“Akumohon,
Akuterbangun dari tidur, badanku terasa agak panas. Ah, mungkin aku masuk angin. Tubuhku masih gemetaran. Kepalaku berdengung. Dadaku lebih sesak daripada saat di dalam air tadi. Di saat merasa badan tidak enak, tangan seseorang membelai dahiku dengan sangat lembut. Mama, aku melihat Mama di sampingku. Memperhatikan dengan sorot mata yang redup. Mata Mama terlihat memerah dan sepertinya baru saja menangis.“Mama … kenapa menangis?”Mama mengusap pipi dan di sudut matanya untuk menghapus bekas air mata. Mama menyembunyikan dariku, tapi aku tidak bisa dibohongi. Ya, aku yakin Mama baru saja menangis.Mama tersenyum. “Tidak, sayang. Mama nggak habis nangis kok.”Bohong. Aku tahu mama berbohong. Kuputar kepala untuk melihat jam dinding yang menunjukan pukul 9 pagi dan aku sama sekali melihat keberadaan Drey.Di mana dia?“Drey udah pergi ke kampus, baru aja,” kata Mama seperti membaca pikiranku. &
Aku mati?Apakah ini akan berakhir? Apakah ini terakhirku untuk hidup.Cara ini akan berhasil. Aku menang. Aku akan membawa mati anak Drey. Aku sudah ikhlas dan aku yakin ini yang terbaik untuk semuanya. Mataku sudah tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan.Arrgh, kepalaku terasa sakit sekali hingga ujung kakiku. Dadaku sesak sekali, hidungku sudah teramat perih kemasukan air. Tubuhku membutuhkan udara, tapi aku semakin lemah di dalam bak mandi. Aku tak ingin keluar dari sana. Aku mencoba untuk mengakhiri hidup. Aku tak ingin cara ini sia-sia.Biarkan aku mengakhiri penderitaan.“Maafkan aku. Aku membunuh anak kita, Drey, “ batinku berkata.Rasa sakit sudah tidak bisa aku tahan. Rasa sakit yang membuat aku kehilangan segalanya dan semuanya lenyap.***Sesuatu menabrak keras di kepalaku. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirku. Aku bernapas. Terbatuk-batuk dan memuntahkan apa saja yang mengganjal di tenggor