“Sayang ....”
“Hm?” gumamku saat Drey memanggilku. Hari ini aku bersemangat sekali untuk berangkat ke Berlin. Besok kita akan berangkat, jadi aku menyiapkan segala keperluan, termasuk baju—harus di masukan ke dalam koper besar.
Uh, rasanya tak sabar.
Dia mendekatiku dan duduk di sampingku yang sedang memasukan baju ke dalam koper.
“Honeymoon kita tunda dulu, yah,” kata Drey.
Aku langsung membeku di tempat, tak mungkin salah mendengar. Aku yang tadinya bersemangat menjadi lemas dan tak berdaya, seolah energi telah terkuras secara mendadak.
Drey ingin menunda honeymoon kita? Kenapa?
Aku menolehkan kepala, memandang Drey dengan ekspresi kecewa. “Kenapa?” tanyaku. Drey tidak mungkin menunda honeymoon tanpa alasan, pasti dibalik itu ada alasannya.
Dia diam, meraih tanganku. “Aku nggak bisa ninggalin pekerjaan gitu aja, Ryn. Aku nggak bisa cuti,” jelas Drey. “Kamu mengerti, 'kan?”
Dia memandang wajahku, ada sorot dari
Keinginanku terkabulkan. Drey menyutujui kita honeymoon ke Berlin.Aku berusaha menyembunyikan rasa takut yang menjalar seluruh tubuh dan detak jantung berdetak tidak normal. Berulang kali aku menarik napas dalam-dalam lalu dihembuskan secara perlahan. Ya, sedikit saja yang terpenting rasa ketakutan menaiki pesawat berkurang.Aku mempunyai phobia pesawat. Aku pernah ikut menjadi korban dalam pesawat jatuh. Dulu sekali. Aku menaiki pesawat bersama Tante Diana, Anna dan suaminya. Seakan ada keajaiban, aku selamat dengan Anna. Namun sayangnya, suami tante Diana tidak bisa terselamatkan. Kejadian itu membuatku harus dirawat rumah sakit hingga sembuh.Demi tiket honeymoon dari Mama Davina dan keinginan honeymoon bersama Drey ke Berlin. Kini aku memberanikah diri menaiki sebuah pesawat yang segara mengangkasa.“Kamu takut?”Drey bertanya kepadaku ketika pesawat akan menaiki ketinggian dan melihat wajahku berubah pusat pasi, kedua tanganku bahkan g
Perjalanan yang sangat jauh sekali dari kata yang menyenangkan. Selama perjalanan ke kota Berlin, aku mengalami mabuk udara. Aku sama sekali tidak menyangka diriku akan separah ini naik pesawat. Perutku mual hingga tidak terhitung aku bolak-balik ke wc untuk mengeluarkan isi perut.Bahkan pramugari yang tidak dapat diragukan lagi kinerjanya dalam memberikan palayanan kepada penumpang kalah sabar dari Drey. Ya, Drey dengan penuh sabar menemaniku ke wc dan melakukan cara apapun untuk meredakan rasa mualku. Sementara pramugari sudah putus asa menghadapi mabuk udara yang aku alami.Dia memang lelaki idaman wanita, banyak mahasiswa bahkan jatuh cinta dengan sosok Drey. Mereka tahu, Drey sangat humble. Dulu waktu kita pacaran, Drey seperti bayi besar—dia sangat manja, lucu dan kadang memberi kejutan tak terduga. Dia pernah membawakan kepompong mungil untuk bermain, dia pernah membawa spanduk besar diwaktu ulang tahunku dan dia selalu membeli barang-barang unik untukku.
Perjalanan menuju Berlin sangat memakan waktu lama, hampir sehari penuh di dalam pesawat. Dan akhirnya sekarang pesawat menuruni ketinggian hingga berhenti di bandara. Aku dan Drey menginjakkan kaki di Bandara Udara Internasional Berlin, terletak di Tegel, Berlin, pada jam 7 pagi waktu setempat, Reinickendorf 8 km (5,0 mi) arah barat laut dari pusat kota.Aku memperlihatkan pemandangan kota Berlin untuk yang pertama kali, sayangnya keadaan masih gelap. Mabuk udara yang sangat menyiksaku telah berlalu.Dengan romantis kita berdua bergandengan tangan keluar dari Bandara.“Langsung ke hotel, ya? Istirahat dulu,” kata Drey menggandengku sambil membawa koper.Drey mengajakku untuk beristirahat di hotel, menggunakan bus yang sudah disediakan di sana. Aku baru ingat, sekarang sedang berada di Berlin, kalau boleh dibilang bus yang aku naiki ke hotel adalah bus paling keren yang pernah aku naiki.“Udah nggak mual lagi, Ryn? Atau pusing?” tanyanya ketik
Setelah turun dari bus, di jalan menuju hotel sambil menyeret koper—aku bertemu dengan salju yang lembut. Bahagia banget! Baru pertama ini aku memegang salju lembut. Berhubung masih jam 7 pagi lebih, kami langsung check-in hotel dan istirahat.Drey memang sudah merencanakan menginap di hotel terdekat tempat wisata agar mudah untuk mengunjungi tempat-tempat di Berlin.Sepanjang koridor hotel sambil mencari nomor kamar di antarkan seorang Bell Boy yang ikut membantu membawa barang-barang kita. Setelah sampai di depan kamar, Drey berucap terima kasih kepada Bell Boy menggunakan bahasa Inggris karena telah membantu membawa barang-barang dan telah mengantarkan.Karena masih gelap, aku dan Drey beristirahat sebentar sembari mencharge ponsel, dan menikmati wiffi gratis. Ketika jam 8, aku dan Drey memutuskan untuk keluar dari hotel. Untuk mengetahui objek wisata apa saja yang akan aku kunjungi, aku mengandalkan peta dari Tripomatic.
Karena aku dengan Drey bulan madu di Berlin saat musim salju, untunglah aku membawa jaket tebal berbulu dan topi Bobble dari Indonesia, karena aku tahu sekarang Berlin musim dingin dengan turun salju yang lebat.Aku benar-benar mempersiapkan segalanya tanpa barang tertinggal.Selepas makan siang, salju turun cukup banyak. Jadi sempat menghabiskan waktu beberapa saat terlebih dahulu di dalam restourant.“Mau keluar sekarang?”Aku mengangguk antutias. Tidak sabar untuk menginjakkan kaki di atas salju yang baru turun. Ya, salju yang turun telah berhenti, aku dan Drey segara keluar dari restourant Tim Raue. Mataku terbuka lebar—terkagum menyaksikan salju di depanku, jujur baru pertama ini aku melihat salju dengan kepala mataku sendiri.“Drey! Ada salju! Salju!” teriakku bahagia.Drey tersenyum lebar, dia masih berdiri di depan restourant itu, melihatku kegirangan menyentuh s
Setelah puas mengunjungi wisata di Berlin, aku dan Drey kembali ke hotel untuk beristirahat. Rasanya lelah sekali, badan letih dan capek, tapi aku sangat puas berkeliling. Banyak tempat yang belum aku kunjungi, mungkin dilanjutkan esok harinya.“Ryn, apa masih lama?”Aku sedang membersihkan badan mendengar suara Drey bersamaan dengan ketukan pintu kamar mandi. Sepertinya Drey hendak menggunakan kamar mandi yang sedang aku gunakan selama tiga puluh menit.“Sebentar lagi, Drey,” teriakku dari dalam, suaraku menggema. Aku segera melepaskan handuk yang melilit di tubuhku dan mengganti kimino bermotif bunga sakura.Aku tidak ingin membuat Drey menunggu lama. Jadi aku segara keluar dari kamar mandi.“Apa yang kamu lakukan di dalam?” tanya Drey.Aku mengeryit, kenapa Drey bertanya seperti itu? Sudah jelas berada di kamar mandi melakukan ritual.“Mandi don
“Hmm?” gumam Drey.Tiba-tiba dia dengan cepat mengendongku ke ranjang berukuran queen size. Drey mendekatkan wajahku lagi dan mendaratkan ciuman di telinga membuatku merinding merasakan sensasi baru yang disalurkan pada titik sensitif di tubuhku.Sesungguh aku dibuat terkejut ketika Drey menciumiku dan menggendongku ke atas ranjang. Aku ingin bertanya apa yang akan Drey lakukan selanjutnya, tapi itu tidak mungkin, aku tidak tega membiarkan Drey menahan hasratnya sendiri.Kecupan lembut telah berhasil memancing diriku untuk menginginkan sentuhan dari Drey, sentuhan dari suamiku. Tangan Drey perlahan menelusup ke dalam baju tidurku, menyentuh kulit sehingga mengalirkan sensasi listrik yang terasa dahsyat ke seluruh saraf.“Drey ....” lirihku ketika dia menghentikan aktivitasnya, aku sedikit kecewa namun ternyata ... Drey benar-benar sudah terbawa oleh napsu.Drey dengan tidak sabar melepaskan bajunya yang segera mempertontonkan tubuhnya yang s
Matahari telah berhasil mengusir bulan dari singgasananya. Membangunkan para pemimpi yang terbuai oleh mimpi dan malam. Sepi yang pekat tergantikan keceriaan cahaya terang yang menghangatkan.Waktu menunjukkan pukul sembilan pagi, aku membuka mata yang terasa berat. Kegiatan tadi malam yang berlangsung hingga dini hari dan sangat melelahkan tubuh. Tubuhku merasa pegal-pegal.Aku menoleh ke sisi kasur, memandang wajah Drey tampan yang sedang terlelap sambil memeluk tubuhku dari belakang. Kemudian aku membalikan badan, berbaring sambil memandang wajah Drey dari dekat. Sangat dekat sampai aku merasakan napasnya yang hangat dan deru napas orang tertidur.Beruntung sekali aku mempunyai suami seperti Drey, dia memiliki alis yang tebal, dinaungi oleh bulu mata yang lentik, hidung yang mencung, bibirnya kissable dan rahang yang tegas, apalagi kumit tipisnya. Entah kenapa menurutku, Drey sangat tampan sekali ketika sedang tertidur, ekspresi
Air mata Drey terus mengalir dan tiada henti. Penyesalan yang ada didalamnya semakin Dreyrasakan. Sejak tadi Drey tidak mampu membaca guratan tinta Auryn, tapi dia membaca hingga selesai. Dengan tangan gemetaran, Dreymemeluk buku diary tersebut dengan isak tangis.Di sini yangtersisa hanyalah barang-barangAuryn, termasuk novel yang seringAurynbaca. Semua masih tertinggal di sini. Sang pemiliklah yang menghilang.Bukan Aurynyang jahat di sini telah meninggalkan Drey, namun Drey yang jahat. Dreymengakui dirinya. Kepergian Aurynbukan membuatnya bahagia, namun hanya menyakitinya. Bukan menenangkannya, namun malah menaruh dirinya dalam jurang kesepian.Dengan mata berair, Dreymeletakkan kembali buku Diary milik Auryn.***[Auryn POV]Di antara keputusan. Inilah keputusan paling terberat yang aku buat. Ini memang keputusan yang paling gila. Bagaimana tidak gila? Ak
Untuk Drey,Drey … maafkan keputusanku yang mengerikan ini. Sepertinya aku membutuhkan waktu. Aku pergi, aku meninggalkanmu. Maaf … ini yang aku inginkan walaupun sangat berat. Maaf juga, waktu itu. Aku melakukan percobaan mengakhiri hidup di bak mandi. Saat itu aku sangat putus asa. Aku benar-benar kecewa. Aku seakan merasa tidak ingin di dunia ini. Keberadaanku yang tak aku inginkan. Aku tidak ingin benar-benar tertekan dengan pernikahan kita.Terima kasih … terima kasih telah menyelamatkanku waktu. Aku pergi, Drey. Aku tidak berpamitan padamu karena saat melihatmu, kekecewaan yang aku rasakan memuncak. Aku ingin pergi tanpa ada rasa bersalah padaku.Perpisahan ini memang harus. Aku harap kamu menjadi lebih baik ketika aku pergi. Biarkan aku pergi, jangan mencariku. Oh, ya. Tentang perceraian. Aku sudah menyiapkan surat cerai kita. Kamu jangan khawatir. Kamu bisa menikah dengan Anna. Kalian bisa hidup bahagia. Kalian bisa bersatu.J
“Sekarang biarkan dia pergi, Nak,“ kata Mama Davina.Wanita itu melepaskan pelukannya dan menepuk pundak Drey berkali-kali.Drey menatap sendu cincin yang berada di tangannya, digenggam erat dengan air mata sudah bercucuran. Cincin itu belum genap satu tahun melingkar di jari Auryn, namun kini cincin itu sudah kembali pada DreyDalam tangisan disertai derasnya air mata.Drey sempat berpikir. Apakah perpisahan ini akan membuat Aurynbahagia? Lalu bagaimana dengan dirinya? Drey bisa mati tanpa Auryn. Dreyberada dipihak tersakitisetelah ditinggalkan oleh Auryn.Mama Davina ikut meneteskan air mata melihat anaknyamenangis—batin seorang Ibu ikut merasa sakit.Dreymenangis dalam penyesalan atas perbuatan bodoh selama ini. Sungguh ini begitu menyakitkan. Penyesalan yang sulit sekali di maafkan. “Pasti Auryn nggak akan maafin aku, Ma. Dia sangat membenciku! Tapi Aku mencintainya,” isak Dre
[Author POV]Jantung Drey berdebar. Dia berteriak frustasi di depan Mama Davina. Dia hancur saat Mamanya memberi tahu bahwa Auryn pergi, Drey marah kepada Mama Davina. Lelaki itu menatap Mama dengan sorot mata redup.“Kenapa Mama membiarkan dia, Ma?!” Drey berteriak kepada Mama, seharusnya Mama Davina tidak membiarkan Auryn pergi, itu yang ada dipikiran Drey. “Kenapa, Ma?” Drey menuntut.Mama Davina hanya bisa menunduk setelah melihat kemarahan dari Drey.“Jawab, Ma!” Getar hati Drey sangat luar biasa. Dia kecewa dan malu pada dirinya sendiri.Kepala Mama Davina mendongak. “Maaf,” kata Mama Davina.Drey mengacak-acak rambut hingga berantakan. SIAL. Kenapa menjadi seperti ini. Auryn benar-benar meninggalkan Drey tanpa berpamitan lebih dahulu. “Aku mencintai dia, Ma. Aku telah menyesali semuanya … tapi aku terlambat menyadari.”“Mencintai Ryn?” Mama tersenyum
[Author POV]Esok harinya aku kembali ke rumah Drey. Mama Davina yang menyuruhku, awalnya aku di rumah Mama Katerina untuk beberapa hari.Sekarang akumenatap kosong ke arah jendela kamaryang menyajikan keindahan halaman rumah Dreyyangdijadikan sebagai tamanbunga. Bunga-bunga yang aku tanam dan dia rawat sudah mekar dan tumbuh cantik.Apa yang telah terjadi beberapa hariterus berputar dalam benakku.Kalimat yangakubenci telah terucap dari bibirku sendiri. Akuingin menceraikanDrey, tapi Dreymenolak dengan tegas. Akusudah pernah memohon agar Dreymenceraikan diriku, Drey menolak dan menahanku.Bukankah aku pernahmeminta satu permintaan?SeharusnyaDreytidak menahan kembali permintaanku, seharusnya dia mengabulkan?Akutau, perceraian adalah perkara hal yang tidak gampang. Kedua pihak harus sama-sama menyetujui. Pilihan yang terbaikkah j
[Author POV]Raut sedih di wajah Dreynampak saatZanymembuka pintu rumahnya. Zanymenggunakan baju rumah, diaterlihatbaru saja mandi karena rambut terlihat basah. Dia terkejut dengan kedatangan Dreysecara tiba-tiba. Mata Dreyterlihat begitu sembab, bibirnya pucat dan sorotan mata ingin menangis. Tergambar jelas kesedihan cukup mendalam dari sorot matanya.“Astaga. Kamu kenapa, Drey. Masuk dulu,” perintah Zanytidak tega melihat Drey datang-datang seperti orang yang baru mengalami kejadian menyedihkandan seperti mayat hidup.Drey berjalan dengan tertatih mendekat Zany yang menatapnya sendu penuh rasa khawatir melihatnya. Keadaan benar-benar menyedihkan, satu kalimat yang Zany sematkan di mulutnya karena melihatnya seperti ini, “Are you ok, Drey?”“Zany ...” panggil Drey lirih. “Ucapkan kalimat untukku,” pinta Drey dengan pasrah.“
Aku melepaskan dengan kasar genggaman dari Drey. Melihat Dreydihadapanku dengan raut berbedamembuat hatikusemakin teriris, sakit tentunya. Dreytelah bermain di belakangkudankenyataan Anna hamil harus aku telan bulat-bulat, dijajal dengan paksa.“Kenapa kamu tidak mengatakan jujur kepadaku?” Aku bertanya dengan menuntut penjelasan Drey, perihal Anna hamil. “Aku dibuat bingung dengan masalah ini.” Aku terkekeh dibuat-buat. “Semua membingungkan. Aku tidak mengerti mengapa. Apa Aku bukan istri yang kamu harapkan?” Pandanganku melihat ke arah Drey dan Mama Katerina.Mama Katerinamembelai pipiku, dia seperti memberikan kekuatan agar aku sabar menghadapi semua ini.“Maafkan, Aku. Aku telah menyakitimu lagi. Ini semua salahku.” KepalaDreymenunduk dalam-dalam di pangkuanku. Air matanya menetes mengenai tangankudan membasahiselimut“Akumohon,
Akuterbangun dari tidur, badanku terasa agak panas. Ah, mungkin aku masuk angin. Tubuhku masih gemetaran. Kepalaku berdengung. Dadaku lebih sesak daripada saat di dalam air tadi. Di saat merasa badan tidak enak, tangan seseorang membelai dahiku dengan sangat lembut. Mama, aku melihat Mama di sampingku. Memperhatikan dengan sorot mata yang redup. Mata Mama terlihat memerah dan sepertinya baru saja menangis.“Mama … kenapa menangis?”Mama mengusap pipi dan di sudut matanya untuk menghapus bekas air mata. Mama menyembunyikan dariku, tapi aku tidak bisa dibohongi. Ya, aku yakin Mama baru saja menangis.Mama tersenyum. “Tidak, sayang. Mama nggak habis nangis kok.”Bohong. Aku tahu mama berbohong. Kuputar kepala untuk melihat jam dinding yang menunjukan pukul 9 pagi dan aku sama sekali melihat keberadaan Drey.Di mana dia?“Drey udah pergi ke kampus, baru aja,” kata Mama seperti membaca pikiranku. &
Aku mati?Apakah ini akan berakhir? Apakah ini terakhirku untuk hidup.Cara ini akan berhasil. Aku menang. Aku akan membawa mati anak Drey. Aku sudah ikhlas dan aku yakin ini yang terbaik untuk semuanya. Mataku sudah tidak bisa melihat apa-apa selain kegelapan.Arrgh, kepalaku terasa sakit sekali hingga ujung kakiku. Dadaku sesak sekali, hidungku sudah teramat perih kemasukan air. Tubuhku membutuhkan udara, tapi aku semakin lemah di dalam bak mandi. Aku tak ingin keluar dari sana. Aku mencoba untuk mengakhiri hidup. Aku tak ingin cara ini sia-sia.Biarkan aku mengakhiri penderitaan.“Maafkan aku. Aku membunuh anak kita, Drey, “ batinku berkata.Rasa sakit sudah tidak bisa aku tahan. Rasa sakit yang membuat aku kehilangan segalanya dan semuanya lenyap.***Sesuatu menabrak keras di kepalaku. Aku merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirku. Aku bernapas. Terbatuk-batuk dan memuntahkan apa saja yang mengganjal di tenggor