Pauline tidak tahu apa yang membuat Xander begitu keras kepala menyukainya. Bahkan setelah di taman tadi, kini Xander berniat mengantarkan Pauline pulang, tetapi cuaca buruk dan hujan turun sangat deras. "Hujannya akan turun sampai beberapa jam ke depan, pulang rumahku dulu, oke?" Xander menatap Pauline. Gadis itu mengangguk sambil mengusap kedua bahunya. "Iya, Kak. Udaranya sangat dingin..." "Kau kedinginan, hm?" Xander menatapnya lekat. Laki-laki itu menepikan mobilnya, ia langsung melepaskan mantel tebal yang ia pakai dan memakai pada Pauline. "Pakailah," ujar Xander dengan wajah cemas. Hanya anggukan kecil yang Pauline berikan sebagai jawaban. Gadis itu kembali memperhatikan Xander yang kini melajukan mobilnya lagi. Ekspresi cemas yang terlukis di wajah Xander membuat Pauline bertanya-tanya, apa kiranya yang membuat Xander selalu ingin menunjukkan pada Pauline bahkan ialah laki-laki yang cocok untuknya. Beberapa menit kemudian, mobil hitam itu sampai di kediaman Xander. R
Rasa hangat menyelimuti, Pauline menarik selimut tebal dan lembut itu hingga menutupi lehernya. Gadis itu mengubah posisinya meringkuk ke arah Xander yang duduk di sampingnya, laki-laki yang memangku laptop itu menatap Pauline dan tersenyum. "Pulas sekali dia tidur," gumam Xander mengusap pipi Pauline dengan lembut. Gerakan lembut jemari itu membuat Pauline perlahan-lahan membuka kedua matanya berat. Seperti mengigau, gadis itu mendongak menatap Xander dengan mata kiyip dan menepuk bantal di sampingnya. "Tidur di sini, Kak," ujarnya dengan suara berat dan lemas. "Kak..." "Kau yakin?" Xander tersenyum tipis. Alih-alih menjawab, Pauline kembali memejamkan kedua matanya dan memeluk lengan Xander. Tentu saja hal ini menyenangkan untuk Xander, laki-laki itu langsung berbaring dan membiarkan lengannya dipeluk hangat oleh Pauline. Diam-diam Xander mengusap wajah cantik itu, perasaan Xander menjadi hampa saat ia mengingat gadis ini selalu membatasi dirinya. Namun, tiba-tiba suara ket
Sementara Pauline di dalam kamar, gadis itu terbangun saat menyadari ia tertidur tidak di kamarnya. Namun ia masih berbaring di atas ranjang besar dan nyaman itu. Bahkan Pauline masih memeluk bantal milik Xander dan diam mengerjapkan kedua matanya seolah mengumpulkan kesadarannya. Sampai pintu kamar terbuka dan tampak Xander masuk ke dalam sana. Laki-laki itu tersenyum manis pada Pauline. "Hai, Sayang ... kau sudah bangun?" sapanya dengan senyuman manis. Pauline menoleh dan ia mengangguk. Namun masih malas membuka mulut dan bangun, hingga Xander berjalan mendekatinya dan naik ke atas ranjang. Laki-laki itu mengusap gemas pucuk kepala Pauline dan mendekatkan wajahnya mengecup pipi Pauline sampai gadis itu menatapnya. Kedua mata Pauline menyipit seketika. "Kenapa main kecup-kecup!" serunya. "Kenapa memangnya? Mau protes, hm?" Xander semakin mendekatkan wajahnya. Pauline tersenyum dan mendorong wajah laki-laki itu. Ia tahu, Xander bukan orang lain yang harus ia beri peringatan wa
Keesokan harinya, Pauline menjalani hari-harinya seperti biasa. Setelah kemarin seharian ia menghabiskan waktu bersama Xander, bercerita, bercanda, dan saling mendengarkan satu sama lain, kini Pauline telah lupa pada kesedihannya. Siang ini Pauline ikut bersama kedua orang tuanya untuk datang ke sebuah acara makan siang bersama yang diadakan untuk suatu acara di kantor Papanya. Pauline tidak punya teman di rumah bila ia tidak ikut, Mamanya pun meminta Pauline untuk ikut tanpa harus mendengarkan ocehan orang. Kini, Pauline berada di tengah-tengah banyak orang, termasuk para wanita istri-istri rekan Papanya, juga ada Hauri di sana yang duduk bersama Pauline. "Ya ampun, Nyonya Elizabeth ... putri dan menantumu perutnya sudah besar ya, tahun ini Nyonya akan mendapatkan kejutan seorang cucu sekaligus!" seru seorang wanita yang duduk di hadapan Elizabeth di antara meja makan berukuran panjang itu. Elizabeth hanya tersenyum. "Nyonya benar." "Tapi, ngomong-ngomong ... kenapa saya tidak
Setelah acara makan siang selesai, Xander diam-diam meminta izin pada Evan dan Elizabeth untuk mengajak Pauline bersamanya. Mereka berdua pergi jalan-jalan bersama. Pauline ingin mengunjungi bazar di sore ini, selain cuaca yang cerah, di tempat itu juga menjual berbagai macam aksesoris dan barang-barang yang lucu. Dan Xander selalu menjaga Pauline dengan posesif ke manapun gadis itu melangkah. "Wahh ... kalau sore lebih ramai ternyata," seru Pauline dengan wajah kesenangan. "Kak, ayo ke sana..!" "Jangan berjalan terlalu cepat, Sayang. Di sini ramai, kau sedang hamil. Kalau kau jatuh karena didorong oleh orang, maka kau akan melihat aku bertengkar hebat di sini!" seru Xander sambil merangkul pinggang Pauline. Gadis itu terkekeh mendengarnya, Pauline mendongak menatap Xander dan berjalan memelankan langkahnya. "Kau ingin membeli apa, hm?" tanya Xander memperhatikan Pauline yang tampak kebingungan. "Entahlah, bagaimana kalau es krim?" Pauline menunjuk ke arah seberang taman. "Bol
Beberapa hari kemudian Pauline merasa senang karena hari-harinya selalu dipenuhi dengan hak yang menyenangkan setelah Xander selalu bersamanya. Hari minggu ini, sejak pagi tadi Pauline sibuk membuat makanan yang ingin ia berikan pada Xander. Elizabeth pun kini memperhatikan putrinya yang tampak sibuk di dapur. "Sayang, sedang membuat apa?" tanya Elizabeth pada putrinya. Gadis itu menoleh sambil tersenyum. "Mama ... Pauline sedang membuat kue kering," jawabnya. "Kak Xander semalam membicarakan tentang kue kering jahe, Pauline membuka resep dan membuatnya, Ma." Elizabeth terkekeh dan menghampiri putrinya. "Kau ingin memberikan pada Kak Xander-mu, Sayang?""Iya, Ma." "Heem, bagus. Nanti kalau mau ke sana mintalah tolong pada Paman Jericho untuk mengantarkanmu, ya?" Elizabeth mengusap pucuk kepala putrinya. "Sudah, sana Pauline siap-siap. Biar Mama yang bungkuskan." "Oke, Ma. Terima kasih..." Dengan wajah antusiasnya Pauline memeluk Mamanya dan mengecup pipi Pauline. Gadis itu se
Pauline menangis sampai ia tiba di rumah. Namun, ia mencoba menghindar dari orang rumah hingga tangisannya tidak diketahui oleh siapapun kecuali Jericho. Pauline masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu kamarnya rapat-rapat. Ia duduk di tepi ranjang dan menatap langit-langit kamarnya dengan kedua mata berkaca-kaca. 'Rasanya aku tidak percaya mendengar apa yang mereka katakan tadi tentangku...' Gadis itu tertunduk, air matanya jatuh menetes membasahi pipinya. Jemari tangan Pauline meremas bagian dada baju yang ia pakai. "Harusnya sejak awal aku memang tidak menaruh hati padanya. Kalau seperti ini, aku yang merasakan sakitnya." Gadis itu meringkuk di tengah ranjang kamarnya sambil memegangi perutnya. Membayangkan betapa bahagianya ia saat Xander menyayanginya seperti hari-hari kemarin, tidak keberatan dengan mengaku sebagai ayah untuk anaknya, tapi kenyataannya yang ia terima saat sangat menyakitkan untuk Pauline setelah ia mendengar percakapan Xander bersama Nenek dan Kakeknya.
Elizabeth tidak ingin berdiam diri dan memendam kesedihan yang dirasakan Pauline. Malam harinya, Elizabeth menyambut kepulangan Evan dari luar kota dengan wajah lesu dan kedua mata yang sembab. Evan tampak bingung dan bertanya-tanya, tidak biasanya istrinya memasang ekspresi seperti ini. "Sayang, ada apa?" tanya Evan mendekatinya. "A-ada yang ingin aku bicarakan, Sayang," jawab Elizabeth mengangkat wajahnya dengan kedua mata berkaca-kaca. "Tentang Pauline." Raut wajah Evan juga mendadak panik. Tanpa berkomentar ini dan itu, ia pun langsung mengangguk dan mengajak istrinya untuk duduk bersamanya. Tubuhnya masih lelah, tapi Evan selalu serius bila semuanya menyangkut Pauline. Elizabeth mengajak suaminya duduk di dalam ruang keluarga di lantai dua. Sejenak hening terjadi di antara mereka berdua. "Sayang, sepertinya kita tidak bisa melindungi Pauline untuk terus berada di sini," ujar Elizabeth tertunduk. "Apa maksudmu, Eli?" Evan menatap tajam istrinya. "Sore tadi Pauline menang
Pernikahan yang dinanti-nantikan sekaligus tak pernah dibayangkan oleh Pauline pun kini terjadi. Menjadi istri seorang Xander Spencer adalah hal yang tak jauh berbeda dengan sebuah mimpi. Dulu, Pauline tidak berani hanya sekedar untuk membayangkannya saja. Tetapi, takdir berkata lain. Hari ini, Pauline dan Xander sudah resmi menjadi sepasang suami istri. Pauline resmi menjadi istri dari seorang Xander Spencer setelah acara pernikahan mereka diselenggarakan di gedung hotel milik Keluarga Collin pagi ini. Semua keluarga mengucapkan selamat pada mereka, termasuk Exel dan juga Hauri yang turut ikut merasa senang di hari bahagia adik mereka. "Selamat ya, Sayang ... akhirnya kau membuka lembaran baru dengan seseorang yang kau cintai dan yang mencintaimu," ujar Exel memeluk Pauline. "Berjanjilah untuk hidup bahagia dengan Xander." Pauline mengeratkan pelukannya pada sang Kakak dan ia mengangguk kecil. "Iya, Kak. Terima kasih..." Pelukan mereka pun terlepas, Pauline menatap Hauri yang
Pauline tidak pernah memikirkan yang namanya pernikahan sebelumnya. Ia hanya ingin hidup berdua dan membesarkan Alicia. Itulah harapannya awal mula. Namun, ternyata takdir berkata lain. Pauline justru akan menikah dengan laki-laki yang dulu pernah ia tinggalkan karena sakit hati, dan terlebih lagi laki-laki itu begitu lapang dada menerima Alicia dan mengakui sebagai anaknya sendiri. "Hei, kenapa melamun?" Suara Xander membuat Pauline tersentak pelan. Gadis itu menoleh pada Xander yang kini berdiri di sampingnya. Xander langsung memeluk Pauline dari belakang dan menyandarkan kepalanya di pundak gadis itu. "Kenapa?" Pauline mendongak menatapnya dengan senyuman tipis. "Katanya aku harus duduk diam, kau sendiri yang mau memilihkan gaun pernikahan kita," ujar Pauline. "Heem, tunggu sebentar. Tante Helen masih memilihkan yang pas untukmu," jawab Xander, seraya melepaskan pelukannya. Laki-laki itu pun berpindah duduk di samping Pauline. Saat ini, mereka berada di butik milik salah sat
Xander mengantarkan Pauline pulang, kedatangannya disambut oleh Evan dan Elizabeth. Mereka tampak cemas dan was-was, pasalnya selama bertahun-tahun ini Pauline tidak pernah berhubungan dengan laki-laki manapun. Meskipun Evan merestui hubungan mereka, tapi tentu saja ia panik dan cemas bila putrinya tidak pulang-pulang. Kini mereka bertiga baru saja pulang, tampak Alicia bersemangat dan kesenangan dalam gendongan Xander. "Opaa...!" Anak perempuan itu mengulurkan tangannya dan berlari ke arah Evan dengan wajah berseri-seri. Evan dan Elizabeth pun tersenyum. "Aduh, kenapa Cucu Opa tidak pulang-pulang!" seru Evan, saat cucunya turun dari gendongan Xander dan berlari ke arahnya. Alicia langsung memeluk Evan, sedangkan Pauline dan Xander kini duduk di sofa. Mereka duduk berjajar dan Pauline tampak menundukkan kepalanya. "Maaf ya, Pa. Aku tidak bisa pulang kemarin. Pauline tidur pulas, aku ... aku juga sama," ujar Pauline merasa bersalah. Evan mengangguk. "Tidak apa-apa, asal kau ber
"Pauline, Sayang bangun ... pindahlah tidur di kamar. Jangan tidur di sini. Alicia sudah tidur di kamar atas." Xander menepuk pipi Pauline dengan sangat lembut sampai gadis itu terbangun dan terkejut saat ia menyadari tertidur di rumah Xander. "Kak..." Laki-laki itu tersenyum. "Pindah ke kamar, tidurlah di sana temani Alicia. Aku akan melanjutkan pekerjaanku dulu." Pauline langsung bangun dan ia menoleh ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul setengah dua belas malam. Gadis itu tertunduk. "Bagaimana bisa aku ketiduran sampai jam segini?" lirih Pauline. "Bagaimana aku pulangnya?" "Kan aku sudah bilang, tidurlah di sini. Biar aku yang telfon Papa. Di luar juga udara sangat dingin, kasihan Alicia, Sayang." Xander mengusap lengan kecil Pauline. Gadis itu mengangguk patuh dan ia beranjak dari duduknya. Kedua mata mengantuknya pun tertuju lagi pada Xander. "Janji ya, Kak, teflon Papa," ujarnya. "Iya, Sayang." Barulah Pauline tersenyum tipis. "Baiklah, kalau begitu aku ke
"Ma ... Alicia boleh tidak, tinggal di sini sama Mama dan Papa?" Anak perempuan dengan rambut cokelat dikuncir dua itu berdiri di samping sang Mama. Alicia yang menggemaskan tampak mendongak menatap wajah sang Mama. Pauline yang tengah membuatkan kopi untuk Xander di dapur rumah laki-laki itu, ia pun lantas menoleh dan tersenyum pada Alicia yang murung dan mengeluh di sampingnya. "Kita punya rumah sendiri, Sayang." Bibir Alicia cemberut, anak itu menarik-narik ujung blouse yang Pauline pakai. "Tapi Ma, Alicia mau seperti Kak Varo dan Kak Vano, mereka tinggal dengan Tante Mama dan Papa Exel. Masak Alicia hanya tinggal sama Mama, terus Oma dan Opa? Papa tinggal sendirian, kasihan Papa, Ma..." Alicia memprotes sang Mama. Dari arah ruang tengah, Xander yang mendengar perbincangan Alicia dan Pauline, ia tersenyum. Anak kecil mungil itu memang sangat menyayanginya selayaknya Papanya sendiri. Dengan jelas ia mendengar Alicia merengek pada sang Mama dan ia ingin tinggal bersamanya. Per
Setelah pergi jalan-jalan, Xander mengajak Pauline dan Alicia ke rumahnya. Pauline pikir Xander tetap tinggal di rumah lamanya, tapi ternyata ia salah, Xander telah memiliki rumah sendiri yang jauh lebih megah. Kini, Pauline melangkah masuk ke dalam rumah. Ia berjalan di belakang Xander yang melangkah di depannya sembari menggendong Alicia yang terlelap dalam dekapannya. "Kak, tidurkan di sofa saja, tidak apa-apa," ujar Pauline tidak enak hati. "Kenapa harus di sofa? Di lantai satu banyak kamar, lantai dua juga ada," jawab Xander sambil berjalan menaiki anak tangga. "Tapi kan—""Anggap saja rumah ini rumahmu sendiri, Sayang," sela Xander. Panggilan Sayang yang Xander lontarkan membuat Pauline terdiam. Ia teringat saat beberapa tahun lalu, Xander memanggilnya dengan panggilan itu dan terdengar sangat romantis. Sampai akhirnya Pauline kembali melangkah naik mengikuti Xander. Mereka masuk ke dalam sebuah kamar. Kamar bernuansa abu-abu dan putih, memiliki ranjang king size di teng
Pauline terus merenung setelah ia mendapatkan nasihat dari sang Papa. Diamnya membuat Xander yang kini bersamanya pun tampak tak biasa. Laki-laki itu memperhatikannya dan ikut merasakan ada yang lain dengan Pauline. "Kenapa diam saja?" tanya Xander menatapnya dan menarik lengan Pauline sambil memangku Alicia. Pauline menoleh cepat dan menggelengkan kepalanya. "Tidak apa-apa. Emm ... hanya berpikir cuacanya semakin dingin." "Ya, tapi Alicia tidak mau pulang," jawab Xander menahan Alicia yang ada di pangkuannya dan tampak masih ingin bermain lagi di taman. Anak kecil perempuan itu mendongak dan menggelengkan kepalanya. "Ma, Alicia masih mau main sama Papa, nanti kalau Papa pulang, biar Alicia tidak menangis lagi," ujar anak itu. Pauline tersenyum dan mengangguk. "Iya, Sayang. Main sepuasnya di taman, ditemani Papa. Mama akan di sini memperhatikan kalian." Jawaban yang Pauline berikan membuat Xander terdiam dan menatapnya dengan dalam. Rasanya seperti tidak biasa melihat ekspres
Suara gema tangisan Alicia menggelegar di dalam rumah Evan. Alicia marah saat ia bangun tidur, Xander tidak ada di sana, hingga membuat anak itu menangis mencari sosok yang ia panggil 'Papa' tersebut. Tangisannya membuat semua orang heboh pagi ini. Sampai Evan dan Elizabeth ikut berusaha menenangkannya cucu kesayangannya. "Sayang, sudah jangan menangis ... nanti Papa Xander akan ke sini, kok," bujuk Elizabeth menggendong Cucunya. "Huwaa ... maunya sekarang, Oma! Alicia maunya sekarang! Huwaa ... Papamu di mana?!" jerit Alicia menangis. Sedangkan Pauline kini berada di lantai dua, gadis itu tengah mencoba menghubungi Xander. Namun hingga berkali-kali panggilannya tidak dijawab oleh Xander meskipun terhubung. Pauline sampai mondar-mandir dengan kepala pening. Sejak petang dia menggendong Alicia yang rewel mencari Xander. "Mama!" pekik Alicia dari lantai satu. "Huwaa ... Mama!" Gegas Pauline turun ke lantai satu dan segera mendekati putrinya yang kini berjalan ke arahnya sambil me
Pauline dan Xander sampai di wahana akuarium raksasa. Di sana, Alicia terlihat sangat senang. Bahkan anak itu tidak mau turun dari gendongan Xander sejak mereka sampai. Tak hanya diam, Pauline pun sesekali mengambil momen dengan membuat video tentang Alicia yang digendong oleh Xander. "Wahh ... Papa! Itu ikannya besar!" pekik anak perempuan itu menunjuk seekor ikan di dalam akuarium raksasa. "Itu ikan apa, Papa?" "Itu ikan paus, Sayang," jawab Xander. "Ikan paus juga punya Mama dan Papa, juga?" tanyanya dengan polos. "Tentu saja punya," jawab Xander terkekeh. Pauline berdiri di samping Xander dan wanita itu menunjukkan gerombolan ikan-ikan cantik di sana. "Itu bagus ya," ujarnya. "Hm." Xander mengangguk. "Apa kau tidak pernah jalan-jalan saat Prancis?" "Tidak pernah. Alicia sangat nakal. Aku pernah mengajaknya ke taman bermain saat itu, hanya berdua, tapi aku awalnya ingin membiarkannya mendapatkan teman, tapi baru beberapa menit, belum ada satu jam sudah jat