Di tengah kericuhan acara tadi, Nela dan Lita, dua orang wanita yang telah memfitnah Rajendra berhasil kabur menuju pintu keluar. Gerakan mereka sangat cepat, seolah sedang dikejar hantu. Dua wanita tersebut akhirnya lolos dari keributan yang mereka ciptakan. "Lewat sini, cepat," seru seorang pria tinggi besar yang berjaga di pintu belakang. Pria itu tidak sendirian, melainkan ada satu orang pria lain yang bertugas mengamati situasi. Siapa tahu ada pihak keamanan gedung yang mengenali dua wanita tersebut. Keduanya langsung dituntun masuk ke sebuah mobil yang telah disiapkan di area parkir. Nela, yang berperan sebagai ibu, seketika menjatuhkan kepala ke sandaran kursi. Jantung wanita itu masih berdebar kencang akibat harus melakoni peran yang penuh risiko. Tenaganya juga terkuras habis setelah dua kali melempar balon berisi cairan ke arah Rajendra. Sayang sekali, usahanya justru berujung pada kegagalan."Kita akan dibawa ke mana, Tuan?" gumam Lita, sang wanita muda. Ia menghela napas
Terpaksa, Bintang mengkambing-hitamkan pesaing bisnis Chandra Kirana. Mau bagaimana lagi? Ia tak punya alasan lain yang lebih masuk akal. Sedapat mungkin, ia juga harus menjaga lisan agar tidak kelepasan menyebutkan nama sang ayah di hadapan sang kakek.Jawaban yang diberikan Bintang pun membuat Tuan Chandra terdiam. Pria tua itu mengingat-ingat siapa saja pesaing bisnisnya selama ini. Tuan Chandra mendesah, tentu ia kesulitan jika disuruh menebak. Pasalnya, pesaing bisnisnya bukan cuma satu atau dua orang saja. Namun, ada banyak sekali yang ingin menjatuhkan bisnisnya dari dulu. "Kira-kira Opa ada bayangan pesaing yang mana?" pancing Bintang, seolah sedang membantu Tuan Chandra mencari dalangnya. Padahal, ia melakukan ini demi melindungi sang ayah. "Entahlah, Bintang," gumam Tuan Chandra menggeleng lesu. "Terlalu banyak yang ingin menjatuhkan Chandra Kirana. Lagi pula kita tidak punya bukti untuk menyeret pelakunya ke penjara." Sembari menghembuskan napas panjang, Tuan Chandra lan
Catleya menumpukan dagu pada meja. Bola matanya bergulir mengikuti pergerakan Rajendra hilir mudik di dapur, menyiapkan makan malam mereka.“Sampai kapan kamu mau memperhatikan saya, Leya? Lebih baik habiskan tehnya sebelum dingin.”Catleya memalingkan wajah secepat yang dia bisa. Padahal Rajendra masih fokus menghadap kompor dan penggorengan, tetapi ia tahu bila diperhatikan. Sungguh, insting suaminya itu sangat kuat, macam cenayang saja.Untuk menghilangkan salah tingkah yang mendera, Catleya menuruti perintah sang suami. Meraih cangkir dan mendekatkannya ke arah mulut. Menyecap sebanyak dua kali supaya isinya habis, lalu meletakkannya kembali ke atas meja.Tidak ada lagi yang bisa dilakukan sembari menunggu makanan siap, Catleya memutuskan untuk bermain ponsel. Bersamaan dengan itu ponselnya bergetar-getar, pertanda ada telepon masuk. Nama kontak yang tertera adalah Sarah.Catleya membasahi tenggorokannya sebelum menggeser layar. Semenjak pertemuan mereka di kafe, baru kali ini Sar
Adrian dan Meliana sudah tiba di rumah Nyonya Pamela. Perempuan setengah baya itu senang sekali melihat putra kesayangannya pulang dari berbulan madu. Nyonya Pamela lantas mengajak sang putra untuk mengobrol. Sedangkan, Meliana minta izin masuk ke kamar dengan alasan tubuhnya masih lemas. Padahal, sebenarnya dia merasa malas untuk meladeni sang ibu mertua. Sejak masuk kamar, Meliana hanya berbaring, menonton TV, lalu memakan camilan tanpa melakukan apa-apa. Bahkan ketika Adrian masuk ke kamar, ia malah tertidur pulas. Hingga menjelang petang hari, Adrian keluar dari kamarnya untuk menemani sang ibu. "Sedang apa, Ma?" Adrian bergerak lebih dekat mengintip bahan-bahan di atas meja dapur. Ada bumbu-bumbu, sayuran, dan ikan kesukaannya. Mendengar suara Adrian, Nyonya Pamela sontak menengok dan balas menyapa putra semata wayangnya itu. "Mama memasak makanan kesukaan kamu. Ikan goreng, tumis kangkung, sama satu lagi yang tidak boleh ketinggalan ..." "Apa, Ma?" tanya Adrian. "Sambal,"
Sudah lebih dari lima menit Rajendra membuka mata. Alih-alih segera bersiap ke kantor, lelaki itu hanya mengubah posisi tidurnya menjadi miring ke kiri. Menghadap Catleya yang masih terlelap dengan bibir separuh terbuka.Berhubung saat ini istrinya sedang libur, Rajendra tidak ada niat mengganggu. Biarlah sesekali Catleya bangun lebih lambat dari biasa. Lagi pula sang istri butuh memulihkan tenaga, pasca mengalami peristiwa yang tak terduga kemarin.Sekian lama mengamati paras Catleya, muncul keisengan di diri Rajendra. Perlahan wajahnya maju mengarah ke ceruk leher sang istri. Menghirup aroma khas yang menguar meskipun si empunya belum bangun apalagi mandi.Semakin lama, bibir Rajendra semakin menempel pada ceruk leher Catleya dan akhirnya memberi isapan lembut di satu titik. Sebuah tanda merah muncul dengan kentara.Tubuh Rajendra sontak mundur saat dirasakannya Catleya menggeliat, melenguh kecil lantas kembali tertidur dalam posisi telentang. Rajendra tidak dapat menahan diri untuk
Kemunculan Tuan Chandra di kantor hari ini menjadi bahan perbincangan semua karyawan, baik dari level staf biasa sampai manajer. Mereka menduga kedatangannya berhubungan dengan peristiwa di acara launching kemarin. Pasalnya, cukup lama Tuan Chandra tidak datang ke kantor sejak terakhir kali memimpin rapat dewan direksi. Di hadapan Tuan Chandra, para karyawan menyapa dan memberi hormat kepada pria tua itu. Meski tak menjabat lagi sebagai CEO, tetapi wibawanya sebagai pendiri perusahaan tidak akan pernah pudar. Terlebih, Tuan Chandra masih terlihat sehat dan bugar. Kumpulan staf yang melihat Tuan Chandra, sontak menjadikan pria tua itu sebagai objek pergunjingan. Mereka menebak-nebak apa yang akan dilakukan oleh Tuan Chandra. Apakah dia akan mencari identitas wanita yang mencemarkan nama baik Rajendra. Atau justru dia akan membahas hubungan cucunya dengan Catleya. Sebab mereka yakin bahwa Tuan Chandra belum mengetahui perihal pertunangan Rajendra dengan sekretarisnya. Sembari terseny
Menempuh perjalanan sekitar dua puluh menit, mobil Tuan Rinto berhenti di sebuah rumah yang tidak asing bagi Catleya. Takut jika dirinya salah melihat, Catleya pun mengucek mata beberapa kali. Tidak salah lagi, bangunan yang menjulang di hadapannya ini adalah rumahnya sendiri."Ini, ... rumah orang tua saya, Tuan," ujar Catleya terkejut. “Iya, mari kita turun,” pungkas Tuan Rinto mematikan mesin mobilnya. Tuan Rinto berjalan lebih dulu, meninggalkan Catleya yang masih melamun di belakangnya. Ia mengetuk pintu sebanyak dua kali. Setelah Catleya tersadar, barulah ia menyusul dan berdiri di sebelah Tuan Rinto. Tak berselang lama, sosok Nyonya Nandini muncul di balik pintu. Ia terkejut mendapati Catleya ada di ambang pintu bersama Tuan Rinto. Sontak, rasa was-was melanda Nyonya Nandini. Entah kapan dan di mana Catleya bisa berkenalan dengan pembeli rumahnya ini.‘Bukankah Catleya harusnya ada di desa? Kenapa dia bisa bersama dengan Tuan Rinto?’ batin Nyonya Nandini. Jujur, ia merasa kh
"Aku dengar dari Opa Chandra kalau kamu tidak mau makan. Karena itu, aku bawakan masakan Perancis kesukaanmu. Makanlah Yasinta," bujuk Rajendra sedikit lebih lembut dari biasanya. Yasinta menatap paper bag di atas meja dan melihat isinya. Rajendra tepat sekali membelikan makanan yang ia sukai. Namun meski hatinya berbunga-bunga, Yasinta mendorong paper bag pemberian Rajendra ke tengah meja. Ia harus tetap bertahan untuk tidak makan selama Rajendra masih bersama dengan Catleya. “Kenapa? Apa aku salah membeli makanan?” tanya Rajendra mengernyitkan dahi."Selera makanku sudah hilang. Bawa saja makanan ini kembali pulang bersamamu!" tolak Yasinta, membuang mukanya. Rajendra menyadari bahwa Yasinta tengah merajuk kepadanya. Di dalam hati ia merasa sangat kesal. Pasalnya, kemarahan Yasinta bukan menjadi tanggung jawabnya, lalu kenapa ia harus bersusah payah membujuk wanita manja ini? Nanti kalau lapar, ia juga akan makan sendiri. "Apa yang membuat kamu tidak mau makan? Jangan menyiksa d
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry