“Aku akan memesan tiket ke Bali sekarang juga. Kalau bisa, aku juga akan menginap di hotel yang sama dengan Rajendra,” ucap Yasinta.Jemari perempuan muda itu asyik menggeser layar yang menampilkan laman salah satu maskapai penerbangan. Memesan satu tiket ke Bali untuk penerbangan malam tanpa banyak berpikir.“Baguslah,” sahut Bintang.Obrolan mereka terjeda oleh kedatangan pelayan yang membawa baki makanan. Pelayan itu minuman dan makanan satu per satu ke atas meja, lalu pergi setelah tugasnya selesai. Meninggalkan Yasinta dan Bintang yang bersiap menikmati makan malam mereka.“Kak Bintang, selama aku pergi kamu juga harus mendekati Catleya. Jangan hanya aku yang bertindak, sedangkan kamu diam-diam saja,” tambah Yasinta. Ia menusuk steik menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut dengan gaya seorang putri bangsawan.“Aku akan berusaha, tetapi tidak janji dengan hasilnya.”Bintang berkata jujur. Dia tidak tahu usahanya akan berhasil atau tidak. Pun enggan menggunakan car
Nyonya Nandini diam-diam memperhatikan Catleya yang sedang sarapan. Ia sempat mencuri dengar ketika Rajendra berpamitan kepada Catleya di ruang tamu. Karenanya, perempuan paruh baya itu penasaran bagaimana kelanjutan hubungan anak tirinya dengan Rajendra. Catleya hampir menghabiskan roti panggangnya. Ia meneguk air di gelas, menjejalkan satu gigitan terakhir roti panggang ke dalam mulut. Sampai akhirnya Nyonya Nandini bertanya disertai wajah penasaran. "Hubunganmu dengan Jendra baik-baik saja, kan, Leya?” Catleya mengunyah, lalu menengok, "Hubungan apa, Ma?" "Maksud Mama pernikahanmu dan Rajendra. Kalian tetap bersama, kan?" Nyonya Nandini menjawil lengan Catleya gemas. "Mmm, iya. Kenapa Mama bertanya begitu?" jawab Catleya. Nyonya Nandini tersenyum kecil. "Tidak ada, Mama hanya ingin memastikan kalian tidak akan berpisah.”Tentu saja Nyonya Nandini tidak akan melepas Rajendra setelah tahu siapa pria itu sebenarnya. Apalagi Rajendra adalah keturunan konglomerat ibu kota. Pastila
“Kenapa jadi kamu, sih? Aku maunya ditolong Rajendra, bukan laki-laki seperti kamu!” hardik Yasinta. Menepis uluran tangan Rama yang hendak menolongnya.Rama lekas berdiri dan menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Jujur, dia lebih suka menggendong anaknya yang masih bayi daripada mengurusi perempuan rewel seperti Yasinta. Namun karena ini perintah langsung dari atasan, mau tidak mau ia harus patuh.“Apa Nona Yasinta bisa bangun sendiri?” tanya Rama.“Tidak bisa, makanya aku butuh Rajendra. Lebih baik kamu suruh bosmu itu kembali ke sini!”Nada bicara Yasinta yang terlampau keras bukan hanya membuat telinga Rama pengang, tetapi juga menjadikan mereka pusat perhatian dari para pekerja. Mereka berbisik penuh rasa ingin tahu atas insiden langka yang terjadi di depan mata. Dari tempatnya berdiri, Rajendra juga mengetahui keributan itu.Rajendra pun mendongak, mengambil napas panjang dan menghembuskannya sekaligus. Dengan langkah cepat, ia berbalik pada Yasinta untuk membantu wanit
Catleya baru saja membereskan meja, Bintang tahu-tahu sudah masuk ke ruang kerjanya. Catleya menengok ke sana kemari, heran kenapa sang direktur sampai menyusul ke lantai sembilan. Padahal ia berniat menunggu lelaki itu di area parkir. Kemunculan Bintang yang menghampiri Catleya ke ruangannya, menimbulkan rasa penasaran orang-orang di kantor. Mereka mulai berbisik, membuat asumsi sesuai dengan apa yang mereka lihat. Baru saja mereka tahu bahwa Catleya adalah kekasih sang CEO, kini wanita itu malah jalan berdua dengan direktur keuangan. Bintang dan Catleya turun bersamaan ke basement. Dari awal, Catleya tidak setuju jika mereka harus berangkat bersama. Namun, ia khawatir akan menyinggung perasaan lelaki itu. Catleya pun mengedarkan pandangan ke sekitar. Tepat saat itu, netranya tanpa sengaja bertatapan dengan seorang rekan kerja. Lama-lama Catleya jengah juga terus diperhatikan. Seolah ia dicurigai memiliki hubungan spesial dengan Bintang. Padahal ia pergi bersama Bintang hanya seba
Catleya menghentikan langkah setelah keluar dari lobi hotel. Hujan gerimis turun tanpa aba-aba dan sialnya dia tidak membawa payung. Sedikit kedinginan, Catleya bergerak merapat ke dinding agar posisinya tidak menghalangi jalan tamu hotel yang lain. Meraih ponsel dari dalam tas, lalu memesan taksi melalui aplikasi.Pesanan Catleya diterima tanpa butuh waktu lama, lantaran banyak taksi yang berlalu-lalang di sekitar hotel itu. Tidak sampai lima menit, sebuah mobil berwarna abu-abu tua memasuki kawasan hotel. Kaca samping mobil tersebut terbuka dan Catleya segera mendekat.“Dengan Ibu Catleya?” tanya sang pengemudi taksi.“Iya, Pak. Sesuai titik, ya.”Catleya membuka pintu penumpang bagian belakang. Satu kakinya sudah naik ketika mendadak sebuah tangan mencekal lengannya.“Maaf, Pak. Dia pulang dengan saya,” tukas Bintang. Menarik pelan lengan Catleya hingga terhuyung ke sampingnya, lalu menutup pintu kembali.“Maksudnya, Pak?” tanya Catleya. Alisnya bertaut heran.“Saya antar kamu pula
Kehadiran Bintang tadi menarik perhatian Nyonya Nandini. Dilihat dari penampilan, rupa, dan kendaraannya sangat mencolok. Kelihatan kalau Bintang bukan pria biasa. Nyonya Nandini mengekor di belakang Catleya. Padahal, suasana hati Catleya sangat buruk, imbas dari kiriman foto-foto Yasinta saat makan malam tadi. Catleya sudah berusaha melupakan dan tetap tenang. Namun semakin ingin dilupakan, gambar itu malah terus berputar-putar di benaknya.Catleya langsung mendongak, menghalangi air matanya jatuh lagi. Dengan memakai jari telunjuk, perempuan itu menyeka kedua sudut matanya. Namun tiba-tiba Nyonya Nandini muncul, membuat Catleya berjengit kaget."Astaga, aku kaget, Ma. Aku pikir Mama sudah masuk ke kamar." Catleya langsung memalingkan wajah, tidak ingin kelihatan sedih oleh ibu tirinya. Alih-alih menjawab pertanyaan Catleya, Nyonya Nandini malah mencoba mengorek informasi tentang Bintang. "Leya, apa kamu dekat dengan Bintang? Jujur saja kepada Mama. Pria tadi kelihatan sangat meny
Ketika terbangun pagi ini, Catleya mendapati dirinya tidak bersemangat sama sekali. Pesan dari Yasinta ternyata mempunyai efek berkepanjangan bahkan setelah hari berlalu.Seusai mandi dan mengganti piyama dengan setelan kerja, Catleya duduk di kursi rias. Matanya masih terlihat bengkak padahal sudah dikompres semalam. Catleya pun memoles riasan lebih tebal demi menyamarkan sembap yang terlihat.Cukup puas dengan penampilannya sekarang, Catleya lantas mengambil tas dan memasukkan dompet serta ponsel yang dari semalam belum dinyalakan. Dia tidak ingin atau lebih tepatnya tidak siap jika Rajendra atau Yasinta menelepon.Nyonya Nandini sudah menunggu di meja makan saat Catleya keluar dari kamar. Mereka pun sarapan bersama dengan menu yang dimasak oleh Nyonya Nandini sendiri.“Ma, aku boleh pinjam mobil buat ke kantor? Nanti pulangnya sekalian beli makan malam,” tanya Catleya. Makanan di piringnya sudah tandas tak bersisa.“Boleh, kok. Mama juga sedang malas keluar rumah.”Catleya mengguma
Di Singapura, Rajendra mulai menyibukkan diri dengan pekerjaannya di negara tersebut. Jadwal pertama Rajendra di hari itu adalah meeting dengan kolega Tuan Chandra, Tuan Abram. Mereka berjabat tangan, saling memperkenalkan diri sebelum memulai meeting. Pria itu kemudian duduk di salah satu kursi ditemani oleh Rama. Masalahnya, Rajendra menjadi sangat tidak fokus karena memikirkan tingkah aneh Catleya. Siapa yang tidak akan kepikiran jika pasangannya berubah, membuat Rajendra bertanya-tanya ia salah apa. Sementara Catleya seolah menghindari pertanyaan suaminya. ‘Tidak mungkin ada asap jika tidak ada api.’ Rajendra membatin saat kolega bisnis kakeknya menjelaskan. Lelaki muda itu lebih sibuk memikirkan istrinya daripada pria di hadapannya. Baginya, masalah ini tidak dianggap sepele sebelum ia menemukan jawaban. ‘Bagaimana caranya aku bisa mencari tahu, sedangkan aku baru tiba di Singapura. Masih ada beberapa hari lagi di sini,’ ujar Rajendra dalam hatinya. "Tuan Rajendra," tegur Tu
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry