Sebelum menemui Sarah, Catleya lebih dulu menghubungi Jeni. Ia meminta dikirimkan sejumlah data kepada Jeni melalui email, supaya lebih fasih berbicara saat berhadapan dengan Sarah. Sekaligus ia meminta izin untuk datang ke butik apabila Sarah ingin melihat-lihat. Setelah menyudahi percakapannya di telepon, Catleya mulai merangkai kalimat. Kemudian, ia mempelajari sejumlah katalog produk yang dikirimkan oleh Jeni. Untung saja, daya ingatnya lumayan baik sehingga ia bisa menghapal dalam waktu relatif cepat.Hingga menjelang jam empat sore, Catleya sudah bersiap untuk pergi. Ia mengenakan baju, tas, dan sepatu terbaik yang ia punya. Selain itu, Catleya juga membawa black card pemberian Rajendra sebagai pegangan. Siapa tahu, nanti ia membutuhkan benda pipih itu untuk membayar uang muka kerja sama yang diminta Sarah.Setelah merasa penampilannya cukup meyakinkan, Catleya segera memesan taksi. Ia mengecek sebentar pesan-pesan yang masuk, tetapi tak ada yang berasal dari Rajendra. Nampakny
“Halo, selamat sore, Pak,” jawab Catleya. Meski ragu-ragu, akhirnya ia menerima telepon dari Bintang.“Sore, Leya, saya dengar dari HRD hari ini kamu tidak masuk kerja. Sekarang, saya ada di depan apartemen Quantis Tower, apa kamu bisa keluar sebentar? Saya ingin membahas tentang acara ulang tahun perusahaan, sekalian kita makan malam di kafe seberang apartemenmu,” tanya Bintang. DEG! Jantung Catleya serasa akan copot dari tempatnya. Ia tak menyangka bila Bintang akan datang ke apartemennya menjelang jam kepulangan Rajendra. Jika Bintang sampai mengetahui keberadaan Rajendra atau sebaliknya Rajendra yang melihat Bintang, maka akan terjadi sebuah malapetaka besar.“Maaf, Pak, saya sedang di luar bersama teman saya. Mungkin saya akan pulang malam,” dalih Catleya. Terpaksa ia harus berbohong lagi demi menyelamatkan dirinya dan Rajendra.Hening untuk beberapa saat, hingga Bintang menjawab dengan suara datar.“Kalau begitu kita bicara besok saja di kantor,” ucap Bintang.“Baik, Pak, sek
Ingin membangunkan Rajendra tetapi tidak tega, itulah yang dirasakan Catleya saat ini. Tidak biasanya Rajendra bangun terlambat, apalagi hari ini merupakan hari yang cukup penting bagi Chandra Kirana. Namun, efek kelelahan nampaknya membuat Rajendra masih terpejam dengan nyenyaknya.Catleya beringsut pelan dari tempat tidur, supaya tidak membangunkan Rajendra. Pagi ini, ia terdorong untuk melakukan kewajiban sebagaimana yang dilakukan seorang istri walau kemampuannya masih sangat terbatas. Yang penting, ia mau belajar dan berusaha.Sesudah mencuci muka, Catleya pergi ke dapur untuk menyiapkan sarapan. Dia memutuskan untuk membuat roti lapis telur, serta bubur oatmeal dengan keju. Kemudian, ia juga membuat teh dan susu hangat untuk Rajendra. Catleya sengaja menyajikan dua jenis makanan dan minuman, supaya Rajendra bisa menentukan mana yang akan ia pilih.Sembari memakan roti lapis bagiannya, Catleya pun menata hidangan di atas meja. Tugas pertama telah selesai, dilanjutkan dengan tugas
Raut wajah Nyonya Nandini langsung berubah ketika mendengar pertanyaan Adrian. Namun, ia berusaha terlihat tenang di luar. Bagaimanapun, dia harus menutupi fakta supaya pernikahan putrinya tidak berada di ambang kehancuran.“Tidak ada kelainan di rahim Meliana, Adrian. Dokter hanya mengatakan bahwa Meliana kelelahan sehingga kandungannya menjadi lemah. Maka dari itu, Meliana dilarang untuk hamil dulu sampai kesehatannya pulih dengan sempurna,” terang Nyonya Nandini meyakinkan Adrian. Penjelasan yang diberikan oleh sang ibu mertua tidak serta merta membuat Adrian percaya. Instingnya justru mengatakan bahwa penyebab keguguran Meliana tidaklah sesederhana itu. Jika benar Meliana hanya kelelalahan, lalu kenapa istrinya itu sering mengalami kram dan nyeri perut? Dilihat dari bahasa tubuh Nyonya Nandini yang menyentuh hidung dua kali, nampaknya perempuan paruh baya itu tidak berkata jujur. “Baguslah kalau tidak ada masalah, Ma, tapi saya tetap akan membawa Meliana ke dokter. Kebetulan say
“S-saya akan segera ke lobi, Nona. Anda tunggu saja di bawah,” ujar Catleya terbata. Vibrasi suaranya seakan terputus di tenggorokan, hingga membuat Catleya sulit untuk berkata-kata. Cepat atau lambat dia memang harus bertemu muka dengan Yasinta. Hanya saja ia tidak menyangka bila waktunya adalah sekarang.Sontak, Catleya teringat perkataan Rajendra sebelum tidur mengenai “salah paham”. Ternyata inilah yang dimaksudkan oleh sang suami, yaitu mengenai kehadiran Yasinta di acara launching. Bukan sekadar kedatangan biasa, melainkan sebuah pengumuman resmi kepada khayalak ramai bahwa Yasinta adalah calon pendamping Rajendra.Dengan tangan gemetar, Catleya mematikan panggilan tersebut. Meski di dalam hatinya badai emosi sedang menerpa, Catleya berusaha menahan diri. Bagaimanapun kedudukannya di perusahaan adalah sebagai sekretaris, bukan sebagai istri Rajendra. Karena itu, dia harus tahu diri dengan tetap menunjukkan sikap profesional. “Pak, saya ke lobi dulu, Nona Yasinta sudah datang,”
Dengan senyuman yang dipaksakan, Catleya menatap Maharani sembari menganggukkan kepala. Berharap agar Maharani mengerti dengan isyarat yang dia berikan. Untungnya, Maharani bisa menangkap sinyal tersebut. Ia pun membalas dengan kedipan mata lalu mengarahkan atensi kepada Yasinta.“Sepertinya wajah Anda familiar untuk saya. Apa kita pernah bertemu?” tanya Maharani memakai bahasa formal.“Mungkin kamu pernah melihatku di salah satu majalah fashion internasional, karena aku adalah model di Canada,” jawab Yasinta membanggakan diri. “Jadi Anda seorang model? Apa Anda akan melanjutkan karier di Jakarta atau akan kembali ke Canada?” tanya Maharani berbasa-basi. “Aku akan tinggal di Jakarta bersama tunanganku. Aku tidak mau Rajendra sampai diganggu oleh wanita penggoda, yang mengandalkan ketenarannya untuk mengincar pria kaya,” sindir Yasinta.Raut wajah Maharani sontak berubah merah padam. Jelas sudah bila kalimat bernada sarkas tersebut ditujukan untuk dirinya. Sementara, Catleya yang ber
“Saya … tidak tahu, Nona. Selama di kantor, Pak Rajendra lebih sering bersama dengan Pak Rama,” sangkal Catleya. Terus terang, ia merasa lelah harus bersandiwara setiap hari untuk mengelabuhi orang-orang di sekitarnya.“Percuma saja aku bicara denganmu. Sekretaris tapi tidak tahu apa-apa tentang bosnya,” ketus Yasinta.Catleya hanya diam, tidak membalas perkataan Yasinta. Suasana pun menjadi lengang karena kedua wanita itu sibuk dengan gawai masing-masing. Hanya bunyi ketikan dari papan keyboard yang mengudara di dalam ruangan, menciptakan irama yang statis. Keheningan itu baru berakhir ketika Maharani keluar dari ruangan Rajendra, tepatnya tiga puluh menit sebelum acara dimulai. Rajendra pun berjalan menuju ruangan Catleya, bermaksud mengajak sang istri turun ke bawah. Namun, Yasinta malah menghampirinya lebih dulu. Tanpa basa-basi, wanita itu menggandeng lengannya, seolah-olah mereka berdua adalah pasangan kekasih. Menyaksikan Yasinta menggandeng mesra Rajendra, Catleya hanya bisa
Sepasang mata Catleya terbelalak ngeri. Cipratan dari balon yang pecah mengenai sebagian badannya menguarkan bau busuk bercampur amis yang entah berasal dari apa. Namun, teksturnya begitu lengket mirip dengan lumpur.Belum puas lantaran tidak mengenai sasaran, wanita penyusup itu kembali melempar balon yang lain. Catleya tidak kalah sigap bergerak. Sepasang kaki maju terlebih dahulu sebelum otak sempat memprotes, dan membuatnya jatuh terjerembab. Nahas, kali ini balon tersebut telak mengenai bahu, bahkan kalung pemberian Rajendra yang melingkari leher Catleya ikut terciprat kotoran.Catleya mengerjapkan mata. Tidak sadar dirinya telah menjadi pusat perhatian semua orang, hingga tiba-tiba sebuah tangan menyentuh tubuhnya. Mengibaskan kotoran dan noda hitam yang mengenai leher dan area wajahnya. “Leya, kamu tidak apa-apa?” tanya Rajendra cemas.Catleya hanya menggeleng sembari menatap sendu kepada sang suami. Keduanya saling bersitatap, seakan di ruangan itu hanya ada mereka berdua.P
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry