Catleya dan Rajendra sedang membaca buku menu yang diberikan oleh pelayan restoran. Mata Catleya berbinar saat melihat sebagian besar masakan di restoran ini adalah menu kesukaannya.“Mbak, apa menu unggulan di restoran ini?” tanya Rajendra. “Daging wagyu panggang, Pak,” ucap sang pelayan.“Baik, kami pesan itu. Lalu tambahannya adalah ayam panggang, dori steak, sosis bakar, baby buncis, salad sayuran, menu dessertnya ….” “Tunggu, untuk siapa makanan sebanyak itu?” tanya Catleya. Ia tidak mengerti kenapa Rajendra selalu memesan begitu banyak makanan setiap kali mereka bersantap di restoran. “Untuk aku dan kamu. Memangnya ada orang lain di sini?” kata Rajendra dengan enteng. “Tapi, apa kita tidak kekenyangan kalau makan sebanyak itu? Jangan sampai makanannya nanti malah jadi mubazir,” protes Catleya.“Sayang, kita perlu makan lebih banyak untuk mengembalikan energi sehabis berolahraga.”Tak ayal, wajah Catleya memerah setelah mendengar jawaban Rajendra. Otomatis pikirannya langsung
Lekukan tajam tercetak jelas di pipi Rajendra saat melihat telinga Catleya yang memerah. Terlebih, perempuan cantik itu mengusap tengkuk belakangnya beberapa kali sembari memandangi meja. Tampak jelas bahwa Catleya sedang menahan malu. Namun, setidaknya ia berhasil menghapus keraguan di hati istrinya itu. Sudah menjadi kewajibannya sebagai suami untuk meyakinkan Catleya bahwa dia akan memberikan cinta sepenuh hati. Tak ada lagi batasan maupun perjanjian kontrak, karena sekarang mereka akan membangun bahtera rumah tangga yang sesungguhnya. “Apa kita bisa pulang sekarang? Aku mulai kedinginan,” cicit Catleya sembari merapatkan blazer yang membungkus tubuhnya. “Tidak ingin jalan-jalan dulu? Bukankah sore tadi kita tidur cukup lama, pasti kamu belum mengantuk,” tanya Rajendra.“Tapi kita akan ke mana? Aku tidak punya tempat yang ingin dituju,” jujur Catleya. “Bagaimana kalau kita ke supermarket untuk berbelanja? Aku ingin membeli camilan dan beberapa bahan makanan,” usul Rajendra. “I
Wajah Ibrahim langsung mengeras ketika mendengar ultimatum yang disampaikan oleh Bintang. Ia buru-buru menyimpan ponsel di saku, lalu menghampiri Sarah yang masih setia berdiri di sampingnya.“Sarah, pesanlah taksi online. Aku tidak bisa mengantarmu, karena aku harus pulang ke rumah sekarang,” tukas Ibrahim dengan suara datar.“Memangnya ada apa, Sayang? Apa kamu sedang bertengkar dengan Bintang?” tanya Sarah penasaran. Dia sempat mencuri dengar percakapan Ibrahim di telepon, dan sepertinya lelaki itu sedang bermasalah dengan putranya. “Apa pun yang terjadi pada keluargaku, itu bukan urusanmu, Sarah! Kamu hanyalah wanita penghangat ranjang untukku, tidak lebih. Jadi jangan coba-coba ingin tahu sesuatu yang di luar jangkauanmu. Mengerti?!” hardik Ibrahim.Kepala Sarah seketika tertunduk dengan bibir yang terkatup rapat. Entah mengapa setiap kali Ibrahim marah, ia selalu takut untuk bersitatap langsung. Rasanya seperti ada aura iblis yang memancar dari sorot mata pria itu, sehingga mem
Meliana masih terisak saat perawat selesai mengganti selang infusnya. Meski Adrian dandan ibu mertuanya sudah pergi, perempuan itu tetap merasa sakit hati. Masih terngiang dengan jelas bagaimana Nyonya Pamela mempertanyakan kepada Adrian tentang rahimnya yang hilang. Dari situ saja, sudah tersirat bahwa wanita paruh baya itu keberatan untuk mempertahankan dirinya sebagai menantu.“Sudah, Mel, untuk apa kamu bersedih terus? Menangis tidak akan menyelesaikan masalah,” ucap Nyonya Nandini menasihati sang putri. Hati ibu mana yang tidak akan terkoyak menyaksikan putrinya mengalami penderitaan batin. Hanya saja, ia mesti bersikap tegar di hadapan Meliana. “Gampang sekali Mama bicara seperti itu, karena Mama tidak mengalami apa yang kurasakan! Hidupku sekarang sudah hancur, Ma. Adrian pasti akan menceraikan aku karena aku tidak utuh lagi sebagai wanita,” kata Meliana di sela isak tangisnya. Ia merasa tersinggung mendengar ucapan sang ibu yang terkesan meremehkan persoalannya.“Mama bukann
Catleya pun tercengang karena Rajendra nekat mengucapkan kata “istri” di depan semua orang. Bagaimana bila ada yang mendengar, lalu melaporkannya kepada Tuan Chandra, Ibrahim, atau Bintang? Bisa-bisa akan terjadi perang dunia ke tiga di perusahaan Chandra Kirana.Sontak, Catleya menundukkan kepala untuk menghindar dari tatapan para karyawan. Sebaliknya, Rajendra malah menggandeng tangannya di sepanjang lobi dengan santai. Beberapa manajer yang berpapasan dengan mereka langsung menyapa Rajendra dengan penuh hormat, termasuk Pak MK. Pria berkacamata itu memamerkan deretan giginya kepada Catleya begitu mereka bertemu di depan lift. Sedangkan Catleya hanya membalasnya dengan senyum kecut.Rajendra lantas mengajak Catleya ke lift khusus untuk direktur. Ketika Rajendra sedang menekan tombol lift, terdengar suara Pak MK yang menyapa seseorang dari belakang.“Selamat pagi, Pak Bintang.”“Pagi, Pak MK.”Telapak tangan Catleya menjadi berkeringat saat mengetahui sosok itu adalah Bintang. Entah
“Bagaimana kalau aku adalah ….”Kriiingggg!Rajendra terpaksa menghentikan ucapannya karena bunyi telepon yang mengganggu. Padahal sedikir lagi, ia hampir mengatakan bahwa dirinya adalah suami Catleya yang memiliki hak penuh atas sang istri. Namun, dering telepon itu membuat ia harus menahan diri untuk sesaat.Sambil menghela napas, Rajendra mengangkat gagang telepon dan menempelkannya ke telinga.“Halo.”“Halo, Pak, saya cuma ingin mengingatkan tentang permintaan saya satu jam yang lalu. Kalau Bapak tidak memenuhinya, saya akan membatalkan hadiah untuk Bapak nanti malam,” lirih Catleya dari balik telepon. Wajah Rajendra yang semula mengeras langsung berubah menjadi lunak. Bahkan, ia hampir saja tersenyum sebab merasa istrinya itu sangat lucu. Rasanya sangat aneh mendengar Catleya memakai bahasa yang formal lagi, setelah kemarin mereka saling memanggil dengan sebutan “Sayang”.“Iya, tenanglah, aku pasti akan mengingatnya,” ucap Rajendra. Usai mengucapkan janji, Rajendra lantas menut
“Baiklah, setengah jam lagi kita berangkat. Aku akan menandatangani laporan-laporan ini dulu,” kata Rajendra. Tidak nampak sama sekali raut kecemasan di wajah lelaki itu, kendati sang kakek akan datang secara mendadak. Rama mengangguk kemudian duduk di hadapan Rajendra untuk menunggu bosnya itu menyelesaikan pekerjaan. Sementara, Catleya malah merasa canggung karena berada pada waktu dan tempat yang salah. Ia memutuskan untuk segera meninggalkan ruang CEO dan mengerjakan tugasnya sendiri. Namun sebelum ia berbalik, Rajendra tiba-tiba memanggil namanya. “Leya, bisa tidak kamu membantu saya memeriksa laporan pengajuan budget per divisi, dan laporan analisa keuangan dari Pak MK?” pinta Rajendra.“Bisa, Pak. Hari ini juga akan saya selesaikan.”“Terima kasih, tapi kamu tidak perlu sampai kerja lembur. Pulanglah tepat waktu, Sayang,” ujar Rajendra sembari menyerahkan dua tumpuk map ke tangan istri merangkap sekretarisnya itu. Kelopak mata Catleya langsung melebar dua kali lipat. Netrany
Nyonya Nandini langsung mengomel begitu Adrian tiba di rumah sakit. Pasalnya, lelaki itu terlambat lima belas menit dari perkiraan, sehingga membuat Nyonya Nandini uring-uringan. Ia hanya punya waktu sedikit untuk bersiap-siap, tetapi menantunya yang tidak berguna ini malah membuat ulah.“Dari mana saja kamu, Adrian? Kenapa jam segini baru datang?” sembur Nyonya Nandini.“Aku dari kantor, Ma.”“Kamu ini suami yang tidak punya perasaan! Istrimu masih terbaring lemah di rumah sakit, tapi kamu malah enak-enakan kerja. Harusnya kamu siap menemani Meliana kapan pun,” hardik Nyonya Nandini dengan mata melotot.“Enak-enakan bagaimana? Bukankah Mama sendiri yang bilang padaku agar jangan menampakkan diri di depan Meliana? Makanya aku memutuskan untuk pergi bekerja. Lagi pula, nanti malam aku juga akan berjaga di sini supaya Mama bisa istirahat di rumah.”“Psssttt, cukup, Adrian! Kamu terlalu banyak bicara untuk membela diri,” ujar Nyonya Nandini sembari menempelkan jari telunjuk ke bibirnya.
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry