Begitu tiba di kos, Catleya membersihkan diri kemudian berbaring telentang di atas kasur. Entah mengapa hari pertamanya bekerja terasa sangat berat. Dimulai dari kesalahannya mengenali direktur sebagai staf, berlanjut kepada Rajendra yang ngambek tanpa sebab, hingga pertemuannya dengan Adrian yang tidak terduga. Sungguh semua itu begitu menguras energi, bukan hanya secara fisik melainkan juga mental.Saking lelahnya, Catleya langsung terlelap dan baru bangun pada pukul setengah tujuh pagi. Itu pun lantaran ia mendengar suara alarm dari ponselnya yang berulang kali berbunyi. Bila tidak, mungkin ia akan bangun terlambat dan terkena sanksi pemotongan gaji. “Leya, kenapa belum keluar dari kamar? Kamu bolos kerja?” ketuk Ineke dari luar.Mendengar suara Ineke, Catleya buru-buru menyisir rambut serasa menyambar tas miliknya. Ineke pun mengernyitkan dahi tatkala melihat penampilan Catleya. Perempuan itu hanya memakai kemeja dan celana hitam dengan make up ala kadarnya.“Aku bangun kesiangan
"Se-sekretaris CEO?"Sepintas, Catleya merasa ada yang salah dengan indera pendengarannya. Sangat mustahil bila dia mendadak dipilih menjadi sekretaris CEO, sedangkan latar belakang pendidikannya di bidang akuntansi. Mungkinkah CEO yang baru ini kurang pengalaman sehingga sembarang saja memilih sekretaris? Padahal di perusahaan ada banyak kandidat yang berpotensi untuk posisi tersebut. Jika dia dipaksa menjadi sekretaris, bisa-bisa pekerjaannya malah berantakan. Sungguh memikirkan hal itu saja membuat perut Catleya terasa mulas. "Apa ada yang salah?" Bu Ambar merasa heran dengan sikap Catleya yang melamun sejak tadi. "Mohon maaf, Bu, saya rasa ada yang salah di sini. Ibu tahu latar belakang pendidikan dan pekerjaan saya adalah akuntan. Terlalu jauh bila tiba-tiba saya diangkat menjadi sekretaris," protes Catleya. Ia masih tidak habis pikir dengan keputusan sepihak yang diambil oleh CEO perusahaan. "Tidak ada yang salah, Catleya. CEO sendiri yang meminta seperti itu dan keputusannya
Saya dipindahtugaskan sebagai sekretaris CEO. Ini hari pertama saya bekerja, makanya saya membawa banyak barang," jawab Catleya menjelaskan secara singkat. Namun posisi wajahnya setengah menunduk agar tidak bertatapan langsung dengan Bintang. Bagaimanapun Catleya masih merasa bersalah setiap kali mengingat sikapnya yang keterlaluan kepada sang direktur. "Sekretaris CEO?"Reaksi Bintang kurang lebih sama dengan reaksi Catleya sendiri ketika pertama kali mendengar pemindahan posisi kerja. Terkejut hingga nyaris tidak percaya."Betul, Tuan."Bintang memundurkan wajah dan mengusap dahinya sekilas. Bagaimana bisa dia tidak tahu menahu mengenai hal sepenting ini? Dan siapa yang berani memindahkan Catleya tanpa minta izin terlebih dahulu kepadanya selaku pimpinan divisi?"Siapa yang memintamu pindah secara sepihak? Aku belum mendengar apa-apa mengenai ini,” tanya Bintang dengan suara meninggi. "Bu Ambar mengatakan bahwa ini keputusan langsung dari CEO dan Bu Ambar juga yang menyuruh saya k
Sementara itu di rumah sakit, Meliana masih terbaring lemah. Seperti yang dikatakan oleh dokter jaga, pagi ini dokter obgyn datang untuk memeriksa kondisinya secara menyeluruh."Setelah ini Nona Meliana harus menjalani kuret agar rahimnya benar-benar bersih,” ucap sang dokter selepas melakukan pemeriksaan. Meliana saling berpandangan dengan Nyonya Nandini setelah dokter memberikan opsi tersebut. Mereka nampak ragu dengan keputusan yang akan diambil. Belum apa-apa Meliana sudah takut saat membayangkan perutnya harus dibedah. Walaupun hanya pembedahan skala kecil, tetap saja hal itu membuatnya gugup."Apa saya harus dikuret, Dok?" tanya Meliana. Anggukan dari dokter semakin menambah kecemasannya."Kuret ini hanya untuk memastikan rahim Anda kembali bersih sehingga tidak menimbulkan penyakit di kemudian hari. Justru lebih berbahaya jika tidak dikuret," ujar dokter tersebut."Turuti saja, Mel. Ini juga demi kebaikanmu sendiri. Jangan takut, ada Mama di sini," timpal Nyonya Nandini. Menge
Langit sudah sepenuhnya berubah warna begitu Catleya keluar dari kantor. Sebagian besar staf sudah pulang, hanya ada beberapa orang yang masih memiliki pekerjaan dan memilih untuk lembur. Catleya pun mengedarkan pandangan dan mendapati Ineke masih menunggunya sembari menyedot minuman dari botol. Tanpa membuang waktu, Catleya segera menghampiri teman satu kosnya tersebut."Ke, udah keluar dari tadi?" Catleya menepuk pundak Ineke membuat si empunya menoleh."Iya. Kamu lama banget keluarnya," balas Ineke setengah merajuk. Kakinya pegal karena berdiri terlalu lama. "Bagaimana pekerjaan barumu? Lantai atas pasti lebih menyenangkan daripada lantai bawah." Ineke langsung mengubah mimik wajahnya begitu membahas kepindahan Catleya."Pusing kepalaku dijejali pekerjaan yang seabrek-abrek," keluh Catleya. Menunjukkan map berisi laporan yang harus dipelajarinya. "Lebih baik aku membuat jurnal dan buku besar daripada mengerjakan semua ini."Ineke menepuk pundak Catleya penuh simpati. Pemindahan me
“Ke Jakarta?” ulang Catleya membeo perkataan Danar.“Iya, memangnya Ibu tidak diberitahu?” tanya Danar dari seberang telepon.Sungguh, pertanyaan Danar membuat wajah Catleya serasa tertampar. Sebagai istri seharusnya dia mengetahui segala sesuatu tentang sang suami. Namun nyatanya, ia malah tidak tahu apa-apa. Akhirnya daripada mempermalukan diri sendiri, Catleya memilih untuk menyudahi panggilan tersebut.“Mas Danar terima kasih atas informasinya. Selamat malam,” ujar Catleya lantas memutus sambungan telepon. Hingga satu jam kemudian, Catleya belum bisa tidur. Kepalanya penuh dengan kabar keberangkatan Rajendra ke Jakarta. Mengapa Rajendra terkesan menyembunyikan kepergiannya? Apa suaminya itu sudah bosan mengurusi ayam di peternakan? Entahlah, semua teka-teki ini membuatnya bertambah pusing.Apa pun itu, sudah sepantasnya Rajendra memberi kabar alih-alih menghilang seharian dan membuat resah. Pemuda itu juga tak mengatakan di mana ia bekerja dan apa pekerjaannya. Padahal ia selalu
Masih menanti sang CEO dengan harap-harap cemas, Catleya berdiri mematung di depan pintu. Ternyata orang yang pertama kali muncul adalah Bintang Aryaguna. Lelaki tampan itu sedikit terkejut melihat penampilan Catleya, tetapi itu tidak bertahan lama. Bintang cukup pandai menguasai diri. Lengkungan tipis terbentuk di bibir Catleya sebagai bentuk sapaan kepada Bintang. Namun, senyuman itu luntur secepat kedipan mata Bintang yang balik menatapnya datar. Catleya menghela napas pelan, bingung dengan reaksi sang direktur keuangan yang sinis kepadanya. Agaknya lelaki itu merasa tersinggung lantaran ia berpindah posisi sebagai sekretaris. Padahal itu semua adalah keputusan mutlak CEO, bukan kemauannya sendiri. Entahlah, yang jelas Catleya tidak mengerti dengan sifat aneh kaum lelaki di sekitarnya. Biarkan saja mereka marah sepuas hati, toh tidak ada yang bisa ia perbuat.Tak berselang lama, langkah kaki lain tertangkap oleh indera pendengaran Catleya. Posisi kepalanya yang semula menunduk la
Begitu tugas di ruang meeting selesai, Catelya segera naik ke lantai sembilan. Dia tidak ingin membuang waktu dengan mendengarkan obrolan tak penting dari para wanita genit. Lagi pula rasa penasarannya terhadap Rajendra tidak dapat dibendung lagi. Bagaimanapun juga ia akan meminta penjelasan dari Rajendra atas kebohongannya selama ini. Keluar dari lift, Catleya berjalan mengendap menuju ruang CEO. Matanya awas menelisik sekitar, memastikan tidak ada orang lain yang akan mempertanyakan apa yang dilakukannya sekarang. Koridor sepi. Pintu masing-masing ruangan tertutup rapat. Inilah momen yang paling tepat baginya untuk menyelinap ke ruang CEO tanpa dilihat oleh karyawan lain. Catleya menegakkan tubuh, melangkah lebih mantap ke arah pintu berpelitur cokelat. Di kepalanya tersusun beberapa pertanyaan yang nanti akan diajukan untuk Rajendra, termasuk apa tujuan pemuda itu menikahinya dengan melakukan penyamaran? Kenapa Rajendra tiba-tiba membuat ia merasa asing dan ..., bodoh?Gerak kaki
Esok harinya Rajendra dan Catleya berangkat ke desa Purwabinangun untuk berbulan madu. Begitu mereka tiba, kepala desa dan seluruh warga menyambut Rajendra dengan hangat. Mereka merasa gembira lantaran sang juragan peternakan ayam akhirnya kembali, pasca meninggalkan desa cukup lama.Setelah beramah tamah sebentar dengan warga, Rajendra mohon diri untuk membawa Catleya beristirahat di rumah. Semula Catleya mengira bahwa rumah itu akan terlihat kotor dan berbau apek karena sudah lama tidak dihuni. Namun dugaannya ternyata keliru. Begitu pintu terbuka, Catleya terkejut melihat rumah bercat hijau itu terlihat rapi dan bersih. Ia juga disambut oleh Isti dan Irma, gadis kembar yang dulu menjadi perias pengantinnya. Nampaknya, Rajendra menugaskan kedua gadis itu untuk merawat dan menjaga rumahnya selama mereka tidak ada. “Mbak Leya sedang hamil. Sudah berapa bulan, Mbak?” Isti memandang perut Catleya yang membuncit dengan mata berbinar.“Lima bulan, Isti,” kata Catleya.“Mbak Leya dan Pak
Catleya sudah bersIap-siap pergi ke butik untuk melakukan fitting baju. Hari ini, Catleya pergi dengan ditemani oleh Ineke, karena sahabatnya itu sedang cuti. Setibanya di tempat tujuan, Ineke langsung bergerak aktif bersama para pegawai butik untuk memilihkan gaun bagi Catleya. Sementara itu, sang ibu hamil hanya berdiri sambil melihat kesibukan mereka. Dalam hal ini, Catleya berperan sebagai manekin yang bertugas mencoba gaun. Rasanya bagaikan mimpi ketika Catleya memandang dirinya di depan cermin. Sebuah gaun putih berenda mawar, dengan ekor panjang yang menjuntai membalut tubuhnya. Persis seperti imajinasinya semasa kecil, bahwa ia akan berpakaian seperti putri raja dan menikah dengan seorang pangeran. Dan pangeran tersebut tak lain adalah Rajendra Aryaguna, lelaki yang mendadak hadir dalam hidupnya tanpa disangka-disangka. “Setelah ini, kita akan ke mana? Belanja ke mall, perawatan ke salon, makan di kafe, atau nonton film?” tanya Ineke pasca urusan di butik sudah selesai. “Ki
Bibir Catleya berubah sepucat kertas takala mendengar kabar duka itu. Cairan bening berdesakan di kedua sudut matanya. Pasalnya, sejahat apa pun perilaku Nyonya Nandini dan Meliana, tetap saja mereka pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya. Bahkan, selama ini ia telah menganggap Nyonya Nandini sebagai ibu kandung sendiri.“Halo, Non. Apa Non Leya masih mendengar suara saya?” tanya Bi Ijah dari seberang telepon.“I-iya, Bi. Tolong tanyakan, di rumah sakit mana Mama Nandini dirawat,” kata Catleya dengan suara parau.“Sebentar, Non.”Terdengar suara langkah kaki Bi Ijah yang menjauh, disertai sayup-sayup percakapannya dengan petugas kepolisian. Tak berselang lama, Bi Ijah kembali untuk memberitahukan informasi yang berhasil dia dapatkan. “Kata Pak Polisi, Nyonya Nandini ada di IGD rumah sakit Premier, Non.”“Baik, Bi, terima kasih. Aku dan Jendra akan ke sana sekarang,” ucap Catleya sebelum memutus sambungan telepon. Bersamaan dengan itu, Rajendra datang dengan membawa namp
“Mama!”Catleya berteriak di dalam tidur karena memimpikan ibu kandungnya berjalan pergi bersama Nyonya Nandini. Merasa sedih sekaligus takut, perempuan itu meraih guling yang ada di sampingnya dan memeluknya dengan erat. Anehnya, guling tersebut terasa lebih besar dan hangat seakan memiliki nyawa.“Eummm, jangan tinggalkan aku,” racau Catleya. “Aku tidak akan meninggalkan kamu, Sayang.”Mendengar suara bariton yang menjawabnya, Catleya serasa terlempar kembali ke dunia nyata. Kelopak matanya mengerjap sebelum akhirnya terbuka perlahan. Seolah tak percaya, Catleya mengusap mata beberapa kali. Berusaha menajamkan penglihatan, supaya tidak salah mengenali benda. Siapa tahu mimpi buruk tadi telah membuat dirinya mengalami halusinasi berlebihan. “Kenapa guling bisa berubah menjadi Jendra?” tanya Catleya bingung. Dalam sepersekian detik, Catleya bersitatap dengan netra hitam milik sang suami. Entah mengapa perwujudan dari imajinasinya saat ini benar-benar nyata.Catleya pun mengulurkan t
“Biarkan Mama ikut denganmu, Mel. Mama akan selalu menemani kamu, ke mana pun kamu pergi,” kata Nyonya Nandini berusaha meluluhkan hati Meliana. Bagaimanapun, dia tidak akan membiarkan putrinya pergi seorang diri. Apalagi, Meliana saat ini sedang dirundung keputusasaan yang mendalam. Melihat ibunya terus memohon, Meliana akhirnya membuka pintu mobil. Setelah Nyonya Nandini masuk, perempuan itu langsung menginjak pedal gas dan melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Yang diinginkan Meliana hanyalah melampiaskan amarah yang sedang membakar dirinya, dengan cara mengemudi secara ugal-ugalan. Catleya hanya bisa memandang kepergian ibu dan adik tirinya dengan tatapan nanar. Ia bingung harus berbuat apa saat ini. Di satu sisi, ia mencemaskan kondisi Meliana dan Nyonya Nandini, tetapi di sisi lain hatinya masih terlalu pedih untuk bertatap muka lagi dengan mereka. Terlebih, bayi dalam rahimnya hampir saja celaka gara-gara ulah sang adik tiri. “Ayo, masuk, Non. Sebaiknya Non Leya istira
Meski harus melanggar pesan dari Rajendra, Catleya bertekad untuk mendatangi Nyonya Nandini. Hanya saja, dirinya saat ini sedang dijaga ketat oleh para pelayan. Jika ia nekat keluar dari apartemen, mereka pasti akan mengadu pada Rajendra. Oleh karena itu, ia harus mencari cara supaya diizinkan pergi seorang diri. Setelah berganti pakaian dan mengambil tas, Catleya pun berjalan mengendap-endap dari kamarnya. Namun, salah satu pelayan yang sedang membersihkan ruang tamu mengetahui pergerakannya. “Nyonya, mau ke mana? Tuan Muda berpesan agar Nyonya istirahat di kamar,” tegur pelayan itu. Pelayan yang satu lagi juga menghentikan pekerjaannya di dapur dan menghampiri Catleya.“Saya sedang merindukan mama saya, Mbak. Saya akan berkunjung ke rumahnya sebentar,” bohong Catleya. “Kalau begitu kami akan menelepon Tuan Muda dulu untuk meminta izin,” kata salah satu pelayan.“Jangan, Mbak, suami saya sedang ada urusan penting, tidak bisa diganggu. Lebih baik Mbak berdua tetap di apartemen untu
Pagi hari, Catleya langsung merengek kepada Rajendra agar mengurus kepulangannya. Tentu saja, Rajendra menuruti keinginan sang istri meski dia tidak melakukan sendiri. Ada Rama yang siap sedia menangani urusan administrasi rumah sakit, sedangkan Rajendra lebih memilih berduaan dengan Catleya.Setibanya di apartemen, dua orang pelayan yang diutus Nyonya Tiara sudah menantikan kedatangan Catleya. Mereka yang akan ditugaskan melayani Catleya, selama Rajendra berada di kantor. Sebelum berangkat, Rajendra pun mewanti-wanti para pelayan itu agar tidak lalai dalam menyiapkan segala keperluan Catleya.Sementara Catleya hanya memperhatikan dari sofa sambil geleng-geleng kepala. Dia merasa heran melihat perubahan drastis pada diri sang suami. Siapa sangka Rajendra yang dulu irit bicara, sekarang bisa mengucapkan kalimat panjang tanpa jeda, mirip seorang ibu mertua yang sedang mengomeli menantunya.“Jangan lupa siapkan vitamin dari dokter setelah Catleya makan siang,” pesan Rajendra.“Baik, Tuan
Rajendra yang sedang menemani Catleya di rumah sakit, mendapat telepon dari Tuan Rinto. Pengacara sekaligus sahabat mendiang ayahnya itu memberikan kabar bahwa pihak yang berwajib sudah mendatangi rumah Ibrahim. Hampir saja pria paruh baya tersebut melarikan diri ke Amerika, tetapi kepergiannya berhasil dicegah.“Apa sekarang Om Ibrahim sudah diamankan?” tanya Rajendra memastikan.“Iya, Jendra. Ibrahim sudah ada di kantor polisi untuk menjalani pemeriksaan. Om akan terus mengikuti perkembangan penyelidikan kasus ini,” kata Tuan Rinto.“Terima kasih, Om. Kalau memang aku perlu datang ke sana, tolong kabari aku secepatnya.”“Baik, Jendra.”Setelah percakapan itu berakhir, Rajendra meletakkan ponselnya di atas nakas. Ia bermaksud hendak menemani Catleya yang sedang tertidur. Namun tidak sampai lima menit, ponselnya bergetar-getar. Melihat nama Bintang di layar, Rajendra segera menekan tombol hijau. Ia sama sekali tidak terkejut bila kakak sepupunya itu menelepon, karena ia sudah menebak
Kedua perempuan beda usia itu berpelukan dalam haru. Pipi Catleya ikut basah oleh air mata, tak mengira bila ia akan bertemu lagi dengan pembantu sekaligus pengasuhnya semasa kecil.Setelah melepas rindu satu sama lain, mereka pun duduk di kursi dengan posisi saling berhadapan. Mbok Tami berusaha menghentikan tangisnya, sebab dia sudah mengetahui tujuan Catlleya mengunjunginya kali ini.“Non, Mbok Tami benar-benar minta maaf atas kesalahan Mbok selama ini. Mbok tidak bermaksud untuk mendukung perbuatan buruk Nyonya Nandini,” kata Mbok Tami dengan suara parau.“Perbutan buruk apa, Mbok?” tanya Catleya dengan mata terbeliak.“Nyonya Nandini yang sudah menyebabkan Nyonya Sofia mengalami serangan jantung, Non,” Ucapan Mbok Tami terputus lantaran sesak yang menghimpit rongga dadanya. “Saya sudah berusaha mencegah Nyonya Sofia, tapi akhirnya dia melihat Nyonya Nandini dan Tuan Wirya di kamar. Mereka bertiga bertengkar hebat. Nyonya Nandini justru menghina Nyonya Sofia. Dia bilang Tuan Wiry