“Sayang, tenanglah. Insyaallah ada jalan,” kata Rayan dengan begitu santainya.Kirana ingin bertanya lebih lanjut, tapi sang suami berkata lagi, “Ayo, mandi dulu!”“Tapi, soal itu-”“Nggak perlu kamu pikirin, biar saya yang urus,” potong Rayan sambil mengedipkan mata kirinya pada Kirana.Kirana mendesah dan memilih untuk tak bertanya lagi. Dengan tidak bertanya dia berpikir bila hal itu tidak akan membuat Rayan merasa tidak nyaman. Sebab, jika dia semakin mencecar suaminya itu, dia khawatir sang suami akan berpikir dia tidak percaya pada kemampuannya.Menurutnya, seorang laki-laki tidak suka jika diremehkan dan akan senang bila diberi kepercayaan. Maka, Kirana memilih untuk benar-benar menaruh rasa percayanya pada sang suami.Di pagi hari buta setelah menunaikan salat subuh, Kirana bertanya, “Mas, aku izin ke pasar ya?”Rayan yang baru saja melipat sarungnya usai pulang dari masjid pun bertanya balik, “Mau belanja banyak ya?”“Iya, banyak kebutuhan dapur yang habis,” jawab wanita itu
Wanita bernama Lastri itu menjawab, “Ya sudah lama, Nduk. Kira-kira sebelum kamu nikah.”Kirana tentu saja kaget, “Hah? Selama itu, Bu? Terus selama ini nggak pernah dibuka sama sekali? Barang-barang dagangannya gimana?” Lasti melirik sekilas ke arah kios yang dibangun sejajar dengan kios miliknya dan kemudian berkata, “Iya, Nduk. Barang-barangnya ya tinggal sedikit. Tapi masih ada di dalam. Katanya sih setelah kamu nikah, bakalan dibuka lagi.”“Eh, tapi nggak dibuka-buka sampai sekarang.”Kirana masih terdiam, terlalu bingung. Dulu, setelah dia menikah, dia memberi uang pada sang ibu untuk tambahan modal di kios, tapi ternyata kios kedua orang tuanya sudah tidak dibuka bahkan sebelum dia menikah.Lalu, ke mana uang yang pernah aku beri itu? Buat apa kalau bukan buat modal di sini? Apa mungkin dikasih buat Siska dan Nadia? Tapi … buat apa? Kirana membatin.Dikarenakan melihat wanita muda itu diam saja, Lastri pun mengerutkan kening dan berujar lagi, “Oh, iya Ibu ingat satu hal, Kiran
“Ya cari tahu kenapa mereka bohong, baru ambil langkah selanjutnya,” balas Rayan.Kirana menyerah, suaminya terlalu baik. Padahal uang yang dipakai ibu bapaknya adalah uang Rayan, tapi lelaki itu terlihat tidak masalah dengan uang yang dipakai untuk keperluan tidak jelas itu.“Gini saja, masalah ini biarkan aja dulu. Kita-” Rayan tak bisa melanjutkan ucapannya karena tiba-tiba saja dia terdorong sampai ke depan dan hampir terjatuh.“Mas, nggak apa-apa?” tanya Kirana sembari menahan tubuh suaminya yang jelas sangat berat itu.Rayan mengangguk dan menegakkan badan. Belum sampai dia membalikkan badan, dia mendengar seseorang berseru, “Minggir! Kalau mau ngobrol ya jangan di tengah jalan.”Suaranya terdengar ketus hingga membuat Kirana menjadi tersinggung. Wanita itu menoleh melihat seorang pria bertubuh gempal dengan tinggi badan yang cukup menjulang.Tanpa rasa takut dia berkata, “Ya tapi bisa bilang baik-baik kan? Bukan dorong kaya gitu?”Pria itu malah tertawa sinis, “Wah! Ternyata k
Seno pun menggeram marah, “Ya karena kamu sudah merebut calon istri saya.”“Kirana bukan calon Anda, Anda tidak berhak berbicara seperti itu,” balas Rayan yang kini telah menegang.Seno semakin tersulut emosi, “Kamu ini. Tukang sol sepatu saja banyak gaya. Memang kamu bisa buat Kirana bahagia? Bisa bikin dia punya barang-barang mewah?”Rayan hendak menjawab, tapi Seno lebih cepat darinya, “Saya nggak lihat dia bahagia tuh diperistri oleh orang rendahan seperti kamu.”“Tahu dari mana Anda dia tidak bahagia?” balas Rayan sengit. Kirana mulai menggigit bibir bawahnya, benar-benar merasa takut. Ini pertama kali dirinya menyaksikan Rayan yang terpancing amarah. Selama ini, pria itu tak pernah sekalipun marah pada seseorang. Padahal apa yang dilakukan oleh keluarganya bisa dibilang sangat keterlaluan. Akan tetapi, Rayan masih terlihat bisa menjaga emosi dan mengontrol diri dengan sangat baik.Namun, saat ini Rayan terlihat hampir lepas kontrol.“Sudah jelas, tuh lihat aja baju yang dia pa
Seno tertawa meremehkan, “Kamu jangan mengada-ada, Kirana! Mana mungkin suami kamu yang cuman tukang sol sepatu ini bisa kasih uang sebanyak itu?”Kirana membalas cepat. “Lho, maka dari itu kalau Bapak tidak percaya, Bapak bisa tanya ke bapak saya atau adik-adik saya. Tuh, adik saya yang dapatin uang dari suami saya itu.”Seno malah tertawa terpingkal-pingkal mendengarkan ucapan Kirana. Dia juga menggelengkan kepala, menandakan bila dia benar-benar menganggap penjelasan Kirana hanyalah sebuah lelucon belaka saja.Wanita itu juga melihat Seno melirik ke arah Rayan dengan lirikan mengejek yang sangat terlihat jelas sekali hingga akhirnya Kirana merasa kesal, “Bapak kok malah tertawa? Memang ada hal yang lucu dari kata-kata saya?”Sedangkan Rayan hanya menatap pria yang usianya jauh lebih tua darinya itu dengan tatapan datar.“Ada, ya kamu itu yang lucu, Kirana,” ucap Seno setelah dia berhenti tertawa.“Maksud Anda apa?” Rayan berkata sembari berusaha mati-matian menahan kesal. Sebab, s
Dikarenakan tidak tahan lagi menahan diri, Kirana pun berkata “Kalau memang Rana nggak mau urusin Bapak lagi, ya nggak mungkin Rana biarin Mas Rayan bantuin Bapak.”Mendengar perkataan sang putri sulung itu seketika Parlan naik darah, “Bantuin apa? Bantuin apa, Kirana?”Kirana hendak menjawab tapi suaminya telah melempar sebuah peringatan pada sang istri agar tidak terpancing emosi dan menyuruhnya untuk duduk.Kirana menurut dan memilih duduk di samping Rayan. Tetapi, sayangnya Parlan tidak berhenti begitu saja. Dia malah berkata lagi, “Kamu belum jawab pertanyaan Bapak, Rana. Apa maksud kamu dengan bilang Rayan bantu Bapak?”Kirana menoleh ke arah sang suami, seolah meminta izin untuk menjawab, tapi Rayan tetap menggelengkan kepala. Sebagai gantinya, pria itu yang menjawab, “Pak, maafin Kirana. Dia nggak bermaksud bikin Bapak tersinggung. Dia-”“Alah, kamu itu sama aja. Sama kaya Kirana yang nggak pernah bantuin tapi sok ngaku bantuin,” balas Parlan jengkel.Herni yang sudah asyik me
Kirana terbelalak kaget. “Pak, nggak kaya gitu maksud Kirana.”“Nggak kaya begitu gimana? Jelas-jelas kamu ungkit-ungkit terus masalah itu,” balas Parlan ketus.Rayan langsung memegang lengan istrinya, Kirana menoleh lagi ke arah sang suami dan kemudian dia mendengar suaminya berkata, “Udah, Sayang!”Wanita itu pun tak bisa berbuat apapun lagi. Tidak mungkin dia membantah suaminya yang jelas telah mengisyaratkan dirinya untuk diam tak membalas lagi. Herni melihat Kirana yang terlihat patuh itu lalu mendecakkan lidah, tampak agak kesal.“Maaf, Pak, Bu. Kirana sudah berbicara tidak sopan.”“Hm, bagus deh kalau kamu sadar,” kata Parlan.Herni ikut berujar, “Kamu tuh dulu nggak kaya gini ya, Na. Dulu kamu lebih banyak diam, tapi sekarang kok bantah terus. Apa jangan-jangan kamu ya Rayan yang ngajarin Kirana jadi berani sama orang tuanya sendiri?”Kirana sungguh tak mengira bapaknya akan berbicara seperti itu. Dia pikir meskipun bapaknya kesal, dia tidak akan sampai menyalahkan Rayan teru
Kirana tidak menjawab sapaan pria itu dan malah terbatuk-batuk ringan. Wanita itu berdeham kecil sebelum dia berkata, “Belanjaannya, Mas.”Sang lelaki mengerutkan kening, tapi tetap dikeluarkannya barang-barang belanjaannya dari keranjang biru yang dia gunakan. Dia menatap wanita itu lekat-lekat tanpa berkomentar apapun.Kirana pun memulai menscan satu per satu barang belanjaan pria itu yang semuanya hampir berupa perlengkapan bayi seperti susu, makanan bayi dan barang-barang bayi lainnya. Kirana sama sekali tidak terkejut. Dia sudah tahu bila kemungkinan pria dengan dandanan rapi itu sudah memiliki anak. Dia pun tetap melakukan tugasnya secara profesional. Namun, sebelum dia selesai menscan semua barang itu, dia mendengar sang pria berkata, “Nggak usah berlagak sok nggak kenal gitu, Kirana. Kamu nggak mungkin lupa sama aku.”Kirana tetap tidak membalas dan memang tidak berniat sekalipun menjawabnya.Sang pria terlihat tersinggung karena diabaikan hingga dengan nekad dia menghentik
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny
“Iya, katanya hari ini pembelinya juga udah datang kok,” kata seorang karyawan yang lain. Serin terlihat semakin penasaran, “Hah? Di mana orangnya?” Karyawan yang memberikan informasi itu hanya mengangkat bahu. Kirana sendiri tidak terlalu ingin tahu mengenai masalah itu karena kedatangannya ke minimarket itu di hari itu hanya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Maka setelah dia selesai mengerjakan salah satu tugasnya, wanita itu segera menemui bosnya dan menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Setelah berbicara empat mata dengan sang manager, Kirana pergi keluar dan terkejut ketika melihat Rayan berjabat tangan dengan seorang yang dia ketahui sebagai pemilik minimarket itu. “Saya senang sekali berbisnis dengan Anda, Pak. Semoga Anda bisa mengembangkan minimarket ini dengan jauh lebih baik dan saya harap … Anda semakin sukses,” kata pemilik minimarket itu sembari tersenyum lebar. Selanjutnya Kirana melihat orang itu meninggalkan area itu dan membiarkan Rayan be
Serin tentu saja seperti biasanya mengangguk cepat, “Iyalah. Semua juga tahu kalau suami Mbak Kirana itu cuman seorang tukang sol sepatu. Ngapain pakai setelan jas kayak bos gitu?”“Ya kalau nggak bukan buat nutupin profesinya yang asli ya pasti karena cuman mau dibilang punya kerjaan yang bagus aja,” lanjut Serin.Vena terkikik mendengar ucapan temannya, “Lha iya, Mbak. Buat apa sih pakai berusaha untuk nutupin segala, Mbak Rana? Lagian nggak ada juga kok yang mempermasalahkan profesi suaminya Mbak Kirana.”Tina langsung berkaca pinggang menatap dua orang itu dengan begitu galak, “Duh, Mbak. Kalian ini kok repot banget sih ngurusin hidup orang. Yang tanya itu aku dan yang seharusnya jawab itu Mbak Kirana, bukan kalian. Aneh banget!”Vena dan Serin langsung saja tersinggung dengan ucapan Tina dan dua wanita itu segera ingin membalas, tetapi Tina yang tahu akan maksud mereka berdua cepat-cepat mendahului mereka dengan berkata, “Sudah, Mbak. Kita beresin di sebelah sana aja yuk. Biar ngg
Rayan sontak menoleh ke arah istrinya yang terlihat terkejut dengan perkataannya. Sesungguhnya dia sangat maklum dikarenakan istrinya pasti sedikit agak kebingungan tentang rencananya yang tiba-tiba.“Sayang, sebenarnya Mas mau memberi … uang sejumlah yang dulu Bapak minta,” jelas Rayan.Kirana menelan ludah dan tidak menyangka bila ternyata jawabannya seperti itu. Dia pikir Rayan ingin pergi ke rumah kedua orang tuanya dikarenakan memberitahu mereka tentang identitas rakyat yang sebenarnya. Sesungguhnya dia sama sekali tidak keberatan tetapi dia hanya berpikir jika sampai kedua orang tuanya mengetahui latar belakang Rayan yang asli, maka kemungkinan besar orang tuanya tersebut akan mencoba untuk memanfaatkan Rayan. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan merasa telah cukup membuat Rayan kesusahan karena sikap kedua orang tuanya.“Mas pikir lebih baik Mas kasih uang itu untuk satu bulan sehingga Mas tidak perlu memikirkannya lagi,” jelas Rayan.Kirana langsung saja menanggapi, “Tapi,