Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Rayan malah berkata, "Nanti ya, Sayang. Eh, itu ... lihat!"Rayan menunjuk ke arah seorang anak kecil yang akan menari. Kirana pun langsung mengerti. Suaminya masih belum ingin membahasnya.Sebenarnya jelas Kirana sangat penasaran. Tapi, dia tidak mungkin memaksa suaminya untuk mengatakan apa yang dia tidak ingin dia bahas.Dia bukan seorang pemaksa. Lagipula, setelah mengenal Rayan selama lebih dari satu minggu lamanya, dia merasa bila suaminya itu orang yang baik. Hanya saja dia memang memiliki rahasia saja.Maka dia pun mencoba untuk memakluminya dengan tidak memaksa suaminya."Kamu ... pasti cantik banget kalau pakai gaun pengantin," ucap Rayan tiba-tiba.Perubahan topik yang mendadak itu membuat Kirana sedikit terkejut. Terlebih lagi dia mendapati Rayan menoleh ke arah dirinya dan berkata sembari tersenyum manis, "Nanti kita adain pesta ya."Kirana melotot kaget."Hah? Ke-kenapa, Mas? Uangnya kan-""Hm, kamu lupa ya saya tadi bilang apa?" uc
Kirana memamerkan senyum cantiknya dan berkata, "Ini asli kok.""Enggak mungkin," ucap Vena.Dia menggelengkan kepala seakan tak percaya, "Itu harganya mahal banget. Seharga motor. Mana ... mungkin kamu bisa beli?"Kirana mendesah penuh sabar dan menoleh ke arah suaminya yang sedang menatapnya dengan takjub.Dia menggandeng suaminya dengan wajah yang cerah lalu berkata tanpa menoleh ke arah Vena, "Bukan aku yang beli. Ini suami aku semuanya yang beliin.""Tukang sol sepatu kaya dia bisa beliin perhiasan mahal kaya gitu? Kamu pikir saya percaya, Mbak? Tarif dia aja cuman lima belas ribu tiap benerin sepatu," ejek Fildan.Laki-laki itu memasang ekspresi menyebalkan untuk menghina Rayan, tapi Kirana terlihat tak terpengaruh."Oh, itu memang benar. Tapi, nyatanya dia sanggup beliin," balas Kirana cuek.Rayan menggelengkan kepalanya tapi tersenyum pada istrinya yang menurutnya sangat berani itu. "Bohong banget. Enggak percaya aku itu asli," kata Serin yang kemudian tiba-tiba saja berjalan
Sebelum Kirana sempat membuka mulut guna membalas ucapan Nadia, Siska malah terlebih dulu kembali menyambar, “Ya itu enggak perlu ditanya lagi lah, Nad. Kelihatan banget enggak ada duit.”Dua wanita itu pun kembali menatap remeh ke kakak ipar mereka. Kirana sudah tidak tahan lagi mendengar suaminya dihina, tapi Rayan malah berkata, “Maaf, kami masuk kamar dulu ya. Kirana lelah, mau istirahat sebentar.”Rayan menggandeng tangan istrinya yang tengah kebingungan menatapnya. Sorot mata wanita itu jelas menunjukkan ketidakinginan pergi dari sana.“Hah? Kata bapak sama ibu tadi kalian perginya pakai taksi online. Kok capek?” kata Nadia dengan mata menyipit.Siska juga menatap kakak dan kakak iparnya itu tanpa berkedip dan kemudian menyeletuk, “Oh, pasti gara-gara nggak penuh naik taksi online-nya ya? Karena uang tipis?”Kirana masih terdiam tapi tangannya yang sedang digenggam oleh Rayan itu menguat seolah sedang berusaha mengatasi kemarahannya lewat genggaman tangan itu.“Ih, kalau begitu
“Ya benerlah, Mbak Sis. Aku hafal ya,” kata Nadia.Siska semakin heran, “Duit dari mana buat beli baju sebagus ini?”Nadia mendecakkan lidah, “Itu aku ya enggak tahu, tapi aku yakin pasti enggak mungkin uang dari hasil jadi tukang sol sepatulah.”Siska manggut-manggut, terlihat setuju atas ucapan Nadia. “Aku curiga itu Rayan dapat uang dari jalur lain.”“Kita pura-pura aja enggak tahu dulu, baru deh kita bilang ke bapak sama ibu kalau kita udah tahu. Gimana?” ucap Nadia.Siska mengangguk kecil dan melihat isi tas itu lagi. Tapi ternyata tak ada barang lain yang ada di dalamnya.Sedangkan Rayan yang baru saja mengambil baju ganti pun bertanya pada sang istri, “Kenapa kamu enggak sekalian tunjukkin perhiasan kamu, Sayang?”Kirana yang sedang membereskan baju-baju kotor mereka pun menyahut, “Awalnya tadi sempat mau pamer sekalian sih, Mas.”Rayan mengangguk, “Terus kenapa enggak jadi?”“Takut mereka nggak percaya kalau perhiasan itu asli?” tebak Rayan.Kirana menggeleng cepat-cepat dan ma
Kirana kembali mengangguk dengan yakin, “Yakin, Mas. Aku mau jalanin kewajibanku sebagai istri.”Rayan tersenyum begitu lembut dan memandang istrinya dalam tatapan sangat dalam hingga Kirana menjadi salah tingkah.“Mas, jangan lihatin kaya gitu dong!” kata Kirana yang wajahnya telah memerah.Rayan terkekeh, “Kenapa memangnya? Masa enggak boleh lihatin istri sendiri?”“Ya bukannya kaya gitu, aku hanya-”Kirana tak bisa melanjutkan perkataannya karena tiba-tiba saja jari telunjuk Rayan telah menempel di bibirnya hingga membuatnya menjadi jauh lebih gugup daripada sebelumnya.Salah satu tangan suaminya yang lain menyibak rambutnya ke belakang. Entah mengapa jantung Kirana semakin berdetak berkali-kali lipat lebih kencang daripada yang seharusnya.Wanita itu juga melihat sang suami yang mulai menggerakkan kepalanya mendekat ke arahnya. Tanpa sadar Kirana mencengkram tangannya sendiri karena gugup.Dia pun secara otomatis menutup kedua matanya perlahan. Namun, hal yang tidak disangka-sang
Kirana hampir saja meneteskan air mata, tapi wanita itu berusaha keras untuk menahannya. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, dia mengangguk atas ajakan sang suami.Rayan pun segera menggandeng istrinya dan mengambil tas kerja sang istri lalu meninggalkan rumah itu dengan cepat.Sepasang suami istri itu tak melihat Herni di luar, tapi sayangnya berpapasan dengan Parlan yang menatap mereka dengan tatapan tidak suka.“Kenapa buru-buru?” Parlan bertanya sembari membawa alat-alat kebersihan.“Takut telat, Pak,” jawab Rayan.Parlan mendengus, tidak menggubris Rayan dan malah menoleh pada putrinya, “Ibumu sudah bilang soal modal toko, Kirana?”Kirana sontak menghela napas panjang, tak menyangka akan ditanya hal itu di depan jalan rumah mereka.“Pak, nanti aja kita bicarakan lagi ya!” ucap Kirana pelan dengan nada memohon.Parlan mendecih, “Kenapa memangnya? Kamu nggak mau kasih modal buat orang tuamu? Begitu?”Nada suara ayah Kirana itu jelas sekali dikeraskan seolah memang dia ingin agar or
Rayan tersenyum pada bapak mertuanya itu dan berkata, “Bapak tinggal sebutin aja nominalnya, nanti kami siapkan.”Parlan mengernyit heran dan langsung saja menoleh pada putrinya, “Suamimu ini sedang bercanda atau bagaimana? Mau ngibulin Bapak atau gimana, Kirana?”“Wah, parah kalau memang kaya begitu!” ucap salah seorang warga lagi.Kirana tidak mau tinggal diam dan segera membalas, “Mas Rayan udah bilang begitu ya pasti seriuslah, Pak. Nggak mungkin bercanda.”“Uang dari mana memangnya?” tanya Parlan.Kirana hampir tidak sabar. Tapi meskipun dia sendiri tidak tahu dia hanya bisa menjawab, “Yang pasti uangnya halal, Pak. Bapak tinggal terima beres aja.”Wanita itu menatap suaminya dan berharap bila apa yang dia katakan sudah benar. Dia pun melihat lelaki itu tersenyum dan mengangguk kecil sehingga dia pun merasa tenang.“Sudah, Pak. Pak Parlan bilang aja, nanti kan tinggal dilihat jumlahnya sesuai apa enggak.”“Kalau sampai bohong ya keterlaluan sih.”Seorang mengangguk bersemangat, “
Di kala Kirana terdiam karena terlalu terkejut, Parlan yang sama sekali tak percaya dengan ucapan menantunya itu menyahut, “Kamu nggak bohongin Bapak?”Rayan tersenyum, “Mana mungkin saya berani? Begini saja … nanti bisa Bapak buktikan sendiri, apa saya berbohong atau tidak. Bagaimana?”Parlan melihat sekelilingnya. Orang-orang terlihat sedikit berharap pada Rayan, tapi dia juga tahu bila masih ada beberapa orang yang tampak tak percaya pada Rayan.“Baiklah, Bapak tunggu uangnya. Kalau kamu tidak bisa memberi, berarti kamu hanya kasih harapan palsu sama Bapak,” kata Parlan, setengah yakin bila menantunya itu tak mungkin mampu memberikannya dalam waktu yang singkat.Selanjutnya, karena merasa masalah di sana telah selesai, Rayan segera berkata, “Kalau begitu, saya dan Kirana pamit dulu. Kami hampir terlambat.”Usai mengucapkan salam, Rayan pun cepat-cepat menggandeng istrinya agar meninggalkan area itu.Mereka berdua berjalan kaki dengan tergesa-gesa karena Rayan tak ingin istrinya ter
Rayan terdiam cukup lama dan tidak langsung menjawab pertanyaan dari mertuanya itu.Tetapi, setelah dia berpikir masak-masak dia pun akhirnya berkata, “Ibu saya telah meninggal dan ayah saya sudah menikah lagi.”Herni mendengus saat mendengar jawaban menantunya itu, “Oh, pantesan jadi kamu itu anaknya nggak terlalu dianggap sama bapak kamu ya?”Rayan saat itu tersenyum dan Kirana khawatir bila perkataan kedua orang tuanya mungkin akan menyakitkan hati Rayan.Akan tetapi, di luar dugaannya Rayan malah dengan sangat tenang menjawab, “Begini saja. Dalam beberapa hari lagi saya akan mengundang ibu dan bapak ke acara keluarga besar saya.”Herni menaikkan alisnya, “Maksud kamu? Keluarga besar kamu akan menggelar acara dan kamu mengundang kami?”Rayan menganggukkan kepalanya dan jujur saja Kirana cukup bingung dengan ucapan suaminya karena dia sama sekali tidak mengerti tentang acara yang dimaksud oleh Rayan. “Sebenarnya acara itu seharusnya digelar beberapa bulan lagi, tapi … sepertinya sa
Kirana menatap ibu dan bapaknya secara bergantian dengan tatapan penuh kekecewaan. Bagaimana bisa mereka bersikap seperti itu kepada orang yang telah membantu mereka begitu banyak seolah suaminya itu bukanlah orang yang bertanggung jawab. Padahal kalau dipikir-pikir Rayan sama sekali tidak memiliki kewajiban yang penuh untuk benar-benar memberikan sejumlah uang kepada mereka. “Bapak dan Ibu untuk masalah itu tidak perlu khawatir. Karena saya … saat ini sudah membawakan uang tersebut,” kata Rayan.Parlan mendengus dengan tidak sabar, “Ya Itu kan untuk hari ini. Begitu kan? Lalu besok-besoknya gimana?”“Per hari kan? Kamu nggak bermaksud buat ngasih cuman satu kali dalam satu bulan gitu kan, Yan?” Herni menambahkan dengan alis berkerut seakan curiga kepada menantu laki-lakinya tersebut. Rayan dengan begitu sangat sabar menjawab, “Tidak, Bu.”Pria muda tampan itu pun kemudian mengambil sebuah amplop besar dari dalam saku jasnya yang Kirana tebak berisi sejumlah uang.Kirana cukup ter
Tidak ingin tensi di rumah itu menjadi menegang, Rayan pun cepat-cepat berkata, “Kirana, sudah ya!”“Mas. Tapi kan ….”Wanita itu melihat tatapan suaminya yang penuh permohonan sehingga dia pun terpaksa lagi-lagi harus membungkam mulutnya sendiri.Bagaimanapun juga pria yang berada di dekatnya itu adalah suami yang memiliki hak untuk membuat dirinya menurut kepadanya sehingga mau tidak mau dia pun mengangguk pada sang suami. Herni melihat kepatuhan putrinya terhadap Rayan dan langsung mendecakkan lidah, “Yah, bagus deh. Ternyata ada baiknya juga kamu menurut sama suami kamu.”Kirana tetap berusaha keras menahan dirinya agar tidak lagi terpancing dengan ucapan ibunya. Rayan pun tetap diam dan ketika dia hampir akan berbicara, Parlan menambahkan seakan mendukung ucapan istrinya, “Bagus memang. Mungkin Rayan ini bisa bikin kamu lebih hormat sama bapak ibu kamu.”Andai saja Kirana tidak menghormati Rayan, dia pasti sudah akan membalas ucapan kedua orang tuanya yang sangat menyakitkan it
Bukannya malah memperbaiki sikap mereka terhadap menantu laki-lakinya yang sudah terlalu banyak mereka hina, mereka tetap tidak mengubah sedikitpun sikap mereka.Parlan malah dengan tenangnya berkata, “Oalah, Kirana. Udah, Nduk. Kalau bermimpi itu jangan terlalu tinggi.”Kirana tercengang ketika mendengar perkataan bapaknya dan wanita muda itu hampir saja akan membalas. Namun rupanya bapaknya tersebut tidak terlalu peduli dengan balasan Kirana dan sekali lagi berujar penuh dengan nada penghinaan, “Kalau bukan hanya tukang sol sepatu, memangnya pengalaman yang lain apa? Tukang parkir maksud kamu?”“Yah Pak. Tukang parkir masih bagusan dikit, gimana kalau ternyata sebelumnya Rayan itu macam tukang angkut sampah?” Herni menanggapi perkataan suaminya. Kirana semakin tidak bisa berkata-kata lagi lantaran sudah tidak habis pikir dengan kedua orang tuanya yang malah semakin menjadi-jadi. Wanita itu ingin sekali segera memberitahu kedua orang tuanya mengenai identitas asli sang suami, tapi
Tina pun akhirnya hanya bisa mendecak penuh sesal karena telah membuang-buang waktu berbicara dengan dua wanita bebal yang tidak bisa dinasehati. Menurutnya sesungguhnya kedua wanita itu sudah mengetahui apabila mereka berbuat salah, hanya saja mereka terlalu gengsi untuk mengakui kesalahan yang telah mereka lakukan. Oleh sebab itu keduanya seolah-olah merasa paling benar di depan dirimu. “Ya udahlah, hanya menghabiskan tenaga dan buang-buang waktu saja kok ngomong sama Mbak berdua ini,” kata Tina yang akhirnya meninggalkan mereka berdua karena tidak ingin terlibat lagi dengan pertengkaran yang tidak ada habisnya.Sementara itu Kirana sudah naik ke dalam mobilnya bersama dengan suami dan saat ini sedang melakukan perjalanan menuju ke arah rumah kedua orang tuanya. “Ini masih siang, kira-kira mereka ada di rumah nggak ya, Mas?” ucap Kirana yang sebenarnya terlihat agak ragu-ragu. Rayan pun menjawab ucapan istrinya, “Mas nggak tahu. Atau mungkin mereka lagi ada di pasar? Kios merek
Pada akhirnya kedua wanita yang selalu mengusik Kirana itu tidak bisa lagi membantah apapun. Keduanya hanya diam saja dengan ekspresi bingung yang masih melekat di wajah mereka berdua.Fakta yang baru saja menampar mereka itu membuat keduanya tersadar bahwa di balik penampilan seseorang ataupun pekerjaan seseorang yang terlihat biasa saja ternyata tersimpan sebuah hal yang menakjubkan. Kadang kala sebuah kemewahan itu tidak bisa dilihat dengan mata saja. Itu persis seperti yang terjadi pada Kirana dan suaminya. Semua orang mengira keduanya memiliki kehidupan yang sederhana tetapi rupanya sang suami menyimpan rahasia yang besar. “Minimarket ini harganya pasti miliaran. Gila! Aku nggak nyangka kalau ternyata semuanya Mbak Kirana itu kaya raya!” ucap salah seorang karyawan yang menatap takjub pada Kirana dan Rayan yang mulai berjalan keluar dari area minimarket. Tina yang cukup dekat dengan Kirana saja akhir-akhir itu juga tidak mengerti tentang rahasia besar itu. Tetapi, menurutny
“Iya, katanya hari ini pembelinya juga udah datang kok,” kata seorang karyawan yang lain. Serin terlihat semakin penasaran, “Hah? Di mana orangnya?” Karyawan yang memberikan informasi itu hanya mengangkat bahu. Kirana sendiri tidak terlalu ingin tahu mengenai masalah itu karena kedatangannya ke minimarket itu di hari itu hanya untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Maka setelah dia selesai mengerjakan salah satu tugasnya, wanita itu segera menemui bosnya dan menyerahkan surat pengunduran diri tersebut. Setelah berbicara empat mata dengan sang manager, Kirana pergi keluar dan terkejut ketika melihat Rayan berjabat tangan dengan seorang yang dia ketahui sebagai pemilik minimarket itu. “Saya senang sekali berbisnis dengan Anda, Pak. Semoga Anda bisa mengembangkan minimarket ini dengan jauh lebih baik dan saya harap … Anda semakin sukses,” kata pemilik minimarket itu sembari tersenyum lebar. Selanjutnya Kirana melihat orang itu meninggalkan area itu dan membiarkan Rayan be
Serin tentu saja seperti biasanya mengangguk cepat, “Iyalah. Semua juga tahu kalau suami Mbak Kirana itu cuman seorang tukang sol sepatu. Ngapain pakai setelan jas kayak bos gitu?”“Ya kalau nggak bukan buat nutupin profesinya yang asli ya pasti karena cuman mau dibilang punya kerjaan yang bagus aja,” lanjut Serin.Vena terkikik mendengar ucapan temannya, “Lha iya, Mbak. Buat apa sih pakai berusaha untuk nutupin segala, Mbak Rana? Lagian nggak ada juga kok yang mempermasalahkan profesi suaminya Mbak Kirana.”Tina langsung berkaca pinggang menatap dua orang itu dengan begitu galak, “Duh, Mbak. Kalian ini kok repot banget sih ngurusin hidup orang. Yang tanya itu aku dan yang seharusnya jawab itu Mbak Kirana, bukan kalian. Aneh banget!”Vena dan Serin langsung saja tersinggung dengan ucapan Tina dan dua wanita itu segera ingin membalas, tetapi Tina yang tahu akan maksud mereka berdua cepat-cepat mendahului mereka dengan berkata, “Sudah, Mbak. Kita beresin di sebelah sana aja yuk. Biar ngg
Rayan sontak menoleh ke arah istrinya yang terlihat terkejut dengan perkataannya. Sesungguhnya dia sangat maklum dikarenakan istrinya pasti sedikit agak kebingungan tentang rencananya yang tiba-tiba.“Sayang, sebenarnya Mas mau memberi … uang sejumlah yang dulu Bapak minta,” jelas Rayan.Kirana menelan ludah dan tidak menyangka bila ternyata jawabannya seperti itu. Dia pikir Rayan ingin pergi ke rumah kedua orang tuanya dikarenakan memberitahu mereka tentang identitas rakyat yang sebenarnya. Sesungguhnya dia sama sekali tidak keberatan tetapi dia hanya berpikir jika sampai kedua orang tuanya mengetahui latar belakang Rayan yang asli, maka kemungkinan besar orang tuanya tersebut akan mencoba untuk memanfaatkan Rayan. Dia tidak ingin hal itu terjadi dan merasa telah cukup membuat Rayan kesusahan karena sikap kedua orang tuanya.“Mas pikir lebih baik Mas kasih uang itu untuk satu bulan sehingga Mas tidak perlu memikirkannya lagi,” jelas Rayan.Kirana langsung saja menanggapi, “Tapi,