"Bapak minta maaf atas sikap Sesil tadi. Bapak pastikan, Sesil akan menerima hukuman setiap kali ia melakukan kesalahan. Sebelum Bapak menutup telepon, ada yang Bapak ingin sampaikan padamu. Dengarlah Lara, balas dendam itu seperti monster haus darah yang selamanya tidak pernah kenyang. Di mana pada akhirnya kamu akan binasa karena nafsu yang tidak berkesudahan. Bapak mengatakan ini bukan karena Sesil itu anak Bapak. Melainkan demi kebaikanmu sendiri. Seperti nasehat yang dulu selalu Bapak katakan padamu dulu. Memaafkan orang yang melukai hatimu adalah kebaikanmu untuknya. Tapi meneruskan hidupmu tanpa mendendam kepadanya adalah kebaikanmu untuk dirimu sendiri. Mengerti, Lara?""Mengerti, Pak," jawab Lara tersendat. Percakapan intim seperti inilah yang sebenarnya ingin ia dapatkan dari kedua orang tuanya. Bukan hanya perkara nama baik dan harta benda."Bagus. Ini adalah terakhir kalinya Bapak menerima panggilan teleponmu. Setelah ini Bapak tidak akan mengangkatnya lagi. Mulailah bangu
Lara mengitari rumah cantik nan asri di hadapannya. Bersama Bagas Lara mengunjungi rumah ayahnya yang baru saja selesai direnovasi. Rumah milik penduduk setempat ini dibeli ayahnya dulu untuk ditempati Sesil. Kini ayahnya menyerahkan rumah itu padanya.Rumah model joglo yang pada dasarnya sudah bagus ini disulap menjadi lebih modern. Lara menyukai terasnya yang luas. Benak Lara sudah membayangkan kalau teras ini nantinya akan menjadi tempat favoritnya. Untuk sekedar menikmati udara segar ataupun bercengkrama bersama keluarga besar. "Kamu suka dengan rumah ini, Ra?" Bagas merangkul bahu Lara mesra. Sejak ia menyatakan perasaannya pada Lara, Bagas tidak segan-segan lagi menunjukkan rasa cintanya pada Lara."Suka, Mas. Kesannya asri sekali. Saya menyukai segala sesuatu yang berkesan alami." Lara membiarkan tindakan Bagas. Ia belajar untuk menikmati kebersamaan mereka berdua."Kalau begitu, Mas akan membeli rumah ini dari ayahmu sebagai hadiah pernikahan kita. Bagaimana, Ra?" Bagas sekar
"Syukurlah. Saya senang mendengarnya. Mas sudah lebih dulu sadar diri. Jadi saya tidak perlu mengatakan apa-apa lagi," sindir Lara santai. "Mas tidak tahu apa yang terjadi di diri Mas ini. Karena untuk pertama kalinya Mas malah senang disindir-sindir begini. Mungkin ini adalah efek samping dari jatuh cinta pada istri sendiri." Bagas terkekeh. Jikalau biasanya ia akan emosi kalau egonya disentil-sentil, kali ini berbeda. Hatinya malah berbunga-bunga karena merasa Lara memperhatikan dirinya hingga mendetail. "Gombal. Istri apaan? Ingat, saya bukan istri Mas yang sesungguhnya. Pernikahan kita belum sah." Lara mencebikkan bibirnya. "Ehm, kalau begitu segera kita sahkan dong dengan menikah ulang," Bagas mulai menebar umpan. Kedua tangan Lara di dadanya ia rangkum makin erat. Harapannya membumbung tinggi. Semoga saja Lara luruh setelah melihat kesungguhannya ini. "Perasaan kemarin ada yang bilang akan sabar menunggu sampai punah marahku." Lara kembali menyindir Bagas. Ia ingin melihat s
Lara memandangi mobil-mobil pengangkut teh yang berlalu lalang silih berganti. Beginilah aktivitas perkebunan setiap akhir pekan. Para pekerja akan mendistribusikan teh yang sudah dipetik ke pabrik-pabrik teh. Di pabrik nantinya akan dilakukan proses pelayuan, penggilingan, oksidasi, pengeringan hingga pengemasan. "Mbak Lara nggak panas apa berdiri di sini? Pindah ke dalam saja, Mbak." Mbok Sum muncul seraya membawa minuman dingin di sebuah teko besar. Di belakangnya Tinah juga membawa teko besar yang sama. Teko-teko besar itu berisi teh manis dingin yang diperuntukkan bagi para pekerja. Teko-teko besar itu selanjutnya diletakkan di sebuah meja segiempat. Ada empat buah kursi panjang yang terbuat dari kayu mengelilingi meja. Selain kursi panjang ada juga kursi plastik yang disusun tinggi di sudut teras. Teras ini memang biasa digunakan para bekerja untuk beristirahat sejenak. "Nggak apa-apa, Mbok. Matahari pagi itu baik kok untuk kesehatan." Lara memberi alasan. Ia memang suka meng
"Malu, Mas." Lara mendelik. Istimewa Pak Zulkifli, Aris dan beberapa pekerja lainnya menghampiri. Mereka pasti haus dan ingin beristirahat sejenak sebelum melanjutkan pekerjaan. "Waduh, dunia milik berdua ini sepertinya," goda Aris sambil menghempaskan pinggulnya ke kursi panjang."Nanti kamu juga mengalaminya kok, Ris. Sekarang biarkan Mas Bagas menikmati kebahagiaannya." Alih-alih Bagas, Pak Zulkifli lah yang menimpali godaan Aris."Tuh, Pak Zulkifli saja mengerti karena pernah muda." Bagas menanggapi godaan Aris santai."Pak Mahdi, sini. Istirahat dulu." Bagas meneriaki Pak Mahdi yang masih sibuk mengangkati karung-karung teh ke mobil. Sementara para pekerja lainnya sudah beristirahat dan menikmati berbagai penganan."Iya, sebentar, Mas Bagas. Tanggung ini. Biar mobilnya jalan dulu." Pak Mahdi balas berteriak."Seharusnya Pak Mahdi tidak perlu lagi mengangkat-angkut teh begini, Mas. Kasihan, beliau sudah tua." Lara tidak tega melihat Pak Mahdi memikul karung yang berisi teh ke ata
"Ayah sudah tahu sejak awal kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian. Om Bastian dan Tante Prima dulu lama sekali tidak punya anak. Makanya opamu menyarankan agar Om Bastian memungut anak sebagai pancingan." Pak Hardi menjelaskan perihal status Priya pada Lara melalui sambungan telepon."Hah? Memancing anak? Memangnya ikan?" Bagas mengomel. Ia memang sengaja meminta Lara menghidupkan speaker, agar ia bisa ikut mendengarkan pembicaran Lara dan Pak Hardi. "Akhirnya Om Bastian mengadopsi Priya dari sebuah panti asuhan terdekat. Tak disangka tak dinyana, usulan opamu menjadi kenyataan. Setahun mengadopsi Priya, Tante Prima hamil anak kembar. Priska dan Prisilla lah orangnya." "Berarti Mas Priya memang tidak bohong." Lara sekarang yakin dengan berita yang dikatakan oleh Priya. "Tidak. Apa yang dikatakan oleh Priya memang benar adanya. Eh, tapi mengapa kamu tiba-tiba tertarik mengetahui soal jati diri Priya, Ra? Seingat Ayah dulu kalian jarang mengobrol.""Karena Lara itu sebenarnya
"Ada apa ini, Mas Bagas? Ris?" Kebingungan Lara menghampiri Bagas. Namun salah seorang petugas, menghalanginya."Jangan ke sini, Ra. Tidak ada apa-apa. Ini cuma kesalahpahaman belaka. Mas akan ke kantor polisi sebentar untuk menjelaskan semuanya. Kamu masuk ke dalam saja. Biarkan Aris dan Pak Zulkifli yang bekerja." Bagas berupaya menenangkan Lara. "Nah, itu ada Mbok Sum. Mbok, tolong bawa Lara beristirahat. Saya akan pergi sebentar." Melihat Mbok Sum berlari keluar dari dalam rumah menuju teras, Bagas meminta bantuannya. Mbok Sum adalah orang yang paling tepat untuk menenangkan Lara."Ayo, Mbak. Kita masuk saja. Biarkan Aris dan Pak Zul yang mengurus semuanya." Mbok Sum menarik pergelangan tangan Lara. Sesungguhnya ia sendiri juga kaget melihat Bagas diborgol. Namun ia bisa menyembunyikan kepanikkannya dengan baik. "Tapi Mas Bagas diborgol lho, Mbok. Kita harus menolongnya." Lara menepis tangan Mbok Sum. Ia mengikuti Bagas yang dikawal petugas masuk ke dalam mobil."Mas... Mas..."
"Apa maksud ucapanmu, Mahdi? Mengapa kamu menuduh Aris?" Pak Jaya menghampiri Pak Mahdi."Maksud mungkin Aris yang menghianati Bagas. Aku tidak sembarangan menuduh, Yak. Ini, aku memvideokan mereka di ponsel." Pak Mahdi merogoh saku. Mengeluarkan ponsel dan memberikannya kepada Pak Jaya."Aku sengaja merekam mereka saat aku kebetulan melihat mereka berdua melintas di jalan. Bagas ada di dalam mobil Agni," adu Pak Mahdi lagi. Pak Jaya tidak menjawab. Pandangannya fokus pada video Aris dan Agni."Aku sebenarnya tidak berniat merekam video ini. Tapi aku kemudian berpikir ulang. Aku ini sudah dinilai buruk olehmu. Karenanya kebersamaan yang tidak lazim antara Aris dan Agni membuatku punya dugaan lain. Aku takut dijadikan kambing hitam jikalau terjadi hal-hal buruk pada Bagas nanti. Ternyata dugaanku benar. Aris mau menumbalkanku." "Itu 'kan perasaan Bapak saja. Saya tidak menuduh Bapak bukan?" Aris menanggapi tuduhan Pak Mahdi dengan santai. Aris yakin sesungguhnya Pak Mahdi lah si peng
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia
Bagas yang duduk diam di kursi tunggu, seketika menegakkan punggungnya. Ia mendengar nama Sakti Alamsyah disebut-sebut. Kecurigaannya saat melihat sikap kaku antara Sakti dan Lara dulu ternyata benar. Ada sesuatu di antara mereka pada masa lalu. Hanya saja rupanya Sakti salah orang. Yang Sakti kira Sesil adalah Lara. Wajar mengingat mereka semua dulu bertemu sewaktu SD. Dalam diam Bagas mempertajam pendengarannya."Akhirnya kamu mengerti bagaimana sakitnya difitnah bukan? Itu baru sekali. Saya merasakannya hampir seumur hidup saya." Lara menengadah. Menatap langit-langit rumah sakit dengan senyum pahit."Gue nggak akan minta maaf pada lo, Ra." Sesil menggeleng."Karena gue tahu, kesalahan gue terhadap lo terlalu banyak. Gue nggak layak dimaafkan." Sesil menunduk pasrah. Ia sekarang sadar bahwa tingkah lakunya selama ini memang keterlaluan. Dirinya sangat egois karena tidak bisa melihat orang lain lebih darinya. Lara dulu lebih cantik, lebih pintar, lebih populer dari dirinya. Padaha
"Pelan-pelan jalannya, Ra. Nanti kamu jatuh." Bagas menahan langkah Lara, agar yang bersangkutan memperlambat laju langkahnya. Bagas ngeri melihat Lara yang seperti tidak ada capeknya padahal sedang berbadan dua. Berada dalam pesawat selama hampir satu setengah jam, yang dilanjutkan dengan berkendara dari bandara hingga rumah sakit, Lara tidak terlihat lelah sedikit pun. Rasa khawatirnya pada Pak Yono mengalahkan kelelahan fisiknya. Saat ini mereka telah tiba di gerbang rumah sakit. Selanjutnya mereka berjalan ke bagian Nurse Station untuk menanyakan ruangan Pak Yono."Selamat siang, Suster. Kami kerabat Pak Suryono yang tadi menelepon untuk deposit biaya operasi Pak Suryono tadi." Lara langsung menyatakan keperluannya pada sang perawat."Oh, ibu dan bapak Bagas Antareja ya? Ibu dan Bapak sudah ditunggu di ruang UGD oleh dokter Gani. Kalau Pak Suryono sendiri, beliau saat ini telah berada di ruang operasi. Pak Suryono akan segera di operasi. Silakan langsung temui beliau di sana saj
"Karena saya takut Mas mengira saya tidak bisa moved on dari Mas Priya. Makanya saya pikir, saya matikan saja," kata Lara terus terang."Mengenai mengapa saya menonton persidangan, itu karena semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama. Jadi saya tidak spesifik memilih chanel tadi," lanjut Lara lagi. Ia mengatakan hal sesuai fakta."Penjelasanmu masuk akal. Sini, lebih dekat pada, Mas, Ra." Lara celingukan sejenak sebelum merapatkan diri pada Bagas. Tidak enak juga duduk seintim ini di siang bolong. "Ra, Mas percaya padamu. Bahwa kamu tidak punya perasaan apapun lagi pada Priya. Dulu memang Mas cemburu pada Priya. Sebelum Mas tahu kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian pun, Mas masih cemburu. Padahal waktu itu status Priya adalah sepupumu bukan? Yang artinya ia tidak boleh menikahimu." "Lantas sekarang Mas tidak cemburu lagi? Padahal Mas Priya terbukti bukan sepupu saya? Kok rasanya aneh, Mas?" Lara tidak mengerti jalan pikiran Bagas."Tidak aneh karena sekarang Mas