Sudah lima belas menit mereka berkendara. Namun tidak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Bagas. Bibirnya membentuk garis lurus dengan kening berkerut. Bagas jelas terlihat sedang kesal. Oleh karenanya Lara juga ikut menahan diri. Ia tidak bersuara sepatah kata pun. "Apa rencanamu nanti setelah melahirkan?" Tiba-tiba saja Bagas memecah keheningan di dalam mobil. "Menyelesaikan skripsi saya," sahut Lara singkat. "Terus?" kejar Bagas lagi."Bekerja untuk membantu perekonomian keluarga." Lagi-lagi Lara menjawab singkat."Setelahnya menikah dengan Priya, laki-laki yang merayumu pada saat video call di kampus atau siapa pun yang penting kaya raya bukan?" cibir Bagas sinis. Lara melirik Bagas yang tengah menyetir. Mencoba menduga-duga apa maksud dari kalimat ambigunya. Merasa dipandangi, Bagas menoleh. Tatapannya bertemu dengan Lara yang tengah memandangnya dengan tatapan menyelidik."Kenapa kamu memandangi saya? Kaget karena saya mengetahui semua rencana di dalam otak kecilmu?"
Setelah berkendara kurang lebih lima belas menit, Bagas membelokkan kendaraan ke gubuk kecil perkebunan. Kedatangan Bagas langsung disambut oleh dua orang yang terlihat menunggu kedatangan Bagas. Keduanya langsung beranjak dari bangku, setelah mobil memasuki areal perkebunan.Lara menduga kedua orang itu adalah Pak Zulkifli dan Pak Mahdi."Kamu di mobil saja--""Saya ikut turun ya, Mas? Saya ingin menghirup udara segar." Lara yang sudah bosan di mobil ingin melihat-lihat perkebunan dalam suasana sore. Lagi pula ia penasaran dengan sosok Pak Mahdi. Soalnya ia mendengar di telepon tadi kalau Pak Mahdi ini sesungguhnya teman lama Pak Jaya dan Pak Hardi juga. Itu artinya Pak Mahdi ada dalam lingkup persahabatan antara Pak Jaya, Pak Hardi dan Pak Sasongko. "Terserah kamu. Tapi pakai jaket ini dulu. Sebentar lagi udara akan semakin dingin." Bagas memanjangkan lengannya ke kursi belakang. Ia meraih jaket parasut yang ia letakkan pada baris ke dua di mobil. "Pakai dulu jaket ini baru keluar
Sembari berkendara Bagas berkali-kali melirik Lara. Tumben Lara tersenyum-senyum di dalam mobil. Air mukanya juga semringah. Samar ada air mata yang membayangi kedua bola matanya. Ada apa ini? Mengapa Lara tampak sangat berbahagia sekaligus terharu? Oh ya, tadi ada yang menelepon Lara. Lara mengaku kalau orang yang menelepon itu adalah ibunya. Tapi rasanya mustahil. Masa menerima telepon dari ibu bahagianya seperti dari pacar?"Siapa yang meneleponmu tadi?" tanya Bagas penasaran."Ibu, Mas," sahut Lara singkat. Ia sudah tidak sabar ingin cepat sampai di rumah."Ibu? Kalau cuma Ibu, mengapa kamu terlihat senang sekali?""Karena Ibu bilang, ia sudah membuatkan jamu penguat kandungan untuk saya." Lara kembali tersenyum. Ia bahagia sekali karena sang ibu mulai memperhatikannya. Pasti karena dirinya sekarang sedang hamil. Ibunya tidak sabar ingin menjadi seorang nenek rupanya. "Coba lihat ponselmu." Bagas mengulurkan tangan kirinya. Ia masih belum percaya sebelum melihat dengan mata kepa
"Lara... mual, Bu," keluh Lara sambil menutup mulut dan hidungnya. Ia sedih karena sekarang air muka dan suara ibunya telah kembali seperti semula. Kasar dan tidak ramah."Lo emang nggak ada sopan-sopannya ya jadi anak? Jamu buatan emak lo, lo hoek-hoekin. Dasar anak nggak tahu diri lho!" Sesil bangkit dari kursi. Ia kesal karena Lara terus menolak jamu dari Mbok Ningsih. Padahal ia sudah menunggu-nunggu moment ini. Sikap tidak kooperatif Lara membuatnya geram. Sepertinya harus dirinya sendiri yang mencekoki Lara. "Sini jamunya, Mbok." Sesil mengambil paksa jamu dari tangan Mbok Ningsih."Nih, minum!" Sesil memencet hidung Lara seraya mendekatkan birai gelas ke mulut Lara. "Jangan memaksa!" Bagas menepis tangan Sesil kasar. Akibatnya jamu tumpah dan berceceran di lantai. Sedari tadi sebenarnya ia sudah geram melihat tingkah laku Sesil. Namun ia menunggu aksi Bu Ningsih dulu. Bagas ingin melihat sejauh mana Bu Ningsih ini membela putrinya. Ketika mendapati Bu Ningsih diam saja saat p
"Seharusnya kita tidak perlu ke rumah sakit segala, Mas. Orang saya tidak apa-apa kok." Lara protes saat Bagas memaksanya masuk ke mobil. Bagas ingin membawanya ke rumah sakit karena aksi muntah-muntahnya. "Yang menentukan kamu apa-apa atau tidak itu dokter, Ra. Bukan perasaanmu sendiri. Ayo naik," hardik Bagas ketus. Merasa tidak ada gunanya berargumen dengan Bagas, Lara segera masuk ke dalam mobil."Kita akan ke rumah sakit Citra Paramedika ya, Mas?" tanya Lara seraya memasang sabuk pengaman. Rumah sakit Citra Paramedika memang yang terdekat dari rumah."Tidak. Kita akan ke Rumah Sakit Ibu dan Anak. Kenapa memangnya? Kamu mau ke Citra Paramedika agar bertemu dengan dokter Priya ya?" tuduh Bagas geram. Sepertinya Lara belum bisa melupakan Priya. "Masyaallah, Mas. Saya hanya bertanya. Kok Mas nuduhnya begitu?" Lara menggeleng-gelengkan kepala. Bagas ini selalu berpikiran negatif. Bagas mendengkus. Dari sudut mata, Bagas memindai kalau Bu Ningsih berjalan tergopoh-gopoh menghampiri
Lara berjalan dengan langkah setengah diseret. Sungguh, yang ia butuhkan hanya istirahat. Bukan diperiksa ini itu yang berakhir dengan menelan sejumlah obat."Hallo, Bu Lara. Apa kabar? Ada keluhan apa, Bu?" Dokter Sri, dokter yang kemarin dulu menanganinya menyapa ramah saat Lara dan Bagas duduk di hadapannya. Lara tidak menjawab pertanyaan dokter Sri. Pandangannya tertuju pada satu titik. Lara terperanjat saat melihat Bu Jujuk yang tampak sama kagetnya dengannya. "Ra, jawab pertanyaan dokter Sri. Kenapa kamu seperti orang kebingungan begini?" Bagas menyentuh pelan lengan Lara. "Hah, kabar saya baik, Bu Dokter. Saya hanya mual-mual sedikit saja tadi. Mas Bagas yang meminta saya memeriksakan kandungan ke sini." Tergagap, Lara menjelaskan maksud kedatangannya. Namun tatapannya tetap mengarah pada Bu Jujuk yang berdiri di belakang dokter Sri. Hal ini membuat dokter Sri dan Bagas mengikuti arah pandangan Lara. "Wah, Bu Lara kaget ya karena susternya ganti?" Dokter Sri tersenyum maklum
Bu Ningsih berkeringat dingin. Setitik debu pun ia tidak mengira kalau dirinya akan bertemu dengan Suster Jujuk lagi. Istimewa bertemu dalam keadaan riskan begini. Ada Sesil dan Lara di antara mereka. "Ada apa Ibu ke sini? Oh ya, Ibu dan Bu Jujuk saling mengenal ya?" Lara bangkit dari bed periksa dibantu oleh Bagas, karena Bu Jujuk masih terpaku dengan pandangan terarah pada ibunya.Lara heran, mengapa ibunya ada di rumah sakit. Selain itu Lara juga penasaran dengan hubungan antara ibunya dan Bu Jujuk yang tampak ganjil. Ada apa sebenarnya di antara mereka berdua?"Tidak!""Ya." Ibunya dan Bu Jujuk menjawab secara bersamaan. Namun jawaban keduanya sangat bertolak belakang."Lho, kok jawabannya berbeda sih? Yang mana yang benar? Lara jadi bingung." Lara menatap curiga ibunya dan Bu Jujuk yang terlihat kian gelisah."Ibu ke sini karena Non Sesil jatuh dari tangga dan kakinya keseleo. Mengenai Suster Jujuk, Ibu tidak terlalu mengenalnya. Yang Ibu ingat, Ibu pernah berpapasan dengan Sus
"Maafkan sikap ibu saya ya, dokter? Ibu tadi sedang panik, makanya kata-katanya menjadi tidak terkontrol." Lara meminta maaf untuk ibunya."Lupakan, Bu Lara. Saya sudah belasan tahun menjadi dokter. Masalah-masalah seperti ini kerap terjadi. Yah, namanya juga pekerjaan jasa yang berhubungan dengan orang banyak. Saya juga minta maaf apabila kata-kata saya tadi menyinggungmu. Bagaimana keadaanmu sekarang? Masih mual atau sudah baikan?" Dengan bijak dokter Sri mengubah topik pembicaraan. "Sudah baikan, Bu. Apakah kami sudah boleh pulang?" Lara yang sudah merasa lelah, ingin secepatnya beristirahat. Saat ini jam dinding rumah sakit sudah menunjukkan pukul 20.05 WIB. Sudah malam. Bahkan sudah lewat tiga puluh lima menit dari jadwal praktek dokter Sri, yang seharusnya tutup pada pukul 19.30 WIB."Sudah, Bu. Keadaan Ibu baik-baik saja. Saya tidak akan membuatkan resep obat apapun lagi. Habiskan saja obat yang ada hingga jadwal periksa bulan depan. Susu hamilnya jangan lupa diminum ya, Bu?"
Tini yang sebenarnya sudah berdiri cukup lama di koridor, segera meletakkan kopi di meja. Tini mendapat kesempatan yang tepat untuk melaksanakan tugasnya. Tadi ia sungkan mengganggu kemesraan Lara dan Bagas."Ini kopinya, Mas." Tini pamit setelah mendapat ucapan terima kasih dari Bagas. Ia tidak mau mengganggu kemesraan sepasang suami istri tersebut."Ya, Sil. Ada apa? Pak Yono baik-baik saja kan?" Lara dengan cepat mengangkat ponsel. Benaknya membayangkan yang tidak-tidak setiap kali ada telepon dari Jakarta."Ayah nggak apa-apa, Ra. Makin sehat malahan. Gue nelpon cuma mau bilang kalo gue nggak jadi ke tempat lo minggu depan. Gue ada objekan nyupirin buah-buahan Pak Renggo ke pasar. Lain kali aja gue ke tempat lo ya?"Ya sudah kalau kamu ada kerjaan. Eh kamu ada di mana ini, Sil? Kok banyak sekali orang berbicara? Ada suara musik lagi. Kamu dugem ya?" Lara khawatir kalau Sesil kembali pada kehidupan lamanya."Dugem? Astaga, boro-boro dugem, Ra. Gue lagi ngebabu di rumah Sakti ini."
"Temani saja Mas Bagas menonton televisi, Mbak. Piring-piring kotor ini biar Mbok dan Tini yang membereskan." Mbok Sum menahan lengan Lara yang bermaksud meraih peralatan makan. "Ya sudah. Kalau begitu saya akan membuat kopi saja untuk Mas Bagas.""Tidak usah juga, Mbak. Biar si Tini saja yang mengurus masalah kopi. Perut Mbak Lara sudah sebesar ini. Sebaiknya Mbak istirahat saja. Temani Mas Bagas." Mbok Sum menasehati Lara. Majikan mudanya ini memang tidak bisa diam. Ada saja yang mau ia kerjakan. "Baiklah, Mbok. Nanti kopi Mas Bagas bawa ke depan saja ya?" pinta Lara."Tenang saja, Mbak. Pokoknya semua beres." Tini yang menjawab seraya menjentikkan tangannya. "Terima kasih ya, Tini?" Lara menepuk bahu Tini sekilas. Tini memang remaja yang cekatan dan ceria. Lara melanjutkan langkah ke ruang keluarga. Di mana Bagas sedang santai menonton televisi."Duduk sini, Ra. Kedatanganmu pas sekali saat pembacaan vonis yang dijatuhkan hakim pada Pak Sasongko." Bagas menepuk-nepuk sofa di sam
"Wah... wah... wah... pembalasan dendam jilid dua ini sepertinya." Bagas berdecak. Sesil akan menuai badai setelah ia kerap menabur angin."Sepertinya sih, Mas," ucap Lara sambil terus mengintip."Eh ada tuan putri, ups salah. Putri babu maksudnya. Apa kabar, tuan putri babu?" Bertha menyapa Sesil dengan air muka mengejek. Satu... dua... tiga...Lara berhitung dalam hati. Biasanya Sesil akan meledak dan mengejek tak kalah pedas."Kabar gue kurang baik, Tha. Ayah gue masuk rumah sakit."Alhamdullilah. Lara tersenyum haru. Sesil sudah mulai bisa mengontrol emosinya. Sesil menjawab pertanyaan Bertha dengan santun walaupun Berta sedang mengejeknya. "Oh sekarang lo udah ngaku kalo Pak Yono bokap lo ya? Pak Yono sial amat ya punya anak nggak berguna kayak lo." Kali ini Maira yang bersuara. "Kalian berdua boleh ngatain gue apa aja. Gue terima. Gue tau dulu gue banyak salah pada kalian berdua. Tapi tolong, kalian jangan ngata-ngatain ayah gue. Ayah gue baru selesai dan sedang berada di ru
"Ra, bangun. Dokter sudah keluar dari dari ruang operasi." Bagas mengecup ubun-ubun Lara yang tertidur di bahunya."Mana, Mas?" Lara sontak terbangun. Mengerjap-ngerjapkan mata sejenak, Lara memindai pintu ruang operasi. Tampak seorang dokter paruh baya bermasker dan berpakaian hijau-hijau sedang berbicara pada Sesil dan Pak Amat."Jadi gue eh saya belum bisa menjenguk ayah saya ya, Dok?" Lara mendengar Sesil berbicara pada dokter."Pak Yono baik-baik saja kan, Dokter?" Lara ikut bertanya. Ia ingin memastikan kalau Pak Yono baik-baik saja."Saya jawab satu-satu ya? Pasien baik-baik saja saat ini," ujar sang dokter sabar."Alhamdullilah." Lara, Sesil, Bagas dan Pak Amat menarik napas lega."Tapi bagaimana ke depannya, saya belum tahu. Pasien juga belum boleh dijenguk, karena akan dipindahkan ke ruang recovery untuk pemulihan.""Berapa lama ayah saya di ruang recovery, Dokter?" Sesil kembali mengajukan pertanyaan."Biasanya selama dua jam.Setelah dua jam nanti kalau keadaan pasien dian
"Kamu ini memang tidak ada kapok-kapoknya ya, Sil? Baru saja mencuri uang atasanmu, kini kamu mencoba kembali mencuri dompet Lara. Bagaimana ayahmu tidak sakit-sakitan melihat ulahmu?!" Pak Amat yang memang ingin melihat keadaan Pak Yono merebut dompet dari tangan Sesil kasar."Nggak, Pak. Gue hanya ingin memasukkan dompet ini ke dalam tas Lara. Tadi barang-barangnya berjatuhan karena Lara tertidur." Sesil menjelaskan dengan sabar maksud baiknya pada Pak Amat."Halah, banyak omong kamu. Sekalinya maling yo tetap maling. Yono sial sekali punya anak maling seperti kamu!" Pak Amat tidak percaya pada penjelasan Sesil. Akan halnya Lara, ia membuka mata karena mendengar suara ribut-ribut. Pak Amat dan Sesil sedang bertengkar rupanya. Pak Amat terlihat menunjuk-nunjuk Sesil geram."Gue nggak bohong, Pak. Gue cuma mau bantuin Lara. Gue sama sekali nggak berniat mencuri dompet Lara." Dengan suara tertahan karena sadar sedang berada di rumah sakit, Sesil membantah tuduhan Pak Amat. Lara tidak
"Sak, bisa kita bicara sebentar?" Bagas menghampiri Sakti. Ada permohonan tidak terucap di matanya. "Oke." Sakti mengalah. Ia sadar aksi balas dendamnya memang keterlaluan karena telah memakan korban. Ia sama sekali tidak menyangka kalau ayah Sesil lah yang menerima akibatnya. Pembalasan dendamnya salah kaprah. "Saya akan menebus kesalahan saya, Pak. Jangan khawatir. Apa yang ucapkan harus saya pertanggungjawabkan. Itulah pesan terakhir dari ayah saya sebelum ia pingsan. Saya akan belajar untuk mematuhi perintahnya," tukas Sesil lirih. "Bagus. Kalau begitu persiapkan dirimu. Karena saya tidak meminta kamu langsung melunasi semua kejahatan-kejahatanmu. Saya ingin kamu mencicilnya. Berikut bunga-bunganya." Setelah membalas ucapan Sesil, Sakti pun berlalu. Sesil tertunduk lesu setelah bayangan Sakti menghilang di ujung lorong rumah sakit. Melihat kehadiran Sakti membuatnya teringat akan segala perbuatan kejinya di masa lalu. Mempunyai banyak pendukung membuatnya dulu merasa hebat. Ia
Bagas yang duduk diam di kursi tunggu, seketika menegakkan punggungnya. Ia mendengar nama Sakti Alamsyah disebut-sebut. Kecurigaannya saat melihat sikap kaku antara Sakti dan Lara dulu ternyata benar. Ada sesuatu di antara mereka pada masa lalu. Hanya saja rupanya Sakti salah orang. Yang Sakti kira Sesil adalah Lara. Wajar mengingat mereka semua dulu bertemu sewaktu SD. Dalam diam Bagas mempertajam pendengarannya."Akhirnya kamu mengerti bagaimana sakitnya difitnah bukan? Itu baru sekali. Saya merasakannya hampir seumur hidup saya." Lara menengadah. Menatap langit-langit rumah sakit dengan senyum pahit."Gue nggak akan minta maaf pada lo, Ra." Sesil menggeleng."Karena gue tahu, kesalahan gue terhadap lo terlalu banyak. Gue nggak layak dimaafkan." Sesil menunduk pasrah. Ia sekarang sadar bahwa tingkah lakunya selama ini memang keterlaluan. Dirinya sangat egois karena tidak bisa melihat orang lain lebih darinya. Lara dulu lebih cantik, lebih pintar, lebih populer dari dirinya. Padaha
"Pelan-pelan jalannya, Ra. Nanti kamu jatuh." Bagas menahan langkah Lara, agar yang bersangkutan memperlambat laju langkahnya. Bagas ngeri melihat Lara yang seperti tidak ada capeknya padahal sedang berbadan dua. Berada dalam pesawat selama hampir satu setengah jam, yang dilanjutkan dengan berkendara dari bandara hingga rumah sakit, Lara tidak terlihat lelah sedikit pun. Rasa khawatirnya pada Pak Yono mengalahkan kelelahan fisiknya. Saat ini mereka telah tiba di gerbang rumah sakit. Selanjutnya mereka berjalan ke bagian Nurse Station untuk menanyakan ruangan Pak Yono."Selamat siang, Suster. Kami kerabat Pak Suryono yang tadi menelepon untuk deposit biaya operasi Pak Suryono tadi." Lara langsung menyatakan keperluannya pada sang perawat."Oh, ibu dan bapak Bagas Antareja ya? Ibu dan Bapak sudah ditunggu di ruang UGD oleh dokter Gani. Kalau Pak Suryono sendiri, beliau saat ini telah berada di ruang operasi. Pak Suryono akan segera di operasi. Silakan langsung temui beliau di sana saj
"Karena saya takut Mas mengira saya tidak bisa moved on dari Mas Priya. Makanya saya pikir, saya matikan saja," kata Lara terus terang."Mengenai mengapa saya menonton persidangan, itu karena semua stasiun televisi menayangkan berita yang sama. Jadi saya tidak spesifik memilih chanel tadi," lanjut Lara lagi. Ia mengatakan hal sesuai fakta."Penjelasanmu masuk akal. Sini, lebih dekat pada, Mas, Ra." Lara celingukan sejenak sebelum merapatkan diri pada Bagas. Tidak enak juga duduk seintim ini di siang bolong. "Ra, Mas percaya padamu. Bahwa kamu tidak punya perasaan apapun lagi pada Priya. Dulu memang Mas cemburu pada Priya. Sebelum Mas tahu kalau Priya itu bukan anak kandung Om Bastian pun, Mas masih cemburu. Padahal waktu itu status Priya adalah sepupumu bukan? Yang artinya ia tidak boleh menikahimu." "Lantas sekarang Mas tidak cemburu lagi? Padahal Mas Priya terbukti bukan sepupu saya? Kok rasanya aneh, Mas?" Lara tidak mengerti jalan pikiran Bagas."Tidak aneh karena sekarang Mas